MAKALAH AL MASYAQQOTU TAJLIBU AL TAISYIRO
BAB
IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani hidup manusia akan
mengalami sebagai peristiwa yang menyebabkan merasa senang, susah, gembira,
sedih, aman, dan lain sebagainya. Sebagai agama yang Rohmatalil 'alamin Islam
memberikan perhatian basar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami
umatnya.
Syarat Islam menjaga sebuah
prinsip menghilangkan sebuah kesukaran dan subjek hukum dalam keseluruhan hukum
syari yang diatur dengan kaidah-kaidah buku dan dasar-dasar permanen yanh dapat
di jadikan sebagai media pengumpulan hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan
dalil syar'i dan ketika asy-syaari' ( pembuat hukum syara' ) berdiam diri menangani status
perkara tertentu.
Pada dasarnya hukum syariah
bukanlah untuk mempersulit umat Islam. Hal ini berdasarkan kenyamanan,
keringanan, dan untuk menghilangkan kesulitan masyarakat. Oleh karena itu,
dalam makalah telah memaparkan kadiah tentang Al-Masyaqqah Tajlibut Taysir.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri ?
2. Bagaimana
dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri ?
3. Apa
saja macam-macam Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri ?
4. Bagaimana
penerapan kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri pada aturan ruksha (keringanan) ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui Pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri
2. Untuk
mengetahui dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut
Tasyri
3. Untuk
mengetahui macam-macam Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri
4. Untuk
mengetahui penerapan kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Tasyri pada aturan ruksha
(keringanan)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib
at-Taisir
Makna dari al-masyaqqoh al-tajlibu
al-taisyiir adalah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan
atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf. Al- masyaqqah yang
dimaksud di sini yaitu kemudahan yang mengabaikan tuntutan hukum yang
disyariatkan oleh Allah SWT karena adanya uzur.
التيَّْسِرُتجَْلبُ الْمَشَقَّةُ
Artinya : “Kesukaran
itu dapat menarik kemudahan”.
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu
kemudahan. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan
sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban
tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukumhukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek
hukum), maka syariah memudahkannya
sehingga mukkalaf mampu melaksanakannya tanpa kesukaran dan kesulitan.
التيَّْسِرُتجَْلبُ الْمَشَقَّةُ
a. Makna Kaidah
Dari
kalimat التيَّْسِرُتجَْلبُ الْمَشَقَّةُ dapat di ambil dua
kata di dalamnya, yakni kata المشقة berarti kepayahan, kesulitan dan kerepotan.
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat)
tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi
manusia.
Sedangkan
kata yang kedua adalah التيَّْسِ رُ artinya adalah kemudahan dan keringanan.
Dari kedua kata tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa secara kaedah ini
mempunyai pengertian bahwa sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya
kemudahan dan keringanan.
Adapun
secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti :
Hukum-Hukum Syar’i yang dalam prakteknya
menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf
(orang yang di beri beban syar’i), maka syariat islam meringankannya agar bisa
di lakukan dengan mudah dan ringan.
B. Sumber Hukum Al-Masyaqqah Tajlibut
Tasyri
Kenyamanan dan kemudahan dalam
syariah ini telah dipastikan dalam al-Qur’an maupun hadist yang menjadi sumber
hukum kaidah ini. Ayat-ayat ini saling melengkapi dan menguatkan yang
menunjukkan bahwa syariat Islam menginginkan hilangnya kesulitan dari umatnya.
Prinsip yang tersirat pada ayat-ayat dan hadist ini meniscayakan bahwa
hukum-hukum syar’i tidak pernah menuntut yang melewati batas kemampuan
hambaNya.[1]
QS. Al Maidah: 6
Artinya: Allah tidak ingin menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar
kamu bersyukur.
QS. Al Baqarah: 185
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
meng-hendaki kesukaran bagi-mu. Dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
QS. Al Baqarah: 286
Artinya : “Allah tidak
membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”
QS. An Nisaa : 28
Artinya : “Allah hendak
memberi keringanan kepadamu karena manusia diciptakan bersifat lemah”.
QS. Al Hajj : 78
Artinya
: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan”
Berdasarkan ayat di atas dapat
disimpulkan, bahwa syari’ah Islam selamanya menghilangkan kesulitan dari
manusia dan tidak ada hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan karena di luar
kemampuan manusia yang memang sifatnya lemah. Demikianlah makna umum yang bisa
ditarik dari ayat-ayat di atas.
Sedangkan beberapa hadits yang
menguatkan kaidah di atas antara lain:[2]
إن الدين عندالله الحنفية
السمح ة
“Sesungguhnya agama di
sisi Allah adalah yang ringan dan mudah”(HR. AlBukhari).
Ada juga yang mengartikan al-hanafiyah al-samhah dengan arti
cenderung kepada kebenaran dan mudah. يسروا ولاتعسرواوبشرواولاتنفرو ا
“Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan
jangan menyebabkan mereka lari”(HR. Bukhari) Selain itu juga beliau
bersabda :
“Berpeganglah, agama ini mudah, dan
barangsiapa yang beragama melebihi kadarnya, maka dia akan dicap berlebihan.
Jadi, ambillah jalan tengah dan dekati kesempurnaan dan nikmatilak kehidupan
dengan baik”[3]
Hadist dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan Imam Husain :
“Kalian semua dihidupkan dalam keadaan
dipermudah dan bukan dihidupkan dalam keadaan dipersulit”.
Seluruh ayat dan hadist hadist diatas
menjadi landasan kuat atas terbentuknya kaidah ini beserta kaidah-kaidah
furu’nya.
C. Macam-Macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut
Tasyri
Al-Musyaqqah yang bersifat individual tidak menyebabkan keringanan.
Contohnya bagi si A mungkin masyaqqah tetapi
bagi si B tidak terasa masyaqqah.
Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya
bukan masyaqqah
dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti
terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa pada masa
musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan
keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila
dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut
menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya
manusia dalam melaksanakan ibadah.[4]
Dalam hukum Islam, ada hukum
azimah dan hukum rukhsah.Hukum azimah adalah hukum yang berlaku secara umum
kepada semuamukallaf tanpa adanya kesulitan. Sedangkan, hukum rukhsah
adalahhukum tentang keringanan yang dilakukan oleh karena adanya kesulitan.Masyaqqah
menimbulkan hukum rukhsah pada kondisi darurat dankebutuhan hajat. Oleh karena
itu, para ulama membagi
masyaqqahmenjadi tiga tingkatan,
yaitu:[5]
1.
Al-
Masyaqqah Al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat) atau bisa juga disebut
sebagai “kemudaratan”, seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau
rusaknya anggota badanyangmenyebabkan tidak bisa melaksanakan ibadah dengan
sempurna .
2.
Al-
Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat
juga tidak sangat ringan). Masyaqqah seperti ini harusdipertimbangkan, apabila
lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan. Apabila
lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan.
3.
Al-
Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti merasalapar waktu
puasa, letih ketika tawaf dan sai, dan lain sebagainya. Masyaqqah seperti ini
dapat ditanggulangi dengan cara sabar dantabah dalam
melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia
danakhirat yang tercermin dalam ibadah lebih utama dari pada masyaqqah ringan
ini.[6]
Pengecualian dari kaidah tersebut
adalah: pertama, kesulitankesulitan
yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang
ringan. Kedua, kesulitan-kesulitan
yang muncul, memang satu risiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika
puasa. Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila
kelaparan tadi membahayakan jiwanya.
Adapun keringanan atau kemudahan
karena adanya masyaqqah setidaknya
ada tujuh macam, yaitu:
1.
Tahkfif
isqath/ rukhsah isqath (pengguguran kewajiban), yaitu keringanan dalam
bentuk penghapusan sepertitidak shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau
nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu.
2.
Tahkfif
tanqish (pengurangan beban kewajiban), yaitu keringanan berupa pengurangan
seperti shalat Qashar.
3.
Tahkfif
ibdal (penggantian), yaitu keringanan yang berupa penggantian, sepertiwudhu
diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat diganti dudukkarena sakit.
4.
Tahkfif
taqdim (mendahulukan), keringanan dengan cara didahulukan,
sepertimendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan ramadhan, jama’ taqdim
bagi yang sedang berpergian.
5.
Tahkfif
ta’khir (mengakhirkan), yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti
bayar puasa Ramadhan bagi yang sakit, melakukan sholat jama’ ta’khir bagi yang
sedang berpergian.
6.
Tahkfif
tarkhis (darurat), yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan danminum
yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa
kematian.
7.
Tahkfif
taghyir (merubah hukum), yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara
yangdilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada
waktu perang.
Qaidah
tersebut dapat diterapkan pada semua
ketetapan
hukumsetidaknya pada tujuh kondisi,
yaitu:[7]
1. Sedang
dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat Jumat.
2. Keadaan
sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air ataushalat fardhu
sambil duduk.
3. Keadaan
terpaksa yang membahayakan kepada kelangsunganhidupnya. Misalnya jual beli,
ijarah, hibah, dan lain-lain yangdilakukan dengan terpaksa karena mendapat
paksaan atau ancamandari orang lain yang bisa mengancam jiwa dibolehkan meralat
ataumembatalkan transaksinya tersebut setelah hilang paksaannya.
4. Lupa
(al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum padawaktu puasa, lupa
membayar utang tidak diberi sanksi, akan tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan
(al-jahl ). Misalnya, orang yang baru masuk Islamkarena tidak tahu, kemudian
makan makanan yang diharamkan, makadia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil
tidak tahu bahwa yangmewakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak
hukum,misalnya pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai diatahu
bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur 'alaih (dilarang melakukan
tindakan hukum oleh hakim).
6. Kesulitan
umum atau Umum al-Balwa (kesulitan yang sangat sulitdihindari karena sudah
lumrah dilakukan orang banyak). Misalnya,anak kecil membeli sesuatu seperti
jajan tanpa seizin walinya, padahaldiantara syarat sah jual beli adalah kedua
belah pihak yang bertransaksi harus sudah balig (dewasa).
7. Kekurangmampuan
bertindak hukum (al-naqsh), seperti anak kecil,orang gila, orang dalam keadaan
mabuk, dan lain-lain. Misalnya oranggila yang merusak barang orang lain, maka
ia tidak ada kewajibanuntuk menggantinya.[8]
D. Penerapan
Kaidah Al Masyaqah Tajlibut Tasyri pada aturan Ruksha
Secara istilah, rukhsah dimaknai
sebagai mengabaikan tuntutan hukum yang di syariatkan oleh Allah SWT karena
adanya uzur. Hukum syariah yang mengalami kesulitan dalam implementasiannya
bagi mukallaf, maka syariah menawarkan pilihan hukum sehingga subyek hukum
sanggup melakukannya. Dapat dipahami bahwa apabila dalam penerapan hukum (syariat) terdapat kesulitan bagi
mukallaf, maka hukum syariat meringankannya sampai mukallaf mampu
melaksanakannya.[9]
Meskipun kaidah al-masyaqqah al-tajlibu al-tasyir adalah
suatu bentuk jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi umat islam dalam
menjalankan syariat, akan tetapi tidak semua bentuk kesulitan diberikan
dispensasi dalam bentuk rukhsah,
tetap ada pengecualiaannya. Ulama kemudian mengklasifikasikan pada kesulitan
yang boleh diterapkan rukhsah dan
yang tidak boleh. Kesulitan yang boleh diberlakukan rukhsah yaitu kesulitan yang disebabkan karena ketidakberdayaan
memikul beban, sebab apabila dilakukan justru akan merusak diri dan
kehidupannya. Sedangkan kesulitan yang tidak boleh yaitu kesulitan yang
bersifat alami seperti lelah dan sebagainya.
Keringanan pelaksanaan syariat
disesuaikan dengan kondisi dan situasi: pertama,
ada yang bersifat menghapus tuntutan hukum seperti tidak perlu sholat bagi
muslimah yang sedang hai/nifas.
Kedua, bersifat mengurangi tuntutan hukum, seperti mengqashar
sholat. Ketiga, bersifat mengganti
seperti puasa diganti dengan fidyah. Keempat,
mengganti dengan waktu yang lain seperti mengganti puasa ramadhan di hari lain
sesudahnya. Kelima, dibolehkan
melakukan yang haram, seperti makan minum yang diharamkan karena jika tidak makan
akan mati. Dengan demikian, dalam memberlakukan syariat tidak hanya berlaku
satu ketentuan, akan tetapi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,
tergantung pada peristiwa mengganti, menunda, mengurangi, bahkan menggugurkan
sama sekali sesuatu yang diwajibkan, atau sebaliknya membolehkan sesuatu yang
awalnya dilarang.
a. Implementasi
makna rukhsah di tengah Pandemic Covid-19.
Pandemi covid-19 yang
berbahaya telah menyebar di Indonesia bahkan sampai di seluruh dunia. Virus ini
berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia, salah satunya yaitu kehidupan
beragama umat islam, terutama berkenaan dengan pelaksanaan sholat berjamaah di
masjid, juga kehidupan social lainnya. Akibatnya, majelis ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa tentang pelksanaan ibadah dengan nomor 14 Tahun 2020 yang
menjelaskan tentang hal-hal yang perlu dilakukan umat muslim menghadapi virus
tersebut.
Dengan demikian, kaidah ushul fikih al-masyaqqah tajlibu tasyir sebagai
salah satu metode yang dapat digunakan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu
hukum yang dikarenakan kondisi darurat atau keadaan terpaksa. Dalam syariat,
darurat dapat dimaknai bahwa apabila dalam penerapan hukum (syariat) terdapat
kesulitan bagi mukallaf, maka hukum (syariat) meringankannya sampai mukallaf mampu
melakukannya tanpa kesulitan. Kesulitan dan keterpaksaan yang dimaksud tidak
hanya ancaman kematian yang disebabkan kesulitan mendapatkan makanan, tetapi
juga dapat berkaitan dengan hal lain yang dapat mengakibatkan terancamnya jiwa,
seperti terancamnya kesehatan seseorang karena berkumpul dengan orang banyak
kemudian tertular penyakit berbahaya seperti virus corona (pandemic covid-19).
Walaupun fatwa MUI bersifat dzonni, akan tetapi posisinya mendekati pasti karena didasarkan pada al-qur’an dan hadits nabi. Jadi, fatwa MUI dan keputusan pemerintah untuk melarang sholat berjamaah di masjid karena kekhawatiran terhadap virus pandemic covid-19 merupakan upaya melaksanakan syariat Allah SWT yang tersirat, berarti mengikuti fatwa MUI dan anjuran pemerintah adalah wujud kepatuhan pada Allah juga.[10] Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa:59
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Makna dari al-masyaqqoh al-tajlibu
al-taisyiir adalah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan
atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf. Al- masyaqqah yang
dimaksud di sini yaitu kemudahan yang mengabaikan tuntutan hukum yang
disyariatkan oleh Allah SWT karena adanya uzur.
Kenyamanan dan kemudahan dalam
syariah ini telah dipastikan dalam al-Qur’an maupun hadist yang menjadi sumber
hukum kaidah ini. Ayat-ayat ini saling melengkapi dan menguatkan yang
menunjukkan bahwa syariat Islam menginginkan hilangnya kesulitan dari umatnya.
Secara umum kepada semuamukallaf tanpa adanya
kesulitan. Sedangkan, hukum rukhsah adalahhukum tentang keringanan yang
dilakukan oleh karena adanya kesulitan.Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah pada
kondisi darurat dankebutuhan hajat. Oleh karena itu, para ulama membagi
masyaqqahmenjadi tiga tingkatan, yaitu: Al-
Masyaqqah Al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), Al- Masyaqqah AlMutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak
sangat berat juga tidak sangat ringan), Al-
Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).
Meskipun kaidah al-masyaqqah al-tajlibu al-tasyir adalah
suatu bentuk jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi umat islam dalam
menjalankan syariat, akan tetapi tidak semua bentuk kesulitan diberikan
dispensasi dalam bentuk rukhsah,
tetap ada pengecualiaannya. Ulama kemudian mengklasifikasikan pada kesulitan
yang boleh diterapkan rukhsah dan
yang tidak boleh. Kesulitan yang boleh diberlakukan rukhsah yaitu kesulitan yang disebabkan karena ketidakberdayaan
memikul beban, sebab apabila dilakukan justru akan merusak diri dan
kehidupannya. Sedangkan kesulitan yang tidak boleh yaitu kesulitan yang
bersifat alami seperti lelah dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih,
(Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004)
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)
Muhammad
Mansoori, Kaidah-kaidah Fiqih Keuangan
dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulil Albab Institute, 2010)
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih,
(Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004
Sahari.
2020. Implementasi Al-Masyaqqah At-Tajlibu Al-Tasyir di Tengah Pandemi
Covid-19. IAIN Manado. Jurnal Aqlam. Vol.5, No. 2 dalam
pdf:https://journal.iainmanado.ac.id
[1] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), hal. 79
[2] A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum
Islam dalam Menyelesaikan MasalahMasalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana,
2007), hal. 59-60.
[3] Muhammad Mansoori, Kaidah-kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi
Bisnis, (Bogor: Ulil Albab Institute, 2010), hal 76.
[4] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam perspektif Fiqih,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), h. 84.
[5] Imam Musbikin, Qawa’id
Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 83
[6] A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum
Islam dalam Menyelesaikan MasalahMasalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana,
2007), H. 58-59.
[7]
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin : Lembaga
PemberdayaanKualitas
Ummat (LPKU), 2015), 86
[8]
Abbas Arfan, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyyah, (Malang : UIN Maliki Press,
2013), 157-158
[9] Djazuli Ahmad. 2007.
Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta:kencana. h, 55
[10] Sahari. 2020.
Implementasi Al-Masyaqqah At-Tajlibu Al-Tasyir di Tengah Pandemi Covid-19. IAIN
Manado. Jurnal Aqlam. Vol.5, No. 2 dalam pdf:https://journal.iain-manado.ac.id