PERBEDAAN PENYELIDIK DAN PENYIDIK

PERBEDAAN PENYELIDIK DAN PENYIDIK


A. Penyelidik, Fungsi dan Wewenangnya

1. Pengertian Penyelidikan

Secara umum dapat didefinisikan bahwa penyelidik adalah orang yang melakukan penyelidikan. Atau dengan kata lain, penyelidik adalah orang yang menyelidiki suatu peristiwa atau kejadian guna mendapatkan kejelasan tentang peristiwa atau kejadian tersebut.1 Sedangkan menurut Pasal 1 butir 4 KUHAP, penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.2

Penyelidikan merupakan tahapan yang tidak dapat di pisahan dalam proses menentukan apakah orang tersebut melakukan perbuatan tindak pidana atau tidak karena sebelum aparat melakukan penyidikan maka harus ada bukti yang dapat di tanggung jawabkan perihal tindak pidana yang telah dilakukan oleh sesorang.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 butir (5) menyebutkan bahwa :

“Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh Undang-Undang ini”.

Dari penjelasan  diatas masih ada kata diduga yang berarti masih kemungkinan bahwa tidak semua peritiwa yang terjadi dapat dikatakan sebagai tindak pidana [1]dan sebagai bentuk kehati-hatian hukum untuk menjaga dan menjamin hak asasi manusia 

Penyelidikan adalah rangkaian proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari proses penyidikan oleh Polri sebagai bagian dari kebijakan aplikatif hukum pidana (politik kriminal). Dalam penanganan tindak pidana korupsi proses paling awal dimulai dari proses penyelidikan.[2]

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pernyataan bahwa kegiatan penyelidikan adalah bagian awal dari kegiatan penyidikan, artinya penyelidikan bukan merupakan bagian yang terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan berfungsi untuk mengumpulkan bukti-bukti permulaan untuk diteruskan ketahap selanjutnya yaitu penyidikan.[3]

Meskipun penyelidikan dan penyidikan terdapat perbedaan definisi, namun fungsi dari penyelidikan tidak terpisah dari fungsi penyidikan. Akan tetapi, peyelidikan merupakan suatu cara atau metode yang mendahului penyidikan. Adapun urgensi dari fungsi penyelidikan antara lain:

1.       Adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia

2.       Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upayapaksa           

3.       Ketatnya pengawasan dan adanya ganti kerugian dan rehabilitas

Maka dengan adanya KUHAP dapat mencegah digunakannya dengan mudah upaya paksa. Hendaknya upaya paksa hanya dapat digunakan untuk kepentingan umum yang lebih luas sebagai tindakan yang terpaksa. Mengingat pentingnya fungsi penyelidikan agar tidak terjadi kekeliruan dalam pemeriksaan, maka ada dua hal yang perlu menjadi perhatian dan ketelitian, antara lain:6

1)      Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Sebagaimana yang telah dikatahui, setiap peristiwa yang terlihat bukan berarti tindak pidana. Harus dipastikan bahwa peristiwa tersebut benar-benar tindak pidana menurut pengertian hukum pidana. Tidak mudah untuk menentukan suatu peristiwa tersebut adalah tindak pidana. Maka dari itu, seorang penyelidik harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dari segi teknis reserse serta harus memiliki pengetahuan hukum pidana yang cukup memadai sesuai tugasnya sebagai seorang penyelidik.

2)      Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

Setelah seorang penyelidik memastikan bahwa peristiwa tersebut termasuk tindak pidana, selanjutnya seorang penyelidik bersama bukti-bukti atas tindakan pidana tersebut harus melakukan analisa bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana, adalah benar-benar merupakan tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan. Sebab data dan fakta yang dibutuhkan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut telah terkumpul melalui usaha penyelidikan.

2. Fungsi Penyelidikan

Fungsi penyelidik anatara lain sebagai pelindung dan jaminan terhadap hak asasi manusia karena adanya prosedur yang ketat untuk mencapai pembuktian bahwa seseorang telah benar melakukan tindak pidana berkaitan dengan ada kemungkinan bahwa tidak semua tidakan dapat di katagorikan menjadi tindak pidana. Hal itu berdasar juga pada tujuan dari penyelidikan adalah untuk mendapatkan atau mengumpulkan datadata yang dapat menentukan orang tersebut telah melakukan tidan pidana atau tidak sesuai dengan prinsip dari KUHP bahwa orang yang dapat di anggap sebagai pelanggar pidana adalah adanya principle of legality atau ada aturan tertulis yang tercantum (kuhp), kemudian adanya criminal act atau ada perilaku hukum yang melanggar ketentuan KUHP sehingga fungsi dari penyelidikan ini dapat berjalan dengan semestinya dengan bukti bukti yang di dapatkan kemudian di serahkan untuk dilakukan penyidikan[4].

3. Tugas dan Wewenang Penyelidik

Dari ketentuan Pasal 1 ayat 5 tentang penyelidikan dan Pasal 5 ayat 1 huruf (a) dan (b) KUHAP tentang tugas dan wewenang penyelidik adalah: 

a.    Apabila dilihat dari tugas dan wewenang penyelidik berdasarkan hukum dapat berupa: 

1)         Menerima laporan atau pengaduan; 

2)         Mencari keterangan dan alat bukti; 

3)         Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda       pengenal diri; 

4)         Mengadakan tindakan lain menurut hukuman yang bertanggungjawab.

b.    Kewenangan penyelidik atas perintah penyidik: 

1)         Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 

2)         Pemeriksaan dan penyitaan surat; 

3)         Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 

4)         Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.[5]

 

B. Penyidik, Fungsi dan Wewenangnya

Setelah dilakukannya penyelidikan, selanjutnya tentang penyidik sesuai ketentuan Pasal 1 butir 1 adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan tugas penyidikan. Selanjutnya batasan mengenai istilah penyidikan tertuang dalam Pasal 1 butir 5, yang berbunyi: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.[6]

Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan, yaitu sebagai berikut.[7]

1.       Pejabat polisi negara Republik Indonesia.

2.       Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang.

 Dalam pelaksanaannya lebih lanjut pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, ditetapkan syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidikan sebagai berikut.[8]

1.    Polisi negara R.I yang berpangkat sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua

Polisi;

2.    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dengan pangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu;

3.    Apabila di suatu Sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik;

4.    Penyidik polisi negara ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, wewenang penunjukkan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat kepolisian lain;

5.    Penyidik pegawai negeri sipil ditunjuk oleh Materi Kehakiman dengan pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Dari ketentuan diatas, penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang. Kewenangan pejabat penyidik diatur dalam pasal 7 KUHAP. Kewenangan tersebut terdiri dari:

a.    Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b.    Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c.    Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;

d.    Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

e.    Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f.     Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g.    Memanggil orang untuk didengar dan dipriksa sebagai tersangka atau aksi;

a.    Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

b.    Mengadakan penghentian penyidikan;

c.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab;

 

Kewenangan antara pejabat penyidik polri dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil (PNS) harus berada di bawah koordinasi penyidik polri sebagaimana aturan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing. Selain itu, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya penyidik polri didampingi penyidik pembantu, yaitu pejabat Kepolisiaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disingkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat dan kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.

Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “pejabat kepolisiaan negara Republik Indonesia” termasuk pegawai negri sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian negara Republik Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 KUHAP, seorang penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti halnya pada Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Berdasarkan penjelasan Pasal 11 KUHAP bahwa pelimpahan kewenangan penahanan kepada penyidik pembantu diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpecil atau di tempat yang belum ada petugas penyidik dan/atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran. Sehingga dengan demikian dapat diatasi kemungkinan terjadinya stagnasi pelaksanaan di daerah tersebut.[9] Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum (Pasal 12 KUHAP).

Dalam menegakkan hukum pidana dan menjaga ketertiban umum terkait kewenangan masing-masing penyidik, maka perlu kerjasama dan koordinasi yang baik serta persepsi yang sama antara penyidik Polri dan penyidik PNS bagi pelaksanaan hukum acara pidana, khususnya dalam melakukan penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana. Sedangkan yuridiksi penyelidik dan penyidik polri menurut

Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP yaitu mempunyai wewenang melakukan tugas masingmasing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya didaerah hukum masingmasing dimana ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang undang (Pasal 9 KUHAP).

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), seperti pejabat Bea dan Cukai, Pejabat Imigrasi, Pejabat Kehutanan serta Pejabat Kantor Perhubungan dalam melaksanakan kewenangannya harus berkoordinasi dengan Penyidik Polri. Kewenangan penyidik pegawai Negri Sipil (PPNS) diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) Nomor : M.04-PW.07.03 tahun 1984 sebagia berikut:

Pasal 1 :

 

1.    Penyidik PNS mempunyai wewenang penyidikan sesuai dengan undang undang yang menjadi dasar hukumnya.

2.    Dalam melakukan tugas sebagaimana tersebut pada ayat (1) penyidik PNS tidak berwenang melakukan penangkapan dan atau penahanan.

Pasal 2 :

 

Apabila undang undang yang menjadi dasar hukum tidak mengatur secara tegas kewenangan yang diberikannya, maka penyidik PNS karena kewenangnnya mempunyai wewenang :

1.    Menerima laporan atau pengaduan dari seseoarang tentang adanya tindak pidana;

2.    Melakukan tidakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukn pemeriksaan;

3.    Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri seorang;

4.    Melakukan penyitaan benda dan atau surat;

5.    Mangambil sidik jari dan memotret seseorang;

6.    Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka dan saksi;

7.    Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan perkara;

8.    Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa

tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;

9.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam Pasal 3 juga mengatakan, penyidik Pegawai Negeri Sipil membuat berita acara disetiap melakukan tindakan : Pemeriksaan tersangka; Pemasukan rumah; Penyitaan benda; Pemeriksaan surat; Pemeriksaan saksi; dan Pemeriksaan di tempat kejadian dan mengirimkannya kepada Penyidik Polri.

Syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik Polisi dan PNS diatur dalam Pasal 2 peraturan pemerintah Nomer 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP sebagai berikut :

1.      Penyidik adalah :

a.    Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;

b.    Pejabat Pegawai Negri Sipil tentu yang sekurang-kurangya Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/B)

2.      Dalam hal ini suatu Sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara maka dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.

3.      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI sesuai peraturan perundng-undangan yang berlaku.

4.      Wewenang penunjukan sebagai mana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara RI sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5.      Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

 

C. Tata Cara Pemeriksaan Penyelidikan

Pertama, melakukan usaha mencari keterangan guna membuat terang tindak

pidana; kedua, melakukan pemeriksaan dan pemanggilan dengan menyebut alasannya yang sah serta ketiga, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan waktu seseorang itu dapat memenuhi panggilan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP.[10] Menurut Penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP pemanggilan harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah ditandatangani pejabat penyidik yang berwenang. Tersangka dan Saksi yang dipanggil wajib datang kecuali memberikan alasan yang patut tidak bisa hadir (Pasal 113 KUHAP). Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 Nomor : 14-PW.07.03 Tahun 1983 tenggang waktu yang wajar disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah setempat.

Menurut Pasal 109 ayat (1) KUHAP dinyatakan, dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Surat pemberitahuan ini dikenal dengan istilah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dilakukan dalam rangka koordinasi dan pengawasan horisontal diantara instansi penegak hukum. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 Nomor : 14-

PW.07.03 Tahun 1983 pengertian “mulai melakukan penyidikan” adalah apabila dalam penyidikan tersebut sudah dilakukan tindakan upaya paksa, seperti penangkapan dan penahanan.

Penyidikan terhadap suatu tindak pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara dan menemukan pelakunya. Rangkaian tindakan-tindakan tersebut terdiri dari Tindakan pertama di tempat kejadian, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan penyitaan, Pemeriksaan saksi- saksi, Pemeriksaan ahli, Pemeriksaan tersangka, Penggalian dan bedah mayat, Visum Et Repertum, dan Rekontruksi.[11] 

DAFTAR PUSTAKA

Fahirin.  2017. Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Penyelidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Dalam Rangka Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi. Supremasi Jurnal Hukum Vol. 2, No. 1.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 

Harahap, MY.              2001. Pembahasan     Permasalahan dan            Penerapan           KUHAP:

Penyelidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Husein,HM. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ihsan, Ahmad, Amin Purnawan, Lathifah Hanim. 2017. Proses Pelaksanaan Penyelidikan Dan Penyidikan  Terhadap Tindak Pidana Fidusia Di Polres Demak. Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 4 .

Moeljatno. 2001. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Edisi Baru. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyadi.lilik. 2007.  Hukum Acara Pidana. PT.Alumni Bandung,

Sutarto, S. 1991. Hukum Acara Pidana. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Yudowidagdo,H.,dkk. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia.

Jakarta: PT. Bina Aksara.

 



[1] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT.Alumni, Bandung, 2007,hlm.56.

[2] Akhmad Ihsan, Amin Purnawan, Lathifah Hanim. Proses Pelaksanaan Penyelidikan Dan Penyidikan  Terhadap Tindak Pidana Fidusia Di Polres Demak. Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 4 Desember 2017.

[3] Fahirin. Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Penyelidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Dalam Rangka Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi. Supremasi Jurnal Hukum Vol. 2, No. 1 2019.

[4] Rovan Kaligis, "Fungsi Penyelidikan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana", ( Lex Crimen , Vol. II,

No. 4, 2013), hlm. 6

[5] Masrizal Afrialdo. Pelaksanaan Penyelidikan Dan Penyidikan Perkara Pidana Oleh Kepolisian Terhadap Laporan Masyarakat  Di Polisi Sektor Lima Puluh. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2 Oktober 2016.

[6] Hendrastanto Yudowidagdo, dkk., Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 63.

[7] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 81

[8] Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 88

[9] Hendrastanto Yudowidagdo, dkk., Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 104

[10] Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana, (Semarang,:Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1991), hlm. 39.

[11] Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 104194

Lebih baru Lebih lama