METODE DEDUKTIF-SILOGISME PENALARAN HUKUM BERBASIS UNDANG-UNDANG

 METODE DEDUKTIF-SILOGISME: 

PENALARAN HUKUM BERBASIS UNDANG-UNDANG

(Kekhususan Penalaran Hukum,

Penalaran Metode Silogisme

Silogisme: Penalaran Berbasis Undang-Undang

Bentuk-BentukRagam Silogisme,

     Silogisme tidak Beraturan

Ketentuan Penaraikan Kesimpulan

Pengayaan materi)

 

Oleh: Siti qomariyah

 

A.    Kekhususan Penalaran Hukum

           Agar suatu keputusan atau produk hukum dapat diterima harus berdasarkan pada proses penalaran yang sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat muntlak. Disamping itu, ada kekhususan penalaran di bidang hukum, yaitu: pertama, harus bertumpu atau berdasar pada sistem hukum yang berlaku; kedua, harus sesuai dengan kerangka procedural yang didalamnya berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasioanal.  Dengan demikian suatu keputusan atau produk Hukum selalu terdiri dari 3 unsur yakni:

1. Unsur ilmu logika, misalnya metode deduksi dan induksi;

2. Unsur dialektika: materi hukum dan fakta-fakta kasus yang dijadikan dasar, bahkan terdapat proses pembandingan antara satu dasar hukum dan dasar hukum lainnya hingga pada akhirnya menemukan jawaban yang kuat

3. Unsur procedural, yaitu procedural yang ditetapkan dengan syarat-syrat yang rasioanal dan sengketa yang jelas.

Ke 3 unsur tersebut membentuk satu kesatuan landasan atau alasan yang mendasari suatu produk atau putusan hukum. Serangkaian alasan suatu produk hukum itu disebut dengan argumentasi hukum. Suatu argumentasi hukum bersifat masuk akal dan dalam koridor hukum yang berlaku serta sesuai dengan aturan prosedural.

Argumentasi hukum adalah substansi penalaran hukum (legal reasoning). Aktivitas penalaran hukum dapat dilakukan oleh banyak orang dari kalangan praktisi atau ahli hukum, tidak hanya oleh hakim karena suatu kasus yang dibawa ke persidangan adalah kasus yang telah melewati prosedur cukup panjang. Dalam proses menuju ke tahap persidangan ini ada begitu banyak pihak yang ikut menstrukturkan fakta yang terjadi, lalu menghubungkan struktur fakta itu dengan struktur norma hukumnya, agar peristiwa konkret itu dapat dikualifikasikan sebagai peristiwa hukum. Puncak dari proses penalaran hukum ini memang ada pada penalaran hukum yang dibuat oleh hakim di dalam putusannya, sehingga tidak mengherankan apabila legal reasoning kerap diidentikkan dengan judicial reasoning. Di luar itu argumentasi hukum bisa dilakukan oleh kalangan pengamat hukum, pemerhati dan peneliti hukum, akademisi bidang hukum.

 

B. Penalaran Metode Silogisme

Bentuk konkret dari argumentasi hukum dapat dilihat dari praktik penalaran hukum dengan metode silogisme (inferensi deduktif). yang merupakan salah satu bentuk berfikir deduktif. Silogisme  dalam  logika  tradisional  digunakan  sebagai  bentuk  standar  dari  penalaran  deduktif.  Aristoteles  dalam  bukunya  Analitica  Priora  menyebut penalaran deduktif dengan istilah silogisme. Aristoteles mendefinisikan silogisme sebagai argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang dihadapi Maka Silogisme adalah suatu bentuk penarikan konklusi secara deduktif berdasar premis-premis

Silogisma sebagai bentuk deduktif terdiri dari kalimat-kalimat pernyataan, yang dalam logika disebut proposisi. Silogisme   terdiri  atas  tiga  proposisi.  Dua  proposisi  yang  pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai konklusi.

Setiap proposisi yang berposisi dalam silogisma terdiri dari terma/term, yakni  kata atau sekumpulan kata yang telah disepakatkan bersama sebagai suatu simbol yang merepresentasikan suatu Subyek atau predikat. Term merupakan unsur pembentuk suatu Proposisi. Dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan dengan ‘pengertian‟ atau ‘konsep’. Premis  yang  di  dalamnya  terdapat  term  mayor  dinamai  premis  mayor,  dan  premis  yang di dalamnya terdapat term minor dinamai premis minor. Dalam bentuk silogisme,  premis  mayor  diberikan  mula-mula  dan  sesudah  itu  diikuti  oleh  premis minor.

Silogisme terdiri dari tiga term yang ada di 3 proposisi, yaitu term minor/ subjek (S), term mayor/predikat (P), dan term medius (M). Term medius berperan sebagai  penghubung  antara  premis  mayor  dengan  premis  minor  di  dalam  menarik konklusi, dan  term medius itu tidak boleh muncul pada konklusi. Silogisme ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengetahui sesuatu secara logika.

Contohnya: :

-Semua manusia yang ada akan mati (proposisi premis mayor).

-Sally adalah manusia (proposisi premis minor)

-Oleh karena itu, Sally akan mati (proposisi konklusi)

            Sally sebagai subyek (S)

Semua manusia sebagai medius (M)

Akan mati sebagai predikat (P)

Term medius (M) berkedudukan sebagai subyek di dalam premis mayor, dan berkedudukan sebagai predikat dalam premis minor.

Maka bentuknya adalah :        M  –  P     

S  –   M

S  –   P

Contoh lainnya:

-Barang siapa mengambil barang milik orang lain secara melawan hak akan dipidana penjara   karena pencurian setinggi-tingginya 5 tahun

-Maling mengambil barang milik orang lain secara melawan hak

-Maka maling akan dipidana penjara karena pencurian setinggi-tingginya 5 tahun

 

Ciri-ciri silogisme yang membedakannya dari jenis penarikan konklusi lainnya adalah:

1.   Konklusi dalam  silogisme  ditarik  dari  dua  premis  yang  serentak  disediakan,  bukan dari salah satu premisnya saja. Konklusinya tidaklah merupakan penjumlahan premis-premis itu, tetapi merupakan sesuatu yang dapat diperoleh bila kedua premis itu diletakkan serentak. Ciri-ciri  ini  membedakan  silogisme  dari  bentuk-bentuk  penarikan  konklusi  langsung  dan bentuk-bentuk penarikan konklusi tak langsung lainnya.

2.   Konklusi dari suatu silogisme tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum daripada premis-premisnya. Silogisme  adalah  suatu  jenis  penarikan  konklusi  secara  deduktif  dan  penarikan  konklusi  secara  deduktif  konklusinya  tidak  ada  yang  lebih  umum  dari  premis-premis yang disediakan itu.

3.   Konklusinya benar, bila dilengkapi dengan premis-premis yang benar. Suatu  hal  yang  penting,  pada  silogisme  dan  pada  bentuk-bentuk  inferensi  deduktif  yang lain, persoalan kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis tak pernah timbul, karena  premis-premis  selalu  diambil  yang  benar;  akibatnya  konklusi  sudah  diperlengkapi dengan  hal-hal  yang  benar.  Dengan  kata  lain,  silogisme  tinggal  hanya  mempersoalkan kebenaran  formal  (kebenaran  bentuk)  dan  tidak  lagi  mempersoalkan  kebenaran  material (kebenaran isinya).

 

C.    Silogisme Dalam Hukum: Penalaran berbasis Undang-Undang

 

            Dalam bidang hukum premis mayor biasanya diambil dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sumber hukum lain yang otoritatif. Oleh karena itu penalaran model silogisme atau deduktif dalam bidang hukum sering dimaknai sebagai penalaran berbasis peraturan perundang-undangan.

 

Pemilihan sumber hukum ini tidak datang begitu saja tiba-tiba. Pilihan itu ditentukan secara sadar mengikuti faktanya atau realita kasus hukumnya. Jadi, fakta kasuslah yang menentukan rujukan hukumnya (ius in causa positium) bukan sebaliknya.

 

Persoalannya, Silogisme dengan premis mayor berupa peraturan perundangan memiliki beberapa problem praktik, diantaranya:

 

1. Problem konseptual, yaitu tatkala suatu norma hukum dijadikan sebagai premis mayor, maka ia merupakan sebuah proposisi. Di dalam proposisi ada konsep-konsep hukum yang dijalin. Ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) kerap mengajarkan bahwa proposisi ini sudah tersedia di dalam hukum positif. Kenyataannya tidak selalu  demikian. Hukum positif terkadang hanya menyediakan sebutan konsep-konsep hukum atau istilah-istilah hukum, tetapi tidak sampai memberikan definisi yang tegas, apalagi sampai menyediakan penafsiran yang jelas untuk konsep-konsep itu. Padahal pemahaman atas proposisi pada sebuah premis mayor adalah yang paling menentukan di dalam sebuah silogisme. Sebab silogisme adalah proses bernalar dengan sistem logika tertutup (closed logical system), yang tunduk pada dalil-dalil berupa proposisi-proposis yang menjadi tumpuhan di dalam silogisme.

Setiap produk hukum terdiri dari banyak silogisme. Banyaknya silogisme yang dibangun sangat bergantung dari seberapa banyak unsur-unsur yang harus dibuktikan keterpenuhan faktanya oleh penalar hukum. Misalnya, di dalam berbagai pasal ada kata “barangsiapa” (dewasa ini digunakan nomenklatur “setiap orang”). Kata “barangsiapa” ini pada hakikatnya merupakan sebuah konsep hukum, yang termasuk dalam subjek norma. Subjek norma adalah unsur norma yang harus dibuktikan keterpenuhannya. Misalnya, kita ingin mencari jawaban apakah seorang pelaku bernama “X” dalam tindak pidana telah memenuhi unsur “barangsiapa”. Untuk itu, sekalipun tidak secara eksplisit dan rigid dirumuskan di dalam suatu putusan, akan terkandung di dalamnya struktur yang menunjukkan silogisme yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa “X” adalah “barangsiapa” dalam perkara itu atau bukan “barangsiapa”. Kesimpulan itu sangat bergantung pada seperti apa rumusan proposisi yang dibangun dalam premis mayor. Redaksional dari proposisi ini terkadang dapat ditemukan di dalam produk hukum positif (antara lain di dalam ketentuan umum sebuah peraturan perundang-undangan), tetapi sangat mungkin juga harus didatangkan melalui bantuan doktrin-doktrin hukum.

Premis mayor

Subjek hukum yang mampu dimintakan pertanggungjawaban secara hukum mengemban hak dan kewajiban adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP.

Premis minor

Terdakwa “X” adalah subjek hukum yang mampu dimintakan pertanggungjawaban secara hukum mengemban hak dan kewajiban.

Konklusi

Terdakwa “X” adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP.

 

Masyarakat dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum berkembang sangat dinamis, ada kemungkinan pembentuk hukum sengaja tidak membuat definisi konseptual atas suatu unsur di dalam norma secara jelas agar penafsir dapat terus mengaktualisasikannya mengikuti perkembangan zaman. Pasal-pasal tentang pelanggaran kesusilaan di dalam KUHP adalah contoh yang klasik untuk disebutkan di sini. Apa yang dimaksud dengan ‘pelanggaran kesusilaan’ tampak sengaja dibiarkan “mengambang” sesuai dengan persepsi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Model perumusan norma seperti ini membuat para penalar hukum sangat bergantung pada persepsi sosiologis yang ada di lapangan. Persepsi ini kadang menjadi subjektif karena pelanggaran kesusilaan bagi suatu golongan masyarakat, belum tentu dipersepsikan sama oleh golongan masyarakat lainnya. Apalagi jika pelaku yang diduga melanggar pasal tersebut adalah figur yang menarik perhatian publik, maka dapat dipastikan gaung dari kasus ini akan lebih berdampak sosial dan politis daripada pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak mendapat sorotan publik.

Sebagai contoh pasal tentang Penodaan Agama, pasal yang digunakan dalam penuntutan kasus-kasus penodaan agama selama ini adalah Pasal 156a KUHP, sebuah pasal yang baru disisipkan ke dalam kodifikasi itu 20 tahun setelah Indonesia merdeka, melalui Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Pasal 156a KUHP ini selengkapnya berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika dianalisis, maka Pasal 156a tersebut terdiri dari norma sekunder, yang diletakkan pada awal pasal, baru kemudian diikuti dengan norma primer. Akibat hukum atau ancaman sanksi yang dikenakan terhadap perbuatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Rumusan ini merupakan norma sekunder, yang berarti baru muncul apabila unsur-unsur di dalam norma primer terpenuhi. Norma primernya sendiri terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 

Subjek norma

Barangsiapa;

Operator norma

dilarang;

Objek norma

mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;

Kondisi norma umum

dengan sengaja, di muka umum;

Kondisi norma khusus (a)

perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

Kondisi norma khusus (b)

perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Putusan hakim biasanya cenderung untuk langsung membangun silogisme terhadap unsur demi unsur di atas, walaupun tidak semuanya dilakukan secara berurutan.

Subjek Norma

Unsur subjek norma ini diwakili oleh kata “barangsiapa”. Unsur ini merupakan sasaran dari norma itu (normaddressaat). Biasanya, unsur ini dimaknai sebagai pelaku individu yang dijadikan sebagai terdakwa, kendali Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965 sebenarnya memungkinkan ada subjek lain, yaitu organisasi, untuk juga dijadikan subjek norma. Apabila Pasal 156a KUHP ini dibaca sebagai ketentuan yang identik dengan Pasal 4 Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965, maka unsur ini memungkinkan untuk diperluas cakupannya, sehingga meliputi orang perseorangan dan organisasi/badan.

Operator Norma

Operator norma kerap disebut sebagai modus perilaku (modus van behoren). Dalam sistem hukum yang mengikuti tradisi hukum Barat, operator norma yang umum adalah perintah dan larangan. Operator lain adalah kebolehan, yang dibedakan menjadi kebolehan untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang, disebut izin; dan kebolehan untuk tidak melakukan sesuatu yang secara uum diperintahkan, yang disebut dispensasi. Dalam rumusan Pasal 156a KUHP, sangat jelas bahwa ada perilaku yang diancam dengan sanksi pidana, sehingga berarti perilaku itu bermoduskan larangan.

Objek Norma

Oleh karena ilmu hukum dogmatis adalah ilmu yang berkenaan dengan aturan manusia berperilaku, maka objek norma (normgedrag) adalah formulasi perilaku. Formulasi perilaku yang dimaksud adalah: “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.” Ada uraian tambahan dari perilaku “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan” ini, yang sebenarnya masuk ke dalam kategori berikutnya dari analisis struktur norma, yakni kondisi norma (normconditie). Jadi, kondisi norma di sini sebenarnya adalah kondisi yang memperjelas objek norma.

Kondisi Norma

Kondisi norma dalam Pasal 156a KUHP dirumuskan dalam dua kriteria. Ada kondisi norma yang secara umum berlaku untuk semua perilaku yang dimaksud dalam pasal ini. Kondisi itu adalah: “dengan sengaja” dan “di muka umum”.

Di samping itu, ada kondisi yang secara spesifik dibedakan untuk perilaku Pasal 156a huruf a dan Pasal 156a huruf b. Artinya, selain kondisi norma yang umum itu, masing-masing ada kondisi tambahan yang dipersyaratkan, bergantung pada huruf a atau huruf b yang dikenakan atas tuntutan perbuatan pidana tersebut.

 

Penerapan pada Beberapa Putusan

Ada fenomena menarik yang dapat diamati dari putusan-putusan pidana terkait Pasal 156a KUHP. Para hakim tidak mengalami kesulitan ketika membuat argumentasi untuk subjek norma dan operator norma. Titik krusial dari argumentasi hukum yang diperagakan oleh hakim, terletak pada unsur objek norma dan kondisi norma, yaitu tentang: “perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan ” perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Mari kita cermati beberapa putusan dari beberapa kasus berikut:

Nomor putusan

 

 

Terdakwa

Pertimbangan hakim terkait unsur “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”

3/Pid.B/2012/PN.Klt

 

(kasus: Amanat Keagungan Ilahi)

Andreas Guntur Wisnu Sarsono

 

 

 

·         Ajaran yang menyatakan saat ini ada wahyu selain yang disampaikan Allah kepada Nabi SAW sebagai nabi terakhir adalah penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia.

·         Praktik pengobatan dengan membawa nama dan ajaran AKI yang berdasarkan pertimbangan di atas adalah perbuatan penyalahgunaan agama Islam sekaligus permusuhan terhadap umat/pemeluk agama Islam.

·         Poster yang terkandung simbol-simbol agama Islam dan mengesankan seakan-akan seperti firman Allah merupakan tindakan menyesatkan dan menodai agama/kitab suci umat Islam.

·         Tindakan menyebarkan ajaran AKI dengan sengaja memasang poster ajaran AKI adalah perbuatan yang bersifat permusuhan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia.

06/Pid.B/2011/PN.Tmg

Antonius Ricmond Bawengan

·         Penyebaran buku-buku dan borsur ke rumah warga yang berisi pernyataan bahwa bangsa dan agama Arabi memiliki karakter yang ganas dan penuh tipu; serta setiap penganut Muhammad sudah ditetapkan mendatangi neraka, adalah menyimpang dari agama Islam serta penuh dengan penistaan dan penghinaan terhadap agama Islam.

·         Penyebaran buku-buku dan brosur tersebut kepada umat Islam merupakan upaya adu domba sehingga mengakibatkan permusuhan antar-umat beragama, mengancam keutuhan NKRI, serta melakukan perbuatan permusuhan terahdap agama ayang dianut di Indonesia, yakni agama Islam.

31/Pid.B/2016/Pn.Skg

Makmur bin Amir

·         Mengeluarkan perasaan adalah pengucapan, melalui kata atau kalimat, atau dapat pula dengan tulisan (dalam hal ini dilakukan dalam bentuk selebaran yang pada pokoknya mengatakan Allah sebagai teroris dan perbuatan Nabi Muhammad SAW memperisterikan banyak jada sebagai perbuatan najis yang tidak layak disandingkan dengan Allah SWT dalam dua kalimat syahadat).

·         Melakukan perbuatan adalah perilaku bersifat fisik, dengan wujud gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya menginjak kitab suci suatu agama.

·         Sifat permusuhan adalah isi pernyataan atau makna perbuatan yang dinilai oleh penganut agama yang bersangkutan sebagai memusuhi agamanya, sehingga timbul perasaan benci atau membenci atau amarah bagi umat agama yang bersangkutan (melanggar ketenangan dan ketenteraman batin dari pemeluk agama penduduk negara).

·         Penyalahgunaan adalah isi pernyataan (melalui perbuatan mengeluarkan perasaan) atau makna perbuatan yang dinilai oleh pemeluk agama yang bersangkutan sebagai menyalahgunakan agamanya, sehingga timbul rasa amarah, sakit hati, tidak puas (perasaan-perasaan yang menyakitkan, yang membuat terganggunya ketenangan rasa batin bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan).

1537/Pid.B/2016/PN.

Jkt.Utr.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok

· Surat Al Maidah 51 adalah bagian dari Al Quran yang dijaga kesuciannya serta diyakini kebenarannya oleh umat Islam, sehingga siapapun yang menyampaikan ayat Al Quran sepanjang disampaikan dengan benar, maka hal itu tidak boleh dikatakan membohongi umat atau masyarakat.

· Ucapan terdakwa di hadapan warga masyarakat Kepulauan Seribu telah merendahkan, melecehkan dan menghina Kitab Suci Al Quran yang merupakan Kitab Suci agama Islam.

· Ucapan terdakwa “Jangan percaya sama orang… dibohongi pakai Surat Al Miadah 51 macam-macam itu,” adalah ucapan yang pada pokoknya telah mengandung sifat penodaan terhadap agama Islam sebagai  salah satu agama yang dianut di Indonesia.

 

Melalui metode analisis isi kualitatif (qualitative content analysis) terhadap empat contoh putusan di atas, terlihat bahwa majelis hakim tidak berusaha untuk memberikan definisi konseptual mengenai “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.” Alih-alih untuk memberikan definisi konseptual, hampir semua putusan memilih untuk langsung menunjuk pada fakta hukum.

“Menimbang bahwa untuk membuktikan unsur tersebut, Majelis berpijak pada fakta hukum yang didapat di persidangan, yaitu bahwa terdakwa beserta kelompoknya atau pengikutnya telah memasang seluruh bosur… dst.”

Hanya satu putusan, yaitu putusan perkara  No. 31/Pid.B/2016/Pn.Skg yang terlacak mencoba membuat uraian makna konseptual terlebih dulu, sebelum masuk ke dalam uraian fakta. Namun, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena rumusan yang dibuat kembali terjebak pada cara perbuatan itu dilakukan, bukan menyentuh pada substansi dari unsur “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Untuk menentukan apakah isinya memang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan, hakim menyatakan sifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan itu dinilai berdasarkan sudut pandang subjektif penganut agama yang “diserang” bukan sudut pandang dari pelaku (terdakwa). Jadi Pasal 156a KUHP demikian pula pasal-pasal lain banyak yang membutuhkan kajian mendalam karena punya spektrum yang sangat rentan untuk ditarik-ulur mengikuti persepsi yang tengah berkembang dalam masyarakat. Hakim akan sangat mudah terjebak dalam pusaran tarik-menarik kepentingan yang tidak selalu konstruktif.

            Contoh problem konseptual juga terjadi dalam konteks hukum Islam, misalnya ayat tentang larangan riba ‘Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisakn atau membuat batasan yang termasuk riba sehigga mereka berbeda pandangan tentang status bunga bank. Dalam hukum waris ulama berbeda tentang pengertian ‘walad’ dalam ayat ‘inim ruun halaka laisa lahu walad…’ sehingga waris mereka yang tidak punya saudara laki-laki disikapi secara berbeda. Demikian pula dalam hukum pernikahan beberapa istilah seperti ‘arrijal qawwamuna alannisa, dlihar, talak kinayah’ memiliki tafsir yang berbeda-beda karena dipengaruhi perubahan zaman dan berhubungan dengan dengan perbedaan lokasi.

2. Problem Pemilihan Peraturan

Telah dikemukakan di atas bahwa pemilihan peraturan atau sumber hukum yang akan dijadikan premis mayor yang merupakan tumpuhan penyimpulan hukum ini tidaklah datang begitu saja. Pilihan itu ditentukan secara sadar utamanya mengikuti faktanya atau isu hukumnya. Jadi, faktalah yang menentukan hukumnya (ius in causa positium) bukan sebaliknya. Kelengkapan fakta dan interpretasi fakta akan menentukan penggambaran perkara hukum atau isu hukum yang dihadapi. Penggambaran isu hukum yang keliru atau pengungkapan fakta yang kurang lengkap akan menimbulkan kekeliruan memilih rujukan peraturan. Dengan kalimat lain, narasi isu hukum dan fakta-fakta akan menentukan pilihan peraturan yang akan digunakan sebagai tumpuhan kongklusi.

Misalnya:

a- untuk menentukan hukuman bagi seorang yang terkena narkoba apakah dipidana atau di rehabilitasi. Menarasikan pengguna narkoba sebagai pelanggar hukum Negara dapat menyebabkan dipidana, sedangkan jika menarasikannya sebagai korban lingkungan ia bisa tidak dipidaha melainkan direhabilitasi.

b-untuk menentukan hukuman bagi seseorang yang menabrak sesama pengguna jalan hingga yang ditabrak meninggal dunia, jika yang menabrak terbukti ada motif atau sengaja menabrak maka padanya dihukum seperti pembunuhan sengaja pada umumnya, namun jika dinarasikan dengan menyembunyikan faktor kesengajaan ia akan dihukum ringan seperti penabrak tidak sengaja.

c.-seorang pejabat Negara yang melakukan kesalahan penganggaran yang potensi merugikan Negara, jika dilihat sebagai abuse of power berarti korupsi maka dapat menyebabkannya di penjara, namun jika dilihat sebagai ketidak sengajaan yang dapat dibetulkan maka ia cukup diperkarakan di PTUN lalu administrasinya dibatalkan tanpa menghukum yang bersangkutan

d. -dalam hukum islam apakah transaksi asuransi kesehatan itu sah atau tidak, jika merujuknya pada prinsip jual beli maka tidak sah karna membayar sesuatu yang tidak selalu ada timbal baliknya, namun jika rujukannya adalah prinsip gotong royong maka transaksi itu sah karena gotong royong tidak selalu memperoleh balasan dan diperuntukkan mereka yang membutuhkan saja

e. -jual beli barang tambang yang belum dieksplorasi apakah sah atau tidak, jika melihatnya barang tambang tersebut belum bisa diukur jumlahnya berari ada ghoror maka tidak sah, jika melihatnya barang tambang itu sekalipun masih dalam tanah sudah bisa dihitung menurut ilmu geologi dll maka hukumnya sah karena tidak ada kesamaran.

f. –apakah boleh memberikan zakat kepada Bani Hasyim keturunan Nabi SAW yang tidak mampu ditengah ada hadis yang melarang itu, jika melihatnya sisi Bani Hasyimnya tidak boleh, namun jika melihatnya dari sisi ketidak mampuannya maka dibolehkan sebagaimana pandangan hanafiyah.

Disamping itu dapat muncul problem pemilihan peraturan yang disebabkan oleh kondisi peraturan itu sendiri yang tidak singkron satu sama lain, sehingga penalar harus memilih sumber hukum atau rujukan peraturan yang tepat bagi kasus yang dihadapi dari peraturan-peraturan atau sumber-sumber hukum tersebut  Contohnya, semua yang ada dalam qaidah muhtalaf alaih dimana dalam melihat suatu perkara hukum memiliki dua model penyelesaian maka itu termasuk dalam kajian ini. Penalar harus memilih rujukan mana diantara dua alternative. Peraturan-peraturan yang bersifat khusus dengan yang umum juga untuk dipilih yang lebih relevan. 

 

D.    Bentuk-Bentuk dan Ragam Silogisme:

 

Dalam silogisme  ada lambang-lambang:

1.       M  (Medium) dipakai  untuk  menunjukkan  term penengah/term mayor/subyek dalam premis mayor,

2.      S (subjek) menunjukkan term minor/ subjek dalam premis minor/ berupa kasus-kasus yang dihadapi

3.      dan P (Predikat) predikat untuk term mayor.

 

1.      Silogisme  dibedakan  menurut  bentuknya,  berdasarkan  pada  kedudukan  term  tengah  (M) di dalam proposisi. Terdapat empat bentuk silogisme, yaitu: Bentuk I, Bentuk II, Bentuk III, dan Bentuk IV.

 

a.      Bentuk I (Silogisme Sub-Pre)

Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek di dalam premis mayor, dan berkedudukan sebagai predikat dalam premis minor.

 

Misalnya:       

M  : Term/terma Medius/Medium/penengah,  Misal : birokrasi

P  : Term Mayor/Predikat Misal, : Pelayan Publik

S  : Term Minor/Subjek,  Misal : Kantor Pajak

Premis Mayor  (M-P): Semua birokrasi adalah pelayan public/

semua obat atau makanan yang telah lulus uji denpom itu layak dikonsumsi dan boleh diedarkan

Premis Minor  (S-M): Kantor pajak adalah birokrasi/

vaksin covid itu telah lulus uji denpom

Silogisme  (S-P): Kantor pajak adalah pelayan public/

vaksin covid itu itu layak dikonsumsi dan boleh diedarkan

 

Maka bentuknya adalah dengan model:         M  –  P     

S  –   M

S  –   P

 

b.      Bentuk II (Silogisme Bis-Pre)

Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat, baik di dalam premis mayor maupun di dalam premis minor.

 

Misalnya:

Premis Mayor  (P-M) :  layak dikonsumsi dan boleh diedarkan, semua obat atau makanan

                                       yang telah lulus uji denpom itu/

   akan dihukum maks 5 tahun, barang siapa menodai agama orang lain

Premis Minor (S-M) : vaksin covid itu telah lulus uji denpom

penyebar aliran Amanat Keagungan Ilahi telah menodai agama islam

Silogisme  (S-P):       vaksin covid itu itu layak dikonsumsi dan boleh diedarkan

penyebar aliran Amanat Keagungan Ilahi akan dihukum maks 5 tahun

Maka bentuknya adalah dengan model          P   –  M     

S  –  M

S   –  P

 

c.       Bentuk III (Silogisme Bis-Sub)

Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek, baik di dalam premis mayor maupun di dalam premis minor.

 

Misalnya:

Premis Mayor  (M-S): Pembuat kebijakan adalah administrator public/

Manusia itu mahluk hidup/perkawinan yang tidak dicatatkan itu perkawinan sirri

Premis Minor (M-P): Pembuat kebijakan adalah pelayan public/

Manusia itu akan mati/ perkawinan yang tidak dicatatkan itu tidak bisa mengurus urusannya di pengadilan

Silogisme   (S-P):       Administrator publik adalah pelayan public

Mahluk hidup itu akan mati/ perkawinan sirri itu tidak bisa mengurus urusannya di pengadilan

 

Maka bentuknya adalah dengan model:        M   –  S     

                        M   –  P

S  –  P

 

d.      Bentuk IV (Silogisme Pre-Sub)

Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat di dalam premis mayor, dan berkedudukan sebagai subyek dalam premis minor.

Misalnya:

Premis Mayor  (S-M): perkawinan sirri itu perkawinan yang tidak dicatatkan

Premis Minor (M-P): perkawinan yang tidak dicatatkan itu tidak bisa mengurus urusannya di  pengadilan

Silogisme  (S-P) : perkawinan sirri itu tidak bisa mengurus urusannya di pengadilan

 

Maka bentuknya adalah dengan model:        S  –  M     

M  –  P

S  –  P

 

2.      Selanjutnya secara umum ada dua macam silogisme, yaitu silogisme kategoris dan silogisme hipotesis..

3.       

a.      Silogisme kategoris adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi ketegori/penggolongan. Silogisme yang dijelaskan di atas adalah silogisme kategoris. Misalnya, semua manusia hidup akan mati, Amir adalah manusia, maka Amir akan mati.

Silogisme ini dapat dibedakan menjadi:

1- Silogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis; - 2. Silogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis.

b.      Silogisme hipotetis adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi  hipotetis (jika-maka). Misalnya, jika hujan, kita memakai payung, ini hujan, maka kita memakai payung/ kalau seseorang itu memenuhi syarat poligami, maka seseorang boleh melakukan poligami, Amir memenuhi syarat tersebut, maka ia diijinkan melakukan poligami/ apabila suatu transaksi sudah memenuhi syarat keabsahannya, maka transaksi itu sah, transaksi ini sudah memenuhi semua syarat rukunnya, maka transaksi ini sah.

Silogisme ini juga dapat dibedakan menjadi:

1.      - Silogisme hipotetis kondisional, yang ditandai dengan ungkapanungkapan: ‘jika… maka…dengan contoh seperti tersebut di atas

2.      - Silogisme hipotetis disyungtif, yang premis mayornya berupa proposisi disyungtif, baik yang berupa ungkapan alternatif positif (…. atau ….) yaitu yang premis minornya mengakui salah satu pilihan; misalnya Amir diantara dua kemungkinan di Jakarta atau di Pekalongan, Amir ternyata di pekalongan, maka Amir tidak di jakarta- atau yang berupa ungkapan: alternative negative yakni yang premis minornya mengingkari salah satu pilihan Misalnya dalam contoh di atas: Amir ternyata tidak di Jakarta, jd dia di pekalongan

 

E.     Silogisme tidak Beraturan

 

Ada beberapa Silogisme yang tidak mengikuti ketentuan silogisme tersebut di atas. Silogisme demikian disebut silogisme tidak beraturan atau silogisme tidak standar, yaitu sebagai berikut:

 

1.      Entimen/Entimema

Entimema adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis minor dan kesimpulan saja, yakni ada satu premis yang tidak dinyatakan. Contoh: PKI adalah berhaluan komunis, maka PKI tidak boleh berkembang di negara Pancasila. Contoh tersebut yang tidak disebutkan adalah pada premis mayor “Komunis tidak boleh berkembang di negara Pancasila”

2.      Epikheirema/ Epikirema

Epikheirema adalah suatu bentuk silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan alasan. Premis yang disertai dengan alasan itu sebenarnya merupakan kesimpulan dari silogisme itu sendiri. Contoh: Semua pemimpin partai terlarang bersifat pasif, karena mereka dilarang melakukan kegiatan politik. Hasan adalah pemimpin partai terlarang. Jadi Hasan adalah bersikap pasif.

3.      Sorites

Sorites adalah suatu bentuk silogisme yang premisnya saling berkaitan lebih dari dua proposisi, sehingga kesimpulannya berbentuk hubungan antara salah satu term proposisi pertama dengan salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding. Contoh: Manusia itu berakal budi. Berakal budi itu berbudaya. Berbudaya itu perlu makan. Makan memerlukan barang. Jadi manusia memerlukan barang.

4.      Polisilogisme

Polisilogisme adalah suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme, sehingga kesimpulan silogisme sebelumnya selalu menjadi premis pada silogisme berikutnya. Contoh: Jika Farhan adalah seorang raja, dan raja adalah manusia, maka Farhan adalah manusia, dan manusia adalah berakal budi, maka Farhan adalah berakal budi, dan berakal budi adalah memerlukan makan, maka Farhan memerlukan makan.

 

F.     Ketentuan Penarikan kesimpulan Silogisme

 

Terdapat 8 kaidah atau ketentuan yang berlaku dalam penyusunan silogisme kategoris. Masing-masing 4 menyangkut term, dan 4 menyangkut proposisi. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Menyangkut term-term.

a.    Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan.

b.Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan, term-antara/medium/tengah (M) hanya berguna dalam premis-premis saja. Term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis.

c. Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau dalam premis-premis particular.

d.Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara itu particular baik dalam premis major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya.

2.      Menyangkut proposisi

a. Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya harus afirmatif dan positif pula.

b.Kedua premis tidak boleh negatif, sebab term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung atau pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara (M).

c. Kedua premis tidak boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus universal.

d.Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negatif adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan afirmatif atau positif. Oleh karena itu:

·   Jika satu premis partikular, kesimpulan juga partikular;

·   Jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif;

·   Jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus negatif dan partikular.

 

 

Pengayaan Materi dalam Rimgkasan

 

NALAR DEDUKSI

Sering Disebut SILOGISMA

  Silogisma terdiri dari kalimat-kalimat pernyataan, yang dalam logika

disebut PROPOSISI

 Unsur setiap Proposisi yang berposisi / dapat berdiri sendiri

disebut TERM/TERMA

 

SILOGISMA  DEDUKSI

 Silogisma berfungsi sebagai formula proses pengambilan kesimpulan atau pembuktian benar-salahnya suatu pendapat, tesis, atau juga hipotesis tentang masalah tertentu dengan mendasarkan pada pengetahuan/dalail yang diketahui sebelumnya

PREMIS

 Dua Proposisi pertama disebut PREMIS

 Proposisi pertama, karena menyatakan hal/keadaan yang umum (semua manusia mesti akan mati)  atau suatu prinsip/norma umum (siapapun yang mencuri akan dipenjara) disebut PREMIS MAYOR

 Proposisi kedua, karena menyatakan peristiwa/kenyataan khusus (“aktivis mahasiswa adalah manusia”, “maling mencuri”) disebut PREMIS MINOR

KONKLUSI

 Proposisi ketiga, yang menutup proses penalaran deduktif dan merupakan konsekuensi logis akibat adanya hubungan antara premis mayor dan premis minor disebut KONKLUSI

TERMA

 Kata atau sekumpulan kata yang telah disepakatkan bersama sebagai suatu simbol yang merepresentasikan suatu Subyek atau obyek (obyek benda/obyek persitiwa) disebut TERMA

 Terma merupakan unsur pembentuk („the building bocks‟) suatu Proposisi

 Dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan dengan „pengertian‟ atau „konsep‟

 Berdasarkan posisinya terma dibedakan menjadi 3 : terma mayor; terma minor; dan terma tengah.

 Untuk memudahkannya, ada pemberian kode yang lazim digunakan:

1. Terma Mayor : „T‟ (t-besar) atau P  (predikat)

2. Terma Minor : „t‟ (t-kecil) atau S (subyek)

3. Terma Tengah : M (medium)

 Terma ‘T’ atau ‘P’ (Mayor) Adalah serangkaian kata-kata yang umumnya berfungsi predikat dan mesti dijumpai dalam premis mayor dan dalam Konklusi.

 Contoh: • “Saatnya nanti akan mati” • “Akan dipidana penjara karena  pencurian    setinggi-tingginya 5 tahun”

 Terma ‘t’ atau ‘S’ (Minor) Adalah subyek atau pokok kalimat yang terdapat di premis minor  dan Konklusi.

 Contoh: •“Sally’ •“Maling”

 Terma ‘M’ (Tengah/Medium) Adalah terma yang didapati sebagai subyek dalam premisa mayor dan premisa minor tetapi TIDAK lagi didapati dalam kalimat proposisi Konklusi.

 Contoh: •Semua manusia •Barang siapa mengambil barang milik orang lain secara melawan hak

Contoh Silogisme

 Semua aturan hukum yang dibuat pemerintah harus dipatuhi

 UU Lalu Lintas merupakan aturan hukum yang dibuat pemerintah

 Maka UU Lalu Lintas haruslah dipatuhi

Contoh lain

 Demi kemajuan pendidikan, seluruh mahasiswa mentaati kewajiban membayar SPP tepat waktu dan kuliah rajin.

 Anwar dan kawan-kawannya adalah mahasiswa.

 Maka, demi kemajuan pendidikan tinggi, Anwar dan kawan-kawannya selalu mentaati kewajiban membayar SPP tepat waktu dan kuliah rajin.

 

Contoh lainnya

 Semua tindakan pelanggaran hukum (M) – mestilah berakibat pemidanaan (T)  Semua tindakan pengambilan barang milik oranglain secara melawan hak (t) adalah tindak pelanggaran hukum (M)

 Maka, semua tindak pengambilan barang milik orang  lain secara melawan hak (t) mestilah berakibat pemidanaan (T)

SIFAT PROPOSISI: AFFIRMATIO & NEGO

 (A)ff(i)rmatio : „mengiyakan‟ , kode A & I  N(e)g(o) : „menidakkan‟, kode E & O  Kedua kata ini (affirmation & nego) digunakan untuk menyatakan apakah dalam setiap premis suatu terma „M‟ atau „t‟ itu memang benar terbilang kedalam kelas terma „T/P‟.  Pernyataan positif : M = T/P atau S = T/P      A  Pernyataan negatif : M ≠T/P atau S ≠ T/P      E

Proposisi Universal & Partikular/Singular 1. Bila proposisi universal (semua/tidaksemua)  Pernyataan positif : M = T/P atau S = T/P      A  Pernyataan negatif : M ≠T/P atau S ≠ T/P      E

2. Bila proposisi partikular/singular (beberapa, sebagian, individu, dll.)  Pernyataan positif : M = T/P atau S = T/P      I  Pernyataan negatif : M ≠T/P atau S ≠ T/P     O

Contoh

 Tidak semua usulan masyarakat serta merta menjadi kebijakan pemerintah  Semua yang dibahas dalam rapat gerakan anti korupsi merupakan usulan masyarakat  Tidak semua dibahas dalam rapat gerakan anti korupsi serta merta menjadi kebijakan pemerintah

Contoh

 Semua pejabat negara seharusnya menyerahkan daftar kekayaan pada KPKPN  Beberapa menteri kabinet SBY yang tidak mau diaudit merupakan pejabat negara.  Maka, beberapa menteri kabinet SBY yang tidak mau diaudit seharusnya menyerahkan daftar kekayaan  pada KPKPN

 SifatProposisi: AOO

Contoh

 Semua anggota DPR yang tahu kode etik harus bekerja tanpa mau disuap uang oleh siapapun  Marzuki Ali sebagai pimpinan adalah anggota DPR yang tahu kode etik  Oleh sebab itu, Marzuki Ali sebagai pimpinan harus bekerja tanpa mau disuap uang oleh siapapun

 Sifat proposisi: AII

Contoh

 Setiap warga negara yang baik wajib mendukung upaya pemerintah dalam pembangunan  Petani Kedungombo merupakan warga negara yang baik  Maka, petani kedungombo wajib mendukung upaya pemerintah dalam pembangunan

 Sifat proposisi: “AII”  Tetapi nyatanya bisa: “EIO”. Mengapa?

Contoh

 Dalam sistem negara hukum, semua warga negara Indonesia harus dianggap tahu peraturanperundangundangan yang berlaku.  Cak Semin yang buta huruf, belum pernah mengenyam sekolah, dan tinggal jauh dipedalaman adalah warga negara Indonesia  Jadi, dalam sistem negara hukum, Cak Semin yang buta huruf, belum pernah mengenyam sekolah, dan tinggal jauh dipedalaman harus dianggap tahu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

LOGIKA DEDUKSI MENGHASILKAN KEBENARAN YG BERSIFAT FORMAL

=====================================================

Beberapa rujukan

Surajiyo. 2006. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara

Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, Mhum dan Lego Karjoko, SH, MH,  Penalaran Hukum,

www.jamalwiwoho.com  

Hadjon, Philipus M dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005. Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

-------, 2009Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum , Bali Age, Denpasar.

Anonim. 2014. Modul Silogisme Kategoris. Yogyakarta: Staff UNY

Alex Lanur. 1983, Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.

W. Pespoprodjo dan T. Gilareso. 2011, Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. Bandung: Pustaka Grafika,.

 

 

 

Lebih baru Lebih lama