IJTIHAD
HAKIM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak periode awal sejarah
perkembangan Islam, perilaku kehidupan kaum Muslimin dalam keseluruhan aspeknya
telah diatur oleh hukum Islam.[1] Al
Qur’an awalnya
diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian
tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Dan seiring dengan berkembangnya Islam
keberbagai penjuru, maka muncul pula persoalan-persoalan baru yang berbeda
dengan persoalan yang dihadapi kaum muslimin dimasa Rasulullah. Sedangkan
al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum terinci, sementara sunnah
Rasulullah/ Hadis terbatas pada kasus-kasus yang terjadi dimasanya, maka untuk
memecahkan persoalan-persoalan baru, diperlukan ijtihad. Semangat ijtihad
senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha’ meskipun diantara mereka itu ada yang
lebih memilih status quo.
Timbulnya penemuan-penemuan baru
yang merubah sikap hidup dan menggeser cara pandang serta membentuk pola alur
berfikir, menimbulkan pula konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam kaitan tersebut, bagi seorang muslim persoalan-persoalan
baru yang muncul karena kemajuan IPTEK, tidak harus dihadapkan dengan
ketentuan-ketentuan nas secara konfrontatif, tapi harus dicari pemecahannya
secara ijtihadi. Dan ijtihad yang pernah dilakukan oleh Umar Ibn Khaththab
kiranya telah cukup memberikan semangat sebagai acuannya. Karena realita yang
ada sering terjadi bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum lebih cepat
laju jalannya dari pada perkembangan hukum itu sendiri. Dalam lembaga peradilan
juga sama, terkadang ada beberapa kasus yang tidak ada penjelasannya atau
petunjuknya dalam Al Qur’an dan Hadis, maka diperlukanlah adanya ijtihad oleh
Hakim. Menjadi hakim tidaklah mudah
dalam Islam. Dia haruslah seorang yang berilmu, jujur, berani dan istiqomah
dalam kebenaran, karena dia harus memutuskan perkara dengan ilmu dan kebenaran
yang hakiki. Begitu beratnya menjadi hakim, sampai Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam mengingatkan di dalam hadits yang bersumber dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau."Riwayat
Ahmad dan Imam Empat (Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasa’i).Hadits shahih
menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Hadits di atas mengingatkan kepada siapapun yang menjadi
hakim, bahwa tugasnya itu merupakan amanat yang sangat berat. Apabila ia mampu
memikulnya dengan benar, maka ia selamat, tetapi bila ia tidak mampu, bahkan
dia permainkan hukum itu dengan semena-mena dan tidak memutuskan dengan benar
maka ia telah menjerumuskannya kedalam jurang api neraka.
Oleh karena itu seorang hakim harus
dengan sungguh-sungguh menghakimi dengan hukum yang benar, sesuai dengan aturan
Allah dan Rasul-Nya serta Perundang-undangan. Karena apabila dia telah berusaha
dengan sungguh-sungguh, maka dia akan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.
Maka
dari itu dalam makalah ini penulis akan menjabarkan Hadis tentang ijtihad Hakim,
harapannya dengan makalah ini kita dapat mengetahui betapa tidak mudahnya mengadili
suatu perkara dalam sebuah Persidangan maka ada tahapan tahapan yang perlu kita
perhatikan . Dengan penyusunan makalah ini kami harapkan dapat menambah
wawasan bagi kami dan segenap pembaca pada umumnya agar nantinya dapat menjadi
ilmu yang berguna, karena kita merupakan mahasiswa hukum yang nantinya akan
menjadi aparat penegak hukum, sudah sepatutnya kita mengetahui Hadis tentang
Ijtihad dan etika tata cara dalam Profesi Hukum.
Adapun makalah
ini kami susun sebagai bentuk tugas kelompok dari mata kuliah Hadis Peradilan
di IAIN Pekalongan. Serta sebagai bahan diskusi dan kajian apabila terdapat kekurangan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Ijtihad dan
Syarat Ijtihad ?
2. Apa Makna Mufradat serta
Kualitas Hadis tentang Ijtihad ?
3. Apa Makana dan Kandungan
Hadis tentang Ijtihad Hakim ?
C. Maksud dan Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Definisi Ijtihad Hakim
2.
Untuk Mengetahui Makna Mufradat serta Kualitas
Hadis
3.
Untuk Mengetahui Makna Kandungan dalam Hadis
Ijtihad Hakim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ijtihad Hakim
Ijtihad adalah bentuk mashdar yang
berasal dari kata dasar “ijtihada”, artinya bersunguh-sunguh, berusaha keras,
atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah. Sedangkan menurut istilah, para
ahli ushul berbeda-beda dalam memberikan definisi, salah satunya adalah:
اَلاِجْتِهَادُ
بَذْلُ الْوُسْعِ فِى نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ بِطَرِيْقِ
اْلاِسْتِنْبَاطِ
Artinya: Ijtihad
adalah mencurahkan sekedar kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang
bersifat operasional (pengalaman) dengan cara mengambil kesimpulan hukum
(istinbath).[2]
Menurut
al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fukuhul, ijtihad adalah mengerahkan
kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara
istinbath. Menurut Ibnu Syubki, ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang
faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i, sedangkan al-Amidi memberikan
definisi ijtihad sebagai pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat
tentang hukum syara’ dalam bentuk dirinya merasa tidak mampu berbuat seperti
itu.
Dari beberapa
definisi di atas dapat diambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut:
1. Ijtihad
adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
2. Usaha
ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang
keilmuan disebut faqih.
3. Produk
atau usaha yang diperoleh dari ijtihad itu adalah dugaan kuat tentang hukum
syara’ yang bersifat ‘amaliah.
4. Usaha
ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.[3]
Berkaitan
dengan ruang lingkup ijtihad, Ali Hasballah berpendapat, bahwa ijtihad
mempunyai ruang lingkup yang luas, masalah-masalah yang tidak diatur secara
tegas dalam al-Qur’an dan sunnah dapat dilakukan ijtihad. Oleh sebab itu
menurut Ali Hasballah, ijtihad adalah sumber ketiga dalam pengembangan hukum
Islam.[4]
B. Syarat-Syarat Ijtihad
Menyadari bahwa ijtihad itu
merupakan kegiatan yang tidak mudah, maka para ahli ushul fiqh telah memberikan
beberapa syarat bagi orang yang akan melakukannya. Syarat-syarat itu
dikemukakan oleh mereka dengan penekanan yang berbeda.Namun demikian, ada juga
beberapa syarat yang telah disepakati oleh mereka.
Al-Ghazali telah mengemukakan
beberapa syarat bagi orang yang melakukan ijtihad. Secara garis besaria membagi
syarat ijtihad menjadi dua kelompok. Pertama,
syarat yang dikelompokkan sebagai syarat utama, yang meliputi penguasaan
terhadap materi hukum yang terdapat dalam sumber utama ajaran islam, berikut
bahasa Arab sebagai alat untuk memahami sumber ajaran tersebut. Kedua, syarat yang dikelompokkan sebagai
syarat pelengkap, yaitu mengetahui nasikh-mansukh,
baik untuk Al-Qur’an maupun Hadis, dan mengetahui cara untuk menyeleksi atau
mengklasifikasikan hadis sebagai sumber hukum. Al-Syaukani menekankan pada
adannya pengetahuan tentang ilmu ushul fiqh dan nasikh-mansukh sebagai syarat ijtihad.Kemudian Al-Syathibi
menambahkan syarat ijtihad lainnya, yaitu keharusan mengetahui maksud
disyariatkannya hukum dalam islam (maqashid
al-syari’at). Namun demikian, tidak berarti bahwa ahli ushul fiqh sebelum
beliau tidak meyinggung sama sekali tentang persyaratan ini. Al-Juwaini
membahas maqashid al-syari’at dalam
kaitannya dengan pembahasan ‘ilat dalam qiyas.Begitu juga muridnya, Al-Ghazali,
menempatkan maqashid al-syari’at dalam kaitannya dengan qiyas. Ada juga ulama
lain yang menjadikan ilmu kalam dan ilmu mantiq sebagai syarat berijtihad.
Agaknya syarat yang terakhir ini dapat digolongkan sebagai pra-syarat
(prerequisite) untuk berijtihad.[5]
C. Hadis Tentang Ijtihad
وَعَن عَمْرِوبْنِ الْعَاصِ رَضِيَ
اللّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ : (إِذَا حَكَمَ الْحَا كِمُ, فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ, وَإِذَاحَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ). مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ.
Artinya : Dari Amr bin Ash
RA bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang hakim menetapkan
hukum lalu berijtihad kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala, jika
ia menetapkan hukum lalu berijtihad kemudian ia salah, maka ia mendapatkan satu
pahala.” (Muttafaq ‘Alaih)[6]
D.
Makna Mufradat
Hakama:
Al hukmu secara bahasa berarti al man’u (melarang/menghalangi),
dikatakan: hakamtu‘alaihi bikadzaa (aku melarangnya dengan hal
itu).Secara istilah berarti menjelaskan dan menetapkan kewajiban hukum syar’i.
Fajtahada:
Al ijtihad secara bahasa berasal dari kata al
juhdu yaitu kesulitan dan kekuatan.
Secara istilah adalah pengerahan
kemampuan seorang ahli fikih untuk memperoleh hukum syar’I yang bersifat
perbuatan.
Akhtha’a: Al
Khata’ diakhiri dengan huruf hamzah secara
bahasa lawan kata dari benar.
Secara istilah bertujuan untuk
mengerjakan sesuatu lalu pekerjaan itu tidak sesuai dengan apa yang dituju.
Fajtahada:
diathafkan kepada syarat dengan penakwilan: ia ingin
menetapkan hukum lalu ia berijtihad.
Tsumma Ashaaba:
diathafkan kepada “Fajtahada.”
Fa Lahuu Ajraani:
Balasan dari syarat.
Hakama: Al hukmu
secara
bahasa berarti al man’u (melarang/menghalangi), dikatakan: hakamtu
‘alaihi bikadzaa (aku melarangnya dengan hal itu).
Secara istilah berarti menjelaskan
dan menetapkan kewajiban hukum syar’i.
Fajtahada:
Al ijtihad secara bahasa berasal dari kata al
juhdu yaitu kesulitan dan kekuatan.
Secara istilah adalah pengerahan
kemampuan seorang ahli fikih untuk memperoleh hukum syar’I yang bersifat
perbuatan.
Akhtha’a:
Al Khata’ diakhiri dengan huruf hamzah secara bahasa
lawan kata dari benar.
Secara istilah bertujuan untuk
mengerjakan sesuatu lalu pekerjaan itu tidak sesuai dengan apa yang dituju.
Fajtahada:
diathafkan kepada syarat dengan penakwilan: ia ingin
menetapkan hukum lalu ia berijtihad.
Tsumma Ashaaba:
diathafkan kepada “Fajtahada.”
Fa
Lahuu Ajraani: Balasan dari syarat.
a. Hal-Hal
Penting dari Hadist
1) Ijtihad
secara istilah adalah mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’I dengan
cara istinbath.
2) Dikatakan
dalam Syarh Al Iqna’, “Mujtahid mutlak adalah orang yang mengetahui
kitab Allah, sunnah Rasul SAW, hakekat dan majaz, perintah dan larangan, mujmal
dan mubayyan, muhkam dan mutasyabih, khash dan ‘amm,
mutlak dan muqayyad, naasikh dan mansuukh, mengetahui shahih
dan dha’if nya sunnah, serta mutawatir dan ahadnya, yaitu khususnya
yang berkaitan dengan hukum. Ia juga mengetahui bahasa Arab, semuanya itu
disebutkan dalam ushul fikih dan cabang-cabangnya.
3) Mujtahid
muqayyad yaitu orang yang memerhatikan perkataan imam dan pendahulunya,
Ia mengikuti para tokoh imam mazhabnya.
4) Syaikh
Taqiyyuddin berkata, “Syarat-syarat untuk seorang hakim ini dipertimbangkan
sesuai kemampuan.”
Dikatakan dalam Al Inshaf, “Hal itu
sudah dilaksanakan sejak dulu, jika tidak maka batallah hukum-hukum manusia.”
5) Syaikh
berkata, “Yang menjadi keharusan adalah ia hendaknya seorang yang berijtihad
dengan dalil-dalil syar’i dari kitab Allah dan Sunnah serta dalil-dalil itu
menjadi imamnya karena ia lebih dekat kepada member kefahaman dan lebih
mendekati kepada kebenaran sesuatu yang kehendaki. Barang siapa yang mengikuti
seorang Imam dan berbeda dengannya dalam sebagian masalah karena kuatnya suatu
dalil maka itu lebih baik.”
6) Syaikh
berkata, “Nash-nash syar’i itu berupa kata-kata yang singkat, permasalahan yang
global, kaidah yang umum yang menghalangi setiap orang yang alim untuk
menetapkan hukum yang kedua terhadap setiap individu sampai hari kiamat, maka
seorang hakim harus berijtihad dalam hal-hal yang detail: apakah hal ini
termasuk dalam kata-kata yang global atau tidak?.”
7) Dikatakan
dalam Syarh Al Iqna’, “Seorang imam (presiden) harus memilih orang yang
paling kuat ilmu dan kewara’annya (ketakwaannya) untuk jabatan hakim, karena
mendapatkan hukum syar’i itu merupakan cabang ilmu dan yang lebih utama adalah
yang paling kuat dan mampu.”
Seorang imam harus memerintahkannya untuk
bertaqwa kepada Allah, mendahulukan ketaatan kepada-Nya baik secara rahasia dan
terang-terangan, memerintahkannya untuk mencari keadilan, dan berijtihad dalam
menegakkan kebenaran, karena hal itu mengikatkannya terhadap apa yang wajib
dikerjakan.
8) Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata dalam menasihati seorang hakim: Aku
berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah, berhati-hatilan dalam
keputusanmu, bertanya tentang sesuatu persoalan yang sulit, melakukan
perdamaian ketika kamu menemukan caranya selama belum jelasnya hukum syar’i
sebagaiman kami mengingatkan keutamaan kalian bahwa menetapi dalam pekerjaan
kalian yaitu saling membantu dan menunaikan kewajiban merupakan jihad di jalan
Allah agar menetapi kesabaran serta penuh perhitungan, Allah tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang yang paling baik perbuatannya.”
9) Ibnul
Qayyim berkata, “Seorang mujtahid tidak disyaratkan mengetahui semua apa yang
disabdakan dan dikerjakan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum, akan
tetapi mengetahui mayoritas dan sebagian besarnya.”
10) Seorang
hakim jika mengerahkan upayanya dalam suatu permasalahan dan ia berijtihad
hingga ijtihadnya itu sampai kepada apa yang diyakini bahwa itu adalah
kebenaran dalam permasalahan ini, kemudian ia menetapkan hukum, jika hukumnya
tepat sesuai dengan kebenaran dan itulah yang dikendaki Allah dalam
hukum-hukumNya maka ia mendapatkan dua pahala. Pahala berijtihad dan pahala
kebenaran hasil ijtihadnya.
Jika ia berijtihad akan tetapi tidak
mencapai pada kebenaran maka ia hanya mendapat satu pahala saja yaitu pahala
berijtihad, karena ijtihadnya dalam mencari suatu kebenaran merupakan suatu
ibadah sekalipun ia tidak mencapai atau memperoleh pahala kebenaran hasil
ijtihadnya.
Akan tetapi ia tidak berdosa dengan hasil
ijtihadnya yang tidak benar setelah mengerahkan daya upayanya dan
kesungguhannya, maka gugurlah dosa dari kesalahannya, tetapi dengan syarat ia
adalah seorang yang alim dan ahli untuk berijtihad.
11) Pemahaman
terbalik dari hadist itu adalah bahwa seorang hakim jika tidak berijtihad
bahkan menetapkan hukum tanpa pertimbangan dan tidak mencari kebenaran maka ia
berdosa, karena tidak memutuskan hukum diantara manusia dalam kondisi tidak
mengetahui kebenaran, maka orang ini berada dalam api neraka.
12) Ibnul
Qayyim berkata: seorang hakim memerlukan tiga hal yang tanpanya suatu hukum
tidak sah, yaitu:
a. Mengetahui
dalil
b. Mengetahui
sebab
c. Mengetahui
bukti atau hujjah
Dalil-dalil: mengetahui hukum syar’i bukan
hukum yang umum.
Sebab-sebab: mengetahui kuat atau tidaknya
hukum syar’i pada pertimbangan ini.
Bukti atau hujjah: mengetahui metode suatu
hukum ketika terjadi perselisihan. Barangsiapa telah keliru pada salah satu
dari ketiga diatas maka ia berarti telah keliru dalam suatu hukum. Semua
kesalahan para hakim itu bertumpu kepada ketiga hal itu atau sebagainnya.
b.
Perbedaan Pendapat di
Kalangan Ulama
Para
ulama berbeda pendapat.Apakah setiap mujtahid itu benar, ataukah yang benar itu
hanya seorang, yaitu mujtahid yang sesuai dengan kebenaran menurut Allah,
sedangkan yang lain salah?
Sebagian
ulama berbeda pendapat bahwa kedua-duanya benar, karena Allah memberikan satu
pahala bagi satu mujtahid yang salah, seandainya ia tidak benar maka Allah
tidak memberikannya satu pahala
Jumhur
ulama berpendapat bahwa mujtahid yang benar hanya satu, yaitu yang sesuai
dengan kebenaran yang dikehendaki oleh Allah.Adapun pahala bagi mujtahid yang
salah maka hal itu hanya keantusiasannya kepada kebenaran dan kesungguhan dalam
mencari kebenaran.Pendapat yang tepat adalah bahwa mujtahid yang benar hanya
mendapatkan satu pahala.
Sedangkan
dalam konteks saat ini dalam konstitusi Hukum Indonesia Hakim tidak boleh
menolak menerima, memeriksa, mengadili serta memutuskan suatu perkara dengan
alasan bahwa tidak adanya hukum yang mengatur perkara tersebut, sebagaimana
yang tercantum pada Pasal 10 Undang-Undang RI. Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman perubahan atas Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan
Kehakiman tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak
mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum.[7]
F.
Asbabul Wurud
-
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis tentang ijtihad hakim diriwayatkan
oleh Amr bin al-Ash yang juga terkait langsung dengan sebab wurud hadis ini.
Amr bin al-Ash merupakan salah satu sahabat Nabi yang sering ditunjuk Nabi
untuk menyelesaikan beberapa kasus hukum. Nilai sebuah ijtihad yang dapat
mendatangkan kebaikan atau pahala apabila dilakukan oleh seorang hakim atau
mujtahid yang benar-benar kompoten dan bertanggungjawab terhadap hasil
ijtihadnya. Bila dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat maka hasilnya
tidak akan bernilai. Hadis ini memberi motivasi kepada para praktisi hukum
untuk sedapat mungkin melakukan ijtihad seiring dengan dinamika dan
perkembangan hukum dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Khisni. 2011 Metode Ijtihad dan Istimbat. Semarang:
UNISSULA PRESS.
Al Bassam,Abdullah bin Abdurrahman.
2007. Syarah Bulughul Maram Jilid
VII. Jakarta: Pustaka Azam.
Mardani.
2013. Ushul Fiqh.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Zein,
Ma’shum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh.Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Arief,
Abd. Salam. Ijtihad dan Dinamika Hukum Islam. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Vol. 7, No. 1, November 2017,
Nurhayati, Upaya Penemuan Hukum Oleh
Hakim Menetapkan Putusan Dalam Perspektif
Hukum Islam, Skripsi Uin Alauddin Makassar
[2]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu
Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), hlm. 191
[3]Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada), hlm. 354
[4] Abd. Salam Arief, Ijtihad dan Dinamika Hukum Islam, (Jurnal
Agama dan Hak Azazi Manusia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 7, No. 1, November 2017, hlm. 10
[5]Mardani, Ushul Fiqh,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm. 356
[6]Abdullah bin Abdurrahman al Bassam,
Syarah Bulughul Maram Jilid VII, (
Jakarta: Pustaka Azam), hlm. 208