LAFADZ NAHI (LARANGAN) DAN BENTUK-BENTUK LAFADZ NAHI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh
merupakan ilmu yang digunakan sebagai metodologi dalam menggali hukum-hukum
yang terdapat dalam Al-Qur`an dan sunnah begitu juga dengan penetapan hukum
yang secara eksplisit tidak diatur dalam Al-Qur`an dan sunnah tersebut.
Dalam menggali hukum
perlunya keterampilan yang dimiliki oleh mujtahid baik itu keterampilan secara
kebahasaan maupun keterampilan dalam menggali hukum sedalam-dalamnya. Salah
satu hal yang harus dikuasai dalam menetapkan hukum Islam adalah dengan
memahami secara mendalam susunan bahasa yang terdapat dalam teks-teks keagamaan
tersebut.
Dalam ilmu ushul fiqh
terdapat materi khusus yang berbicara mengenai dalalah lafaz tersebut. Salah
satu materi yang penting untuk dipahami adalah lafaz yang berkaitan dengan
larangan (nahi). Karena banyaknya bentuk kata berupa larangan di dalam
teks-teks keagamaan tersebut. Maka terdapatlah materi khusus yang membahas
segala hal yang berkaitan dengan bentuk nahi ini. Sehingga nantinya ketika
menggali hukum Islam pemahaman terhadap petunjuk nahi ini sangat memberikan
dampak yang signifikan terhadap penetapan hukum Islam tersbut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
definisi lafadz nahi?
2. Bagaimana
bentuk-bentuk lafadz nahi?
3. Bagaimana
kaidah-kaidah lafadz nahi? 4. Bagimana macam-macam lafadz nahi?
5. Bagaimana
syarat-syarat lafadz nahi?
6. Bagaiamana
Hubungan Nahî dengan Pelanggaran Perbuatan yang Dilarang?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui definisi lafadz nahi.
2. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk lafadz nahi.
3. Untuk
mengetahui kaidah-kaidah lafadz nahi.
4. Untuk
mengetahui macam-macam lafadz nahi.
5. Untuk
mengetahui syarat-syarat lafadz nahi.
6. Untuk
mengetahui Hubungan Nahî dengan Pelanggaran Perbuatan yang
Dilarang
BAB IIPEMBAHASAN
A. Definisi Nahi
Nahi menurut bahasa
artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan menurut istilah adalah lafadz
yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan
menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita
untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih
tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah
orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
النهي هو طلب الترك من الاعلى الى ادنى
Artinya: “Memerintah
meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang
lebih rendah tingkatannya.”[1]
Menurut Abdul Hamid
Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari
atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang
datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[2]
Adapun maksud nahi yang
sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah:
يٰٰٓايَهَُّا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا لَا تأَكُْلوُا ال رِبٰوٰٓا اضَْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖ وَّاتقَّوُا
هاللَّٰ لَعَلكَُّمْ تفُْلِحُ وْ نَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
(QS.
Ali Imran ayat 130)
Karena Laata’kulu berbentuk
nahi sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya
haram, karena tidak diridhai Allah, inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak
lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.[3]
B. Bentuk-bentuk Lafadz Nahi
Kalimat larangan yang
tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman
Allah:
يٰٰٓايَهَُّا الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا لَا تقَْرَبوُا الصَّلٰوةَ وَانَْتمُْ
سُكَارٰى...
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk...” (QS.An Nisa ayat
43)
Ungkapan yang
menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
1. Fi’il
Mudhari yang disertai dengan la nahi, seperti:
...لَا تفُْسِدوُْا فىِ الْارَْضِ ...
Artinya:
“...Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi...”. (QS. Al-Baqarah ayat
11).
2. Lafadz-lafadz
yang memberi peringatan haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan,
seperti:
...وَاحََلَّ ه اللُّٰ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ ال رِبٰو ا...
Artinya: “...Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”. (QS. Al-Baqarah ayat 275).
C. Kaidah-kaidah Nahi
1. Pada
dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَا تقَْرَبوُا ال زِنٰ
ىٰٓ...
Artinya: “Dan janganlah
kamu mendekati zina...” (QS. Al-Isra ayat 32)
2. Larangan
terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
...لَا تشُْرِكْ بِال هل
...
Artinya: “...Janganlah
kamu mempersekutukan Allah...” (QS. Luqman ayat 13)
3. Pada
dasarnya larangan yang mutalk menghendaki pengulangan dalam larangan setiap
waktu, seperti:
...لَا تقَْرَبُوا
الصَّلٰوةَ وَانَْتمُْ سُكَارٰى...
Artinya: “...Jangan
kamu kerjakan shalat dalam keadaan
mabuk...” (QS.An Nisa ayat 43)
D. Macam-macam
Nahi
1. Untuk do’a
رَبَّنَا لا تؤَُاخِذْنَا
إِنْ نَسِينَا أوَْ أخَْطَأنَْا
Artinya: “Hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila
kami lupa atau salah.” 2. Untuk pelajaran
لَا تسَْـلَٔوُْا عَنْ
اشَْيَاۤءَ اِنْ تبُْدَ لكَُمْ تسَُؤْكُمْ
Artinya: “Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” 3. Putus asa
لَا تعَْتذَِرُوا الْيَوْ
مَ
Artinya:
“Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini” 4. Untuk menyenangkan
(menghibur)
لَا تحَْزَنْ اِنَّ
هاللَّٰ مَعَنَ ا
Artinya: “Janganlah
kamu bersedih, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
E. Syarat-syarat Nahi
1. Menunjukkan
haram
Alasannya, apabila ada
kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti
keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan
pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata
yang menyerupai larangan, yang
menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
2. Menunjukkan
makruh
Alasannya, larangan itu
hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan
ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang
dilarang.[4]
3. Melarang
sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak atau tidak
sah
Larangan melakukan
suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila
dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam
Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi
itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali
hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama
Syafi‟iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak
pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal
ibadah dan muamalah”. Sementara Imam
Syaukani
berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah
menyebabkan
perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya,
dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).”[5]
F. Hubungan Nahî dengan Pelanggaran
Perbuatan yang Dilarang
Setiap larangan atau
nahî menghendaki ditinggalkannya perbuatan yang dilarang itu. Bila perbuatan
itu dilakukannya berarti ia melakukan perlanggaran terhadap yang melarang dan
karenanya ia patut menerima dosa atau celaan. Namun bagaimana kedudukan hukum
(wadh‘i) dari perbuatan terlarang yang dilakukan itu. Um pamanya seseorang yang
dilarang melakukan sesuatu dalam waktu tertentu, seperti puasa di hari raya
‘idul fitri. Kalau dia melakukan puasa tersebut, apakah puasanya sah atau
tidak. Contoh lain larangan melakukan jual beli saat khatib telah naik mimbar.
Jual beli yang dilakukan pada waktu itu sah atau tidak. Apakah suatu larangan
meliputi tuntutan terhadap tidak sah atau fâsid-nya perbuatan yang dilarang
atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1. Sebagian
ulama fiqh dari pengikut Syafi‘i, Malik, Abu Hanifah, Hanbali, Zhahiri, dan
golongan ulama Kalam berpendapat bahwa larangan atau nahi menuntut tidak sahnya
perbuatan yang dilarang itu bila dikerjakan.
Mereka mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
a.
Hadis Nabi yang melarang melakukan shalat
tanpa bersuci Artinya:
“Tidak sah shalat,
kecuali dengan bersuci.” Nabi melarang melakukan pernikahan tanpa wali
Artinya:
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali.”
Tentu yang dimaksud dengan larangan ini
bukan kelangsungan perbuatannya, tetapi berarti tidak ada hukumnya. Hal ini
berarti bahwa perbuatan yang dilakukan dalam bentuk yang dilarang tidak ada
hukumnya; dalam arti tidak sah.
b.
Larangan itu mengeluarkan sesuatu yang
dilarang dari kedudukannya sebagai hukum syar‘î. Sah dan boleh itu termasuk
hukum syar‘î. Sesuatu yang dikeluarkan dari kedudukannya sesuai dengan hukum
syara’, maka juga harus dikeluarkan dari kedudukannya, sesuai dengan hukumnya.
c.
Amar menunjukkan sah dan bolehnya perbuatan
yang disuruh itu. Oleh karena nahî itu adalah lawan amar, maka nahî juga
menunjukkan batal dan fâsid (rusak) atau tidak sah. Apa-apa yang ditunjuk oleh
amar pada perbuatan yang disuruh, maka nahî juga harus menunjuk kepada perbuatan
yang dilarang.
2. Golongan
Muhaqqiq dari ulama Syafi‘iyah (seperti Imam Haramain, al- Qaffal, al-Ghazali),
kebanyakan ulama Hanafi, segolongan ulama
Mu’tazilah (seperti Abu Abdillah
al-Bashri, Abu Husein al-Karakhi, Qadhi Abdul Jabar, Abu Husein al-Bashri) dan
sebagian ulama Syafi‘i berpendapat bahwa nahi tidak menunjukkan tidak sahnya
perbuatan yang dilarang.
Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.
Suatu dalil yang tidak membolehkan adanya,
maka tidak ada pula madlul-nya. Kita sering mengemukakan dalam syari‘at yang
berupa larangan dan hukum haram, menyertai hukum sah dan memadai. Hal itu
menunjukkan bahwa larangan itu tidak menunjukkan fasid-nya perbuatan yang
dilarang.
b.
Puasa yang dilakukan pada hari raya adalah
sah dan dapat digunakan untuk membayar puasa yang ditinggalkan. Jual beli pada
saat berlangsung khotbah adalah sah. Kedua perbuatan tersebut (puasa dan jual
beli) adalah sah hukumnya meskipun dilarang melakukannya pada waktu-waktu
tersebut. Hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara larangan dengan
tidak sahnya suatu perbuatan. Fâsid atau tidak sah itu adalah sifat tambahan
yang tidak dituntut oieh lafaz nahi. Oleh karena itu, hukum tidak sah atau
fâsid itu tidak dapat ditetapkan hanya dengan adanya larangan itu.
3. Pendapat
jumhur ulama dapat dikelompokkan kepada beberapa bentuk larangan menurut jenis
perbuatannya, yaitu:
a. Suatu
larangan bila berlaku dalam ibadat seperti puasa di hari raya atau hari tasyrîk
berakibat batalnya puasa yang dilakukan pada hari yang dilarang itu.
b. Bila
larangan itu mengenai mu‘amalat dalam arti umum, seperti jual beli, tidak
berakibat fâsid-nya perbuatan yang dilarang jika dilakukan pada saat-saat
terlarang selama larangan itu tidak mengenai akad itu sendiri atau unsur dalam
atau unsur luarnya yang merupakan bagian dari kelazimannya.
c. Bila
larangan mengenai zat dari akad suatu perbuatan, seperti larangan melemparkan
batu, atau mengenai unsur dalamnya seperti larangan jual beli binatang yang
masih dalam perut induknya, atau mengenai unsur luarnya yang menjadi
kelazimannya seperti jual beli riba, maka larangan tersebut berakibat pada
fâsid-nya perbuatan yang dilarang itu bila dilakukan.
Alasan fâsid-nya
perbuatan yang dilarang dalam ibadat adalah karena ibadat itu dilakukan dengan
tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Tidak mungkin mendekatkan diri kepada
Allah dengan melakukan perbuatan yang dilarang-Nya.
Alasan bahwa tidak
fasid-nya perbuatan yang dilarang bila larangan tidak menyentuh rukun atau
syaratnya adalah karena hukum sah dan fasid itu adalah hukum wadh‘i. Karenanya,
akad itu menimbulkan pengaruh terhadap perbuatan terse but. Pengaruh hukum dari
akad itu mengikuti rukun dan syarat yang ditetapkan oleh Syari’. Bila telah
terpenuhi rukun dan sya ratnya, maka terlaksanalah urusan (perbuatan) tersebut.
PENUTUP
A. Simpulan
Nahi adalah suatu lafaz
yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang
yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
Bentuknya yaitu fiil yang didahului oleh lanahiyah, beberapa lafaz yang mengandung
makna nahi. Kaidah nahi yaitu pada dasarnya larangan itu menunjukkan kepada
haram kecuali ada qarinah-qarinah tertentu. Pada dasarnya larangan itu
menghendaki fasad ( rusak) secara mutlak. Pada dasarnya larangan yang mutlak
menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Bagi para mufassir sangat
penting untuk mengetahui kaidah-kaidah tersebut karena memudahkan dalam
menafsirkan Al-Quran terutama ayat-ayat yang berhubungan dengn penggalian suatu
hukum.
Setiap larangan atau
nahî menghendaki ditinggalkannya perbuatan yang dilarang itu. Bila perbuatan
itu dilakukannya berarti ia melakukan perlanggaran terhadap yang melarang dan
karenanya ia patut menerima dosa atau celaan.
Namun bagaimana kedudukan hukum (wadh‘i)
dari perbuatan terlarang yang dilakukan itu.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan
saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang
kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh. 1973. Ushul
Fiqih. Bandung: Al-Maarif.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Prenada Media.
Uman, Chaerul. Achyar Aminuddin. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka
Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein. 2008. Ushul Fiqh. Sidoarjo: Darul Hikmah.
[1]
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1973), hlm. 42.
[2] Muhammad Ma’sum Zein
Zudbah, Ushul Fiqh, (Sidoarjo: Darul
Hikmah, 2008), hlm.
52.
[3] Chaerul Uman, Achyar
Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung:
Pustaka Setia), hlm. 118.
[4] Chaerul Uman, Achyar
Aminuddin, Ushul Fiqih II,.hlm. 118.
[5] 5 Ibid, hlm. 124.