MAKALAH ASAS-ASAS HUKUM WARIS ISLAM

MAKALAH ASAS-ASAS HUKUM WARIS ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga islam, yang merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakah muslim sejak masa awal islam hingga abad pertengahan, zaman modern seperti sekarang ini dan yang akan datang.

Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan hal utama dalam proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan kedamaian merupakan hal terpenting yang harus mampu dijalankan. Kesepakatan dalam musyawarah merupakan suatu nilai dasar kebersamaan dalam kehidupan keluarga yang harus dikedepankan. Kebersamaan tanpa harus terjadi perselisihan atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan merupakan hal terpenting, karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan seharusnya mampu menjadi pijakan tanpa harus mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing pihak. 

Mengenai ketentuan hukum waris dapat kita lihat dalam Pasal 830 KUHPerdata, bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Dengan demikian pengertian hukum waris menurut KUHPerdata, ialah tanpa adanya orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak ada. Menurut ketentuan Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata, semua ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala harta kekayaan peninggalan pewaris. Dan menurut ketentuan Pasal 874 KUHPerdata juga menentukan bahwa segala harta kekayaan peninggalan pewaris adalah milik semua ahli waris sesudah dikurangi wasiat berdasar pada ketetapan yang sah.

 

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana asas-asas hukum waris islam?

2.      Bagaimana sebab-sebab mewaris?

3.      Bagaimana rukun dan syarat mewaris?

4.      Bagaimana penghalang mewaris?

5.      Bagaimana harta warisan?

C. Tujuan

1.      Untuk mengidentifikasi asas-asas hukum waris islam.

2.      Untuk mengetahui sebab-sebab mewaris.

3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat mewaris.

4.      Untuk mengetahui penghalang mewaris.

5.      Untuk mengetahui pengertian harta warisan.

             

BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas-asas Hukum Waris Islam

Hukum waris dalam islam adalah bagian dari syariat islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, kemudian para ahli hukum islam khususnya para mujtahid dan fuqaha mentransformasi melalui berbagai formulasi kewarisan sesuai dengan pendapatnya masing-masing. 

Berdasar pemahaman dan pendapat terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadir yang berkaitan dengan waris, ada beberapa asas yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu keputusan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian harta peninggalan.

Mohammad Daud Ali membagi asas hukum kewarisan islam menjadi lima asas.[1] Sedangkan Idris Djakfar dan Taufik Yahya membagi asas hukum kewarisan islam menjadi enam asas.[2] 1. Asas Integrity: Ketulusan

Asas ketulusan (integrity) ini mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya, yaitu berasal dari Allah melalui Rasulullah, sebagai pembawa risalah AlOur'an Oleh karena itu, ketulusan seseorang melaksanakan ketentuanketentuan hukum kewarisan sangat tergantung dari keimanan yang dimiliki untuk mentaati hukum-hukum Allah Adapun dasar kesadarannya adalah firman Allah di dalam Q.S. Ali-Imran ayat 85.

2.            Asas Ta’abbudi: Penghambaan diri

Yang dimaksud asas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari pelaksnaan perintah (ibadah) kepada Allah yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan diberi ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan juga diberi ganjaran seperti layaknya mentaati dan tidak mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan kewarisan Allah, telah menjelaskan di dalam Q.S. Al- Nisa' ayat 11, 12 dan 176.

3.            Asas Hukukul Maliyah: Hak-hak Kebendaan

Yang dimaksud dengan Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang berbunyi :

a.    Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b.    Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;

c.    Menyelesaikan wasiat pewaris;

d.    Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak.

4.            Asas Hukukul Thabi’iyah: Hak-hak Dasar

Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni: hubungan keluarga, perkawinan, wala dan seagama. Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping (saudara). waris yang berhak.

5.            Asas Ijbari: Keharusan atau kewajiban

Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan.

6.            Asas Bilateral

Asas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas bilateral ini dapat dilihat dalam AlQuran surat an-Nisa' ayat 7.

7.            Asas Individual: Perorangan

Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisandinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yangberhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

8.            Asas Keadilan yang Berimbang

Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai dengan kemampuannya. Q.S. Al- Baqarah ayat 233.

9.            Asas Kematian

Makna asas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.[3]

10.        Asas Membagi Habis Harta Warisan

Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah asas dari penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara: Menentukan siapa yang menjadi Ahli waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas.

Begitu juga apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari masalah yang ditetapkan, atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asal masalah yang ditetapkan, telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan ketentuan sebagaimanadiatur dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Aul dan Rad.

B. Sebab-sebab Mewaris

Syari’at Islam telah menetapkan bahwa ada tiga sebab yang menyebabkan seseorang memperoleh harta peninggalan/harta Pusaka, yakni : hubungan kekerabatan, perkawinan dengan akad yang sah dan wala’. Sebab-sebab memperoleh warisan dapat pula dikelompokkan dalam dua sebab, yaitu sabab dan nasab. Nasab ialah hubungan kekerabatan, sedangkan sabab mencakup

perkawinan dan perwalian (wala’).[4]

1.        Sebab mewarisi karena sabab

a.         Perkawinan 

Perkawinan yang dimaksud adalah mencakup pernikahan yang sah dan percampuran syubhat, sedangkan perkawinan tidak bisa terjadi kecuali dengan adanya akad yang sah yakni terpenuhinya syarat dan rukunnya, antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan meskipun belum terjadi hubungan kelamin antara duda istri, atau masih dalam status tertalak raj’i, maka di antara keduanya terdapat hak saling mewarisi sebagaimana ketetapan Allah swt dalam Q.S. an-Nisa ayat 12:

وَنكَُىْ َِصْفُ يَا تسََكَ اشَْوَاجُكُىْ اِْ ٌ نىَّْ يَكُ ٍْ نهَُّ ٍَّ وَنَدٌ ۚ  فَاِ ٌْ كَا ٌَ نهَُ ٍَّ وَنَدٌ فَهكَُىُ انسُّبعُُ يًَِّ ا تسََكْ ٍَ يِ ٍْْۢ بعَْدِ وَصِيتٍَّ يىُّْصِيْ ٍَ بهَِآ اوَْ ديَْ ٍٍ ۗ وَنَهُ ٍَّ انسُّبعُُ يًِ َّا تسََكْتىُْ اِ ٌْ نىَّْ يَكُ ٍْ نكَُّىْ وَنَدٌ ۚ  فَاِ ٌْ كَا ٌَ نكَُىْ وَنَدٌ فَهَهُ ٍَّ انثًُّ ُ ٍُ  يًِ َّا تسََكْتىُْ يِّ ٍْْۢ بعَْدِ وَصِيتٍَّ تىُْصُىْ ٌَ بِهَآ اوَْ ديَْ ٍٍ ۗ وَاِ ٌْ كَا ٌَ زَجُمٌ يىُّْزَثُ كَهٰهَتً اوَِ ايْسَاةٌَ وَّنَ هٓ اخٌَ اوَْ اخُْتٌ فَهِكُمِّ وَاحِدٍ يِّ ْهًُ َا انسُّدسُُۚ فَاِ ٌْ كَا ىُْٓا اكَْثسََ يِ ٍْ ذٰنِكَ فهَُىْ شُسَكَاۤءُ فىِ انثهُّجُِ يِْۢ ٍْ بَعْدِ وَصِيَّتٍ يُّىْصٰى بِهَآ اوَْ ديَْ ٍٍٍۙ غَيْسَ يُضَاۤزٍّ  ۚ وَصِيَّتً يِّ ٍَ ا هللِّٰ ۗ وَا هللُّٰ  عَهِيْىٌ حَهِيْىٌۗ

Artinya: Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utangutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

b.         Al-Wala’

Yaitu kekerabatan karena sebab hukum karena membebaskan budak, disebut juga wala al-‘itqi dan wala anni’mah. Pada dasarnya hak mewarisi ini adalah  kenikmatan yang patut dirasakan oleh si mu’tiq atas pembebasan budak yang dilakukannya. Kenikmatan yang dimaksud adalah hubungan kekerabatan antara dua orang yang menjadikan keduanya seakan sudah sedarah-sedaging laksana hubungan nasab yang disebut wala al’itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia bebas yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan manusia lainnya. Karena itulah kepadanya dianugerahkan hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak yang dibebaskannya itu meninggal dunia dengan tidak mempunyai ahli waris, baik karena sebab kekerabatan ataupun perkawinan, maka yang mewarisinya ialah orang yang telah memerdekakannya, sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” (Muttafaqun alaih)

2.        Sebab mewarisi karena Nasab[5]

Sebab nasab yang dimaksud adalah hubungan kekerabatan atau hubungan darah. Kekerabatan terjadi karena adanya hubungan darah atau keturunan yang sah antara dua orang, baik keduanya berada dalam satu jalur hubungan seperti ayah ke atas disebut ushul’, atau anak pada garis lurus ke bawah yang disebut furu’ maupun pertalian darah garis menyamping seperti saudara, paman yang disebut hawasyi. Hubungan kekerabatan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. an-Nisa ayat 7;

نِهسِّجَالِ ََصِيْبٌ يًِّ َّا تسََكَ انْىَانِدٰ ٌِ وَالْْقَْسَبىُْ ٌََۖ وَنِهُ ِسَّاۤءِ ََصِيْبٌ يًِّ َّا تسََكَ انْىَانِدٰ ٌِ  وَالْْقَْسَبىُْ ٌَ يًِ َّا قَمَّ يُِ ْهُ اوَْ كَثسَُ ۗ ََصِيْباً يَّفْسُوْضًا

Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.

Dan firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal ayat 8:

وَانرَِّيْ ٍَ اٰيَ ىُْا يِ ٍْْۢ  بَعْدُ وَهَاجَسُوْا وَجَاهَدوُْا يَعَكُىْ فَاوُنٰۤ ِٕىكَ يِ ْكُىْۗ وَاوُنىُا الْْزَْحَاوِ

 بعَْضُهُىْ اوَْنٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ ا هللِّٰ ۗاِ ٌَّ ا هللَّٰ بِكُمِّ شَيْءٍ عَهِيْ ىٌۚ

Artinya: Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

C. Rukun dan Syarat Mewaris

Dalam fikih mawaris tentu saja ada rukun dan ada juga syarat, yaitu:[6]

1.        Rukun Mewaris

a.         Adanya pewaris,  yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya. 

Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam.

b.        Adanya ahli waris, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 

Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.[7]

Yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah ahli waris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut.

2.        Syarat mewaris

Ada tiga syarat kewarisan, yaitu (a) meninggal dunianya pewaris,(b) hidupnya ahli waris, dan (c) mengetahui status kewarisan.[8] a. Meninggal dunianya pewaris

Yang dimaksud meninggal dunia disini ialah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Tanpa ada kepastian bahwa ahli waris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris.

b.      Hidupnya ahli waris

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan harta tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.

c.       Mengetahui status kewarisan

Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung sebapak maupun seibu.

D. Penghalang Mewaris

Ada sebab mewaris, rukun kewarisan sudah terpenuhi, syarat kewarisan juga sudah terpenuhi, belum tentu seseorang menikmati bagian hak warisan. Masih terdapat satu hal yang perlu diperhatikan, yakni ada atau tidaknya penghalang mewaris.

Dalam hukum kewarisan Islam ada empat penghalang mewaris, yaitu (a) pembunuhan; (b) beda agama; (c) perbudakan; dan (d) beda negara.[9]

1. Pembunuhan

Para ulama bersepakat bahwa suatu pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap ahli warisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk meawarisi harta pewaris yang di bunuhnya. Ketentuan ini berdasarkan Hadis Rasulullah yang artinya:

“Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun si korban tidak memiliki ahli waris selain dirinya, dan walaupun korban itu bapaknya maupun anaknya. Maka bagi pembunuh tidak dapat mewarisinya”. (HR. Ahmad)

Di samping itu, ada kaidah fiqihyah yang berkaitan dengan masalah itu yakni: 

“Barang siapa mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia diberi sanksi tidak boleh mendapatkanya”.

Kalau para ulama sepakat bahwa pembunuhan penghalang untuk mewaris, maka mereka berbeda pendapat mengenai jenis-jenis pembunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris. Dalam hal pembunuhan dilakukan dengan sengaja, para ulama sepakat bahwa pambunuhan yang demikian itu merupakan penghalang untuk mewaris. Perbedaan pendapat dikalangan para ulama muncul mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan. Para ulama Syafiiyah misalnya, berpendapat bahwa pembunuhan jenis apapun, tetap merupakan penghalang untuk mewaris. Dasarnya adalah keumuman Hadis tersebut diatas. 

Para ulama hanafiyah membagi dua jenis, yaitu pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabbub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dengan tidak sengaja. Sedangkan pembunuhan yang tidak langsung. misalnya seseorang membuat lubang di kebunnya, kemudian ada yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia. Matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat lubang tersebut. 

Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tak langsung, bukan merupakan penghalang untuk mewaris.

2.        Beda agama

Beda agama berarti agama pewaris berlainan dengan agama ahli waris. Misalnya, pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen. Demikian juga sebaliknya.

3.        Perbudakan

Para faradhiyun sepakat bahwa perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi. Hal ini didasarkan pada kenyatan seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak. Dengan perkataan lain, seorang budak tidak dapat menjadi subjek hukum.

Seorang budak tidak dapat mewarisi karena ia tidak cakap berbuat. Seorang budak tidak dapat diwarisi, jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki kekayaan sama sekali.

4.        Beda negara

Yang dimaksud dengan berlainan negara adalah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh pewaris dan ahli waris. Para ulama sepakat bahwa berlainan negara antar-sesama muslim tidak menjadi penghalang untuk mewaris, sebab negara-negara Islam, walaupun berbeda pemerintahannya, dan jauh jarak yang satu dengan lainya, di pandang sebagai satu negara. Hubungan kekuasan (ishmah) antar negara-negara tersebut menerapkan prinsip hukum Islam yang sama, meskipun tiap-tiap negara memiliki perbedaan mengenai bentuk kenegaraan, sistem pemerintah maupun mengenai politik yang dianutnya.

E. Harta Waris

Dalam pernikahan ada yang namanya harta bersama. Dengan adanya harta bersama tersebut, maka kaitannya dengan harta warisan harus jelas kepemilikannya masing-masing untuk diwariskan kepada ahli waris. Dalam hal ini sebelum harta peninggalan dibagi-bagi kepada para ahli waris adat meneliti lebih dahulu macam dan asal harta peninggalan itu apakah merupakan harta masing-masing atau harta bersama. Usaha yang dilakukan oleh adat adalah merupakan upaya untuk menghindari terjadinya percampuran dan penguasaan harta yang tidak dibenarkan. Kompilasi Hukum Islam pasal 86 dijelaskan sebagai berikut: 

1.      Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

2.      Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kuasai penuh olehnya.

Suami dan isteri masing-masing mempunyai harta dibawa penguasaannya, sehingga apabila terjadi kematian di antara mereka, maka pada hakekatnya secara otomatis harta bersama tersebut, menjadi terpisah dalam bentuk harta milik masingmasing. Oleh karena itu apa yang dilakukan adat sangat tepat sekali dan merupakan satu-satunya cara untuk memisahkan harta bersama dari pemilikan masing-masing. Sebagai realisasi pemisahan harta bersama untuk menjadi harta milik masing-masing, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur pemisahannya dengan melihat dua bentuk kasus yang mungkin bisa terjadi.

Pertama, kemungkinan pemisahan harta bersama bisa dilaksanakan apabila terjadi kematian dari salah satu pihak, apakah itu isteri atau suami. Kedua, kemungkinan pemisahan harta bersama dilakukan apabila kedua pemilik harta bersama terjadi cerai hidup. Dua kemungkinan terjadinya pemisahan harta bersama tersebut, apakah terjadi cerai mati atau cerai hidup, maka masing-masing pihak berhak separuh atau seperdua dari harta bersama. Pengaturan ini diatur pada pasal 96 ayat (1) dan pasal 97. Pasal 96 ayat (1) disebutkan “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama” dan pasal 97 disebutkan “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Apa yang dilakukan oleh adat dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap pengaturan harta bersama tersebut, adalah merupakan upaya ijtihad untuk menghindari larangan memakan harta orang lain secara batil. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Nisa (4) : 29 ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Untuk pengaturan selanjutnya yang berkaitan dengan realisasi pelaksanaan pembagian harta warisan, dijelaskan pada pasal 171 huruf e harta bawaan ditambah bagian harta bersama. Artinya bagian separuh atau seperdua dari harta bersama yang telah diatur pada pasal 96 ayat (1) dan pasal 97, ditambahkan ke harta bawaan pewaris. Setelah itu, dikeluarkan untuk keperluan penggunaan yang berkaitan dengan diri pewaris termasuk pelaksanaan penguburan. Secara rinci hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam pada apsal 171 huruf e bahwa harta yang ditinggalkan pewaris sebelum dibagikan kepada ahli warisnya digunakan dulu untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Apa yang dijelaskan akhir pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah merupakan realisasi penjelasan dan pengaturan Kompilasi pasal 175 ayat (1) tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris sebagai berikut:

1.      Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai; 

2.      Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk 

3.      kewajiban pewaris maupun managih piutang; 

4.      Menyelesaikan wasiat pewaris; 

5.      Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Asas-asas kewarisan merupakan pijakan bagi umat islam dalam menyelesaikan persoalan kewarisan karena landasannya berasal dari sumber hukum islam pertama dan kedua yang masuk kategori sumber hukum islam yang disepakati oleh fuqaha.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami. 

DAFTAR PUSTAKA

 

Haries, Akhmad. 2014. “ANALISIS TENTANG STUDI KOMPARATIF

                ANTARA      HUKUM      KEWARISAN      ISLAM      DAN     HUKUM

KEWARISAN ADAT”. Fenomena. Vol 6 No 2. Samarinda: IAIN Samarinda. https://journal.iain samarinda.ac.id/index.php/fenomena/ article/view/169/126 

Jaya, Dwi Putra. 2020. Hukum Kewarisan di Indonesia.  Bengkulu: Zara Abadi Mustari, Abdillah. 2013. Hukum Kewarisan Islam. Makassar: UIN Alauddin.

Ria, Wati Rahmi. Muhamad Zulfikar. 2018. Hukum Waris Berdasarkan Sistem Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam. Bandar Lampung:  UNILA

Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.

Ali, Mohammad Daud. 2001. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Djakfar, Idris. Taufik Yahya. 1995. Kompilasi Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:

Dunia Pustaka Jaya.



[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hlm. 128

[2] Idris Djakfar. Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm 29

[3] Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Bengkulu: Zara Abadi, 2020), hlm. 71

[4] Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, (Makassar: UIN Alauddin, 2013), hlm. 29

[5] Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 31

[6] Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 26

[7] Wati Rahmi Ria. Muhamad Zulfikar,  Hukum Waris Berdasarkan Sistem Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam,  (Bandar Lampung:  UNILA, 2018), hlm. 140.

[8] Wati Rahmi Ria. Muhamad Zulfikar,  Hukum Waris Berdasarkan Sistem Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam,  hlm. 142

[9] Wati Rahmi Ria. Muhamad Zulfikar,  Hukum Waris Berdasarkan Sistem Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam,  hlm. 143

Lebih baru Lebih lama