TATA CRA ENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN

A. Penangkapan
Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan
penangkapan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.[1]
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penangkapan. Pertama,
pejabat yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan. KUHAP hanya
memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penangkapan. Tapi untuk
kepentingan penyelidikan, penyidik dapat memerintahkan penyelidik untuk
melakukan penangkapan (Pasal 16 ayat (1) KUHAP). Jadi, kewenangan penyelidik
untuk melakukan penangkapan hanya dalam tahap penyelidikan dan itu atas
perintah penyidik. Jika tidak ada perintah oleh penyidik, penyelidik tidak
berwenang melakukan penangkapan. Kedua, alasan penangkapan. Berdasarkan
definisi penangkapan di atas, penangkapan diperbolehkan jika memang ‘terdapat
cukup bukti’. Dengan mengacu kepada Pasal 17 KUHAP, frase ini dimaknai sebagai
‘seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup’. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan bukti permulaan
yang cukup itu, sehingga dalam praktik hal itu diserahkan sepenuhnya kepada
penyidik. Maka, perlu ada definisi yang tegas mengenai makna bukti permulaan
yang cukup, misalnya penangkapan hanya boleh dilakukan oleh penyidik atau
penyelidik atas perintah penyidik jika didasarkan pada minimal dua alat bukti
yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP 18. Alasannya, selain
meminimalisir penggunaan subjektifitas penyidik atau penyelidik dalam melakukan
penangkapan, juga agar penangkapan yang dilakukan penyidik tetap memperhatikan
dan menghormati hak asasi manusia tersangka/terdakwa. Ketiga, tata cara
penangkapan. Penyidik atau
penyelidik yang melakukan penangkapan memperlihatkan surat tugas, memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan.
Surat perintah penangkapan harus ditandatangani oleh kepala
satuan/instansi selaku penyidik dan
berisi:[2]
1.
Pertimbangan dan dasar hukum tindakan
penangkapan.
2.
Nama-nama petugas, pangkat, NRP, jabatan.
3.
Identitas tersangka yang ditangkap (ditulis
secara lengkap).
4.
Uraian singkat tentang tindak pidana yang
dipersangkakan.
5.
Tempat atau kantor dimana tersangka akan
diperiksa (Pasal 18 ayat (1) KUHAP).
6.
Jangka waktu berlakunya surat perintah
penangkapan (Pasal 19 ayat (1) KUHAP)serta kewajiban untuk membuat berita acara
penangkapan (Pasal 75 KUHAP).
Keempat,
jangka waktu penangkapan.Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan dapat
dilakukan untuk paling lama satu hari.Ini artinya, penyidik atau penyelidik
dapat menangkap seseorang kurang dari 24 jam, tetapi tidak boleh lebih dari 24
jam. Penangkapan yang dilakukan lebih dari 24 jam harus dinyatakan batal demi
hukum dan melanggar hak asasi manusia.
B. Penahanan
Penahanan sudah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 butir 21 bahwa penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.[3] Penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum
dan hakim. Penahanan dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan,
penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim (PN,PT, MA) untuk
kepentingan pemeriksaan perkara di pengadilan.[4]
Dasar dilakukannya penahanan adalah:[5]
1. Dasar
keadaan atau keperluan.
Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana
(Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Keadaan kekhawatiran disini adalah keadaan yang
meliputi pribadi atau subyektifitas tersangka atau terdakwa dan pejabat yang
menilai keadaan kekhawatiran itupun dapat dikatakan bertitik tolak dari
penilaian subyektif.
2. Dasar
Yuridis
Penahanan tersebut hanya
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan
atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a.
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih.
b.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
282 ayat (3), Pasal 296, 333 ayat (1), 351 ayat (1) 353 ayat (1), 372, 378, 379
huruf a, 453, 454, 455, 459, 480 dan 506 KUHP serta tindak pidana lainnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
C. Penggeledahan
Penggeledahan
rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang. Dalam
Pasal 32 KUHAP menjelaskan mengenai tujuan dilakukanya penggeledahan adalah,
untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.
Penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawaannya serta untuk disita (Pasal 1 butir 18 KUHAP). Berbeda dengan tindakan untuk melakukan penahanan yang diberikan kepada semua pejabat/instansi penegak hukum yaitu Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, Hakim PN/PT/MA, maka KUHAP pada BAB V Bagian Ketiga (Pasal 32 s/d 37) dan BAB XIV Bagian Kedua (Pasal 125 s/d 127) mengatur dan memberikan wewenang untuk melakukan tindakan penggeledahan hanya kepada pejabat penyidik (POLRI/PPNS).
Dalam KUHAP BAB XIV Pasal 125 s/d 127
diatur mengenai tata cara yang berkaitan dengan pelaksanaan penggeledahan yang
dilakukan berdasarkan Pasal 33 dan 34 KUHAP, yaitu sebagai berikut:[6]
1.
Tanpa mengurangi tata cara yang diatur dalam
Pasal 33 dan 34 KUHAP, maka dalam hal Penyidik melakukan penggeledahan rumah
terlebih dahulu wajib menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka dan atau
keluargannya (Pasal 125 KUHAP);
2.
Penyidik wajib membuat Berita Acara
Penggeledahan Rumah (model Serse: A. 11.08) yang berisi uraian tentang jalannya
dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (5) KUHAP;
3.
Berita Acara Penggeledahan Rumah setelah selesai
dibuat terlebih dahulu dibacakan kepada yang bersangkutan kemudian diberi
tanggal dan ditanda tangani oleh Penyidik beserta tersangka/keluarga dan Kepala
Desa/Lurah/ketua RT/RW dengan dua orang saksi (Pasal 126 KUHP);
4.
Dalam hal tersangka/keluarganya tidak mau
membubuhkan tanda tangannya, hal itu dicatat dalam Berita Acara dengan
menyebutkan alasannya (Pasal 126 KUHAP);
5.
Untuk kepentingan keamanan dan ketertiban yang
berkaitan dengan penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan dan
atau penutupan tempat tertentu yang dianggap perlu;
6.
Di samping itu selama penggeledahan sedang
berlangsung Penyidik berwenang memerintahkan agar orang-orang tertentu yang
dianggap perlu tidak meninggalkantempat yang sedang digeledah (Pasal 127 KUHAP)
D. Penyitaan
Pengertian penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP yang berbunyi “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”. Dari defenisi penyitaan yang dimkasud oleh KUHAP tersebut, setidaknya diketahui beberapa hal terkait penyitaan, yakni 1) penyitaan adalah tindakan penyidik; 2) penyitaan dilakukan dengan mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud; 3) objek yang dapat dilakukan penyitaan adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud; 4) penyitaan dilakukan untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.[7]
Penyitaan adalah tindakan penyidik
sehingga disini penyidik diharuskan membuat Berita Acara Penyitaan yang
dibacakan oleh penyidik di hadapan atau kepada orang dari mana benda itu akan
disita atau kepada keluarganya dan ketiga orang saksi. Jika mereka telah dapat
menerima dan menyetujui isi berita acara, barulah penyidik memberi tanggal pada
berita acara. Kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita acara,
penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan para saksi masing-masing
menandatangani Berita Acara Penyitaan.[8]
Dalam pelaksanaan penyitaan yang
dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang
ditentukan oleh Undangundang yaitu adanya suatu pembatasan-pembatasan dalam
penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua Pengadilan Negeri setempat.
Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus
segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih
dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak, dan untuk
itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna
mendapat persetujuannya. [9]
Sebelum melakukan penyitaan, penyidik harus memperoleh izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Permintaan izin penyitaan tersebut dilampiri Resume dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sehingga jelas barang yang akan disita dengan tindak pidana yang sedang disidik. Apabila tidak disertai dengan resume maka permohonan izin penyitaan tersebut dapat ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat. Rumusan “Ketua Pengadilan Negeri setempat” dimaksudkan adalah tempat dimana barang-barang yang akan disita itu termasuk dalam wilayah hukumnya. Hal ini perlu dipahami agar tidak terjadi kekeliruan. Penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda atau surat yang berhubungan atau disangka telah digunakan dalam tindak pidana tersebut. Untuk itu penyidik wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Sunaryo Berutu, Edy. 2017. ”Penangkapan dan
Penahanan Tesangka Menurut
KUHAP Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia”.
DalamJurnal Lex Crimen. Vol 6 No 6. hlm. 4-5.
Manao,
Hubertus. 2013.“Kajian Yuridis Atas Penangkapan Dan Penahanan Oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Kasus
PutusanNomor: 15/Pra.Pid/2012/PN.Mdn dan
Putusan Nomor: 01/Pid.Pra/Per/2012/PN.Stb)”. Dalam Jurnal
Mercatoria, Vol 6 No 2. hlm. 6.Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.
Anshary, Fuad. 2017.“Analisa atentang
Penahanan dalam Perspektif Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana”. Dalam Jurnal
Al-Hikam. Vol 1 No 2.hlm .2.Makassar: Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Simarmata, Berrlian. 2010.“Menanti
Pelaksanaan Penahanan dan Pidana Penjara
Yang Lebih Humanis di Indonesia”. Dalam
Jurnal Konstitusi Vol 7 No 3. hlm.
7.
S Tamawiwy,
Firman. 2015.“Tata Cara Mrlakukan Penggeledahan Rumah Tempat Tinggal (Kajian
Terhadap Pasal 33 dan 34 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981)”. Dalam Jurnal Lex
Crimen. Vol 4 No 5. hlm.6.
Ibnu Fajar Rahim,
Muhammad.,dkk.2020.“Penyitaan Barang Bukti Tindak Pidana
Pada Tingkat Lanjut Pemeriksaan
Persidangan”. Dalam Jurnal Ilmu Hukum Pleno Jure. Vol 9 No 1. hlm. 3. Makassar.
Sumaidi. 2016. “Kajian Terhadap Penyitaan
Sebagai Pemaksaan Yang Dihalalkan
Oleh Hukum”. Dalam Jurnal Legalitas. Vol 8 No 1.Hlm. 7.
Jambi: Universitas Batanghari.
Khairunnisa, Eka. 2019.“Penangkapan,
Penahanan, Penggeledahan , Penyitaan
Dan Pemeriksaan Surat
Dalam Sistem Pemidanaan (Menurut
Pandangan Hukum Pidana Positif Dan Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara
Jinayah)”. Skripsi Sarjana Hukum.hlm.
61. Medan: Perpustakaan UIN Sumatera Utara.
Lukfi, Denial.2020.“Analisis Yuridis
Terhadap Proses Penyitaan Barang Bukti Dalam
Perkara Pidana Pencurian Sepeda
Motor di Kota Bondowoso”. Dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum. Vol 26 No 9. hlm.
2.Malang: Universitas Islam Malang.
[1] Edy Sunaryo
Berutu,”Penangkapan dan Penahanan Tesangka Menurut KUHAP Dalam Hubungannya
Dengan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Lex Crimen, Vol 6 No 6, 2017, hlm. 4-5.
[2] Hubertus Manao, “Kajian
Yuridis Atas Penangkapan Dan Penahanan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Kasus PutusanNomor:
15/Pra.Pid/2012/PN.Mdn dan Putusan Nomor: 01/Pid.Pra/Per/2012/PN.Stb)”, Jurnal
Mercatoria, Vol 6 No 2, ( Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara, 2013), hlm. 6.
[3] Fuad Anshary, “Analisa
atentang Penahanan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”,
Jurnal Al-Hikam, Vol 1 No 2, (Makassar: Universitas Muslim Indonesia Makassar,
2017), hlm 2.
[4] Berrlian Simarmata,
“Menanti Pelaksanaan Penahanan dan Pidana Penjara Yang Lebih Humanis di
Indonesia”, Jurnal Konstitusi Vol 7 No 3, 2010, hlm. 7.
[5] Hubertus Manao, hlm. 7.
[6]
Firman S Tamawiwy, “Tata Cara Mrlakukan Penggeledahan Rumah Tempat Tinggal
(Kajian
Terhadap Pasal 33 dan 34
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981)” Jurnal Lex Crimen, Vol 4 No 5, 2015, hlm.6.
[7]
Muhammad Ibnu Fajar Rahim, dkk, “Penyitaan Barang Bukti Tindak Pidana Pada
Tingkat
Lanjut
Pemeriksaan Persidangan”, Jurnal Ilmu Hukum Pleno Jure, Vol 9 No 1, (Makassar,
2020), hlm.
3.
[8] Sumaidi, “Kajian Terhadap
Penyitaan Sebagai Pemaksaan Yang Dihalalkan Oleh Hukum”, Jurnal Legalitas, Vol
8 No 1, (Jambi: Universitas Batanghari, 2016), Hlm. 7.
[9]
Eka Khairunnisa, “Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan , Penyitaan Dan Pemeriksaan
Surat Dalam Sistem Pemidanaan (Menurut Pandangan Hukum Pidana Positif Dan
Qanun No. 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayah)”, Skripsi Sarjana Hukum, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2019), hlm. 61.
[10] Denial Lukfi, “Analisis
Yuridis Terhadap Proses Penyitaan Barang Bukti Dalam Perkara
Pidana Pencurian Sepeda Motor di Kota Bondowoso”, Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum, Vol 26 No 9, (Malang: Universitas Islam Malang, 2020), hlm.
2.