MAKALAH KEWARISAN ANTAR KERABAT BEDA AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurn ayang diturunkan oleh Allah SWT,
kepada Nabi Muhammad SAW, yang didalamnya mengandung ajaran yang universal dan
fleksibel.Hukum kewarisan islam pada dasarnya berlaku untuk umat islam dimana
saja di dunia ini. Hukum waris Islam juga merupakan ekspresi penting bagi hukum
keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia
sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris
Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan
terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga
abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Dalam hukum waris Islam ada ketentuan halangan untuk menerima
warisan. Halangan untuk menerima warisan atau disebut dengan mawani‟ al-irṡi
adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan
dari harta peninggalan al-muwariṡ (pewaris). Hal-hal yang dapatmenghalangi
tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu: pembunuhan (al-qatl),
berlainan agama (ikhtilāf al-dīn), dan perbudakan (al-„abd). Dalam hubungannya
dengan waris mewarisi antara muslim dengan non muslim (warisbeda agama) telah
ditentukan bahwa berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah
apabila antara ahli waris dan pewaris, salah satunya beragama Islam, yang lain
bukan Islam. Beda agama dalam kewarisan hukum Islam tidak bisa saling mewarisi,
memang dalam al-Qur‟an tidak ada yang menyinggung secara eksplisit tentang
syarat kewarisan harus adanyapersamaan agama, akan tetapi ketika Abu Thalib
meninggal Rasulullah membagikan harta pusaka Abu Thalib hanya kepada mereka yang
masih kafir yakni kepada Uqail dan Thalib dan tidak kepada Ali dan Ja‟far. Dari
peristiwa di atas, jelas bahwa Nabi hanya membagikan harta peninggalan Abu
Talib kepada anaknya yang masih kafir yaitu Uqail dan Thalib, sedangkan Ali dan
Ja‟far 2 tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, dengan alasan karena Ali
dan Ja‟far telah memeluk agama Islam.
Seiring dengan berkembangnya waktu, kasus-kasus yang terjadi dalam
hukum kewarisan beda agama ini semakin marak. Salah satu faktor penyebabnya
adalah ketidak-setujuan ahli waris (non-muslim) terhadap pembagian harta yang
dinilai tidak adil. Atas pertimbangan kasus inilah maka Mahkamah Agung
terdorong untuk mengeluarkan putusan-putusan baru dalam hukum kewarisan beda
agama. Namun, putusan Mahkamah Agung disini dinilai tidak sesuai dengan apa
yang ada dalam hukum islam tentang kewarisan beda agama.
B.
Rumusan Masalah
1. Pengertian kewarisan beda agama
2. Sumber-sumber hukum kewarisan beda agama
3. Bagaimana penerapan pembagian waris beda agama?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui
pengertian kewarisan beda agama
2.
Untuk mengetahui
Sumber-sumber hukum kewarisan beda agama
3.
Untuk
mengetahuipenerapan waris beda agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian beda
agama
Kewarisan menurut bahasa Arab berasal dari lafadz فرائض yang mempunyai beberapa
pengertian, antara lain: Ketentuan/Taqdīr (al-Baqarah:237); Ketetapan/Qath‟i
(al-Nisa‟:7); Menurunkan/inzāl (al-Qashas:85); Penjelasan/Tabyīn (at-Tahrim:2);
dan Menghalalkan/Ihlāl (al-Ahzab : 38). Adapun kata “waris” berasal dari bahasa
Arab ورث
sebagai bentuk fi‟il, dan isimnya menjadi مرياث sedang bentuk jamaknya املوارث . Sedang menurut bahasa,
lafadz waris (warisan) mempunyai beberapa pengertian pula, yaitu menggantikan
kedudukan (an-Naml : 16), menganugerahkan (az-Zumar : 74), mewarisi (Maryam :
6). Secara istilah, lafadz فرائض adalah suatu bagian ahli waris yang ditentukan besar kecilnya
oleh syara‟. Sedangkan pengertian ilmu فرائض berdasarkan pendapat
lainnya adalah ;“ Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta warisan, dan
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan untuk mengetahui
sesuatu yang khusus pada setiap pemilik hak pusaka”[1]
Definisi lainnya dikemukakan oleh Ali Al-Shabuni bahwa kewarisan
dalam Islam adalah sebuah aturan perpindahan properti dari pemiliknya yang
sudah mati kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik peninggalannya itu
berupa sesuatu yang bersifat konkret seperti harta benda maupun yang lebih
abstrak berupa hak. Pakar hukum lainnya seperti Hilman Hadikusumo menyatakan
bahwa kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang penerusan harya kekayaan
dari seseorang yang telah mati kepada penerusnya.13 Sementara itu dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai hukum
yang mengatur tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, serta bagiannya
masing-masing.[2]
Beberapa definisi yang dikemukakan di atas sebenarnya mengandung
substansi makna yang sama. Jadi, berdasarkan definisi-definisi di atas, ilmu
waris secara terminologis dapat diartikan sebagai ”Ilmu yang dengannya dapat
diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi,
kadar (ketentuan) yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara
pembagiannya”.
Dengan pengertian diatas,
antara pengertian ilmu فرائض dan ilmu waris terdapat kesamaan, yaitu suatu ilmu yang
berkaitan atau berhubungan dengan masalah pembagian harta pusaka (peninggalan).
Apabila dikaitkan dengan kalimat “beda agama”, maka maksudnya adalah masalah
pembagian harta waris yang melibatkan antara seseorang yang beragama Islam
dengan orang yang non muslim. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kewarisan beda agama hanya dikhususkan dengan pengertian seorang yang beragama
Islam yang menjadi bagian dari ahli waris seorang non muslim yang meninggal
yang mana muslim tersebut ikut mewarisi harta kekayaan, baik orang yang
meninggal tersebut adalah orang tua ahli waris (muslim) yang dimaksud atau
sebagai keluarga dekatnya seperti istri, suami, anak, atau orang tua dari
pewaris yang meninggal tersebut. Sejauh penelitian yang penulis lakukan, tidak
ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang larangan
kafir mewarisi Muslim, tetapi terdapat perbedaan pendapat dalam hal Muslim yang
mewarisi kafir. Karena itu, berbagai pendapat yang berkaitan dengan masalah ini
setidaknya dapat dikelompokkan menjadi dua:
·
Pendapat yang
Mengharamkan
Pendapat yang melarang Muslim mewarisi kafir
dikemukakan oleh empat madzab terkemuka, yakni Hanafi, Maliki Syafi‟i dan
Hanbali. Di antara alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dijelaskan
oleh Syafi‟i yang menolak pemaknaan kata “kāfir” dengan “kāfir harbī”, karena
menurut Syafi‟i baik kafir ahlul kitab maupun kafir penyembah berhala, baik
kāfir harbī maupun kāfir dzimī, tetap tidak diperbolehkan Muslim menerima waris
darinya, karena mereka sama-sama kafir. Alasan yang lainnya adalah tidak adanya
naṣ yang mentakhshish kata kāfir dalam hadis yang melarang Muslim dan kafir
saling mawarisi.[3]
Senada dengan Syafi‟i, Syaukani
menyatakan kesepakatannya dengan Syafi‟i bahwa tidak ada pengecualian tentang
makna kāfir kecuali dengan dalil yang tegas. Adapun Ibnu Qudamah berpendapat
bahwa riwayat dari Umar, Muadz, dan Muawiyah yang membolehkan Muslim menerima
waris dari nonMuslim adalah riwayat yang tidak bisa dipercaya dari mereka,
karena Imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa Muslim tidak
mewarisi dan mewariskan harta orang kafir. Yang dipraktekkan oleh kebanyakan
fuqahā‟ adalah perbedaan agama antara Islam dan kafir menghalangi warisan dari
kedua pihak. Begitu pula mereka sepakat bahwa kafir yang seagama boleh saling
mewarisi di antara mereka apabila mereka berada dalam satu negara. Adapun
seorang murtad yang memeluk agama Islam sebelum harta waris dibagikan, maka
berhak baginya mendapatkan bagian. Demikian Ibnu Qudamah menjelaskan. Intinya,
Ibnu Qudamah berpendapat bahwa hadis shahih harus didahulukan daripada riwayat
yang tidak disepakati keshahihannya.[4]
Sementara dari kaangan ulama
kontemporer yang melarang Muslim mewarisi kafir di antaranya Musthofa
as-Salabiy yang mengatakan bahwa naṣ hukum yang jelas dan qath‟i adalah
pendapat yang awal, yaitu tidak saling mewarisi antara orang Muslim dengan
non-Muslim, dan sebaliknya. Sementara Ali al-Shobuni memasukkan perbedaan agama
antara Muslim dengan non-Muslim menjadi salah satu penghalang kewarisan. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh
Sayyid Sabiq. Larangan yang lain muncul
dari fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan alasan bahwa hukum waris Islam
tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama
(antara Muslim dengan non-Muslim). Selain itu, pemberian harta antara orang
yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat, dan
hadiah.[5]
·
Pendapat yang
Membolehkan
Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauzi. Hal ini berdasarkan
riwayat dari Mu‟adz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Hanafiyah,
Muhammad bin Ali bin Husain, Sa‟id bin Musayyab, Masyruq bin Ajda‟, Abdullah
bin Mughaffal, Yahya bin Ya‟mar, dan Ishak. Inilah pendapat yang dipilih oleh
Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah. Riwayat tersebut menjelaskan bahwa Muadz bin
Jabal, Muawiyah, dan mereka yang membolehkan Muslim mewarisi kafir berkata;”
Kita mewarisi mereka dan mereka tidak mewarisi kita sebagaimana kita menikahi
wanita-wanita mereka dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita.”
Menurut kedua ulama besar ini, hadis “Orang Muslim tidak boleh menerima waris
dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang Muslim,” bisa ditakwilkan
dengan takwilan para ahli fiqh madzab Hanafi terhadap hadis “Seorang Muslim
tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh orang kāfir,” yang dimaksud kafir
dalam hadis tersebut adalah kāfir harbī, karena orang harbī memerangi umat
Islam, karena hal itu memutuskan hubungan antara keduanya.
Demikian pula dengan murid Ibnu Taimiyah,
yakni Ibnu Qayyim alJauziyah yang juga berpendapat bahwa kesetiaan hati
tidaklah menjadi syarat atau „illat dari kewarisan. Tetapi „illat-nya adalah
adanya tolong-menolong, seorang Muslim menolong ahlu dzimmah, maka baginya
berhak mewarisi mereka, sedangkan orang ahlu dzimmah tidak menolong orang
Muslim sehingga tidak berhak mewarisinya. Dalam hal ini Ibnu Qayyim mengatakan
bahwa sesungguhnya hal ini sebagai takhṣīṣ dari lafaz yang sifatnya umum, dan
sebenarnya dibolehkannya Muslim mewarisi non-Muslim akan mendatangkan
kemaslahatan yang lebih besar bagi Muslim dan agama Islam daripada
dibolehkannya pernikahan dengan wanita ahlul kitab, dan hal ini tidak
bertentangan dengan kaidah dalam ilmu ushul. Karena sesungguhnya kaum Muslimin
menolong ahli dzimmi, berperang untuk mereka, melindungi untuk keluarga mereka.
Dan kewarisan berlaku karena adanya semangat tolongmenolong, maka kaum Muslimin
mewarisi mereka. Sementara mereka tidak menolong kaum Muslimin sehingga tidak
mewarisinya. Karena dasar kewarisan bukanlah kesetiaan hati, seandainya
demikian maka orang munafiq tidak menerima waris dari orang Islam, namun di
dalam Sunnah mereka mewarisi dan mewariskan.[6]
B.
Sumber hukum
kewarisan
Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta
peninggalan tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli waris, dan mengatur
kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan. Sedangkan, dalam
Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilihan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian.[7]
Dalam hukum kewarisan tidak lepas dari harta peninggalan dan ahli
waris, karena dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 b menyatakan bahwa pewaris
adalah orang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.[8]
Harta peninggalan adalah segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang
dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang
dibenarkan oleh syara‟ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris.
Dasar Hukum Waris
1.
Al-Qur‟an (An-Nisa ayat 7 )
yang artinya “Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
2.
Hadist
Hadits Nabi Muhammad yang secara
langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut: “Berikanlah Faraidh
(bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah
kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”.
3.
Ijtihad para ulama
Meskipun Al-Qur‟an dan
Al-hadits sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta
warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya Ijtihad, yaitu terhadap
halhal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits. Misalnya mengenai
bagian warisan banci (waria), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak
habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau
istri dan sebagainya.Ijtihad artinya sepakat, setuju atau sependapat. Ijithad
adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum Syara‟ dengan
jalan menyimpulkan dari Alquran dan Hadits. 4
C.
Penerapan
Pembagian Waris Beda Agama
Menurut
Hukum Islam Ada tiga yang menjadi penghalang warisan yaitu pembunuhan, beda
agama dan perbudakan. Beda agama adalah apabila antara ahli waris dan pewaris
salah satunya beragama Islam dan yang lain tidak beragama Islam. Apabila
seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta untuk dibagi kepada ahli
waris yang berbeda agama, maka tidak terjadi pewarisan antara keduanya. Adapun
dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah Sabda Rasulullah Saw, yaitu :
لا يرث المسلم الکافر ولا الکافر المسلم )متفق عليه
Artinya
: “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak
pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim).[9]
Apabila
dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari
perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak
mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan
pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun
hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang
berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat
dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. Hal tersebut mengacu pada
ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor : 5/MUNAS VII/9/2005
tentang Kewarisan Beda Agama, yang menetapkan bahwa:
1.
Hukum Waris
Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama
(antara muslim dengan non-muslim).
2.
Pemberian harta
antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan
hadiah Yurisprudensi Hakim (Putusan Mahkamah Agung)
Terdapat dua putusan Mahkamah Agung tentang
status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995
tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.Dalam
putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan
bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar
bagian ahli waris muslim, dalam putusan iniahli waris non musim tidak
dinyatakan sebagai ahli waris. Sedangkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan
bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim
dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat
wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap
sebagai ahli waris.
Dari dua putusan di atas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa melalui yurisprudensinya Mahkamah Agung telah
melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli
waris non muslim menjadi memberikan harta bagi ahli waris non muslim, dan dari
tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim
menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris
dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status
ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara
dengan ahli waris muslim. Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah
Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 Huruf c
bahwa tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli
waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim.
Perbedaan Agama seorang muslim tidak
dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal
ini telah ditegaskan Rasulullah saw. Dalam sabdanya: “Tidaklah berhak seorang
muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.”
(Bukhari dan Muslim).[10]Hadist
ini termasuk ke dalam kategori man'i yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya hukum.[11] Hadist
ini menerangkan bahwa perbedaan agama (non muslim) adalah penghalang untuk
saling mewarisi. Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam
mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar
pada pendapat Mu‟adz bin Jabal r.a yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh
mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan
mereka adalah bahwa Islam ya‟lu walaayu‟la „alaihi (unggul, tidak ada yang
mengunggulinya). Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai
penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan
bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad
tidak dapat mewarisi orang Islam.Sebab persaudaraan dalam agama Islam merupakan
hubungan paling kuat diantara kaum muslimin.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Diskursus hukum
kewarisan beda agama telah menjadi perdebatan panjang dari masa ulama klasik
hingga kontemporer. Perbedaan pendapat pun hadir di tengah-tengah ulama
terhadap perdebatan hangat tersebut. Para ulama sepakat tentang larangan
seorang kafir yang mewarisi harta seorang Muslim. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang hukum seorang Muslim yanag menjadi ahli waris seorang kafir.
Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok ulama yang mengharamkan
Muslim menerima warisan non Muslim, dan kelompok yang membolehkan Muslim
menerima warisan dari keluarganya yang non Muslim. Ulama yang mengharamkan
Muslim mewarisi kafir bersandar pada teks hadis. Sedangkan ulama yang
membolehkan bersandar pada dalil kemaslahatan. Pendapat kelompok ulama yang
membolehkan Muslim mewarisi kafir, adalah pendapat yang memiki relevansi dengan
al-uṣūl al-khamsah, yaitu yang berkaitan dengan dengan konsep hifz al-dīn, hifz
al-nafs, hifz al-nasab, hifz alaql, dan hifz al-māl. Adapun ketika para ulama
yang membolehkan hanya membatasi kebolehan tersebut hanya kebolehan Muslim
mewarisi kafir dzimmi, maka betapa akan lebih maslahah jika mewarisi kafir
harbî dibolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Junaidi
Abd Syakur, Ilmu Waris, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 1-4.
Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1990), h. 7. 14 Kompilasi Hukum Islam, pasal 171.
A-Syafi‟i.
Al-Umm,…,h. 76-77
Qudamah.
Al-Mughnī, …, h. 166
MUNAS
VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No: 5/ MUNAS VII/MUI/9/2005
Musthafa
al-Siba‟i, Sunnah dan peranannya dalam penetapan hukum Islam, diterjemahkan
oleh Nur Khalis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 143.
Akhmad Haries, Hukum Kewarisan
Islam, Samarinda: P3M STAIN Samarinda,
2010
[1] Lafadz فرائضadalah bentuk jamak yang berasal dari
lafadz فريضة
yang berarti مفروضة
yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya (ketentuannya), karena saham-saham
yang telah dipastikan kadarnya. Lihat Junaidi Abd Syakur, Ilmu Waris,
(Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 1-4.
[2] Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 7. 14 Kompilasi Hukum Islam,
pasal 171.
[3] A-Syafi‟i. Al-Umm,…,h. 76-77
[4] Qudamah. Al-Mughnī, …, h. 166
[5] MUNAS VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No: 5/ MUNAS VII/MUI/9/2005.
[6] Ibid, h. 853-872.
[7] Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), h. 11.
[8] Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia,
2007), h. 56.
[9] Akhmad Haries, Hukum Kewarisan
Islam, (Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010)
[10] Abu adillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, juz IV, h.166
[11] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh,cet.2, (Jakarta:
Kencana,2008),h.61.
[12] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, cet.1, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006),h.724.