WAKIF DALAM PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG
BAB 1PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah akad, wakaf memerlukan syarat dan rukun. Dari kitab-kitab fiqh, rukun-rukun wakaf menurut selain mazhab Hanafi terdiri dari wakif (orang yang berwakaf), mauquf alaih (orang yang mendapatkan manfaat dari wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan) dan shighat wakaf.
Makalah ini tidak akan membahas semua rukun wakaf tersebut. Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada salah satu subjek wakaf yang sangat penting dalam fiqh wakaf, yaitu wakif. Wakif adalah orang yang mengeluarkan harta wakaf dalam rangka taqorrub kepada Allah. Ia adalah pihak yang menjadi sumber bagi proses wakaf dan pihak yang paling mengetahui maksud atau makna di balik wakaf yang dikeluarkannya itu. Pembahasan ini juga akan mengangkat wakif dalam perspektif fuqoha dan Undang Undang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud wakif?2. Bagaimanakah perspektif wakif menurut fuqaha?3. Bagaimanakah perspektif wakif menurut undang undang?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari wakif.2. Untuk memahami perspektif wakif menurut fuqaha.3. Untuk memahami perspektif wakif menurut undang undang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakif
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya . Wakif adalah pihakyang mewakafkan, wakif harus mempunyai kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya (tasharruf al-mal). Kecakapan tersebut meliputi 4 kriteria, yaitu:
1. Merdeka2. Berakal sehat,3. Dewasa baligh4. Tidak dibawah pengampuan.
B. Prespektif Wakif Menurut Fuqaha
Pembahasan mengenai wakif meliputi syarat-syarat sahnya menjadi wakif yang dirangkai dengan beberapa permasalahan seputar wakif yang mengalami kondisi kondisi tertentu serta sejauh mana keharusan mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan wakif pada saat akad wakaf.Sejauh penelusuran penulis dalam kitab-kitab wakaf, terdapat kesepakatan ulama mengenai sifat wakaf sebagai akad tabarru, yaitu akad di mana prestasi hanya dari salah satu pihak (Anwar, 2007: 83). Karena termasuk dalam kategori akad tabarru, maka syarat seorang wakif adalah memiliki kecakapan melakukan tindakan tabarru, yaitu sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah mencapai umur baligh. Selain itu, wakif harus benar-benar pemilik harta yang telah diwakafkan. Berdasarkan syarat ini, maka orang gila, anak-anak, dan orang yang terpaksa/dipaksa, tidak sah melakukan tindakan wakaf. (Rofiq, 1995: 493-494).Mengutip dari Ahmad Rofiq (1995: 494), pasal 215 (2) KHI dan pasal 1 (2) PP disebutkan wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda Pasal 217 menjelaskan syarat-syarat wakif tersebut, yaitu:
1. Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (ps. 3 PP No. 28/1977).
Dalam kaitan ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan seorang wakif haruslah seorang muslim. Oleh sebab itu, orang nonmuslim pun dapat melakukan wakaf, sepanjang ia melakukannya sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, dan perundang-undangan yang berlaku. (Rofiq, 1995: 494)Sebagai akad tabarru, maka dalam pelaksanaan wakaf tidak diperlukan adanya qobul dari pihak yang menerimanya (Rofiq, 1995: 494). Meskipun tidak memerlukan qobul, Rofiq (1995: 494) menganjurkan agar pelaksanaan wakaf diikuti dengan bukti tertulis agar tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib administrasi.Al-Kabisi (2003: 217) menyebutkan dua syarat yang berhubungan dengan wakif, yaitu pertama, syarat yang berhubungan dengan kecakapan bagi wakif dan kedua, syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan atau penyerahan harta dari wakif.
1. Syarat wakif yang berhubungan dengan kecakapan
Mengenai syarat kecakapan, al-Kabisi menyebutkan lima syarat yang harus dimiliki wakif, yaitu berakal, baligh, tidak dalam tanggungan karena boros dan bodoh, kemauan sendiri, dan merdeka.a. Wakif harus orang yang berakal atau sehat akal.
Semua ulama sepakat bahwa wakif haruslah orang yang berakal (Fuad, 2008: 18). Artinya, orang yang tidak berakal maka wakafnya tidak sah, baik pada saat akad maupun kelangsungan pengelolaannya. Berdasarkan syarat ini, maka wakaf tidak sah dilakukan orang gila, kecuali jika penyakit gila ini tidak terusmenerus dan wakaf dilakukan dalam keadaan sadar. Termasuk dalam kategori orang yang tidak berakal ini adalah orang idiot, orang pingsan, orang sedang tidur, dan orang pikun.
Namun ulama berbeda pendapat mengenai orang yang hilang akalnya karena mabuk. Sebagian pendapat mengatakan tidak sah sebagaimana orang gila, dan pendapat yang lain mengatakan wakafnya tetap sah jika mabuknya disebabkan oleh makanan atau minuman haram, dengan alasan ketika diberikan minuman atau makanan itu dia mengetahui bahwa akan timbul akibat buruk jika meminumnya. Namun jika mabuknya disebabkan bukan karena maksiat, maka wakafnya tidak sah. al-Kabisi (2003: 224) menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa orang mabuk wakafnya tidak sah, meskipun mabuknya itu disebabkan oleh perbuatan yang haram.
b. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dikeluarkan oleh anak kecil yang belum mencapai usia aligh hukumnya tidak sah. Sebab, ia tidak bisa membedakan sesuatu sehingga tidak memiliki kelayakan dan kecakapan untuk berbuat berdasarkan kehendaknya sendiri. Anak kecil yang belum mencapai usia baligh bukan tergolong orang yang berhak untuk berderma. (al-Kabisi, 2003: 225).
Hukum ini berlaku baik bagi anak kecil yang bisa mengetahui makna akad (shobi mumayyiz) maupun yang tidak (shobi ghoir mumayyiz). Abu Zahrah (1971: 120) menukilkan dari kitab al-Fatawa al-Hindiyah yang mengatakan bahwa wakaf dari shobi mumayyiz hukumnya sah dengan izin dari hakim, namun pendapat ini tidak mendapatkan banyak dukungan dan pendapat yang dipilih oleh Abu Zahrah sendiri, serta yang sesuai kaidah-kaidah umum, menurutnya, adalah batalnya wakaf yang anak kecil, baik mumayyiz maupun tidak. (1971: 121).
Alasannya jelas, anak kecil termasuk naqish al-ahliyah atau tidak sempurna kecakapannya sehingga tidak memiliki kecakapan untuk melakukan akad tabarru, demikian pula walinya tidak boleh melakukan akad tabarru dari hartanya, baik dengan izin hakim maupun tidak. Hakim sendiri tidak memiliki hak untuk mengizinkannya, apalagi memberikan hak itu kepada orang lain. (Zahrah, 1971: 121)
Abu Zahrah menambahkan usia anak kecil agar sah melakukan wakaf adalah harus melewati usia lima belas (15) tahun, sedangkan kematangan jiwanya (rusyd) akan diperoleh setelah berusia 21 tahun. Sedangkan masa di antara 15 sampai 21 tahun itu adalah masa pertanggungan sebagai al-safiih (boros dan menghamburkan harta) (1971: 122), yang memiliki hukum tersendiri seperti aka dijelaskan kemudian.
c. Tidak dalam tanggungan, karena boros dan bodoh.
Hukum asal bagi orang yang berada dalam tanggungan karena boros dan banyak lupa adalah batalnya akad tabarru, sebab akad tabarru hanya sah jika dilakukan oleh orang yang dewasa (ruyd). Orang yang berada dalam tanggungan tidak dapat dikatakan sebagai rasyid (Zahrah, 1971: 122)
Oleh karena itu, sebagai akad tabarru, wakaf hanya sah jika dilakukan dalam keadaan sadar dan berdasarkan keinginan seseorang, sehingga orang yang berada dalam tanggungan tidak sah melakukan wakaf. Sebab, maksud dari tanggungan tersebut adalah agar dia tidak mengeluarkan hartanya yang bisa menimbulkan utang atau membahayakan pribadinya.
Pendapat berbeda dinyatakan oleh ulama mazhab Hanafi mengenai orang boros (al-safih) ini. Mereka membolehkan wasiat dari orang yang seperti itu namun dalam jumlah terbatas, yaitu maksimal 1/3 dari harta miliknya, jika hal itu dilakukan seperti wasiat dari orang dewasa. Sebab maksud dari tanggunggan adalah untuk menjaga hartanya dan dalam batasan sepertiga tidak ada sesuatu yang dapat membahayakannya, sebab wasiat dalam batasan ini dibolehkan dengan tanpa bergantung kepada pengesahan dari hakim (Zahrah, 1971: 122).
Generasi mutakhirin membolehkan wakaf orang boros dalam batasan sepertiga itu, jika wakaf dilakukan untuk dirinya (al-waqf ala al nafs) lalu setelah meninggal wakaf diperuntukkan bagi kebaikan atau bagi ahli waris. Alasannya, wakaf seperti ini tidak membahayakan wakif, bahkan sebaliknya dapat melindungi hartanya. Wakaf untuk diri sendiri juga tidak termasuk jenis tabarru, sebab manfaat harta wakaf tidak berpindah kepada pihak lain semasa hidupnya. Adapun jika manfaat harta itu diberikan kepada orang lain setelah ia meninggal, maka hal itu tidak merugikannya. (Zahra, 1971: 123)
d. Kemauan sendiri.
Yang dimaksud dengan kamauan sendiri adalah bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak manapun (Djunaidi, 2008: 30). Seluruh ulama sepakat wakaf yang dilakukan oleh orang yang dipaksa hukumnya tidak sah, sebagaimana dari hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah ra dari Abu Dzar al-Ghiffary, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Sesungguhnya, Allah telah mengampuni dari umatku karena kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepadanya”. (HR. Ibn Majah)
e. Merdeka.
Wakaf hanya sah dilakukan oleh orang merdeka, sebab budak atau hamba sahaya tidak memiliki hak apapun terhadap hartanya. Seluruh sepakat akan hal ini, kecuali ulama mazhab Zahiri yang mengatakan bahwa budak dapat saja memiliki hak atas harta tertentu, seperti warisan atau pemberian dari seseorang. Hak ini berarti, budak bisa memiliki sesuatu, sehingga ia pun berhak melakukan sesuatu terhadap apa yang menjadi haknya. Karenanya, ia boleh mewakafkan hartanya maupun menyedekahkannya. (al-Kabisi, 2004: 230
2. Syarat wakif yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf
Adapun syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf, alKabisi (2004: 231) menyebutkan dua syarat bagi wakif, yaitu tidak terikat dengan hutang dan tidak dalam kondisi sakit parah.
a. Wakif tidak terikat dengan hutang.
Wakaf orang berhutang adalah sah selama belum masa pengampuan (pengawasan) dan dalam kondisi sehat, serta tidak ada maksud ia akan menundanunda pelunasannya. Alasannya, harta tersebut adalah miliknya sendiri. (alKabisi, 2004: 231).
Sebagian mazhab Hanafi mengatakan wakaf tersebut hukumnya tidak sah, jika wakaf itu akan mempersulit pelunasan hutang-hutang tersebut, sehingga orang yang dihutangi dapat mengajukan permohonan agar wakaf tersebut dibatalkan, sebelum ia bebas dari hutang-hutang tersebut. (al-Kabisi, 2004: 232).
Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat dalam mazhab Maliki yang mengatakan bahwa wakaf orang berhutang hukumnya tidak sah. Namun sebagian ulama mazhab Maliki menjelaskan bahwa maksud tidak sah atau batal dalam hal ini adalah tidak sempurna, sehingga dapat dikatakan dengan bahasa lain bahwa wakafnya tetap sah, tetapi tidak sepantasnya atau tidak perlu. (al-Kabisi, 2004: 232).
Pendapat yang terakhir ini yang dipilih al-Kabisi (2004: 235), yaitu bahwa orang yang berhutang tidak selayaknya mewakafkan hartanya, baik ia dalam keadaan sehat maupun sakit, dan baik sebelum pengampuan ataupun sesudahnya.
b. Wakaf orang yang menderita sakit keras.
Makna dari sakit keras atau parah dalam hal ini adalah penyakit yang menyebabkan kematian atau penyakit yang sangat menakutkan. (al-Kabisi, 2004: 235). Dalam masalah ini, kajian fiqh berkisar tentang perbuatan orang yang sedang sakit tersebut jika perbuatannya itu mengarah kepada kematian. Dan jika ternyata setelah itu, dia sehat kembali maka semua perbuatannya berlaku, meskipun kemudian ia meninggal karena penyakit lainnya lagi. Oleh karena itu pembahasan ini mendiskusikan hukum orang yang mewakafkan hartanya pada saat dia sakit keras atau parah, kemudian meninggal dunia akibat sakitnya itu. (abd al-Baqy, 2006: 47)
Al-Kabisi (2004: 236) menyimpulkan dari kajiannya terhadap kitab-kitab fiqh dalam masalah ini, ulama sepakat bahwa perbuatan penderita sakit dalam kondisi seperti itu dipandang sebagai wasiat sehingga diatur dengan syarat dan ketentuan yang berlaku pada hukum wasiat. Namun, mazhab Zahiri mengesampingkan perbedaan dalam menyikapi perbuatannya pada saat sakit parah seperti itu dan pada saat sehat, sehingga perbuatan orang itu tetap sah menurut hukum. Sedangkan mayoritas ulama memahami bahwa penderita sakit itu sama dengan wasiat sehingga hartanya terkait dengan hutang dan sedekahnya hanya dilaksanakan sejumlah sepertiga dari hartanya.
Mengenai hukum wakaf baginya, mengikuti alur pikir al-Kabisi (2004: 238), harus dilihat apakah orang itu memiliki hutang atau tidak. Jika ia masih memiliki hutang dan ternyata seluruh hartanya hanya cukup untuk melunasi hutang tersebut, maka menurut logika jumhur ulama tersebut, wakafnya batal dan diganti untuk membayar hutang. Sedangkan jika hutangnya tidak mencakup seluruh hartanya, maka wakafnya dikurangi sejumlah hutang yang ditanggungnya.
Jika harta wakafnya sudah bersih dari hutang, maka dibedakan apakah penerima wakaf itu ahli warisnya atau bukan. Jika penerima wakaf tidak termasuk ahli waris, maka harta yang boleh diwakafkan sejumlah harta yang boleh dilaksanakan dalam wasiat, yaitu sepertiga. Jika wakafnya melebihi sepertiga dari seluruh hartanya, maka wakafnya tetap sah namum pelaksanaannya tergantung kepada ahli waris. Jika mereka menyetujuinya maka wakafnya sah dan dilaksanakan. Tetapi, jika tidak maka wakafnya hanya berlaku sepertiga.
Jika penerima wakaf adalah ahli waris, maka wakafnya sah, meskipun meliputi seluruh hartanya. Namun pada saat jumlah wakafnya melebihi sepertiga, maka pelaksanaan wakafnya bergantung kepada persetujuan ahli waris yang lain. Jika mereka menolak, maka wakaf yang dilaksanakan hanya sepertiga saja, dan dua pertiganya menjadi hak ahli waris. Hak ahli waris ini tidak boleh dihalangi dengan tindakan wakaf tersebut, sebab tindakan wakaf yang merugikan bagi ahli waris maka wakafnya batal karena bertentangan dengan maksud dari wakaf itu sendiri, yaitu taqorrub kepada Allah, sedangkan wakaf yang merugikan hak ahli waris justru perbuatan yang menjauhkan wakif dari niatnya. (Sabiq, 1412: 457)
C. Prepektif Wakif Menurut Undang Undang
Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, untuk adanya wakaf harus terpenuhi 4 (empat) unsur (rukun)37, yaitu ;
a. Wakif (pihak yang mewakafkan hartanya)b. Nazhir (pihak pengelola harta benda wakaf)c. Harta benda wakaf (harta yang diwakafkan dari wakif)d. Ikrar wakaf (pernyataan wakif dalam mewakafkan hartanya)e. Peruntukan harta benda wakaf (fungsi dan tujuan wakaf)f. Jangka waktu wakaf (waktu dalam pemanfaatan dari harta benda wakaf)
Unsur Wakif Adapun unsur wakif di dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf tercantum dalam pasal 7 meliputi :Unsur Wakif meliputi : Wakif Perseorangan,Wakif Organisasi, dan Wakif Badan hukum.Selanjutnya wakif baik dalam bentuk perseorangan, organisasi maupun badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan :
1) Syarat wakif perseorangan meliputi : Dewasa, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan Pemilik sah harta benda wakaf.2) Syarat wakif organisasi meliputi : Dewasa, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, Pemilik sah harta benda wakaf, dan Anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.3) Syarat wakif badan hukum meliputi : Dewasa, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, Pemilik sah harta benda wakaf, dan Anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
BAB 3PENUTUP
A. Simpulan
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Syarat Wakif (orang yang mewakafkan sebagian hartanya) harus mempunyai kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya (tasharruf al-mal). Kecakapan tersebut meliputi 4 kriteria, yaitu:
1. MerdekaWakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya.2. Berakal sehatWakaf yang dilakukan oleh orang gila atau lemah mental (idiot) tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal sempurna, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.3. Dewasa (baligh)Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum baligh , hukumnya tidak sah karena dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.4. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
Muh. Sudirman Sesse. 2010.Wakaf Dalam Perspektif Fikhi Dan Hukum Nasional”,
Jurnal Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2.
Nurodin Usman. 2016.“Subjek-Subjek Wakaf: Kajian Fiqh Mengenai Wakif dan
Nazhir, CAKRAWALA, Vol. XI, No. 2, Desember 2016