Logika Penalaran Hukum
A. Praktek Penalaran Hukum (Deduktif berbasis) Perundang-undangan
Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum itu adalah penelusuran reason tentang hukum, merupakan sesuatu aktivitas untuk mencari ataupun menelusuri dasar hukum yang ada di dalam sesuatu kejadian hukum, baik yang perbuatan hukum maupun yang permasalahan, pelanggaran hukum serta memasukkannya ke dalam peraturan hukum. Penalaran merupakan proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera yang menciptakan beberapa konsep serta penafsiran dan membolehkan seorang berpikir secara logis. Penalaran hukum bisa dimaksud selaku metode berpikir, memakai, meningkatkan ataupun mengatur sesuatu permasalahan di bidang hukum dengan nalar.
Penalaran hukum pula tetap dipengaruhi oleh landasan berpikir tertentu, yang bertabiat sangat mendasar (fundamental). Penalaran ini juga disebut penalaran induktif merupakan metode berpikir buat menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap perihal yang bertabiat universal ataupun umum. Penalaran induktif bertolak dari realitas yang bertabiat terbatas serta spesial kemudian diakhiri dengan statment yang bertabiat lingkungan serta universal. Ciri dari penalaran induktif merupakan terdapatnya generalisasi.
B. Karakter Norma Hukum Perundang-Undangan
Menurut A. Hamid S A norma hukum mengandumg kepribadian perintah, larangan, pengizinan serta ulasan. Norma hukum (khususnya perundang-undangan) berlaku keluar, ialah norma hukum perundang-undangan diperuntukan kepada warga, baik dalam ikatan antara anggota warga yang satu (selaku orang, ataupun selaku kelompok) serta dalam ikatan dengan negeri (pemerintah).
Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, yang diartikan peraturan perundang-undangan ataupun wet in materiële zin memiliki 3 unsur, ialah norma hukum (rechtsnorm); berlaku ke luar (naar buiten werken); bertabiat universal dalam makna luas (algemeen-heid in ruime zin). Ketiga faktor tersebut bisa dijabarkan lebih lanjut selaku berikut :
1. Norma hukum, karakter norma hukum dalam peraturan perundang- undangan bisa berbentuk: a. perintah (gebod), merupakan kewajiban universal buat melaksanakan suatu; b. larangan (verbod), merupakan kewajiban universal buat tidak melaksanakan suatu; c. pembebasan (vrijstelling, dispensasi), merupakan pembolehan spesial buat tidak melaksanakan suatu yang secara universal diwajibkan; d. izin (toestemming), merupakan pembolehan spesial buat melaksanakan suatu yang secara universal dilarang.
2. Norma hukum berlaku keluar. Ruiter berkomentar jika, di dalam peraturan perundang- undangan ada tradisi yang hendak menghalangi berlakunya norma cuma untuk mereka yang tidak tercantum dalam organisasi pemerintahan. Norma yang mengendalikan ikatan antar bagian- bagian organisasi pemerintahan dikira bukan norma yang sesungguhnya, yang cuma dikira norma organisasi. Oleh sebab itu, norma hukum dalam peraturan perundang- undangan.
3. Norma bertabiat universal dalam makna luas, dalam perihal ini ada pembedaan antara norma yang universal (algemeen) serta yang individual (individueel), perihal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, ialah diajukan kepada“ tiap orang” ataupun kepada“ orang tertentu” norma yang abstrak (abstract) serta yang konkret (concreet) bila dilihat dari perihal yang diaturnya, apakah mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu ataupun mengendalikan peristiwa- peristiwa yang tertentu.
Padasarnya karakter norma hukum merupakan memforsir serta mengikat. Memforsir siapapun yang mematuhinya peraturan yang telah terbuat serta mengikat untuk segala warga tanpa kecuali. Dalam prakteknya norma hukum memiliki karakter :
1) Wajib ditaati, seluruh asas pembuatan peraturan perundang- undangan ini wajib ditaati tanpa kecuali oleh segala masyarakat negeri tersebut tanpa pandang bulu.
2) Mengikat, ketika suatu perintah ataupun larangan sudah dikeluarkan hingga segala masyarakat negeri ataupun orang yang bersangkutan dengan norma hukum tersebut hendak terikat cocok dengan keputusan yang sudah terbuat.
3) Memforsir, kala keputusan telah diputuskan hingga sifatnya memforsir dimana yang bersangkutan wajib mematuhinya, bila tidak sehingga akan dikenai sanksi hukum yang berlaku.
4) Mempunyai sanksi tegas. Seperti itu karakter norma hukum di negeri Indonesia, pada dasarnya karakter norma hukum merupakan memforsir serta mengikat.
C. Problem penerapan norma hukum
Konflik norma, yang dalam bahasa Inggris disebut conflict of norm, merupakan salah satu permasalahan yang terjadi dalam penerapan norma hukum positif. Sebagaimana dikatakan Philipus M Hadjon, bahwa dalam penerapan hukum selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan klasik, yaitu kekosongan undang-undang (wet vacuum), conflict of norm atau disebut konflik norma hukum.12 Selanjutnya Philipus M. Hadjon menyatakan: ”Langkah penerapan hukum yang diawali dengan identifikasi aturan hukum dalam bidang pertanahan seringkali dijumpai adanya antinomi atau konflik norma hukum”.
Konflik norma hukum juga terjadi di Indonesia dan hal semacam itu tidak mungkin dapat dihindari dan biasanya konflik norma hukum terjadi pada saat dilakukan penerapan hukum. Terkait dengan konflik norma hukum, Gert Frederick Malt, menyatakan, bahwa: ”teken leteraly (prima facie) there are millions of conflict between norm, i.e. between single provision, in positive law. But most of these conflict are never comprehended as such” (terdapat berjuta-juta konflik antara norma-norma, misalnya provisi-provisi (ketentuan-ketentuan) tunggal dalam hukum positif).14 Sesungguhnya kasus demikian sudah merupakan fenomena yang lazim ditemukan dalam setiap penerapan hukum dimanapun.
Konflik norma hukum positif dapat bersifat vertikal maupun bersifat horizontal norma vertical terjadi manakala terdapat pertentangan antara norma yang hirarkhinya lebih tinggi dengan norma yang hirarkhinya lebih rendah, konflik norma ini juga disebut dengan istilah disharmonisasi peraturan perundangan. Sedangkan konflik norma horisontal terjadi manakala terjadi pertentangan antara norma yang kedudukannya sederajad, yang juga disebut disinkronisasi peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Bruggink, konflik norma hukum dapat berbentuk antara norma perintah dengan norma larangan, yang disebut konflik norma hukum yang bersifat kontraris; antara norma perintah dengan norma yang membolehkan atau norma izin, dan antara norma larangan dengan norma dispensasi yang disebut subalternasi; antara norma yang membolehkan atau norma izin dengan dispensasi, yang disebut sub kontraris; dan antara norma perintah dengan dispensasi, dan antara norma larangan dengan norma yang membolehkan atau norma ijin, yang disebut kontradiksi.16
Untuk menyelesaikan konflik norma, menurut Gert Frederick Malt dapat mengguna- kan beberapa metode, yaitu prinsip atau asas preferensi, dan metode atau beberapa cara lain, yang selanjutnya diyatakan sebagai berikut:
traditionally, three general principle of preference, to be used in solving some hard conflicts between rules, are presented. They are, in their most Common formulations, a). the lex posterior principle: lex posterior derogate legi priori, i.e: a later provisions overrules an earlier one; b). the lex specialis principles: lex spesialis derogate legi generali, i.e.: a more special provision overrules a general one; c). the lex superior principle: lex superior derogat legi inferior, i.e.: provision with higher rank overrules a provision with lower rank.
Pertama, lex spesialis derogate legi generali, mengandung pengertian bahwa peraturan yang khusus mengesampingkian peraturan yang bersifat umum. Sebagai contoh pertentangan antara Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan norma dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, maka norma Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengesampingkan norma yang bersifat umum. tersebut mengesampingkan norma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; kedua, the lex superior principle: lex superior derogat legi inferior, prinsip ini mengandung pengertian bahwa, peraturan yang kedudukan hierar- kinya lebih tinggi megesampingkan (bukan mengalahkan) peraturan yang hirarkhinya lebih rendah. Sebagai contoh, jika norma undang-undang bertetangan dengan norma dalam peraturan pemerintah, maka norma undang-undang akan mengesampingkan norma dalam peraturan pemerintah; ketiga, the lex posterior principle: lex posterior derogate legi priori, prinsip ini bermakna bahwa norma peraturan yang baru mengesampingkan norma yang lama. Sebagai contoh norma Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terkait wewenang pemberian ijin pertambangan mineral batu bara mengesam- pingkan Undang-Undan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sehingga wewenang pemberian ijin pertambangan mineral batu bara yang semula berada pada Pemerintah Kabupaten/Kota berpindah menjadi wewenang Propinsi berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut.
Di samping menggunakan asas preferensi, penyelesaian konflik norma juga dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan disavowal atau pengingkaran konfik norma. Meode ini menganggap tidak ada konflik norma, sehingga pengambil keputusan menganggap yang berlaku adalah norma yang dikehendaki berlaku. Metode lain adalah dengan melakukan reinterpretasi, yaitu dengan menafsir ulang norma-norma yang dianggap saling bertenta- ngan, dan hasil penafsiran mana yang dianggap benar yang diberlakukan.
Invalidaion ,metode ini dibagi ke dalam dua macam, yatu: pertama, abstract and formal, metode ini dilakukan dengan cara menguji norma yang saling bertentangan, dan jika berdasarkan pengujian diketahui salah satu dari kedua norma yang bertentangan terbukti invalid, maka norma tersebut dibatalkan. Jadi, dalam hal ini harus ada tindakan pembatalan dan memerintahkannya untuk dicabut. Pencabutan dilakukan sesuai dengan asas contrarious actus, yaitu pembatalan dilakukan oleh pejabat yang berwenang membuat peraturan; kedua,
non applicaton dalam hal terjadi konflik norma, maka norma tersebut diuji dan jika berdasarkan pengujian dinyatakan invalid, maka norma tersebut tidak diterapkan tanpa harus melakukan tindakan pembatalan. Terakhir adalah dengan meggunakan remedy, cara ini dilakukan dengan pembetulan terhadap norma-norma yang dianggap invalid tersebut.
Problemaik penerapan hukum positif pada umumnya dijumpai dalam beberapa macam, yaitu kekosongan norma hukum positif; norma hukum positif yang terumus secara samar; konflik norma hukum positif; dan norma-norma hukum positif yang sudah usang. Secara teoritik problem penerapan hukum positif ini telah memiliki metode atau cara penyelesaiannya masing-masing. Namun bagi pengambil keputusan harus hati-hati dalam menggunakan teori-teori tersebut, mengingat teori adalah pilihan mana yang akan diper- gunakan oleh pengambil keputusan.