Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa dalam Perkara Pidana
A. Pengertian
Upaya Hukum
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan
atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu
demi kebenaran dan keadilan setiap keputusan hakim perlu dimungkinkan untuk
diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat
diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu
upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan
(Sudikno Mertokusumo, 1982: 232).[1]
Secara hukum, pengertian dari upaya hukum diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang berbunyi:
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan utama dalam suatu proses di
muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum
tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat
menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari
kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar
kekeliruan dan kekilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan
keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara
yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan
melaksanakan upaya hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk
mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003:
114-115).
Upaya hukum merupakan hak terdakwa
yang dapat dipergunakan apabila siterdakwa merasa tidak puas atas putusan yang
diberikan oleh pengadilan. Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak
tersebut bisa saja dipergunakan dan bisa juga siterdakwa tidak menggunakan hak
tersebut. Akan tetapi, bila hak untuk mengajukan upaya hukum tersebut
dipergunakan oleh si terdakwa, maka pengadilan wajib menerimanya. Upaya hukum
sangat penting dalam rangka untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil
atau kebenaran yang sesungguhnya, baik untuk terdakwa maupun jaksa sebagai
penuntut umum dari pengadilan yang lebih tinggi.
KUHAP membedakan upaya hukum kepada
dua macam, Upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa (istimewa). Upaya hukum
biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat
banding, dan bagian kedua adalah pemeriksaan kasasi. Sedangkan uapaya hukum
luar biasa adalah peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
B. Upaya
Hukum Biasa
Upaya hukum biasa merupakan upaya
hukum terhadap keputusan yang belum diselesaikan dan penggunaan salah satu dari
upaya hukum itu dapat menangguhkan eksekusi hukuman. Dalam Bab XVII KUHAP upaya
hukum biasa yang terdiri atas:
1. Upaya Hukum Banding
Banding merupakan salah satu upaya
hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang
berperkara terhadap suatu putusan pidana. Terpidana dapat mengajukan Banding
bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri. Proses Banding
akan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi nantinya. Sebagaimana diatur Pasal 67 KUHAP, yang berbunyi:
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk meminta
Banding terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, Kecuali terhadap Putusan
Bebas, Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”
Andi Hamzah, menyatakan bahwa banding
adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menolak putusan pengadilan, dengan
tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi serta
untuk menguji ketepatan penerapan hukum dan putusan pengadilan tingkat pertama.[2]
Dapat dikatakan bahwa banding adalah sarana bagi terpidana atau jaksa penuntut
umum untuk minta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan
ulang atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan tersebut jauh dari
keadilan atau karena adanya kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan keputusan.
Keputusan pengadilan yang dapat
dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan
penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan
hanya kasasi. Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 7 (tujuh)
hari sejak putusan dibacakan sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP. Apabila
jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan
banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap
putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai
Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach.
2. Upaya Hukum Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya
hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang
berperkara terhadap suatu putusan pidana. Terpidana dapat mengajukan Kasasi
atas Putusan Banding, apabila merasa tidak puas dengan isi Putusan Banding
Pengadilan Tinggi. Proses Kasasi akan diperiksa oleh Mahkamah Agung nantinya.
Sebagaimana diatur Pasal 244 KUHAP,
yang berbunyi:
“Terdapat putusan perkara pidana
yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemerikasaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Ditinjau dari aspek historis yuridis,
upaya hukum kasasi (feassate) mula-mula merupakan lembaga hukum yang lahir,
tumbuh, dan berkembang di Prancis dan dipergunakan istilah cassation dari kata
kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan. Oleh karena itu, dengan
titik tolak demikian upaya hukum kasasi adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung
Rl sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain dan bukan
merupakan peradilan tingkat ketiga. Hal ini disebabkan perkara dalam tingkat
kasasi tidak memeriksa kembali perkara seperti dilakukan yudex facti, tetapi
diperiksa mengenai apakah benar sesuatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan menurut undang-undang, dan apakah benar
pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (Pasal 253 ayat (1) huruf a, b,
dan c KUHAP).
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan
kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan
dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.[3]
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 (empat belas) hari sejak
diberitahukan kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Apabila
jangka waktu pernyatan permohonan kasasi telah lewat maka terhadap permohonan
kasasi yang diajukan dianggap menerima putusan sebelumnya. Dan akan ditolak
oleh Mahkamah Agung karena terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang bersangkutan
dianggap telah mempunyai Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach.
Oemar Seni Adji, mengemukakan tiga
alasan untuk melakukan kasasi, yaitu: [4]
a)
Apabila terdapat kelalaian dalam acara (vorniverzuim).
b)
Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan
pada pelaksanaannya.
c)
Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan
menurut cara yang ditentukan undang-undang.
C. Upaya
Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan
perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap putusan yang merugikan
pihaknya. Perlawanan ini ddiajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang
dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan itu dengan cara
biasa.Upaya hukum luar biasa diatur di dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas
dua bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan
Hukum
Menurut Pasal 259 ayat (1) KUHAP,
Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, demi kepentingan hukum. Pada asasnya dalam praktik peradilan
prosedural administrasi, permintaan pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan
hukum hampir identik dengan permohonan kasasi dalam upaya hukum biasa (Bab XVII
Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP). Hanya bedanya pada kasasi jenis ini
dapat dilakukan oleh jaksa agung. Menurut ketentuan KUHAP, kasasi demi
kepentingan hukum pada dasarnya diajukan oleh jaksa agung kepada Mahkamah Agung
secara tertulis melalui panitera pengadilan negeri yang telah memutus perkara
dalam tingkat pertama disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu (Pasal
260 ayat (1) KUHAP). Kemudian, panitera menyampaikan salinan risalah kasasi
kepada yang berkepentingan (Pasal 260 ayat (2) KUHAP). Setelah itu, ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan segera meneruskan kepada Mahkamah Agung
(Pasal 260 ayat (3) KUHAP.
Selain itu, dalam praktik lazim pula
ditemukan bahwa usul untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum berasal
dari kepala kejaksaan negeri. Apabila terjadi demikian, prosedural administrasi
yang dilakukan oleh kajari dengan mempergunakan bentuk P-50 (Usul Permohonan
Kasasi demi Kepentingan Hukum) sesuai Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 di mana perincian turunan
ditujukan kepada kepala kejaksaan tinggi, jam pidum, jaksa agung, dan arsip.
Kemudian, kepala kejaksaan negeri
dalam menggunakan usul upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum bertitik tolak
pada Surat Jam Pidum Nomor R-32/E/6/1994 tanggal 17 Juni 1994 dan mengumpulkan
bahan-bahan yang diperlukan, seperti riwayat penanganan/penyelesaian perkara,
tuntutan pidana, putusan pengadilan negeri yang bersangkutan, dan usulan secara
rinci berisikan pertimbangan/alasan perlunya diajukan kasasi demi kepentingan
hukum.
Kasasi demi kepentingan hukum
diajukan apabila putusan pengadilan negeri terdapat:
a)
Suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan,
tidak sebagaimana mestinya.
b)
Apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang.
c)
Pengadilan melampaui wewenangnya.[5]
Pada dasarnya terhadap tata cara
pengajuan pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum, meliputi:
1)
Permohonan diajukan oleh jaksa agung secara tertulis.
2)
Permohonan tersebut disampaikan ke Mahkamah Agung
melalui panitera pengadilan negeri.
3)
Permohonan tersebut disertai pula risalah yang memuat
tentang alasan permintaan kasasi demi kepentingan hukum.
4)
Bahwa salinan risalah itu selanjutnya diserahkan
panitera pengadilan negeri kepada pihak yang berkepentingan.
5)
Kemudian ketua pengadilan negeri meneruskan dengan
segera permintaan kasasi tersebut ke Mahkamah Agung.
Sedangkan mengenai tata cara
pemeriksaan dan putusan kasasi demi kepentingan hukum pada hakikatnya identik
dengan pemeriksaan kasasi pada upaya hukum biasa. Upaya hukum luar biasa,
kasasi demi kepentingan hukum itu maksudnya ialah untuk mencapai kesatuan
penafsiran hukum oleh pengadilan. Apabila sesuatu meragukan atau
dipermasalahkan diserahkan kepada Mahkamah Agung untuk memutuskan, maka hasil
putusan Mahkamah Agung itu diambil oleh hakim yang lebih rendah sebagai
pegangan.[6]
Bagi terdakwa hal ini sama sekali tidak membawa pengaruh. Jadi, betul-betul
hanya untuk kepentingan teori belaka. Tidak akan merugikan terdakwa (Pasal 259
KUHAP).
Kasasi demi kepentingan hukum
diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan
kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah
memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi
alasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan (Pasal 260
KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan
kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas perkara (Pasal 261 KUHAP).
Ketentuan tentang kasasi demi kepentingan hukum bagi pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262
KUHAP). Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi
demi kepentingan hukum ini penasihat hukum tidak lagi dilibatkan. Jika Mahkamah
Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum, maka Mahkamah Agung
membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian terjawablah
keragu-raguan atau hal yang dipermasalahkan itu.
Kasasi demi kepentingan hukum
diajukan jika sudah tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat dipakai.
Permohonan kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui
panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai
risalah yang menjadi alasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang
berkepentingan (Pasal 260 KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas
perkara (Pasal 261 KUHAP).
Pada umumnya, selain dari kewenangan
mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, secara prosedural sama saja dengan
kasasi biasa, kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum advokat tidak
dilibatkan. Mengapa dikatakan Advokat tidak dilibatkan, karena secara logika
tidak ada kepentingan individu atau kepentingan klien yang diperjuangkan di
dalam kasasi demi kepentingan hukum. Semata-mata adalah kepentingan hukum.
Walaupun di dalam kenyataan dapat saja atau tidak mustahil putusan Mahkamah
Agung menguntungkan terdakwa. Sebaliknya putusan Mahkamah Agung tidak boleh
merugikan terdakwa (Pasal 259 ayat (2) KUHAP).
Ketentuan tentang kasasi demi
kepentingan hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berlaku juga
bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP). Jika Mahkamah Agung menerima
permohonan kasasi demi kepentingan hukum, maka Mahkamah Agung membatalkan
putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian sekaligus menjawab
keragu-raguan atas hal yang dipermasalahkan itu.[7]
2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang
Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pada dasarnya secara limitatif upaya
hukum Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang lazim disebut dengan istilah herziening diatur dalam Bab XVIII
Bagian Kedua Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Ketentuan Pasal 263 ayat
(1) KUHAP, menentukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 264 ayat (3) KUHAP dan Pasal 268
ayat (1) dan ayat (3) KUHAP, maka dapatlah direkapitulasi bahwa Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, ruang
lingkupnya meliputi:[8]
1.
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli
warisnya.
2.
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap tersebut hanya dapat dilakukan terhadap putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang menjatuhkan
pidana dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.
Terhadap putusan bebas/vrijspraak dan putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum/onslag van alle rechtsvervolging tidak dapat
diajukan peninjauan kembali.
4.
Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan
suatu jangka waktu.
5.
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut dan hanya
dapat dilakukan satu kali.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum
terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, baik
putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, maupun keputusan kasasi
dari Mahkamah Agung. Sebelum berlakunya KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), belum ada
undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuam Peninjauan kembali ini
diatur di dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Hal yang sangat
menarik di dalam Padal 263 ayat (1), adalah bahwa Peninyauan Kembali hanya
memberi hak kepada terdakwa dan ahli warisnya. Belakangan hal ini berkembang,
Jaksa pun dapat mengajukan P.K. dengan mengaitkan penafsiran oleh pihak-pihak
yang berkepentingan di dalam Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970, serta kerena tidak
ada larangan khusus untuk mengajukan PK di dalam 263 ayat (1) KUHAP). Padahal
undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 21 UU No 14
Tahun 1970, hanya menyebut kemungkinan peninjauan kembali, tetapi
pelaksanaannya sesuai dengan undang-undang.
Untuk jelasnya, Pasal 21 UU No. 14
Thun 1970, berbunyi, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan
dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan, yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Baru setelah UU No. 14 Tahun 1970 diubah dengan 35 Tahun 1999, selanjutnya
diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan Kehakiman
secara defenitif mengenai peninjauan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap
dicantumkan di dalam Pasal 23. Dalam pasal ini ditetapkan peninjauan kembali
dapat dilakukan apabila hal atau keadaan tertentu. Misalnya ditemukan bukti
baru (novum baru), dan atau adanya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.[9]
Munculnya kasus Karta dan Sengkong
yang sangat menghebohkan pada pertengahan tahun 1980, membuka mata pemerintah,
para penegak hukum, para pakar mupun masyarakat tentang pentingnya ketentuan
hukum yang mengatur perihal peninjauan kembali. Maka Mahkamah Agung setelah
mengadakan rapat kerja dengan DPR tanggal 19 November 1980, membuat terobosan
dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur
kemungkinan mengajukan peninjauan kembali putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana.
Dalam Pasal 9 diatur mengenai perkara
pidana, yang menyatakan, bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu
putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memuat
pemidanaan, dengan alasan sebagai berikut:[10]
1.
Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat
keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan.
2.
Apabila terdapat suatu keadaan sehingga menimbulkan
persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang
masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan
terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa
perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak
diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan
atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Ketentuan
pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, hampir sama dengan ketentuan
KUHAP yang tersebut pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan
permintan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
1.
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang tebih ringan.
2.
Apabila dalam pelbagai keputusan terdapat pernyataan
bahwa sesuatu tetah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan
alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain.
3.
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian, Pasal 263 KUHAP ayat (3)
mengatakan bahwa atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2)
terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan. Karena hak mengajukan permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adalah terpidana
atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP
ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai
berikut:[11]
1.
Tidak Membenarkan Alasan Pemohon Apabila Mahkamah Agung
tidak membenarkan alasan pemohon Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan
kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.
2.
Membenarkan Alasan Pemohon Apabila Mahkamah Agung
membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dapat
berupa:
a)
Putusan bebas.
b)
Putusan lepas dari segala tuntutan.
c)
Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
d)
Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
Ketentuan yang tercantum di dalam
ayat (3) Pasal 266 KUHAP, yang menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putusan
peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam
putusan semula. Pengaturan ini menurut pendapat penulis adalah berkelebihan,
karena dalam ayat (2) pasal itu juga, telah jelas dinyatakan bahwa putusan yang
dijatuhkan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Selanjutnya, mengenai ganti kerugian,
dalam ketentuan tentang peninjauan kembali suatu putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yang tersebut di dalam KUHAP, tidak diikuti dengan
peraturan tentang ganti kerugian yang semestinya mengikuti putusan Mahkamah
Agung tentang pembatalan putusan. Sebab Ganti kerugian setelah putusan terhadap
peninjauan kembali (herz/ening) itu bersifat imperatif berbeda dengan ganti
kerugian yang tersebut dalam Pasal 81 dan 95 KUHAP yaitu ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain adalah
bersifat fakultatif. Hal ini masih merupakan kekosongan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Seni Oemar. 1981. Hukum Pidana. Jakarta:
Erlangga.
Amin, S.M. 1981. Hukum Acara Pengadilan Negeri.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Manalu, Paingot Rambe. 2010. Hukum Acara Pidana Dari
Segi Pembelaan. Jakarta: CV Novindo Pustaka Mandiri.
Mertokusumo, Sudikno. 1982. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara
Pidana. Bandung: Citra Adiya Bakti.
Mumbunan, Rendi Renaldi. 2018. Upaya Hukum Biasa Dan
Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana Jurnal: Lex Crimen Vol.
VII, No. 10.
[1] Prof Dr.
Sudikno Mertokusumo, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm 232.
[2] Rusli
Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 248.
[3]
Rusli
Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 240.
[4] Oemar Seni Adji, Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1981),
hlm. 20.
[5]
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:
Citra Adiya Bakti, 2007), hlm. 243.
[6] S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan
Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm. 121.
[7]
Rendi Renaldi Mumbunan, Upaya Hukum Biasa Dan Luar Biasa Terhadap
Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, (Jurnal: Lex Crimen Vol. VII, No. 10,
Des 2018), hlm. 44.
[8]
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana,
(Bandung: Citra Adiya Bakti, 2007), hlm. 249-256.
[9] Penjelasan Pasal 23 UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Undang-Undang Pokok Kehakiman.
[10]
Paingot Rambe Manalu, dkk, Hukum Acara Pidana Dari Segi Pembelaan, (Jakarta,
CV Novindo Pustaka Mandiri, 2010), hlm. 214-215.
[11]
Paingot Rambe Manalu, dkk, Hukum Acara Pidana Dari Segi Pembelaan,
(Jakarta: CV Novindo Pustaka Mandiri, 2010), hlm. 216.