1. Peradilan
Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap
Pergeseran kekuasaan dari rezim Orde Baru ke pemerintahan Orde
Reformasi, membawa serta merta berbagai perubahan dalam ranah
sosial, politik, dan hukum. Perubahan mendasar dalam bidang
hukum, yakni dilakukannya amandemen atas UUD 1945. Salah satu pasal
yang mengalami perubahan adalah Pasal 24 ayat UUD 1945, berkaitan dengan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yakni keberadaan Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan konstitusi itu ditindaklanjuti dengan lahirnya UU
No. 35 Tahun 1999 tentang Sistem Peradilan Satu Atap, UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , dan UU No. 48 Tahun
2009 .
Lahimya berbagai peraturan itu menunjukkan adanya tekad yang kuat dan
bulat dalam usaha penguatan terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi dalam ranah
hukum, sekaligus sebagai wujud nyata pengawalan terhadap perubahan
mendasar dalam sistem peradilan, yakni dari “sistem peradilan mendua”, yang
berpijak di atas dua kaki berubah ke sistem Peradilan Satu Atap.
Melalui UU No. 4 Tahun 2004, yang kemudian diamandemen dengan
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah ditetapkan
pengalihan kewenangan yang berhubungan dengan masalah
penyelenggaraan, kekuasaan dan kewenangan lembaga peradilan. Hal itu
sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat UU No. 48 Tahun 2009 yang berbunyi:
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Secara umum, Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang
dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu , terlebih
peradilan agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
2. Peradilan
Agama sejak Amandemen
Pada era Reformasi
keberadaan Peradilan Agama selain didasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang telah ada sebelumnya, juga terdapat peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan Agama dan kewenangannya, peraturan
perundangundangan tersebut antara lain:
a. UU No 35 tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No
14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
b. UU No 14 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman di
Indonesia.
c. UU No 18 tahun 2001 tentang pembentukan Mahkamah
Syari’ah di Nanggro Aceh Darussalam.
d. Kepres RI No 21 tahun 2004 tentang pengalihan
organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.
e. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
f.
UUD 1945 Hasil
Amandemen Pasal 24 ayat 2.
g. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada
Pasal 18.
h. UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU.
No 7 Tahun 1989.
Tujuan dilakukannya
perubahan peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama, sebagaimana
termaktub dalam Risalah Undang-Undang antara lain adalah:
a. Untuk menyesuaikan dan menyelaraskan aturan-aturan
yang berkaitan dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, dan Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
b. Agar Peradilan Agama dapat menjadi salah satu badan
peradilan yang dapat menegakkan hukum dan keadilan.
c. Agar para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya dapat bekerja dengan baik serta
profesional dan senantiasa berlandaskan pada asas peradilan serta pengawasan
melekat, baik secara internal maupun eksternal.
Perkembangan penting dalam UU No. 35 Tahun 1999
tentang Kekuasaan Kehakiman ini berkaitan dengan organisasi, administrasi dan
finansial pengadilan adalah:
a.
Pembinaan organisasi, administrasi dan
finansial semua badan peradilan yang semula berada di bawah departemen
masin-masing dialihkan ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat (1).
b.
Pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial tersebut diatur lebih lanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan
lingkungan peradilan masing-masing (Pasal 11 ayat (2).
c.
Pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial pengadilan tersebut dilakukan secara bertahap, paling lama 5 (lima)
tahun sejak UU ini mulai berlaku (Pasal 11A ayat (1).
d.
Pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan (Pasal 11A ayat (2)).
e.
Pelaksanaan pengalihan secara bertahap
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
3. Pedoman
dan Kode Etik Perilaku Hakim
Salah satu upaya membenahi lembaga peradilan ini adalah memfokuskan
terhadap kinerja dan perilaku hakim, yang selama ini diakui sebagai ujung
tombak dalam penegakan hukum dan keadilan. Regulasi tentang kode etik yang dirumuskan dalam Kode
Kehormatan Hakim Indonesia itu sendiri sudah dimiliki, yang merupakan alat
untuk mendidik, mendisiplinkan ataupun menerapkan suatu bentuk pengawasan
kepada hakim. Kode etik hakim itu tercermin dalam “lambang jabatan” hakim yang
disahkan melalui surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 24/KMA/1984,
tertanggal 2 Desember 1984.
Piranti peradilan yang menjadi rambu-rambu bagi
perilaku hakim, termasuk hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama itu
tertuang dalam Pedoman Perilaku Hakim, yaitu:
a.
Berperilaku Adil |
g.
Bertanggung Jawab |
h.
Berperilaku Juju |
i.
Menjunjung Tinggi Harga Diri |
j.
Berperilaku Arif dan Bijaksana |
k.
Berdisiplin Tinggi |
l.
Bersikap Mandiri |
m.
Berperilaku Rendah Hati |
n.
Berintegrasi Tinggi |
o.
Bersikap Profesional |
4. Mediasi di Pengadilan Agama
Mediasi pada
asasnya tidak dilakukan dalam keadaan terbuka untuk umum, kecuali para pihak
menghendaki lain. Jika mediasi dilakukan dengan bantuan mediator hakim, maka
mediasi wajib dilaksanakan di salah satu ruangan di dalam gedung Pengadilan
tingkat pertama dan pembebanan biaya adalah hanya terbatas untuk pemanggilan
para pihak yang jumlahnya tergantung pada biaya radius yang telah ditetapkan
Pengadilan. Namun apabila mediasi dilakukan dengan bantuan mediator non hakim
(advokat / akademisi hukum), maka para pihak boleh/dapat memilih
penyelenggaraan mediasi di tempat lain di luar gedung pengadilan tingkat
pertama, dan pembebanan biaya tergantung pada kesepakatan antara para pihak
dengan mediator. Sedangkan apabila mediasi melibatkan seorang ahli, maka semua biaya
untuk kepentingan ahli ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan.