MAKALAH KEWARISAN ANTAR KERABAT BEDA AGAMA

 

MAKALAH KEWARISAN ANTAR KERABAT BEDA AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam adalah agama yang sempurn ayang diturunkan oleh Allah SWT, kepada Nabi Muhammad SAW, yang didalamnya mengandung ajaran yang universal dan fleksibel.Hukum kewarisan islam pada dasarnya berlaku untuk umat islam dimana saja di dunia ini. Hukum waris Islam juga merupakan ekspresi penting bagi hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.

Dalam hukum waris Islam ada ketentuan halangan untuk menerima warisan. Halangan untuk menerima warisan atau disebut dengan mawani‟ al-irṡi adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwariṡ (pewaris). Hal-hal yang dapatmenghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu: pembunuhan (al-qatl), berlainan agama (ikhtilāf al-dīn), dan perbudakan (al-„abd). Dalam hubungannya dengan waris mewarisi antara muslim dengan non muslim (warisbeda agama) telah ditentukan bahwa berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan pewaris, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Beda agama dalam kewarisan hukum Islam tidak bisa saling mewarisi, memang dalam al-Qur‟an tidak ada yang menyinggung secara eksplisit tentang syarat kewarisan harus adanyapersamaan agama, akan tetapi ketika Abu Thalib meninggal Rasulullah membagikan harta pusaka Abu Thalib hanya kepada mereka yang masih kafir yakni kepada Uqail dan Thalib dan tidak kepada Ali dan Ja‟far. Dari peristiwa di atas, jelas bahwa Nabi hanya membagikan harta peninggalan Abu Talib kepada anaknya yang masih kafir yaitu Uqail dan Thalib, sedangkan Ali dan Ja‟far 2 tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, dengan alasan karena Ali dan Ja‟far telah memeluk agama Islam.

Seiring dengan berkembangnya waktu, kasus-kasus yang terjadi dalam hukum kewarisan beda agama ini semakin marak. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidak-setujuan ahli waris (non-muslim) terhadap pembagian harta yang dinilai tidak adil. Atas pertimbangan kasus inilah maka Mahkamah Agung terdorong untuk mengeluarkan putusan-putusan baru dalam hukum kewarisan beda agama. Namun, putusan Mahkamah Agung disini dinilai tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hukum islam tentang kewarisan beda agama.

 

B.     Rumusan Masalah

1.    Pengertian kewarisan beda agama

2.    Sumber-sumber hukum kewarisan beda agama

3.    Bagaimana penerapan pembagian waris beda agama?

 

C.    Tujuan Masalah

1.    Untuk mengetahui pengertian kewarisan beda agama

2.    Untuk mengetahui Sumber-sumber hukum kewarisan beda agama

3.    Untuk mengetahuipenerapan waris beda agama

  

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian beda agama

Kewarisan menurut bahasa Arab berasal dari lafadz فرائض yang mempunyai beberapa pengertian, antara lain: Ketentuan/Taqdīr (al-Baqarah:237); Ketetapan/Qath‟i (al-Nisa‟:7); Menurunkan/inzāl (al-Qashas:85); Penjelasan/Tabyīn (at-Tahrim:2); dan Menghalalkan/Ihlāl (al-Ahzab : 38). Adapun kata “waris” berasal dari bahasa Arab ورث sebagai bentuk fi‟il, dan isimnya menjadi مرياث sedang bentuk jamaknya املوارث . Sedang menurut bahasa, lafadz waris (warisan) mempunyai beberapa pengertian pula, yaitu menggantikan kedudukan (an-Naml : 16), menganugerahkan (az-Zumar : 74), mewarisi (Maryam : 6). Secara istilah, lafadz فرائض adalah suatu bagian ahli waris yang ditentukan besar kecilnya oleh syara‟. Sedangkan pengertian ilmu فرائض berdasarkan pendapat lainnya adalah ;“ Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta warisan, dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan untuk mengetahui sesuatu yang khusus pada setiap pemilik hak pusaka”[1]

Definisi lainnya dikemukakan oleh Ali Al-Shabuni bahwa kewarisan dalam Islam adalah sebuah aturan perpindahan properti dari pemiliknya yang sudah mati kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik peninggalannya itu berupa sesuatu yang bersifat konkret seperti harta benda maupun yang lebih abstrak berupa hak. Pakar hukum lainnya seperti Hilman Hadikusumo menyatakan bahwa kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang penerusan harya kekayaan dari seseorang yang telah mati kepada penerusnya.13 Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai hukum yang mengatur tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, serta bagiannya masing-masing.[2]

Beberapa definisi yang dikemukakan di atas sebenarnya mengandung substansi makna yang sama. Jadi, berdasarkan definisi-definisi di atas, ilmu waris secara terminologis dapat diartikan sebagai ”Ilmu yang dengannya dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar (ketentuan) yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya”.

 Dengan pengertian diatas, antara pengertian ilmu فرائض dan ilmu waris terdapat kesamaan, yaitu suatu ilmu yang berkaitan atau berhubungan dengan masalah pembagian harta pusaka (peninggalan). Apabila dikaitkan dengan kalimat “beda agama”, maka maksudnya adalah masalah pembagian harta waris yang melibatkan antara seseorang yang beragama Islam dengan orang yang non muslim. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kewarisan beda agama hanya dikhususkan dengan pengertian seorang yang beragama Islam yang menjadi bagian dari ahli waris seorang non muslim yang meninggal yang mana muslim tersebut ikut mewarisi harta kekayaan, baik orang yang meninggal tersebut adalah orang tua ahli waris (muslim) yang dimaksud atau sebagai keluarga dekatnya seperti istri, suami, anak, atau orang tua dari pewaris yang meninggal tersebut. Sejauh penelitian yang penulis lakukan, tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang larangan kafir mewarisi Muslim, tetapi terdapat perbedaan pendapat dalam hal Muslim yang mewarisi kafir. Karena itu, berbagai pendapat yang berkaitan dengan masalah ini setidaknya dapat dikelompokkan menjadi dua:

·         Pendapat yang Mengharamkan

 Pendapat yang melarang Muslim mewarisi kafir dikemukakan oleh empat madzab terkemuka, yakni Hanafi, Maliki Syafi‟i dan Hanbali. Di antara alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syafi‟i yang menolak pemaknaan kata “kāfir” dengan “kāfir harbī”, karena menurut Syafi‟i baik kafir ahlul kitab maupun kafir penyembah berhala, baik kāfir harbī maupun kāfir dzimī, tetap tidak diperbolehkan Muslim menerima waris darinya, karena mereka sama-sama kafir. Alasan yang lainnya adalah tidak adanya naṣ yang mentakhshish kata kāfir dalam hadis yang melarang Muslim dan kafir saling mawarisi.[3]

            Senada dengan Syafi‟i, Syaukani menyatakan kesepakatannya dengan Syafi‟i bahwa tidak ada pengecualian tentang makna kāfir kecuali dengan dalil yang tegas. Adapun Ibnu Qudamah berpendapat bahwa riwayat dari Umar, Muadz, dan Muawiyah yang membolehkan Muslim menerima waris dari nonMuslim adalah riwayat yang tidak bisa dipercaya dari mereka, karena Imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa Muslim tidak mewarisi dan mewariskan harta orang kafir. Yang dipraktekkan oleh kebanyakan fuqahā‟ adalah perbedaan agama antara Islam dan kafir menghalangi warisan dari kedua pihak. Begitu pula mereka sepakat bahwa kafir yang seagama boleh saling mewarisi di antara mereka apabila mereka berada dalam satu negara. Adapun seorang murtad yang memeluk agama Islam sebelum harta waris dibagikan, maka berhak baginya mendapatkan bagian. Demikian Ibnu Qudamah menjelaskan. Intinya, Ibnu Qudamah berpendapat bahwa hadis shahih harus didahulukan daripada riwayat yang tidak disepakati keshahihannya.[4]

            Sementara dari kaangan ulama kontemporer yang melarang Muslim mewarisi kafir di antaranya Musthofa as-Salabiy yang mengatakan bahwa naṣ hukum yang jelas dan qath‟i adalah pendapat yang awal, yaitu tidak saling mewarisi antara orang Muslim dengan non-Muslim, dan sebaliknya. Sementara Ali al-Shobuni memasukkan perbedaan agama antara Muslim dengan non-Muslim menjadi salah satu penghalang kewarisan.  Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Sayyid Sabiq.  Larangan yang lain muncul dari fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan alasan bahwa hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara Muslim dengan non-Muslim). Selain itu, pemberian harta antara orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat, dan hadiah.[5]

 

·         Pendapat yang Membolehkan

Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauzi. Hal ini berdasarkan riwayat dari Mu‟adz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Hanafiyah, Muhammad bin Ali bin Husain, Sa‟id bin Musayyab, Masyruq bin Ajda‟, Abdullah bin Mughaffal, Yahya bin Ya‟mar, dan Ishak. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Islām Ibnu Taimiyah. Riwayat tersebut menjelaskan bahwa Muadz bin Jabal, Muawiyah, dan mereka yang membolehkan Muslim mewarisi kafir berkata;” Kita mewarisi mereka dan mereka tidak mewarisi kita sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita.” Menurut kedua ulama besar ini, hadis “Orang Muslim tidak boleh menerima waris dari orang kafir, tidak pula orang kafir dari orang Muslim,” bisa ditakwilkan dengan takwilan para ahli fiqh madzab Hanafi terhadap hadis “Seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh orang kāfir,” yang dimaksud kafir dalam hadis tersebut adalah kāfir harbī, karena orang harbī memerangi umat Islam, karena hal itu memutuskan hubungan antara keduanya.

     Demikian pula dengan murid Ibnu Taimiyah, yakni Ibnu Qayyim alJauziyah yang juga berpendapat bahwa kesetiaan hati tidaklah menjadi syarat atau „illat dari kewarisan. Tetapi „illat-nya adalah adanya tolong-menolong, seorang Muslim menolong ahlu dzimmah, maka baginya berhak mewarisi mereka, sedangkan orang ahlu dzimmah tidak menolong orang Muslim sehingga tidak berhak mewarisinya. Dalam hal ini Ibnu Qayyim mengatakan bahwa sesungguhnya hal ini sebagai takhṣīṣ dari lafaz yang sifatnya umum, dan sebenarnya dibolehkannya Muslim mewarisi non-Muslim akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar bagi Muslim dan agama Islam daripada dibolehkannya pernikahan dengan wanita ahlul kitab, dan hal ini tidak bertentangan dengan kaidah dalam ilmu ushul. Karena sesungguhnya kaum Muslimin menolong ahli dzimmi, berperang untuk mereka, melindungi untuk keluarga mereka. Dan kewarisan berlaku karena adanya semangat tolongmenolong, maka kaum Muslimin mewarisi mereka. Sementara mereka tidak menolong kaum Muslimin sehingga tidak mewarisinya. Karena dasar kewarisan bukanlah kesetiaan hati, seandainya demikian maka orang munafiq tidak menerima waris dari orang Islam, namun di dalam Sunnah mereka mewarisi dan mewariskan.[6]

 

B.     Sumber hukum kewarisan

Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilihan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian.[7]

Dalam hukum kewarisan tidak lepas dari harta peninggalan dan ahli waris, karena dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 b menyatakan bahwa pewaris adalah orang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.[8] Harta peninggalan adalah segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara‟ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris.

 Dasar Hukum Waris

1.      Al-Qur‟an  (An-Nisa ayat 7 )

yang artinya  “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

2.      Hadist

Hadits Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut: “Berikanlah Faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”.

3.      Ijtihad para ulama

 Meskipun Al-Qur‟an dan Al-hadits sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya Ijtihad, yaitu terhadap halhal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya.Ijtihad artinya sepakat, setuju atau sependapat. Ijithad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum Syara‟ dengan jalan menyimpulkan dari Alquran dan Hadits. 4

 

C.    Penerapan Pembagian Waris Beda Agama

Menurut Hukum Islam Ada tiga yang menjadi penghalang warisan yaitu pembunuhan, beda agama dan perbudakan. Beda agama adalah apabila antara ahli waris dan pewaris salah satunya beragama Islam dan yang lain tidak beragama Islam. Apabila seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta untuk dibagi kepada ahli waris yang berbeda agama, maka tidak terjadi pewarisan antara keduanya. Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah Sabda Rasulullah Saw, yaitu :

 

لا يرث المسلم الکافر ولا الکافر المسلم )متفق عليه

Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim).[9]

Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.

Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor : 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, yang menetapkan bahwa:

1.      Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim).

2.      Pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah Yurisprudensi Hakim (Putusan Mahkamah Agung)

 Terdapat dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan iniahli waris non musim tidak dinyatakan sebagai ahli waris. Sedangkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.

Dari dua putusan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa melalui yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menjadi memberikan harta bagi ahli waris non muslim, dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim. Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 Huruf c bahwa tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim.

Perbedaan Agama seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. Dalam sabdanya: “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (Bukhari dan Muslim).[10]Hadist ini termasuk ke dalam kategori man'i yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.[11] Hadist ini menerangkan bahwa perbedaan agama (non muslim) adalah penghalang untuk saling mewarisi. Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu‟adz bin Jabal r.a yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya‟lu walaayu‟la „alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya). Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.Sebab persaudaraan dalam agama Islam merupakan hubungan paling kuat diantara kaum muslimin.[12]


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Diskursus hukum kewarisan beda agama telah menjadi perdebatan panjang dari masa ulama klasik hingga kontemporer. Perbedaan pendapat pun hadir di tengah-tengah ulama terhadap perdebatan hangat tersebut. Para ulama sepakat tentang larangan seorang kafir yang mewarisi harta seorang Muslim. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum seorang Muslim yanag menjadi ahli waris seorang kafir. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok ulama yang mengharamkan Muslim menerima warisan non Muslim, dan kelompok yang membolehkan Muslim menerima warisan dari keluarganya yang non Muslim. Ulama yang mengharamkan Muslim mewarisi kafir bersandar pada teks hadis. Sedangkan ulama yang membolehkan bersandar pada dalil kemaslahatan. Pendapat kelompok ulama yang membolehkan Muslim mewarisi kafir, adalah pendapat yang memiki relevansi dengan al-uṣūl al-khamsah, yaitu yang berkaitan dengan dengan konsep hifz al-dīn, hifz al-nafs, hifz al-nasab, hifz alaql, dan hifz al-māl. Adapun ketika para ulama yang membolehkan hanya membatasi kebolehan tersebut hanya kebolehan Muslim mewarisi kafir dzimmi, maka betapa akan lebih maslahah jika mewarisi kafir harbî dibolehkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Junaidi Abd Syakur, Ilmu Waris, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 1-4.

 

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 7. 14 Kompilasi Hukum Islam, pasal 171.

A-Syafi‟i. Al-Umm,…,h. 76-77

Qudamah. Al-Mughnī, …, h. 166

MUNAS VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No: 5/ MUNAS VII/MUI/9/2005

Musthafa al-Siba‟i, Sunnah dan peranannya dalam penetapan hukum Islam, diterjemahkan oleh Nur Khalis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 143.

 

Akhmad Haries, Hukum Kewarisan Islam,  Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010

 



[1] Lafadz فرائضadalah bentuk jamak yang berasal dari lafadz فريضة yang berarti مفروضة yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya (ketentuannya), karena saham-saham yang telah dipastikan kadarnya. Lihat Junaidi Abd Syakur, Ilmu Waris, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 1-4.

[2] Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 7. 14 Kompilasi Hukum Islam, pasal 171.

[3] A-Syafi‟i. Al-Umm,…,h. 76-77

[4] Qudamah. Al-Mughnī, …, h. 166

[5] MUNAS VII MUI 2005, Keputusan Fatwa MUI No: 5/ MUNAS VII/MUI/9/2005.

[6] Ibid, h. 853-872.

[7] Muchith A Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malaho Jaya Abadi Press, 2010), h. 11.

[8] Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), h. 56.

[9]  Akhmad Haries, Hukum Kewarisan Islam, (Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010)

[10] Abu adillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz IV, h.166

[11] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh,cet.2, (Jakarta: Kencana,2008),h.61.

[12] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, cet.1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006),h.724.

Lebih baru Lebih lama