MAKALAH PEMBAGIAN WARIS AYAH IBU KAKEK DAN NENEK
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab telah mengenal system waris yang telah
menjadi sebab berpindahnya hak kepemilikan atas harta benda atau hak-hak
material lainnya, dari seorang yang meninggal kepada orang lain yang menjadi
ahli warisnya. Mewariskan dengan cara ashabah
merupakan cara kedua untuk memberikan untuk memberikan harta waris kepada
ahli waris si mayit. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa pembagian harta
waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fard dan ta’shib (ashabah)
Ahli waris yang mewarisi bagian tetap lebih didahulukan dari pada ahli
yang menjadi ashabah. Sebab,
kedudukan ashabul furudh lebih utama
dari pada kedudukan ashabah. Nabi
Muhammad SAW bersabda “berikanlah
bagian-bagian tetap itu kepada orang yang berhak, dan jika ada sisa, baru untuk
laki-laki dan keturunanya.
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari pewaris.
Tetapi bagaimanapun, tidaklah berarti bahwa setiap ahli waris apabila
bersama-sama dengan ahli waris yang
lainnya, pasti semuanya mendapat harta warisan, akan tetapi sangat dipengaruhi
dan ditentukan oleh keutamaan atau kekerabatan terdekat. Hal ini dimaksudkan,
bahwa kerabat yang dekat menghalangi ahli waris yang jauh dari pewaris.
Hal ini membuktikan bahwa sesunguhnya Islam adalah agama yang sangat
sempurna, Islam juga memperhatikan bagaimana kehidupan keluarga yang akan
menjadi penerus dan pewaris, agar tidak ada kekeliruan dan perselisihan dalam
pembagian harta warisan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana pembagian waris untuk Ayah?
2.
Bagaiman pembagian waris untuk Ibu?
3.
Bagaimana pembagian waris untuk Kakek?
4.
Bagaimana pembagian waris untuk Nenek?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui bagian waris untuk Ayah.
2.
Mengetahui bagian waris untuk Ibu.
3.
Mengetahui bagian waris untuk Kakek.
4.
Mengetahui bagian waris untuk Nenek.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ashabul Furudh
a. Pengertian Ashabul Furudh
Kata Furudh berasal
berasal dari bahasa Arab, bentuk plural yang artinya “bagian”. Sementara itu Furudh dalam konteks
istilah fiqhi mawaris adalah bagian yang telah ditentukan oleh syara’ untuk
ahli waris dalam menerima harta warisan. Dengan demikian, ashabul furudh
artinya kelompok ahli waris yang besaran kadar bagiannya telah ditentukan di
dalam Al-Qur’an.[1]
Dalam Q.S. Annisa:11:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ
فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ahli waris yang
masuk kelompok ashabul furudh adalah:
-
Suami
-
Bapak
-
Kakek Shahih (yaitu bapaknya bapak) dan seterunya ke atas dari garis
laki-laki
-
Saudara laki-laki seibu
-
Istri
-
Anak perempuan
-
Cucu perempuan dari anak laki-laki,
dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki
-
Ibu
-
Nenek dari pihak ibu terus ke atas
-
Nenek dari pihak bapak (tidak terus ke atas)
-
Saudara perempuan sekandung
-
Saudara perempuan sebapak
b. Bagian-Bagian Ashabul Furudh II ( Ibu, Bapak, Nenek, dan Kakek)
a) Ibu (1/3) apabila tidak ada ahli tidak ada ahli waris
-
Anak, baik laki-laki laki-laki
maupun perempuan
-
Cucu dari anak laki-laki, laki-laki,
baik laki-laki laki-laki maupun perempuan perempua
-
Dua orang saudara saudara atau
lebih: baik laki-laki laki-laki maupun perempuan, perempuan, baik saudara
saudara sekandung, sekandung, sebapak maupun seibu.
b) Ibu (1/6) bila ada apabila ada ahli waris
-
Anak laki-laki
-
Anak perempuan perempuan
-
Cucu laki-laki laki-laki dari anak
laki-laki
-
Cucu perempuan perempuan dari anak
laki-laki
-
Dua orang saudara saudara atau
lebih, baik laki-laki laki-laki maupun peempuan, peempuan, baik saudara saudara
sekandung, sekandung, sebapak maupun seibu
c) Bapak (1/6) bila ada ahli waris
-
Anak laki-laki
-
Anak perempuan
-
Cucu laki-laki laki-laki dari anak
laki-laki
-
Cucu perempuan perempuan dari anak
laki-laki
d) Nenek (1/6) apabila ada ahli waris
-
Ibu
-
Bapak (khusus (khusus nenek dari
pihak bapak)[2]
e) Kakek ika tidak mahjub, dengan
syarat:
-
1/6+ sisa jika bersama anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki tanpa
ada anak laki-laki
-
1/6 (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk
ahli waris lain.
-
1/3 bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan al-jadd ma’a al-ikbwah (kakek bersama
saudara).
-
1/2 jika tidak bersama laki-laki
sekandung.
-
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama
dengan laki-laki sekandung.
B.
Pembagian
waris menurut KUH Perdata
a. Ayah dan Ibu
Diatur dalam Pasal
854, 855, 856, 857 dan 859 KUHPerdata. Orang tua (ayah dan ibu) masing-masing
mendapat bagian yang sama dengan saudarasaudara sekandung akan tetapi ayah dan
ibu tersebut masing-masing tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta
warisan. Apabila tidak ada saudara sekandung maka masing-masing orang tua dapat
½ bagian dan jika salah satu dari orang tua itu meninggal maka orang tua yang
masih hidup mewaris seluruh harta warisan itu.
Kemudian apabila
orang tua mewaris bersama-sama dengan seorang saudara maka masing-masing
mendapat 1/3 bagian (Pasal 854 KUHPerdata) dan apabila orang tua itu mewaris
bersama dengan 2 oarang saudara sekandung atau lebih maka masing-masing orang
tua mendapat ¼ bagian, lalu selebihnya dibagi rata kepada seluruh saudara itu
(Pasal 854 ayat 2), jika salah seorang dari orang tua itu meninggal maka orang
tua yang masih hidup itu mewaris ½ bagian kalau bersama dengan seorang saudara
kandung 1/3 bagian kalau bersama 2 saudara sekandung dan ¼ bagian kalau bersama
3 saudara sekandung atau lebih.[3]
Didalam Pasal 855
KUHPerdata juga ditentukan bagian dari bapak atau ibu yang hidup terlama.
Bagian mereka tergantung pada kuantitas dari saudara laki-laki atau perempuan
dari pewaris.
a) Apabila pewaris meninggalkan seorang saudara laki-laki dan seorang
saudara perempuan, maka hak dari bapak atau ibu yang hidup terlama adalah ½
bagian.
b) Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara laki atau saudara
perempuan, maka yang menjadi hak dari bapak dan ibu yang hidup terlama adalah
1/3 bagian
c) Apabila pewaris meninggalkan lebih dari dua saudara laki atau
saudara perempuan, maka yang menjadi hak dari bapak dan ibu yang hidup terlama
adalah 1/4 bagian
Pada Pasal 856 KUHPerdata ditentukan
bahwa apabila orang tua meninggal lebih dulu maka saudara sekandung mewaris
untuk saudara harta warisan. Jika diantara saudara-saudara itu ada yang hanya
sebapak atau ada yang seibu saja dengan yang meninggal dunia maka dalam Pasal
857 KUHPerdata diatur dengan ketentuan istimewa yaitu warisan dibagi dua lebih
dahulu, separo bagian untuk saudara-saudara seibu dan separo lagi untuk saudara
seayah sekandung seorang saudara sekandung (seayah seibu) mendapatkan dari
kedua bagian tersebut.[4]
b. Kakek Nenek
Berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata pembagian warisan dibagi dalam 2 bagian terlebih dulu (kloving), satu bagian untuk keluargasedarah dalam garis seibu lurus keatas. Pasal 853 ayat 3 KUHPerdata menentukan bahwa semua keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dalam derajat yang sama mendapat bagian kepala dari kepala, ahli waris dalam derajat sama mendapat bagian yang sama pula.
BAB III
A.
Kesimpulan
Furudlu
menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah ditentukanjumlahnya
untuk warits pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun dengan ijma’.
Furudhul muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syara’ bagi
ahli waris tertentu dalam pembagian harta peninggalan, atau dengan kata lain presentase
bagian yang telah ditentukan bagiannya, Seperti :
1.
Ibu (1/3) apabila tidak ada ahli
tidak ada ahli waris
·
Anak, baik laki-laki laki-laki
maupun perempuan
·
Cucu dari anak laki-laki, laki-laki,
baik laki-laki laki-laki maupun perempuan perempua
·
Dua orang saudara saudara atau
lebih: baik laki-laki laki-laki maupun perempuan, perempuan, baik saudara
saudara sekandung, sekandung, sebapak maupun seibu.
2.
Ibu (1/6) bila ada apabila ada ahli
waris
·
Anak laki-laki
·
Anak perempuan perempuan
·
Cucu laki-laki laki-laki dari anak
laki-laki
·
Cucu perempuan perempuan dari anak
laki-laki
·
Dua orang saudara saudara atau
lebih, baik laki-laki laki-laki maupun peempuan, peempuan, baik saudara saudara
sekandung, sekandung, sebapak maupun seibu
3.
Bapak (1/6) bila ada ahli waris
·
Anak laki-laki
·
Anak perempuan
·
Cucu laki-laki laki-laki dari anak
laki-laki
·
Cucu perempuan perempuan dari anak
laki-laki
4.
Nenek
(1/6) apabila ada ahli waris
·
Ibu
·
Bapak (khusus (khusus nenek dari pihak
bapak)
5.
Kakek
ika tidak mahjub, dengan syarat:
·
1/6+ sisa jika bersama anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki tanpa
ada anak laki-laki
·
1/6 (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk
ahli waris lain.
·
1/3 bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan al-jadd ma’a al-ikbwah (kakek bersama
saudara).
·
1/2 jika tidak bersama laki-laki
sekandung.
·
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama
dengan laki-laki sekandung.
B.
Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami buat, tentunya dalam makalah ini banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran kami harapkan dari para pembaca, guna memotivasi kami untuk menjadi yang lebih baik lagi dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembacannya.
DAFTAR PUSTAKA
Djedjen, Zainuddin. Suparta. 2003. Fiqih, Semarang: PT. Karya
Toha Putra, hlm 25
Rofiq,
Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di
Indonesi edisi revisi. Depok: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 323-328.
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,., hal 200
Ibid.,
hal 200