MEMAHAMI ASHABAH BESERTA DASAR HUKUMNYA

MEMAHAMI ASHABAH BESERTA DASAR HUKUMNYA 



BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Waris dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan pusaka. Maksdunya adalah harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati (meninggal) untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.Dalam hal ini orang yang meninggalkan harta bendanya disebut sebagai pewaris, sedangkan orang yang menerima harta tersebut disebut dengan ahli waris.Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laiki-laki atau perempuan melalui jalan syara’, seperti perpindahan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggak dunia.

Pembagian waris ini lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian harta pusaka  atau warisan kepada beberapa ahli waris seperti tercantum dalam Al-Qur’an, Ash-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Ketentuan bagian-bagian yang harus diterima oleh pewaris telah diatur oleh Allas SWT begitu juga halnya dengan orang-orang yang berhak menerima warisan.Bagian-bagian yang diterima oleh pewaris yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an yaitu ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperlapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (duapertiga) dan 1/6 (seperenam).Orang-orang yang berhak menerima warisan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu; ashabul furudh, ashabah dan dzawil arham.

Pada makalah ini kami akan membahas mengenai ashabah yaitu orang-orang yang mendapatkan sisa dari harta peninggalan simayit setelah ashabul furudh mengambil harta bagian-bagian yang telah ditentukan bagi ashabul furudh tersebut dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian warisan sebagaimana yang telah dijabarkan. Dalam hal ini kami akan menguraikan dasar hukum dan macam-macam ashabah.

B.      Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian ashabah?

2.      Bagaimana dasar hukum ashabah?

3.      Apa macam-macam ashabah?

C.      Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian ashabah

2.      Untuk memahami dasar hukum ashabah

3.      Untuk mengetahui macam-macam ashabah

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ashabah

Menurut bahasa ashabah adalah jamak dari ashiib yang berarti anak turun dan kerabat seorang lelaki dari pihak ayah.Dinamakan ashabah karena mereka mengelilinginya.Kata ashabah artinya mengelilingi untuk melindungi dan membela.[1]Sebutan ashabah ditunjukan kepada kelompok yang kuat.Di dalam ilmu faraidl (warisan) definisi ashabah sebagaimana disampaikan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab al-Mu’tamad adalah:

كل وارث ليس له سهم مقدر ويأخذ كل المال اذا انفرد ويأخذ الباقي بعد أصحاب الفروض

Artinya:

“Setiap ahli waris yang tidak memiliki bagian yang telah ditentukan, ia mengambil semua harta waris bila ia seorang diri dan mengambil sisa harta waris setelah sebelumnya diambil oleh orang-orang yang memiliki bagian pasti”

Menurut istilah ashabah adalah setiap pewaris yang mempunyai bagian yang tidak tentu dan tegas dalam Al-Qur’an dan Ash-Sunnah atau setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendiriam dan mendapat sisanya setelah ashabul furud mendapat bagian mereka yang telah ditentukan. Para ulama faraidh mempunyai kesamaan persepsi dan maksud yakni antara lain. Sebagaimana yang dikemukakan Rifa’I Arie bahwa ashabah adalah setiap pewaris yang mendapat bagian yang tidak ditentukan dengan kadar tertentu (khusus), seperti mengambil seluruh harta atau menerima sisa setelah pembagian ashabul furud.[2]

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa ashabah dalam ilmu faraid secara istilah ialah ahli waris  yang berhak menerima harta warisan sisa dengan tidak ditentukan bagiannya. ‘Ashabah tidak ditentukan bagiannya oleh nash melainkan menerima bagiasn sisa setelah diserahkan kepada ahli waris ashabul furud. Yang mana ashabul furudh sendiri adalah ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh nash baik ½. 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3 atau biasa dikenal dengan istilah dzawil furudh dan dzul furudh.

Ashabah akan memperoleh banyak atau sedikit bahkan tidak memperoleh sama sekali karena ada ahli waris ashabul furudh. Seperti yang dijelaskan oleh hadits di bawah ini:

ذكر رجل فلاولى بقى فما الحقوالفرائض

Artinya:

“Berikanlah (bagian-bagian) kepada ashabul furudh, maka sisanya adalah untuk kerabat laki-laki yang lebih utama” (HR. Bukhari).

B.      Dasar Hukum Ashabah

Dasar hukum ashabah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist.

1.      Al-Qur’an

Dalil Al-Qur’an yang dimaksud ialah sebagai berikut:

يُوۡصِيۡكُمُ اللّٰهُ فِىۡۤ اَوۡلَادِكُمۡ‌ ۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ الۡاُنۡثَيَيۡنِ‌ ۚ فَاِنۡ كُنَّ نِسَآءً فَوۡقَ اثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ‌ ۚ وَاِنۡ كَانَتۡ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصۡفُ‌ ؕ وَلِاَ بَوَيۡهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنۡ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗۤ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ‌ ؕ فَاِنۡ كَانَ لَهٗۤ اِخۡوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصِىۡ بِهَاۤ اَوۡ دَيۡنٍ‌ ؕ اٰبَآؤُكُمۡ وَاَبۡنَآؤُكُمۡ ۚ لَا تَدۡرُوۡنَ اَيُّهُمۡ اَقۡرَبُ لَـكُمۡ نَفۡعًا‌ ؕ فَرِيۡضَةً مِّنَ اللّٰهِ ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيۡمًا حَكِيۡمًا

Artinya:

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga” (QS. an-Nisa’: 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan.Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3).Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai ‘ashabah.[3]

Dasar hukum yang lainnya mengenai ashabah juga terdapat dalam QS.an-Nisa ayat 176, Allah berfirman:

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَٱعْتَصَمُوا۟ بِهِۦ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِى رَحْمَةٍ مِّنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا

Artinya:

“Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusaka (seluruh harta saudara perempuan), jika ia mempunyai anak” (QS.an-Nisa:176)

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat “wahuwa yaritsuha” memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya.Inilah makna ‘ashabah.

2.      Hadist

Dasar hukum mengenai ashabah juga terdapat dalam hadist, Rasulullah SAW bersabda:

ذكر رجل فلاولى بقى فما الحقوالفرائض

Artinya:

“Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama.” (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari ‘ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut “dzakar” setelah kata “rajul”, sedangkan kata “rajul” jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.[4]Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur.Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata “dzakar”.[5]

3.      Macam-Macam Ashabah

Ada 2 macam ashabah didalam Ilmu Faraid, yakni ashabah sababiyah dan ashabah nasabiyah.

a.      Ashabah Sababiyah

Ashabah Sababiyah adalah ashabah karena adanya sebab, yaiutu sebab memerdekakan budak. Ketika seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tak memiliki kerabat secara nasab maka sang tuan yang memerdekakannya bisa mewarisi harta peninggalannya secara ashabah sebagai balasan atas kebaikannya yang telah memerdekakan sang budak.[6]

b.      Ashabah Nasabiyah

Ashabah Nasabiyah adalah ashabah karena adanya hubungan nasab dengan si mayit.Mereka yang masuk dalam ketegori ini adalah semua orang laki-laki yang telah disebutkan dalam pembahasan para penerima waris dari pihak laki-laki selain suami dan saudara laki-laki seibu, keduanya hanya menerima dari bagian pasti saja.

Dengan demikian maka yang termasuk dalam ashabah nasabiyah adalah bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki dari anak laki-laki, saudaraa laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman senbapak, anak laki-lakinya paman sekandung, dan anak laki-lakinya paman sebapak. Mereka semua adalah para ahli waris yang bisa mendapatkan warisan secara ashabah.Meskipun bapak dan kakek terkadang mengambil warisan melalui bagian pasti.

Para Ulama membagi macam-macam ashabah nasabiyah menjadi 3 macam, berikut rincian penjelasannya:

1.      Ashabah bin Nafsi

Adalah mereka yang memilki nasab dengan si mayit tanpa ada unsur perempuan. Ashabah bin nafsi merupakan ahli waris laki-laki, dalam menerima warisan sebagai ashabah dengan sendirinya tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Ada 4 golongan yang termasuk dalam ashabah bin nafsi:

1.      Golongan anak, meliputi: anak laki-laki  dan keturunannya yang laki-laki betapapun jauh kebawah, golongan ini menerima warisan secara ashabah manakala tidak ada bersamanya anak perempuan dan keturunannya  kebawah baik laki-laki maupun perempuan.

2.      Golongan ayah, meliputi: ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya.

3.      Golongan saudara, meliputi : saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, dan keturunanya yang laki-laki. Mereka ini mewaris secara ashabah bin nafsi  manakala tidak ada bersamanya saudara perempuan.

4.      Golongan paman, meliputi: paman kandung, paman seayah, anak-anak dari paman tersebut,dan seterusnya kebawah.

Dari sekian banyak pihak laki-laki yang masuk dalam kategori ashabah bin nafsi tentunya tidak semuanya bisa mendapatkan bagian waris. apabila semua ahli waris berkumpul maka hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menerima warisan, selainnya terhalang. Begitu pula dengan mereka yang mendapatkan bagian ashabah, bila semua berkumpul maka sebagiannya terhalang oleh sebagian yang lain.  

Para ulama faraidl membuat beberapa kaidah untuk menentukan siapa saja para penerima ashabah yang bisa tetap menerima warisan dan siapa saja yang terhalang menerima warisan bila semua berkumpul. Dalam kaidah-kaidah tersebut para ulama menjelaskan:   [7]

1.      Ahli waris ashabah yang masuk pada kategori yang lebih akhir tidak bisa mendapat warisan bila ia bersamaan dengan ahli waris ashabah yang masuk pada kategori sebelumnya.  

Sebagai contoh, seorang bapak tidak bisa menerima warisan secara ashabah bila ia bersamaan dengan seorang anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ia hanya akan menerima bagian 1/6, bukan ashabah. Saudara laki-laki sekandung tidak bisa menerima warisan (mahjûb) bila ia bersamaan dengan bapaknya si mayit. Demikian pula seorang paman terhalang mendapat warisan (mahjûb) bila ia bersamaan dengan saudara laki-laki.  

2.      Bila ahli waris ashabah dengan kategori yang sama berkumpul maka ahli waris yang lebih jauh dari mayit tidak bisa menerima warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat ke mayit.

Sebagai contoh kakek terhalang mendapat warisan bila bersama dengan bapak, cucu laki-laki terhalang bila bersama dengan anak laki-laki, dan seterusnya.   Dengan kata lain ahli waris yang bernasab ke mayit melalui perantara tidak bisa menerima warisan bila bersamaan dengan si perantara tersebut. Pada contoh di atas, seorang cucu laki-laki itu berhubungan nasab dengan si mayit melalui perantara anak laki-lakinya si mayit, maka sang cucu terhalang mendapat waris karena bersamaan dengan anak laki-lakinya si mayit. Seorang kakek berhubungan nasab dengan si mayit melalui perantara bapaknya si mayit yang juga merupakan anaknya si kakek. Maka ia terhalang mendapat warisan bila bersamaan dengan bapaknya si mayit yang merupakan perantara antaradirinya dengan si mayit.

3.      Bila ada kesamaan sisi kekerabatan dan setara pula derajat para ashabah namun berbeda kekuatan kekerabatannya dengan si mayit, maka ahli waris yang lebih kuat kekerabatannya dengan si mayit lebih didahulukan dari pada ahli waris yang lebih lemah kekerabatannya dengan si mayit.

Sebagai contoh, saudara laki-laki sekandung lebih kuat kekerabatannya dengan si mayit dibanding saudara laki-laki sebapak.Karenanya saudara sekandung lebih didahulukan dari pada saudara laki-laki sebapak.Demikian pula paman sekandung lebih didahulukan dari pada paman sebapak, dan seterusnya.

4.      Bila ada kesamaan para ahli waris dalam sisi kekerabatan, derajat, dan kekuatan maka semuanya berhak untuk mendapatkan harta warisan. Harta waris yang ada dibagi sama rata di antara mereka.

Seperti ahli waris yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki, atau terdiri dari empat orang saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya.

2. Ashabah bil Ghair

Ahli waris perempuan yang semula berkedudukan sebagai dzawil furudh, tetapi karena ia mewaris bersama-sama dengan ahli waris laki-laki, maka kedudukannya berubah menjadi ashabah karena ada ahli waris laki-laki tersebut. Ketentuan besarnya perolehan antara ahli waris perempuan dengan ahli waris laki-laki adalah dua berbanding satu (2;1), yaitu sebagai ahli waris laki-laki mendapat dua kali bagian atas ahli waris perempuan.

Dalam hal ini seorang anak perempuanmenjadi ashabah bila bersamaan dengan anak laki-laki, cucu perempuan menjadi ashabah bila bersamaan dengan cucu laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sebapak menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-laki sebapak.

Dengan demikian maka bisa disimpulkan ada 4 (empat) ahli waris yang masuk dalam kategori ashabah bil ghair di mana keempatnya adalah ahli waris perempuan yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak bila masing-masing bersamaan dengan orang yang mengashabahkan (mu’ashshib)-nya. Bisa dipahami pula keempat ahli waris tersebut adalah orang-orang perempuan yang mendapatkan bagian pasti 1/2 dan 2/3 bila bersamaan dengan mu’ashshib-nya.   [8]

Hanya saja dalam hal ini ada pengecualiaan bagi waladul umm.Bahwa saudara perempuan seibu bila bersamaan dengan saudara laki-laki seibu maka saudara laki-laki seibu tidak bisa menjadikan saudara perempuan seibu sebagai ashabah. Karena saudara laki-laki seibu bukanlah termasuk ashabah bin nafsi maka ia tidak bisa mengashabahkan saudara perempuan seibu. Mesti diingat pula bahwa dalam ilmu faraidl saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu derajatnya adalah sama. Bila keduanya berkumpul tidak berlaku ketentuan laki-laki mendapat dua bagian perempuan.Karenanya pula dalam ilmu faraidl kedua ahli waris ini sering disebut dalam satu istilah waladul umm (anaknya ibu) tanpa membedakan jenis kelamin.[9]

Tentang ashabah bil ghair Imam Muhammad bin Ali Ar-Rahibi menulis:

والأبن والأخ مع الإناث ... يعصبانهن في الميراث 

Artinya:

“Anak laki-laki dan saudara laki-laki bersama para perempuan Keduanya mengashabahkan mereka dalam warisan”

Penjelasan dari Para Ulama faraidh didasarkan pada firman Allah SWT Surat An-Nisa ayat 11:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya:

“Allah berwasiat kepada kalian didalam anak-anak kalian bagi anak laki-laki dua bagian anak perempuan”

Juga terdapat dalam firman Allah SWT pada QS.An-Nisa ayat 176:

وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya:

“Apabila para saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan maka bagi saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan”

3. Ashabah Ma’al Ghair

     Menurut ulama sunni, ashabah ma’al ghair hanya dapat terjadi manakala ahli waris terdiri  dari saudara perempuan dan anak perempuan. Yang dimaksud saudara perempuan  adalah saudara perempuan kandung, atau seayah, sedangkan yang dimaksud anak perempuan adalah termasuk juga perempuan dari anak laki,-laki. Disini saudara perempuan tersebut tidak menarik anak perempuan sebagai ashabah, tetapi keberadan anak perempuan itu menyebabkan saudara perempuan berkedudukan sebagai ashabah ma’al ghair.[10]

     Para ulama mendasarakan ashabah ma’al ghair ini kepada hadis riwayat Bukhari, yang artinya: “abu musa al-asy’ar i ditanya tentang bagian waris anak perempuan bersama cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Beliau menjawab, bagian anak perempuan setengah dan untuk saudara perempuan setengah bagian”[11]

Berikut contoh pembagian waris dalam ashabh ma’al ghair:

1   Bila seorang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan sekandung atau sebapak, maka pembagian harta warisnya adalah:   a. Anak perempuan mendapatkan bagian 1/2 karena ia sendirian, tidak lebih dari satu orang dan tidak ada mu’ashshib-nya.   b. Saudara perempuan sekandung atau sebapak menjadi ashabah, mendapat sisa harta setelah diambil lebih dulu oleh anak perempuan. Bila saudara perempuan ini lebih dari satu maka harta sisa tersebut dibagi rata kepada semua saudara perempuan yang ada.  

2   Bila seorang meninggal dunia dengan ahli waris 2 orang cucu perempuan dan 3 orang saudara perempuan sekandung atau sebapak, maka pembagian harta warisnya adalah:

a. 2 orang cucu perempuan mendapat bagian 2/3 karena lebih dari satu orang dan tidak ada mu’ashshib-nya.  

b. 3 orang saudara perempuan sekandung atau sebapak menjadi ashabah, mendapat sisa harta setelah diambil lebih dulu oleh cucu perempuan di atas. Sisa harta tersebut kemudian dibagi rata kepada 3 orang saudara perempuan yang ada.[12]

 

BAB III

PENUTUP

A.      Simpulan

Menurut bahasa ashabah adalah jamak dari ashiib yang berarti anak turun dan kerabat seorang lelaki dari pihak ayah.Dinamakan ashabah karena mereka mengelilinginya.Kata ashabah artinya mengelilingi untuk melindungi dan membela.

Menurut istilah ashabah adalah setiap pewaris yang mempunyai bagian yang tidak tentu dan tegas dalam Al-Qur’an dan Ash-Sunnah atau setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendiriam dan mendapat sisanya setelah ashabul furud mendapat bagian mereka yang telah ditentukan.

Dasar hukum ashabah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist terdapat pada QS.An-Nisa ayat 11 dan QS.An.Nisa ayat 176.Selaibn itu juga terdapat pada Hadits Rasulullaw SAW.

Ashabah dibagi menjadi 2 macam yaitu ashabah sababiyahadalah ashabah karena adanya sebab, yaiutu sebab memerdekakan budak. Ketika seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tak memiliki kerabat secara nasab maka sang tuan yang memerdekakannya bisa mewarisi harta peninggalannya secara ashabah sebagai balasan atas kebaikannya yang telah memerdekakan sang budak. Kemudian yang kedua ashabah nasabiyah Ashabah Nasabiyah adalah ashabah karena adanya hubungan nasab dengan si mayit. Mereka yang masuk dalam ketegori ini adalah semua orang laki-laki yang telah disebutkan dalam pembahasan para penerima waris dari pihak laki-laki selain suami dan saudara laki-laki seibu, keduanya hanya menerima dari bagian pasti saja.Dengan demikian maka yang termasuk dalam ashabah nasabiyah adalah bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki dari anak laki-laki, saudaraa laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman senbapak, anak laki-lakinya paman sekandung, dan anak laki-lakinya paman sebapak. Mereka semua adalah para ahli waris yang bisa mendapatkan warisan secara ashabah.Meskipun bapak dan kakek terkadang mengambil warisan melalui bagian pasti.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali Ash-shabuni, Muhammad, Hukum waris Dalam Islam,(Palapa Alfa Utama: Depok), 2013

Thaha Abul Ela Khalifah, Muhammad,Hukum Waris, (Cetakan 1,Tiga Serangkai: Solo), 2007

Anshary, MK,Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: PT. Raka Grafindo Persada), 2012

Fitriyati, Yusida, Kedudukan Ashabah, Jurnal Nurani,Vol.14 No.2,2014, diakses pada 30 Oktober 2020

Utama, Sofyan Mei, Kedudukan Ahli Waris Penggangi dan Prinsip Keadilan dalam Hukum Waris Islam, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 34, No. 1, 2016, diakses pada 30 Oktober 2020

 

 

 



[1] Yusida Fitriyati, “Kedudukan Ashabah”, Jurnal Nurani,Vol.14 No.2,2014  h. 3

[2] Sofyan Mei Utama, “Kedudukan Ahli Waris Penggangi dan Prinsip Keadilan dalam Hukum Waris Islam”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 34, No. 1, 2016, h. 69-70

[3] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: Palapa Alta Utama, 2013),hlm. 62

[4]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, Palapa Alta Utama, Depok, , 2013, h. 62

[5] M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, Cet., 1Tiga Serangkai,Solo,  2007,  h. 402-403

[6]Anshary MK ,Hukum kewarisan Islam, h.50

[7]Anshary MK ,Hukum kewarisan Islam, h. 52-53

[8]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, Palapa Alta Utama, Depok, , 2013, h. 63-64

[9]Anshary MK ,Hukum kewarisan Islam,Hlm.55-56

[10]Anshary MK,Hukum Kewarisan Islam,Hlm 56-57

[11]Anshary MK,Hukum Kewarisan Islam,Hlm 57-58

[12]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, Palapa Alta Utama, Depok, , 2013, h. 62

Lebih baru Lebih lama