NAZIR DALAM KONSEP FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan nazhir merupakan suatu hal yang sangat penting dan sentral karena pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya dinamakan dengan nazhir. Nazhir inilah yang bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf agar wakaf dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan syariat.
Dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, nazir baik yang berbentuk perorangan, organisasi maupun badan hukum dapat melakukan dan menerapkan prinsip manajemen kontemporer dalam menjunjung tinggi dan memegang kaidah al-maslahah (kepentingan umum) sesuai ajaran Islam, sehingga tanah wakaf dapat dikelola secara professional. Dengan demikian nazir tanah wakaf sebagai manajer perlu dilakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil kebijaksanaan berdasarkan program kerja yang telah digariskan, sehingga kesan dan anggapan dalam masyarakat bahwa pengelolaan tanah wakaf sebagai kerja sampingan dan asal-asalan dapat dihilangkan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Naszir Menurut Fuqaha?
2. Bagaimana Konsep Naszir Menurut Undang-Undang?
C. Tujuan
1. Untuk Memahami Konsep Naszir Menurut Fuqaha
2. Untuk Memahami Konsep Naszir Menurut Undang-undang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nazir Menurut Para Fuqaha
Kata Nazir merupakan kosa kata bahasa Arab yang merupakan isim fa’il (kata pekerja) dari nazhoro yang berarti menggunakan penglihatan (bashar) dan pengamatan (bashirah) untuk memahami sesuatu dan melihatnya. Sedangkan nazir dalam wakaf berarti seseorang yang mengurus dan menjaga aset wakaf serta pendapatannya serta melaksanakan syarat yang ditetapkan oleh wakif.
Istilah lain yang digunakan oleh para fuqaha yakni mutawalli yang secara etimologi berarti orang yang mengurus sesuatu bila telah ditetapkan baginya dan ia melaksanakannya. Sedangkan secara termonologi, mutawalli berarti seseoarang yang mendapat mandat untuk bertindak (tasharruf) atas harta wakaf dan juga menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan itu
Menurut ahli fikih syarat nazir yaitu :
1. Taklif. Terkait syarat ini para ulama sepakat bahwasanya diantara syarat menjadi seorang nazir adalah dewasa (baligh) dan berakal, dan karenanya tidak diperbolehkan menetap kan orang gila atau pun anak kecil menjadi seorang nazir.
2. Adil, yakni orang yang mampu menjaga diri dari perbuatan dosa besar dan atau membiasakan perbuatan dosa kecil, serta amanah (jujur) dan bertanggungjawab, sehingga tidak boleh mengangkat orang yang suka berbuat dosa dan tidak jujur untuk menjadi Nazir. Kifayah (kemampuan), yakni seorang nazir harus mampu dan cakap melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan dengan baik dan professional.
Dalam perspektif fikih, tugas dan kewajiban Nazhir secara umum adalah melakukan segala hal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap harta wakaf, penjagaan terhadap kemaslahatannya, pengembangan kemanfaatannya dan membagikan hasil harta wakaf kepada yang berhak. Secara rinci, tugas nazir dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Memberdayakan harta wakaf dengan melakukan penjagaan dan perbaikan untuk melindungi harta wakaf dari kerusakan dan kehancuran, agar tetap memberikan manfaat sebagaimana yang menjadi maksud wakaf tersebut
2. Melindungi hak-hak wakaf dengan melakukan pembelaan atau advokasi dalam menghadapi sengketa hukum, atau penggusuran dan perampasan demi menjaga kelestarian dan kemanfaatan wakaf untuk kesejahteraan social
3. Menunaikan hak-hak mauquf ‘alaih dengan menyalurkan hasil wakaf kepada yang berhak dan tidak menundanya kecuali karena keadaan darurat atau ada alasan-alasan syar’i yang dibenarkan
4. Melaksanakan syarat-syarat Wakif dan tidak boleh menyalahi syarat-syarat tersebut kecuali dalam situasi dan kondisi khusus yang sulit dihindari, seperti dalam penunjukan Nazhir perseorangan yang tidak mungkin dilakukan karena tidak memenuhi syarat kenazhiran.
Kitab-kitab fiqh membahas masalah penetapan siapa yang akan menjadi nazhirtampak sangat fleksibel, dalam arti tidak memberikan batasan secara ketat dan hanya menetapkan syarat-syarat yang menurut hemat penulis juga sangat longgar dari sisi subyek atau pelakunya. Adanya kesepakatan ulama mengenai orang yang sah menjadi nazhir, yaitu dibolehkan menjadikan sebagai nazhirwakaf tiga kelompok berikut:
1. Wakif yang sekaligus menjadi nazhir(nazhirbagi wakafnya sendiri).
2. Mauquf ‘Alaih,
3. Pihak ketiga
Hal ini berarti siapapun boleh menjadi nazhir jika memenuhi syarat-syarat. Adapun kelonggaran lain yang tampak pada mekanisme atau cara penentuan nazhir, sehingga dibolehkan dengan cara penunjukan, penetapan maupun dengan cara menyebutkan sifat-sifat tertentu seperti orang yang paling tua atau orang yang paling dihormati ilmu dan akhlaknya. Wakif juga dibolehkan menunjuk siapa yang akan menjadi nazhirbagi harta yang diwakafkannya, seperti Imam Ali ra yang menunjuk anaknya Hasan kemudian Husein sebagai nazhir bagi wakafnya .
B. Nazir Menurut Undang-undang
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (4) dijelaskan bahwa nazir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquf alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa nazhir mempunyai kekuasaan mujtlak terhadap harta yang di amanahkan kepadanya .
Harta wakaf harus dikelola dengan transfaran dan yang berhak mengelolah wakaf menurut ketentuan syariah dan UU perwakafan di Indonesia diatur dalam pasal 9,10 UU No. 41 Tentang Wakaf sebagai berikut :
1. Perorangan.
Perseorangan yang dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. Warga negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Dewasa
d. Amanah
e. Mampu secara jasmani dan rohani
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
2. Organisasi.
Organisasi yang dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan.
b. Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam
3. Badan Hukum
Badan hukum yang dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. Penguru badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku
c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam
Nazhir yang ditunjuk dalam menjaga dan mengelol harta wakaf mempunyai tugas dan kewajiban diatur dalam Ps 11 UU No. 41 Tahun 2004 sebagai berikut :
1. Melakukan administrasian harta benda wakaf
2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
Dalam menetapkan Nazir terdapat pada PP no 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU no 41 tahun 2004 dijelaskan bahwa nazhir perseorangan ditunjuk oleh wakif dengan memenuhi persyaratan undang-undang (pasal 4 ayat 1), wajib didaftarkan kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia melalui Kantor Urusan Agama setempat (pasal 4 ayat 2), nazhir perseorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnyatiga orang dan salah satu dari mereka ditunjuk sebagai ketua (pasal 4 ayat 5)
Masa bakti nazhir adalah 5 tahun dan dapat diangkat kembali. Pengangkatan kembali dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia, apabila melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan. Para ulama berpendapat lain jika seorang nazhir kemudian tidak melaksanakan tugasnya dnegan berkhianat membelanjakan harta benda wakaf yangtidak sesuai peruntukannya atau nazhir mengundurkan diri, maka pemerintah dan wakif boleh memberhentikan dan menyerahkan kepada orang yang bersedia untuk menjalankan tugas sebagai untuk mengelola harta benda wakaf
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
Kata Nazir merupakan kosa kata bahasa Arab yang merupakan isim fa’il (kata pekerja) dari nazhoro yang berarti menggunakan penglihatan (bashar) dan pengamatan (bashirah) untuk memahami sesuatu dan melihatnya. Sedangkan nazir dalam wakaf berarti seseorang yang mengurus dan menjaga aset wakaf serta pendapatannya serta melaksanakan syarat yang ditetapkan oleh wakif. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (4) dijelaskan bahwa nazir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan.
Ada nazir perseorangan, organisasi dan badan hukum, serta dalam undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tugas Nazir sebagai berikut: Melakukan administrasian harta benda wakaf, Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Masa bakti nazhir adalah 5 tahun dan dapat diangkat kembali. Pengangkatan kembali dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia, apabila melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan
DAFTAR PUSTAKA
Zamakhsyari. A. Bakharudin, Rifqi Qoyimul Iman. Desember 2018. Nazir Wakaf Profesional,standarisasi,dan problematiknya, Li Falah jurnal studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol. 3,No.2 (diakses pada tanggal 17 Maret 2021 pada pukul 13.22) https://ejournaliainmajene.ac.id
Al-Zuhaily. Wahbah. 2017. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Cet.I Beirut: Dar al-Fikr.
Risca Putri Prasinanda. Tika Widiastuti. 2019. PERAN NAZHIR DALAM MENGELOLA HASIL WAKAF UANG PADA BADAN WAKAF INDONESIA JAWA TIMUR, Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan. https://neliti.com (diakses pada tanggal 20 Maret 2021 pada pukul 12.23
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, (2007), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, (2007), Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanannya, Jakarta: Departemen Agama RI