HARTA KEKAYAAN PERKAWINAN

HARTA KEKAYAAN PERKAWINAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

    Pemahaman hak dan kewajiban menjadi sangat penting dan mendasar, apabila kita lebih mendalam membahas tentang kehidupan perkawinan itu akan menimbulkan hak dan kewajiban antara lain tentang hak dan kewajiban anak dan hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan timbul kemungkinan permasalahan pembagian harta apabila perkawinan putus. baik karena kematian ataupun karena perceraian.

    Penyelesaian permasalahan pembagian harta bersama terlihat simpel dan mudah dilakukan, namun kenyataannya setelah terjadi perceraian, selain permasalahan hak asuh terhadap anak, permasalahan yang juga cukup mendominasi, menggantung, bahkan sering tak terselesaikan adalah permasalahan pembagian harta bersama antara mantan suami dan mantan istri.

    Ada hal yang dianggap wajar di Indonesia jika pencari nafkah dalam sebuah keluarga tidak hanya didominasi oleh suami, tetapi istri juga ikut berusaha membantu perekonomian keluarga, bahkan ada banyak kasus yang profesi dan penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suami, sehingga bisa dibayangkan jika pendapatan istri dan suami melebur jadi satu menjadi harta bersama, maka hal ini akan menjadi permasalahan jika terjadi putusnya perkawinan.

    Berdasarkan dari fakta-fakta hukum tersebut sebenarnya terdapat banyak permasalahan hukum menyangkut harta bersama yang terlihat sederhana namun kenyataanya rumit untuk diselesaikan hingga terjadi konflik keluarga, apalagi sistem waris di Indonesia diatur dalam Hukum Islam, hukum adat maupun aturan hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana persatuan kekayaan akibat perkawinan?

2. Bagaimanakah Pembagian harta kekayaan?

3. Bagaimanakah pertanggung jawaban terhadap hutang?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana persatuan kekayaan akibat perkawinan.

2. Untuk memahami pembagian harta kekayaan.

3. Untuk memahami bagaimana pertanggung jawaban terhadap hutang.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Persatuan Kekayaan Akibat Perkawinan

    Persatuan bulat (seluruhnya) harta kekayaan terjadi jika suami dan istri pada perkawinannya tidak mengadakan perjanjian apapun. Persatuan terjadi dengan suatu perjanjian pernikahan. Perjanjian pernikahan ini harus dibuat sebelum dilangsungkanya perkawinan dengan akta notaris dan mulai berlaku sejak saat perkawinan (pasal 147). 

    Setelah pernikahan perjanjian pernikahan tidak bisa dapat diubah (pasal 149). Menurut ketentuan dalam Pasal 100 dan Pasal 121 persatuan ini meliputi: “harta kekayaan suami dan isteri, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian, termasuk juga yang diperoleh dengan cuma-cuma (warisan, hibah) segala beban suami dan istri, baik sebelum maupun selama perkawinan.”

    Hal ini berlaku sebagai prinsip, tapi bisa juga dilakukan pengecualian yaitu dalam hal tersebut dalam Pasal 120 (kalimat terakhir) yang berbunyi “jika yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan bahwa barang itu jangan dimasukkan dalam persatuan. Dalam hal ini barang tersebut tidak masuk dalam persatuan, meskipun ada persatuan bulat.

    Menurut Hilam Hadikusuma bahwa ”Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami isteri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, sebagai berikut:

1. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”. 

2. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”. 

3. Harta yang diperoleh /dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan, yaitu “harta pencaharian”. 

4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.

    Dari penggolongan harta perkawinan tersebut diatas, diketahui bahwa pada dasarnya harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu harta asal suami atau isteri dan harta bersama suami isteri. 

    Dalam hukum Islam tidak dikenal adanya lembaga harta bersama (gezifaverinogen). Apabila diperhatikan ketentuan asalnya, maka pada dasarnya harta suami isteri adalah terpisah baik harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah satu pihak atas usahanya sendiri maupun harta yang diperoleh salah seorang dari mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.

    Mengenai harta bersama ini, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Pasal 35 yang menyatakan bahwa :

1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

    Dari peraturan ini dapat diketahui bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya pemberian, warisan dan harta bersama (Pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan ke dalam harta bersama dalam perkawinan.

    Sedangkan tentang siapa yang berhak untuk mengatur harta bersama, Undangundang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan Pasal 36 ayat 1 dan 2 sebagai berikut :

1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

    Dari ketetuan pasal 36 tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu. 

    Selanjutnya Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

B. Pembagian Harta Kekayaan

    Perkawinan dapat putus di antarnya karena kematian dan perceraian. Putusnya perkawinan akan membawa akibat hukum. Dampak perceraian bisa terjadi pada pendapatan rumah tangga setelah beberapa waktu perceraian. Dalam memutuskan perkara pembagian harta kekayaan perkawinan, hakim dituntut untuk menyelesaikan pembagian secara adil. Untuk mewujudkan keadilan dalam putusan  bagi para pihak tentu tidak mudah, karena  keadilan bagi satu pihak bisa dirasakan tidak adil bagi pihak lain. 

    Keadilan memang merupakan salah satu tujuan hukum, selain kepastian dan kemanfaatan.  Sebagaimana prinsip tiga nilai dasar yang harus diwujudkan dalam penerapan hukum oleh Gustav Radbruch, yakni : nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagaimana prinsip tiga nilai dasar yang harus diwujudkan dalam penerapan hukum oleh Gustav Radbruch, yakni : nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 

    Secara normatif keadilan formal yang terwujud dalam pembagian harta kekayaan perkawinan adalah apabila telah dilakukan pembagian secara seimbang masing-masing suami istri mendapatkan bagian setengah bagian. Dasar pembagian demikian adalah asas keseimbangan kedudukan suami istri; Pasal 128 KUH.Perdata; dan yurisprudensi sebagaimana putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 November 1976 No. 1448 K/Sip/1974 yang menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami isteri.  Pada hal, pembagian demikian belum tentu mencerminkan keadilan yang sebenarnya, kalau ternyata harta kekayaan perkawinan yang menjadi obyek sengketa walaupun terbukti secara formal tetapi secara materiil sebenarnya merupakan harta pribadi. Oleh karena itu penegakan asas keseimbangan atau asas equalitas dalam pembagian harta kekayaan perkawinan harus diikuti dengan pembagian secara proporsional, demi terwujudnya keadilan substansial. Pembagian proporsional ini tidak harus dalam proporsi 1/2 : 1/2, tetapi bisa 1/3 : 2/3, atau 1/4 : 3/4 dan sebagainya. 

    Dengan demikian ketika perkawinan putus, baru bisa dilakukan pembagian harta kekayaan perkawinan. Dalam kehidupan di masyarakat bentuk perkawinan pada umumnya adalah monogam, tetapi juga ada perkawinan lebih dari satu kali yang disebut perkawinan serial. Tentu saja cara pembagian harta kekayaan perkawinan antara perkawinan monogam dengan perkawinan serial berbeda. Cara pembagian yang terakhir tentu lebih kompleks dari yang pertama, karena terkait dengan keberadaan anak-anak perkawinan pertama yang harus mendapatkan perlindungan hukum. Selain itu, dengan fakta keragaman sistem hukum harta kekayaan perkawinan, pembagian harta kekayaan perkawinan dalam perkawinan serial juga didasarkan pada para pihaknya tunduk pada hukum apa. Dalam UUP tidak secara tegas mengatur pembagian harta kekayaan perkawinan dalam perkawinan kedua. Namun apabila mencermati ketentuan yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b UUP yang menyatakan, “isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi”. Selanjutnya dalam huruf c dinyatakan, “semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinan masing-masing”. Dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat pasal tersebut bisa digunakan untuk penyelesaian pembagian harta kekayaan perkawinan baik atas dasar perkawinan serial maupun atas dasar poligami.

    Kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan dilangsungkan. Ketiga, masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.  Pembagian harta kekayaan apabila ada suami atau isteri dalam perkawinan kedua dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut : 

1. Pembagian harta kekayaan dalam hal tidak ada persatuan harta;

2. Pembagian harta kekayaan dalam hal ada harta persatuan;

3. Pembagian harta kekayaan dalam hal ada harta persatuan dan keuntungan;

4. Pembagian harta kekayaan dalam hal ada harta persatuan dan kerugian;

5. Pembagian harta kekayaan dalam hal ada harta persatuan dan ada anak luar kawin yang diakui.

C. Pertanggung Jawaban Terhadap Hutang

    Hutang merupakan tanggung jawab yang harus dibayar oleh orang yang berhutang sesuai waktu yang ditentukan. Apabila orang yang berhutang meninggal dunia, maka pada prinsipnya, tanggung jawab membayarnya beralih kepada keluarganya. Perkembangan sistem ekonomi yang semakin maju membuat jenis hutang semakin bermacam jenisnya, misalnya kredit kepada bank. Untuk hutang yang jenis ini biasanya diasuransikan, maka tanggung jawab kreditur diambil alih oleh asuransi, setelah orang yang hutang melunasi premi asuransi dari uang pinjaman tersebut dalam jumlah yang ditentukan dalam perjanjian. Terlepas dari hukum hutang bank dan asuransi, hutang semacam ini diluar tanggung jawab keluarga. Hal ini sama dengan menurut pendapat Fuwqaha’ Hanafiyah, bahwa apabila orang yang hutang meninggal dunia, maka bebaslah ia dari tanggung jawabnya itu.

    Akan tetapi jika hutang tersebut bersifat antar individu, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab keluarga (ahli waris) yang ditinggalkannya. Karena itu, Islam menganjurkan agar transaksi hutang piutang dicatat secara tertib. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi sengketa antara mereka yang terlibat dalam transaksi tersebut.

    Karena itu, apabila orang yang hutang meninggal dunia, pembayarannya diambilkan dari harta peninggalannya. Menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu atau orang yang meninggal dunia akan tetapi mempunyai harta peninggalan adalah perbuatan aniaya (dhalim).

    Dalam kaitan hal tersebut, biasanya sebelum jenazah dishalaytkan dan diberangkatkan ke kuburan, pihak keluarga meminta agar hutang si mati dibebaskan ( di-ibra’-kan ). Jika hutang tersebut tidak bisa dibebaskan, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab ahli warisnya. Rasululah SAW member isyarat, apabila si mati mempunyai hutang dan belum ada ahli waris yang mengambil alih, beliau tidak berkenan untuk menshalatkannya. 

    Para ulama membedakan antara hutang kepada Allah dengan hutang kepada sesame manusia. Ulama Syafi’iyah dan Ibn Hazm, mendahulukan hutang kepada Allah (dain Allah) daripada hutang kepada sesame manusia (dain al-‘ibad). Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mendahulukan hutang kepada sesame manusia harus didahulukan sebelum perawatan jenazah. Sementara Ulama Hanabilah menyatakan bahwa keduanya, hutang kepada Allah dan hutang kepada sesame manusia dilunasi bersama-sama. Jadi misalnya seseorang meninggal dunia dunia dan telah merencanakan ibadah haji karena ia telah mampu, tidak terlaksana karena ia merasa belum pantas karena usianya masih muda, tiba-tiba belum sampai ia melaksanakannya kematian telah merenggutnya. Maka menurut Ulama Syafi’iyah dan Ibn Hazm, harta peninggalannya diambil terlebih dahulu sebesar ongkos naik haji, untuk membiayai seseorang untuk menghajikan orang yang meninggal tersebut. Inilahn disebut dengan haji pengganti (badal). Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah hutang haji tersebut gugur. Dan menurut Ulama Hanabilah, dain al-‘ibad dan dain Allah dipenuhi secara bersamaan. Jika hartanya kurang, maka dibagi secara proporsional. 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 

    Salah satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah harta kekayaan. Faktor ini dapat dikatakan yang dapat menggerakan suatu kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan, memang selayaknya suami suami yang memberikan nafkah bagi kehidupan rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan di tentukan oleh kondisi dan tangung jawab suami. Namun di zaman modern ini, diamana wanita telah hamper sama berkesempatan dalam pergaulan sosisl, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan, baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian. 

    Dalam penyelesain pembagian harta kekayaan dalam perkawinan lebih dari satu serial, berpedoman pada asas bahwa dalam perkawinan lebih dari satu serial terbentuk masing-masing kelompok harta pekawinan yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing kelompok harta perkawinan tersebut merupakan hak ahli waris dari perkawinan tersebut, sehingga ada perbedaan jumlah yang di terima masing-masing ahli waris sesuai dengan besarnya kelompok harta yang tercipta dalam perkawinan tersebut. Perdata memberi penjelasaan bahwa hutang bersama atau hutang persatuan dalam pertanggung jawabanya adalah secara bersama-sama oleh suami istri.


DAFTAR PUSTAKA

Yunanto. 2018. Titik Singgung Keragaman Sistem Hukum dalam Pembagian Harta Kekayaan Perkawinan pada Perkawinan Serial. Jurnal Masalah-masalah Hukum Jilid 47 

A. Manaf. Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam Penjamin Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju).

Ahmad Rofiq. 2017. Hukum Perdata Islam di Indonesia Depok; Raja Grafindo Persada.

Ahmad Rofiq. 1993.Fiqih Mawaris. Jakarta; Rajawali Pers.



Lebih baru Lebih lama