HAK DAN KEDUDUKAN TERSANGKA DAN TERDAKWA, SERTA BANTUAN HUKUM

HAK DAN KEDUDUKAN TERSANGKA DAN TERDAKWA, SERTA BANTUAN HUKUM

A. Pengantar Pembahasan

Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen. Untuk terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undangundang Dasar 1945, maka Indonesia mutlak harus mempunyai perangkat perundangundangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa terkecuali.

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, khusunya dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan perlindungan dan sekaligus jaminan hukum terhadap hak Azasi manusia. Perlindungan Hak Asasi Manusia sangat dijunjung tinggi, sehingga setiap orang baik Individu maupun badan hukum yang dipersangkakan melakukan tindak pidana wajib hukumnya dianggap belum bersalah sampai ada putusan pengadilan yang memutus perbuatannya itu bersalah dan putusan pengadilan itu yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini yang dikenal dengan istilah praduga tak bersalah (prisumption of innocennce).

Istilah praduga tak bersalah, sesungguhnya wujud dari perlindungan Hak-hak tersangka dan terdakwa yang secara tegas dan jelas diatur dalam undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tujuannya adalah tidak lain untuk melindungi harkat dan martabat manusia. 

Secara eksplisit istilah praduga tak bersalah ini dijadikan asas dalam perundangundangan di Indonesia. Hal ini diatur dalam KUHAP pada angka 3 huruf c yaitu: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pelaksanaan sistem peradilan pidana sesungguhnya merupakan sistem baru yang bertujuan untuk mengatur bekerjannya masing-masing aparat penegakan hukum yang harus bersandarkan pada KUHAP. Sehingga tugas dan wewenang dari masing-masing aparat bisa bekerja secara profesional dalam rangka mencapai satu tujuan yaitu melindungi hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai masyarakat yang harus dilindungi hak-haknya di depan hukum.

 

B. Perlindungan Hak Tersangka dan Terdakwa

Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) KUHAP, adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dengan demikian, tersangka merupakan seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya seorang tersangka harus dilakukan dalam proses peradilan yang jujur dengan mengedepankan asas persamaan di hadapan hukum.

Dalam proses penyidikan kaitannya dengan perlindungan hak-hak tersangka, seorang tersangka memperoleh perlindungan hukum sesuai ketentuan yang di atur dalam

KUHAP, seperti;

1.      Hak mendapat bantuan hukum sejak penahanan.

2.      Hak menghubungi penasehat hukum.

3.      Pelaksanaan asas praduga tak bersalah

Perlindungan diberikan dalam kerangka memperlakukan seseorang tersangka sebagai orang yang dianggap tidak bersalah selama belum ada bukti yang kuat dan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

Pada hakekatnya hak tersangka / terdakwa adalah hak yang diperoleh selama proses penyidikan atau tahap pemeriksaan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perlindungan hak tersangka / terdakwa tidak terlepas dari pelaksanaan asas-asas dalam hukum pidana.

Beberapa hak-hak tersangka / terdakwa yang diatur dalam KUHAP, dapat

diuraikan sebagai berikut;

1.      Hak prioritas penyelesaian perkara, Pasal 50.

2.      Hak persiapan, Pasal 51.

3.      Hak mendapat bantuan hukum sejak penahanan, Pasal 54.

4.      Hak menghubungi.

Berdasarkan hak-hak tersebut diatas, maka penyidik wajib menjamin terlaksananya hak-hak seseorang tersangka selama proses penyidikan berlangsung disinilah peran penyidik dalam memberikan jaminan pelaksanaan hak bagi tersangka dalam perkara pidana.[1]

Secara khusus berdasarkan proses-proses dalam hukum acara pidana, tersangka/terdakwa berhak atas:

1.      Dalam proses penangkapan

a.       Tidak ditangkap secara sewenang-wenang. Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.[2]

b.      Ditangkap oleh pihak yang berwenang melakukan penangkapan. Secara hukum, yang berwenang melakukan penangkapan hanyalah petugas kepolisian, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat ia diperiksa.[3]

c.       Meminta petugas memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, kecuali jika tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah.[4] Orang yang ditangkap berhak meneliti isi surat perintahnya, seperti kebenaran identitas yang tercantum, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat diperiksa.

d.      Keluarga orang yang ditangkap berhak menerima tembusan surat perintah penangkapan segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan.[5]

e.       Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.6

f.        Meminta dilepaskan setelah lewat batas maksimum penangkapan, yaitu satu hari.[6]

2.      Dalam proses penahanan

a.       Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka/terdakwa, alasan penahanan, uraian singkat perkara yang dipersangkakan/didakwakan, serta tempat ia ditahan.

b.      Diberitahukan tentang penahanan atas dirinya kepada keluarga atau orang yang serumah dengan tersangka/terdakwa, atau orang lain yang dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.[7] Dalam hal ini, keluarga orang yang ditahan berhak menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim.[8]

c.       Menghubungi dan menerima kunjungan dari keluarga atau pihak lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum.[9]

d.      Menghubungi penasihat hukum.[10]

e.       Menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga dalam hal yang tidak berhubungan dengan perkara, untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan, baik secara lagsung maupun melalui perantara penasihat hukumnya.[11]

f.        Menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.[12]

g.      Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.[13]

h.      Mengirim dan menerima surat dari penasihat hukum dan sanak keluarga.[14]

i.        Meminta penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang/atau orang, berdasarkan syarat yang ditentukan, seperti wajib lapor, tidak keluar rumah/kota.[15]

j.        Meminta ganti kerugian atas tenggang waktu penahanan atau perpanjangan penahanan yang tidak sah.[16]

3.      Dalam proses penggeledahan

Penggeledahan dilakukan sesuai hukum, di antaranya:

a.       Dilakukan berdasarkan izin surat izin ketua pengadilan negeri,[17] kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak.[18]

b.      Dalam memasuki rumah penyidik harus disaksikan 2 orang saksi, jika tersangka/terdakwa menyetujuinya. Jika tersangka/penguni menolak/tidak hadir, harus disaksikan kepala desa/ketua lingkungan dengan 2 saksi.[19]

c.       Pemilik/penghuni rumah memperoleh turunan berita acara penggeledahan dalam waktu 2 hari setelah penyidik memasuki atau menggeledah rumah.[20]

4.      Pada tingkat pengadilan

a.       Segera diajukan dan diadili perkaranya oleh Pengadilan.[21]

b.      Untuk mempersiapkan pembelaan, terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya[22] Untuk itu, pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa bekebangsaan asing atau yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia.[23]

c.       Diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.[24]

d.      Memberikan keterangan secara bebas kepada hakim.[25]

e.       Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum[26] dan memilh sendiri penasihat hukumnya.[27]

f.        Mengajukan banding terhadap putusan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat.[28]

g.      Mengajukan kasasi.[29]

C. Bantuan Hukum dalam Acara Pidana

Di dalam Pasal 1 UDHR, menyebutkan semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama. Mereka dikaruniai hati nurani dan akal hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat kehidupan. Di dalam hukum positif Indonesia, sebelum Indonesia merdeka terdapat ketentuan yang mengatur tentang Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 250 ayat (5) dan (6) Het Herziene Indonesische Reglemen (HIR) atau Hukum Acara Pidana dengan cakupan yang terbatas. HIR dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang pada waktu itu lebih populer disebut Inlanders, dan Pasal 250 HIR, terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati atau hukum seumur hidup.

Untuk pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bantuan Hukum adalah kegiatan pembelaan terhadap tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan dari tahap penyidikan sampai tahap pemeriksaan perkara di pengadilan yang dilakukan oleh penasehat hukum. Bantuan Hukum yang paling luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Dari sudut pandang subjektif, bantuan hukum merupakan suatu upaya yang diberikan untuk melindungi kepentingan seseorang yang akan atau sedang beracara dimuka pengadilan. Sedangkan dari sudut pandang objektif, bantuan hukum berangkat dari tujuan atau maksud yang hendak dicapai demi terselenggaranya peradilan itu sendiri.[30]

Tujuan bantuan hukum yang ada di Indonesia adalah untuk memberikan penerangan, penyuluhan hukum dan dan memberikan nasehat-nasehat atau biasanya dikenal dengan konsultasi hukum sehingga masyarakat menyadari akan hak-haknya dalam tersangkut perkara hukum. Untuk permasalahan hukum di bidang pidana tujuan bantuan hukum yang diberikan supaya tersangka atau terdakwa dapat terbantu menanganiperkara pidana yang sedang dihadapi serta memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan bagi tersangka atau terdakwa sehingga membantu terpulihkannya hak-hak kemanusiaannya.

Kemudian setelah Negara Republik Indonesia merdeka, maka dalam proses Peradilan Pidana, jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia terdapat di dalam penjelasan umum maupun pasalpasal yang mengatur tentang hak-hak tersangka dan terdakwa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu Pasal 50 sampai dengan pasal 68 KUHAP. Dalam penjelasan umum menyatakan: 

Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila serta UUD 1945, dan menjunjung tinggi HAM sebagai wujud perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam menegakkan hukum dan keadilan, serta mencela HIR (hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya) karena belum memberikan jaminan perlindungan yang maksimal terhadap tingginya harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh negara hukum.[31]  Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Acara Pidana dikenal dua sistem pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa yaitu sistem Inquisitoir dan sistem A ccusatoir.

Sistem Inquisitoir yaitu suatu sistem pemeriksaan yang memandang tersangka atau terdakwa sebagai obyek dalam pemeriksaan berhadapan dengan para pemeriksa mempunyai kedudukan lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup. Pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa dengan sistem Inquisitoir memberikan peluang yang sangat besar kepada petugas pemeriksa untuk melakukan penyelewengan ketika melaksanakan tugasnya.

Sistem Accusatoir pada pemeriksaan tersangka yang didasarkan pada sistem Accusatoir menganggap tersangka atau terdakwa sebagai subyek yang mempunyai kedudukan yang sama sehingga kedua belah pihak mempunyai hak-hak yang sama nilainya baik tersangka maupun penyidik dan pemeriksaan dilakukan secara terbuka. Berdasarkan dalam hal ini berarti bahwa pembela atau penasehat hukum, sejak dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa diperbolehkan menghubungi dan memberikan nasihat hukum kepadanya serta mendampinginya pada setiap pemeriksaan, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun dalam sidang pengadilan karena dalam hukum pidana seseorang wajib memperoleh perlindungan hukum salah satunya berupa pendampingan dalam proses perkara di persidangan.33

Di mana dalam proses perkara pidana dikenal dengan yang namanya asas praduga bersalah atau istilah hukum yaitu presumption of guilty di mana dalam hal ini berarti seseorang tersebut dikatakan bersalah oleh hakim atau pengadilan yang walaupun dalam hal ini belum memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda dengan asas praduga tak bersalah atau yang dalam istilah hukumnya yaitu presumption of innounce di mana seseorang tersebut tidak bisa dikatakan bersalah sebelum putusan hakim atau pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau incracht. Berarti mempunyai kebaikan dengan adanya peraturan kewenangan alat negara itu telah ditentukan seperangkat tugas-tugas untuk bekerja secara efisien, agar setiap tindakan praduga bersalah terhadap tersangka dapat berhasil dibuktikan lebih awal dan tepat. KUHAP sangat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menempatkan hak asasi manusia sebagai landasan yang menjiwainya, di samping adanya asas equalty before the law dan asas praduga tak bersalah, maka sudah selayaknya KUHAP menganut sistem accusatoir yang menganggap tersangka atau terdakwa dalam proses pemeriksaan sebagai subyek yang mempunyai hak penuh untuk membela diri.[32]

Di atas landasan persamaan derajat, hak, dan kewajiban inilah diperlukan adanya pembinaan dan peningkatan sikap aparat penegak hukum untuk mengasihi dan memperlakukan seorang tersangka/terdakwa dengan cara-cara yang manusiawi sebagaimana yang telah ditentukan KUHAP dan Undang-undang Dasar 1945 yang mengatakan, bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.[33]  Hak-hak tersangka dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan sebagaimana disebutkan di atas adalah dengan memberikan bantuan hukum sebagai bentuk penghormatan atas hak-hak asasi tersangka atau terdakwa yang pengaturannya sudah diatur di dalam KUHAP. Paling tidak sudah mengoperasionalkan pasal-pasal bantuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman, Undang-Undang No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Selain itu, bantuan hukum pada tingkat penyidikan sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah satu dari hak yuridis tersangka yang dapat di temukan dalam KUHAP sebagaimana pengaturannya diatur di dalam Pasal 54 yang mengatakan: “Guna kepentingan pembelaan,tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.36  Namun, ternyata dalam pelaksanaanya, hak untuk mendapat bantuan hukum cenderung tidak diperhatikan oleh pihak kepolisian, khususnya penyidik pada saat penyidikan. Hal ini sengaja dibiarkan agar penyidik dalam penyidikannya dapat dengan leluasa mendapatkan keterangan dari tersangka berupa suatu “bentuk pengakuan”, sehingga segala cara dilakukan guna mendapatkan informasi dari si tersangka, dan tidaklah mengherankan apabila kita mendengar dan membaca terjadinya penyiksaan, penganiayaan terhadap tersangka selama proses penyidikan,ini disebabkan karena budaya memperhatikan hak tersangka untuk didampingi pengacara cenderung tidak diperhatikan. Sebab, penyidik merasa terganggu pekerjaannya bila tersangka didampingi oleh advokat dan/atau pengacara.

Undang-undang juga memerintahkan kepada pihak penyidik agar selama proses pemeriksaan berlansung ditingkat penyidikan terhadap tersangka yang kurang mampu wajib menunjukkan penasihat hukum kepada tersangka tersebut sebagaimana Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang mengatakan: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semuatingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menujuk penasihat hukum bagi mereka”[34]

Adapun wujud bantuan hukum yang diberikan terhadap tersangka atau terdakwa dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP yaitu: 

1.      Penasehat hukum dapat mengajukan penuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam Pasal 95 dan 97;

2.      Penasehat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan tersangka pada penyidik yang melakukan penahanan yang terdapat dalam Pasal 123;

3.      Penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan terhadap tersangka oleh pnyidik yang terdapat dalam Pasal 115 ;

4.      Penasehat hukum dapat mengajukan permohonan prapradilan yang terdapat dalam Pasal 79 dan Pasal 124;

5.      Penasehat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya yang terdapat dalam Pasal 156;

6.      Penasehat hukum dapat mengajukan pembelaan yang terdapat dalam Pasal 182;

7.      Penasehat hukum dapat mengajukan banding yang terdapat dalam Pasal 233;

8.      Penasehat hukum dapat mengajukan kasasi yang terdapat dalam Pasal 245

 

 

 

 

D. Hak Terpidana dan Narapidana

Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[35] Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga memberikan definisi mengenai terpidana, yaitu seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Undang-Undang tentang Sistem Pemasyarakatan diatur mengenai tujuan adanya sistem pemasyarakatan, yaitu rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.[36] Setiap individu harus mentaati peraturan-peraturan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang dipertegas dalam penafsiran hukum yang merupakan keseluruhan kumpulan peraturan dan kaedah dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[37] 

Sedangkan Narapidana adalah orang yang sedang menjalani pidana penjara. Pengertian narapidana menurut kamus Bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena melakukan tindak pidana). Jadi, narapidana adalah orang yang sedang menjalani masa hukuman atau pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun HAM terhadap narapidana juga harus dilindungi. Sebagai landasan tugas dan fungsi dari petugas pemasyarakatan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yang didalamnya juga mengatur tentang hak-hak narapidana yaitu yang terdapat pada Pasal 14 ayat (1) huruf a sampai m yang harus dipenuhi. Syarat dan tata cara pemberian hak tersebut pun diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemenuhan hak-hak narapidana ini sangat penting dikarenakan merupakan upaya dalam proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan guna mencapai tujuan. Sehingga Pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat lebih memperhatikan hak narapidana sebagai upaya pembinaan narapidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termasuk dalam Pasal 10, diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut:[38]

1.      Pidana pokok meliputi:

a.       Pidana mati;

b.      Pidana penjara;

c.       Pidana kurungan;

d.      Pidana denda.

2.      Pidana tambahan meliputi:

a.       Pencabutan beberapa hak-hak tertentu;

b.      Perampasan barang-barang tertentu;

c.       Pengumuman putusan hakim

Hak-hak narapidana sesuai Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 adalah sebagai berikut, narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat, mendapatkan cuti menjelang bebas, dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

DAFTAR PUSTAKA

Bawono, Bambang Tri, “Tinjauan Yuridis Hak-Hak Tersangka dalam Pemeriksaan

Penahuluan”. Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011

Bambang Sunggono, Aries Harianto. 2009

Bambang waluyo, 2014, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta

Muladi. (1995). Kapita Selecta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro.

Prakoso, D. (1985). Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia Tanusubroto, S. (1983). Dasar-dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Armico.

Indonesia , Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28D.

Pasal 1 angka (32) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Alasan menimbang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 

 



[1] Bawono, Bambang Tri, “Tinjauan Yuridis Hak-Hak Tersangka dalam Pemeriksaan Penahuluan”. Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011

[2] Pasal 17 KUHAP beserta penjelasannya

[3] Pasal 18 ayat (1) KUHAP

[4] Pasal 18 ayat (1) dan (2) KUHAP

[5] Pasal 18 ayat (3) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 hal. 34 6 Pasal 50 ayat (1) KUHAP

[6] Pasal 19 ayat (1) KUHAP

[7] Pasal 59 KUHAP

[8] Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP

[9] Pasal 60 KUHAP

[10] Pasal 57 ayat (1) KUHAP

[11] Pasal 61 KUHAP

[12] Pasal 63 KUHAP

[13] Pasal 58 KUHAP

[14] Pasal 62 ayat (1) KUHAP

[15] Pasal 31 ayat (1) KUHAP dan penjelasannya

[16] Pasal 30 KUHAP

[17] Pasal 33 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya

[18] Pasal 34 ayat (1) KUHAP

[19] Pasal 33 ayat (3) dan (4) KUHAP

[20] Pasal 33 ayat (5) KUHAP

[21] Pasal 50 ayat (2) dan (3) KUHAP

[22] Pasal 51 huruf b KUHAP

[23] Penjelasan Pasal 51 huruf b KUHAP

[24] Pasal 64 KUHAP

[25] Pasal 52 KUHAP

[26] Pasal 54 KUHAP

[27] Pasal 55 KUHAP

[28] Pasal 67 KUHAP

[29] Pasal 244 KUHAP

[30] Bambang Sunggono, Aries Harianto. 2009: 125

[31] Muladi. (1995). Kapita Selecta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro. 33 Prakoso, D. (1985). Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia

[32] Tanusubroto, S. (1983). Dasar-dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Armico.

[33] Indonesia , Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28D. 36 Ibid., Pasal 56 ayat (1) KUHAP.

[34] Ibid., Pasal 56 ayat (1) KUHAP.

[35] Pasal 1 angka (32) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

[36] Alasan menimbang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

[37] Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.40

[38] Bambang waluyo, 2014, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 12.

Lebih baru Lebih lama