MAKALAH TUGAS DAN WEWENANG PENUNTUT UMUM

 

MAKALAH
TUGAS DAN WEWENANG PENUNTUT UMUM



BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

                Negara indonesia adalah negara hukum yang menjamin setia yang menjamin setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan,perlindungan,dan kepastian hukum yamg adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum demikian di amanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Salah satu komponen penting dalam penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan Negara Republik Indonesia,Kejaksaan RI adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan.Sebagai lembaga yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,Kejaksaan RI di pimpin oleh jaksa agung yang di pilih langsung oleh dan bertanggung jawab kepada presiden.

Kelahiran Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang populer dengan nama KUHAP sejak diundangkannya pada tanggal 31 Desember 1981 disambut oleh segenap masyarakat bangsa Indonesia dengan perasaan penuh sukacita dan penuh harapan akan terwujudnya kepastian hukum dan tertib hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa setelah membaca perumusan pasal-pasal dalam KUHAP, warga masyarakat terutama pencari keadilan mengetahui bahwa secara tersurat maupun tersirat KUHAP telah mengatur tentang pemberian perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang lebih dikenal dengan nama Hak Asasi Manusia (HAM).

B.      Rumusan Masalah

1.       Apa saja tugas dan wewenang penuntut umum

2.       Bagaimana Penyusunan Dakwaan dalam acara pidana

3.       Bagaimana proses pelimpahan berkas perkara ke pengadilan

C.      Tujuan

1.       Mengetahui tugas dan wewenang penuntut umum

2.       Mengetahui penyusunan dakwaan dalam acara pidana

3.       Mengetahui proses pelimpahan berkas perkara ke pengadilan

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian,Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

1.       Pengertian Penuntut Umum

KUHAP memberi uraian pengertian jaksa dan penuntut umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13. Di dalam KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa. KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara[1], Di dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu sebagai berikut: 

1)      Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2)      Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Melihat perumusan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan “penuntut umum” menyangkut fungsi. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan tugas penuntutan, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara, dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah serta demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat (Vide Pasal 8 Undang-Undang No.16 Tahun 2004). Melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2004 telah diatur berkaitan dengan jaksa. Misalnya, syarat-syarat dapat diangkat menjadi jaksa, kewajiban mengucapkan sumpah, larangan perangkapan jabatan/pekerjaan, pemberhentian dengan hormat dan tidak dengan hormat, dan sebagainya. Dengan demikian, jaksa adalah jabatan. Jadi, jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut penuntut umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah jaksa. Untuk menjadi penuntut umum yang bersangkutan harus berstatus jaksa.

 

2.       Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Adapun dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain:[2]

1)      Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).

2)       Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut yakni : 

a)       Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya. 

b)      Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.

3)      Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP. 

4)      Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan  Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21). 

5)      Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. 

6)      Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diadili. 

7)      Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa proses serah terima tanggung jawab tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka baik identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali.  

Sedangkan tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam poses penuntutan antara lain adalah sebagai berikut : 

1)      Berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 

2)      Melakukan pembuktian atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum berkewajiban  menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta barang bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan.

3)      Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum Mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih tepat yang diajukan adalah tuntutan (requisitoir),karena tidak menutup peluang selain dari tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri terdakwa.

4)      Bahwa bila atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang sah majelis hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah  yang bersalah melakukannya, maka majelis hakim menjatuhkan putusan, dimana bila  terdakwa dan penuntut umum kemudian menerima, putusan tersebut kemudian berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan Pasal 270 KUHAP, jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut.

5)      Terkait poin d tersebut di atas, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan tersebut maka terdakwa maupun penuntut umum dapat melakukan upaya hukum, upaya hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan/atau upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP. 

6)      Bahwa selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan SKPP (Surat Ketetapan Peghentian Penuntutan) dikarenakan alasan bahwa perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, SKPP tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti baru).

Bahwa selain tindakan-tindakan tersebut, Jaksa Agung secara khusus  mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung  dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara. 

B.      Penyusunan Dakwaan

1.       Pengertian Surat Dakwaan

Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan telah lengkap dan dapat dilakukan penuntutan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP), ia melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera diadili perkara tersebut disertai surat dakwaan. Kalau dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan. Keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas dalam surat tuntutan atau surat dakwaan itulah hakim akan memutuskan. Di samping itu, ada perbedaan asasi, yaitu kalau surat gugatan disusun oleh pihak yang dirugikan, maka dalam pembuatan surat dakwaan, penuntut umum (jaksa) tidak tergantung pada kemauan korban, kecuali dalam delik aduan.[3]

Dakwaan merupakan dasar penting Hukum Aacara Pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Dapatlah dikatakan bahwa salah satu asas yang paling fundamental dalam proses pidana adalah keharusan pembuatan surat dakwaan. Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan. Surat dakwaan menentukan batas-batas pemeriksaan dan penilaian hakim. Ia menunjukkan arah yang dikehendaki penuntut umum. Surat dakwaan memuat fakta-fakta tersebut, tidak boleh kurang atau lebih. Sehingga oleh sebab itulah surat dakwaan dipandang sebagai suatu litis contestatio. Dakwaan dan pemeriksaan di sidang menjadi dasar musyawarah dan putusan hakim. Di persidangan, semua pihak yang tersangkut dalam proses, yaitu hakim, penuntut umum dan terdakwa terikat pada uraian dakwaan yang dituduhkan, maka itu penuntut umum harus cermat dalam membuat surat dakwaan. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu. Terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk perbuatanperbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan. Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.

Surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dakwaan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bilamana ternyata cukup terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.

2.       Peran dan Fungsi surat Dakwaan

Jaksa dalam rangka mempersiapkan surat dakwaan, diberikan kewenangan mengadakan prapenuntutan dalam arti melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang diterimanya dari penyidik serta memberi petunjuk-petunjuk kepada penyidik. Dengan perkataan lain, hasil penyidikan adalah dasar dalam pembuatan suatu surat dakwaan. Rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada hakikatnya tidak lain daripada hasil penyidikan. Keberhasilan penyidikan sangat menentukan bagi keberhasilan penuntutan. Dengan demikian, dapatlah diketahui peranan surat dakwaan yaitu[4] :

1)      Dasar pemeriksaan di sidang pengadilan

2)      Dasar tuntutan pidana (requistoir),

3)      Dasar pembelaan terdakwa dan/atau pembela,

4)      Dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan,

5)      Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding, kasasi, bahkan PK dalam kepentingan hukum).

Surat dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, karena itu surat dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi surat dakwaan dapat dikategorikan (Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No: SE-004/JA/11/1993):

1)      Bagi pengadilan/hakim, surat dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar petimbangan dalam penjatuhan keputusan;

2)      Bagi penuntut umum, surat dakwaan merupakan dasar pembuktian atau analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;

3)      Bagi terdakwa/penasihat hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

Dari pentingnya surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana seperti disebutkan di atas, maka sesungguhnyalah bahwa tujuan utama dari suatu surat dakwaan adalah bahwa undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu tindak pidana. Untuk itu maka sifat-sifat khusus dari sesuatu tindak pidana yang telah dilakukannya itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Terdakwa harus dipersalahkan karena telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, pada suatu saat dan tempat tertentu, serta dinyatakan keadaan-keadaan sewaktu melakukannya. Untuk memudahkan menyusun surat dakwaan, jaksa harus menguasai kasus perkara yang sedang dihadapi, sehingga dapat ditemukan dan dipastikan unsur-unsur pidana yang telah dibuat oleh terdakwa. Untuk dapat menguasai duduk perkara yang sebenarnya dari suatu kasus harus dilakukan penelitian yang seksama atas berkas perkara yang bersangkutan[5]

3.       Dasar Pembuatan Surat Dakwaan

Dasar pembuatan surat dakwaan menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE – 004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan adalah sebagai berikut:

1)      Penuntut umum mempunyai wewenang membuat surat dakwaan (Pasal 14 huruf d KUHAP);

2)      Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137 KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.16 Tahun 2004);

3)      Pembuatan surat dakwaan dilakukan oleh penuntut umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP);

4)      Surat dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang tertangkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan undang-undang pidana yang bersangkutan.

4.       Syarat Surat Dakwaan

Dakwaan harus memenuhi dua syarat sesuai dengan Pasal 14  ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : 

1)      Syarat formil,Dalam surat dakwaan harus disebutkan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.

2)      Syarat materiil,Dalam surat dakwaan harus berisi uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.

Cermat dimaksudkan bahwa dalam penyusunan surat dakwaan penuntut umum harus bersifat cermat atau teliti terutama yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak terjadi kekurangan dan/atau kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam dakwaan tidak berhasil dibuktikan [6]antara lain mengenai hal-hal sebagai berikut :

1)      Dalam tindak pidana atau delik aduan diperlukan adanya surat pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP),

2)      Apakah tindak pidana yang didakwakan tidak nebis in idem atau kadaluwarsa,

3)      Apakah terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHAP),

4)      Apakah ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang tindak pidana yang didakwakan sudah tepat sesuai dengan persyaratan formil dan materiil seperti yang ada dalam berkas perkara hasil penyidikan,

5)      Apakah dalam pemeriksaan penyidikan atau pembuatan BAP, tersangkanya sudah didampingi penasihat hukum (Pasal 56 KUHAP), dll.

Jelas dimaksudkan bahwa dalam penyusunan surat dakwaan penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur tindak pidana atau delik yang didakwakan secara jelas dalam arti rumusan unsur-unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan perkataan lain, uraian unsur-unsur atau pengertian yuridis tindak pidana atau delik yang dirumuskan dalam pasal yang didakwakan harus dapat dijelaskan atau digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan atau perbuatan materiil yang dilakukan oleh terdakwa[7]. Lengkap dimaksudkan bahwa dalam menyusun surat dakwaan penuntut umum harus mampu menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang secara lengkap dalam arti tidak boleh terjadi adanya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tertinggal atau tercecer tidak tercantum. Syarat ini untuk menyebut waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan, dengan ancaman bahwa kalau ketentuan ini tidak dipenuhi maka surat dakwaan batal demi hukum, hal ini diatur dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

Surat dakwaan tidak boleh memuat kualifikasi tindak pidana (misal:pencurian) atau mempergunakan kata-kata yang diambil dari ketentuan Undang-Undang pidana atau suatu pasal Undang-Undang pidana yang dilanggar dengan menambahkan waktu dan tempat terjadinya tindak pidana itu. Surat dakwaan yang menjadi poros proses di persidangan harus berisi perbuatan nyata (kenyataan) yang dilakukan oleh terdakwa (bagian fakta) dan di samping itu, perbuatan nyata yang dilakukan terdakwa harus mengandung seluruh unsur tindak pidana. Perbuatan nyata atau kenyataan yang dilakukan terdakwa dapat disimpulkan dari pemeriksaan pada tingkat penyidikan. 

Dalam menyusun dakwaan tiada halangan bagi penuntut umum untuk mempergunakan kata-kata dalam ketentuan pidana yang mempunyai sifat normatif dan faktual. Perkataan “mengambil” sesuatu barang dalam tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP) sudah cukup jelas menunjukkan perbuatan yang dimaksud. Pengertian “mengambil” tidak perlu dijelaskan. Istilah “mengambil” dalam Pasal 362 KUHP itu sudah merupakan istilah yang dipergunakan dalam pergaulan seharihari. Kalau surat dakwaan memakai istilah yang bersifat normatif/yuridis saja, maka istilah tersebut harus diterjemahkan ke dalam kata seharihari. Kadang-kadang suatu dakwaan memuat suatu kualifikasi (pengertian yuridis) dihubungkan dengan pengertian faktual, dengan kata “dengan”, “dengan cara”, atau “yaitu”. Adapun persoalannya adalah dakwaan harus berisi uraian secara faktual. Tidak selalu kata-kata seperti di atas menunjukkan kualifikasi.

Dalam dakwaan tidak perlu diuraikan hal-hal yang menghapus sifat pidana. Juga apabila tindak pidana hanya dapat dituntut atas pengaduan adanya pengaduan tidak diuraikannya dalam dakwaan. Dakwaan hanya memuat perbuatan nyata yang identik dengan unsurunsur pidana sebagaimana ternyata dalam rumusan delik. Suatu dakwaan dibuat oleh penuntut umum.  Surat dakwaan harus dimengerti oleh terdakwa agar dapat menyiapkan pembelaan. Juga dakwaan harus dimengerti oleh hakim, karena dakwaan itu menjadi dasar pemeriksaan dalam kaitan dengan penegakkan hukum dan merupakan objek pemeriksaan di persidangan. Ia harus diuji dan dipertimbangkan apakah dapat dipakai sebagai dasar dan tolok ukur bagi hakim dalam mengambil keputusan. Pemeriksaan di persidangan untuk musyawarah, apakah perbuatan yang didakwakan terbukti, melawan hukum dan diancam pidana .

5.       Perubahan Surat Dakwaan

Surat dakwaan dapat diubah baik atas inisiatif penuntut umum sendiri maupun merupakan saran hakim. Perubahan itu harus berdasarkan syarat yang ditentukan KUHAP. Perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai. Dalam hal ini KUHAP mengatur tentang kemungkinan perubahan itu secara sederhana pula. Hanya satu pasal saja yang mengatur tentang perubahan surat dakwaan yaitu Pasal 144 yang terdiri atas tiga ayat. Di situ hanya diatur tentang jangka waktu yang diperbolehkan untuk mengubah surat dakwaan. Sama sekali tidak disebut-sebut tentang apa yang boleh diubah dan apa yang tidak boleh diubah. Di sini, terjadi kesenjangan. Setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan, penuntut umum masih mempunyai kesempatan untuk mengubah surat dakwaan berdasarkan Pasal 144 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

1)      Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya,

2)      Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai,

3)      Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan kepada tersangka atau penasehat hukum dan penyidik.

Karena tiadanya batas-batas yang ditentukan dalam Pasal 144 KUHAP tentang perubahan surat dakwaan, maka timbul pertanyaan sampai berapa jauh penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan itu. Menurut peraturan lama (HIR, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum terkenal atau doktrin) dapat diterima perubahan itu yang meliputi berikut ini:

1)      Kesalahan mencantumkan waktu dan tempat terjadinya delik dalam surat dakwaan,

2)      Perbaikan kata-kata (redaksi surat dakwaan sehingga mudah dimengerti dan disesuaikan dengan perumusan delik dalam undangundang pidana,

3)      Perubahan dakwaan yang tunggal menjadi dakwaan alternatif asal mengenai perbuatan yang sama.

Sebagai mana yang dimaksud pasal 144 adalah dimaksudkan untuk menghindari surat dakwaan batal demi hukum di sidang pengadilan. Maka penuntut umum menempuh jalan yang selama ini sudah terjalin dengan pengadilan, yaitu memanfaatkan ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU No.15 Tahun 1961 yang menyatakan : “Dalam surat tuduhan kurang memenuhi syarat-syarat, jaksa wajib memperhatikan saran-saran yang diberikan hakim sebelum pemeriksaan di persidangan dimulai”. Hal ini berarti bahwa kebebasan hakim dalam menilai surat dakwaan telah dibatasi sedemikian rupa atau hakim telah dipengaruhi terlebih dahulu akan kesalahan terdakwa, akan tetapi semata-mata untuk menghindari kesalahan yang sebelumnya tidak disadari atau tidak diketahui oleh penuntut umum.

 

6.       Bentuk Surat Dakwaan

Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk dan susunan surat dakwaan, sehingga dalam praktik penuntutan masing-masing penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan pada umumnya sangat dipengaruhi oleh strategi dan rasa seni sesuai dengan pengalaman praktik masing-masing. Dalam praktik, proses penuntutan dikenal beberapa bentuk surat dakwaan, antara lain sebagai berikut :

1)      Dakwaan Tunggal

Dakwaannya hanya satu/tunggal dan tindak pidana yang digunakan apabila berdasarkan hasil penelitian terhadap materi perkara hanya satu tindak pidana saja yang dapat didakwakan. Dalam dakwaan ini, terdakwa hanya dikenai satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain. Dalam menyusun surat dakwaan tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif, atau kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya, maupun kemungkinan untuk mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana dalam surat dakwaan.Penyusunan surat dakwaan ini dapat dikatakan sederhana, yaitu sederhana dalam perumusannya dan sederhana pula dalam pembuktian dan penerapan hukumnya. 

2)      Dakwaan Alternatif

Dalam bentuk dakwaan demikian, maka dakwaan tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Dalam dakwaan ini, terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja. Biasanya dalam penulisannya menggunakan kata “atau”. Dasar pertimbangan penggunaan dakwaan alternatif adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut, maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan digunakanlah bentuk dakwaan alternatif. Biasanya dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak/ciri yang sama atau hampir bersamaan, misalnya:pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati dan sebagainya. Jaksa menggunakan kata sambung “atau”. 

3)      Dakwaan Subsidiair

Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Keadaan demikian dapat menimbulkan keraguan pada penunutut umum, baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal yang dilanggarnya. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan satu tindak pidana saja.  Oleh karena itu, penuntut umum memilih untuk menyusun dakwaan yang berbentuk subsider, dimana tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat ditempatkan pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang lebih ringan ditempatkan di bawahnya. Konsekuensi pembuktiannya, jika satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Biasanya menggunakan istilah primer, subsidiair dan seterusnya. Meskipun dalam dakwaan tersebut terdapat beberapa tindak pidana, tetapi yang dibuktikan hanya salah satu saja dari tindak pidana yang didakwakan itu. 

4)      Dakwaan Kumulatif

Bentuk dakwaan ini dipergunakan dalam hal menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus. Biasanya dakwaan akan disusun menjadi dakwaan satu, dakwaan dua dan seterusnya. Jadi, dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya. Jaksa menerapkan dua pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung “dan”.

4)      Dakwaan Campuran/Kombinasi

Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair. Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan dalam perkara narkotika.

C.      Pelimpahan Berkas Perkara Ke Pengadilan

Adapun, proses pelimpahan perkara telah diatur dalam Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dilansir dari komisi-kejaksaan.go.id,  berikut adalah prosesnya:

1)      Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.

2)      Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

3)      Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

Empat rangkaian kegiatan tersebut merupakan proses yang harus dilalui penyidik sebelum memberikan berkasnya kepada penuntut umum. Guna melanjutkan proses persidangan, kejaksaan harus menempuh beberapa proses lagi.

1)      Menerima berkas perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Terhadap perkara yang terdakwanya ditahan dan masa tahanan hampir berakhir, petugas segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan.

2)      Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang¬-barang bukti yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara maupun yang kemudian diajukan ke depan persidangan. Barang-barang bukti tersebut didaftarkan dalam register barang bukti.

3)      Bagian penerimaan perkara memeriksa kelengkapan berkas. Kelengkapan dan kekurangan berkas dimaksud diberitahukan kepada Panitera Muda Pidana.

4)      Dalam hal berkas perkara dimaksud belum lengkap, Panitera Muda Pidana meminta kepada Kejaksaan untuk melengkapi berkas dimaksud sebelum diregister.

5)      Pendaftaran perkara pidana biasa dalam register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut.

6)      Pendaftaran perkara pidana singkat, dilakukan setelah Hakim melaksanakan sidang pertama.

7)      Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilakukan setelah perkara itu diputus oleh pengadilan.

8)      Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait, semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara dan pelaksanaan putusan ke dalam register induk yang bersangkutan.Dengan diserahkannya semua berkas perkara yang disyaratkan, pelimpahan perkara berarti telah resmi dilakukan. Namun, guna melanjutkan ke persidangan, beberapa proses lain perlu ditempuh. Proses tersebut meliputi pemilihan hakim, pembagian perkara, dan lain sebagainya

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

KUHAP memberi uraian pengertian jaksa dan penuntut umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13. Di dalam KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa. KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara,

Faktor pendukung penyusunan surat dakwaan adalah kelengkapan Berkas Perkara baik formil maupun materiil dan profesionalisme atau kemampuan yuridis Jaksa Penuntut Umum dalam tahapan prapenuntutan. Kelengkapan formil meliputi identitas tersangka, tanggal, bulan dan tahun pembuatan surat dakwaan, serta tanda tangan Jaksa Penuntut Umum pembuat surat dakwaan. Kelengkapan materiil meliputi uraian perbuatan tersangka dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan berdasarkan keterangan tersangka dan para saksi. Profesionalisme Jaksa Penuntut Umum dalam tahapan prapenuntutan berarti Jaksa Penuntut Umum harus cermat dalam meneliti Berkas Perkara, apakah sudah lengkap ataukah belum, apabila belum lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum harus memberi petunjuk kepada penyidik demi kelengkapan Berkas Perkara. Faktor penghambat penyusunan surat dakwaan adalah kurang profesionalnya Jaksa Penuntut Umum dalam tahapan prapenuntutan dan tidak profesionalnya penyidik dalam melakukan penyidikan. Kurang profesionalnya Jaksa Penuntut Umum dalam tahapan prapenuntutan berarti Jaksa Penuntut Umum kurang cermat dalam meneliti Berkas Perkara sehingga terjadi bolak-balik berkas dari Jaksa Penuntut Umum ke penyidik dalam tahapan prapenuntutan. Tidak profesionalnya penyidik dalam melakukan penyidikan berarti penyidik tidak menggunakan proses yang benar atau dapat dikatakan penyidik tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia dalam memperoleh keterangan baik dari tersangka maupun para saksi. Dalam melakukan penyidikan, penyidik menggunakan paksaan, tekanan, ancaman kekerasan yang menyebabkan trsangka maupun para saksi dalam memberikan keterangan dengan terpaksa, hal ini akan memungkinkan tersangka maupun para saksi dapat mencabut keterangan dalam Berkas Acara Pemeriksaan, inilah yang menyebabkan kekurangan dalam dakwan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Prakte. Jakarta: Rineka Cipta.

Ashshofa, Burhan.2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 

 Hamzah, Andi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

                        . 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 Husein, Harun M. 1994. Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya. Jakarta: Rineka Cipta.

 Kitab   Undang-undang            Hukum Acara   Pidana dengan Penjelasan.                   

Surabaya : Karya Anda.   

 Kuffal, HMA. 2003. KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press.

 Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyelidikan dan Penyidikan. Jakarta: Sinar grafika.

                           . 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana: Bagian Kedua Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi.            

Jakarta: Sinar Grafika.

 Moelyo, Djoko. 1997. Catatan Peristiwa Menarik: Mengulas Kasus-kasus Subversi, Korupsi, Kolusi, Ecstasy, dll. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya.

 Moleong, J Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 

 Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

 Prakoso, Djoko. 1986. Tugas dan Peranan Jaksa dalam Pembangunan  Jakarta: Ghalia Indonesia.

                           .           1985.   Eksistensi         Jaksa   di         Tengah-tengah Masyarakat.             Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002),hal 71

 

[2] HMA Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum. (Malang: UMM Press.2003),hal  218-219

 

 

[3] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia.( Jakarta: Ghalia Indonesia.2002),hal 163

[4] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyelidikan dan Penyidikan. (Jakarta: Sinar grafika).hal 300-301

[5] Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, . Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia.( Jakarta: Bina Aksara.1987) hal 33

 

[6] HMA Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum. (Malang: UMM Press.2003) hal 223

[7] HMA Kuffal, , KUHAP dalam Praktik Hukum. (Malang: UMM Press.2003) hal 223

Lebih baru Lebih lama