KARAKTER PENALARAN HUKUM OLEH POLISI, JAKSA, HAKIM, FUQAHA DAN MUJTAHID
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era sekarang ini wacana publik,
khasanah intelektual, praktik hukum ditanah air, peran para praktisi hukum
harus paham mengenai karakter penalaran hukum pada masing-masing profesi yang
diembannya. Karena logika, penalaran, dan penalaran hukum dalam studi hukum
semakin dibutuhkan, banyak orang berfikir untuk menjadi praktisi hukum seperti
hakim, jaksa, atau praktisi-praktisi hukum yang handal lainnya yang harus paham
mengenai logika penalaran hukum.
Dalam pemahaman terhadap hukum, khusunya
terhadap penalaran hukum seorang
praktisi hukum harus mengedepankan tiga
nilai dasar hukum dengan bauk yaitu
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pemahaman terhadap tema-tema
hukumpun harus dapat dipahami dalam konteks penalaran hukum, sehingga akan
membimbing seorang penegak hukum dalam
proses penegakan hukum.
Penalaran hukum merupakan fenomena yang
multifaset. Mekipun begitu, penalaran tidak boleh dilakukan dengan sesuka
hati. Banyak penalaran hukum yang
dilakukan oleh para pratisi hukum diantaranya yaitu polisi, jaksa, hakim,
mujtahid, dan fuqoha. Tetapi diantara penalaran-penalaran hukum yang dimiliki
praktisi hukum yang paling terlihat penalaran hukumnya adalah dalam putusan
hakim. Alasannya sebagaimana dikatakan oleh A.G. Guest. “the object of a scientific
inquiry is discovery; the object of legal inquiry is decision”. Tidak heran
jika akhirnya terdapat pandangan yang menyatakan bahwa legal reasoning itu pada hakikatnya adalah judical reasoning. Maka dari itu, kajian terhadap penalaran hukum
merupakan hal yang penting untuk dibahas dari masing-masing para praktisi hukum
agar dapat membedakannya antara satu dengan yang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
penalaran hukum oleh polisi, jaksa, hakim, mujtahid dan fuqaha?
2. Bagaimana
tugas para praktisi hukum dan modelpenalaran hukum?
3. Bagaimana
analisis hukum hasil penalaran para praktisi hukum yang berbeda-beda?
4. Bagaimana
penalaran hukum sesuai tugas dan fungsinya?
C. Tujuan Masalah
1. Dapat
memahami penalaran hukum oleh polisi, jaksa, hakim, mujtahid dan fuqaha.
2. Dapat
memahami tugas para praktisi hukum dan modelpenalaran hukum.
3. Dapat
memahami analisis hukum hasil penalaran para praktisi hukum yang berbedabeda.
4. Dapat
mengetahui penalaran hukum sesuai tugas dan fungsinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penalaran Hukum Oleh Polisi, Jaksa,
Hakim, Mujtahid Dan Fuqaha
1. Penalaran
Hukum Oleh Polisi
Aparat penegak hukum merupakan salah
satu pilar dari keberhasilan penegakan hukum, artinya apabila aparat penegak
hukum tidak profesional, maka penegakan hukum akan serampangan. Aturan hukum
yang baik tanpa aparat penegak hukum yang baik dan profesional tentu berdampak
pada penegakan hukumnya, berlaku pula sebaliknya aparat penegak hukum yang
sudah baik dengan aturan hukum yang tidak baik berdampak tidak baik juga pada
penegakan hukumnya. Kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum
diantara sekian banyak aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan
tugas penyelidikan dan penyidikan untuk semua perkara pidana (lihat Pasal 13 UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, selanjutnya disebut UU Kepolisian). Atas
dasar itu aparat kepolisian dituntut untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai
aparat hukum profesional yang mampu menerapkan hukum positif dalam kasus yang
konkrit.
Aparat kepolisian tidak cukup dalam
melakukan penyelidikan maupun penyidikan hanya mendasarkan pengalaman saja,
melainkan harus juga memahami konsep-konsep hukum, aturan hukum, dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Aparat penegak hukum tidak
cukup berbekal pada peraturan perundangundangan saja karena tidak sedikit dalam
peraturan perundang-undangan kita terkandung konsep hukum yang tidak jelas atau
kabur. Oleh karenanya perlu di setiap kantor kepolisian tersedia semacam
perpustakaan untuk dapat memahami doktrindoktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum. dalam pengamatan saya masih terlalu minim literatur yang tersedia, yang
ada hanya terdapat KUHP, KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang lain.
disamping itu karena rutinitas dan pekerjaan yang menumpuk mengakibatkan aparat
kepolisian tidak sempat untuk membaca literatur yang terkait dengan perkara
yang ia tangani.
Penting bagi seorang polisi untuk
memiliki karakter penalaran hukum dalam memahami aturan hukum, konsep hukum dan
doktrin hukum, yang telah dikembangkan. Tujuan ini akan menghindari kesesatan
dalam penegakan hukum. Aparat kepolisian tidak cukup dalam melakukan
penyelidikan maupun penyidikan hanya mendasarkan pengalaman saja, melainkan
harus juga memahami konsepkonsep hukum, aturan hukum, dan doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum. Aparat penegak hukum tidak cukup berbekal pada
peraturan perundangundangan saja karena tidak sedikit dalam peraturan
perundang-undangan kita terkandung konsep hukum yang tidak jelas atau kabur.
Kepolisian termasuk juga aparat penegak hukum lainnya yaitu jaksa atau hakim,
dalam melakukan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan aturan hukum, tidak
diperbolehkan berdasarkan asumsi atau intuisi (perasaan) belaka. Melainkan
untuk menyatakan seseorang melakukan perbuatan pidana maka parameter yang harus
dipergunakan adalah apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur delik,
sebagaimana prinsip yang berlaku yaitu Nullum
Delictum Nulla Poema Sine Pravea Lege Poenali (asas legalitas).[1]
2. Penalaran
Hukum Oleh Jaksa
Jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Profesi jaksa adalah tugas dan
wewenang yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan dibidang
pidana, perdata, tata usaha negara, ketertiban dan ketentraman umum dan
tugas-tugas lain berdasarkan undang-undang.[2]
Dalam sistem peradilan pidana, jaksa
merupakan penegak hukum yang selalu terlibat di setiap tahapan dari awal sampai
dengan akhir penanganan perkara. Pada tahap penyidikan, jaksa selaku penuntut
umum mengikuti perkembangan penyidikan, termasuk penyidikan yang dilakukannya
sendiri, meneliti dan memberikan petunjuk kelengkapan berkas perkara, kemudian
di tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, penuntut umum menghadirkan
alat-alat bukti guna meyakinkan hakim atas dakwaan yang dibuatnya serta melalui
tuntutan pidana, memberikan pertimbangan bagi hakim dalam menyusun putusannya.
Setelah putusan dibacakan, penuntut umum harus mempelajari putusan untuk
menentukan apakah akan menerima atau mengajukan upaya hukum atas putusan
tersebut termasuk mengajukan kontra memori sebagai tanggapan atas upaya hukum
yang diajukan oleh pihak terdakwa.
Bahkan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, seorang
jaksa harus tetap bekerja melaksanakan tugasnya selaku eksekutor terhadap
putusan pengadilan.[3]
Penalaran hukum yang dilakukan sebagai
pertimbangan dalam penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum secara
langsung akan mempengaruhi pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim kepada
terdakwa dan hal tersebut juga berpengaruh pada sistem pidana nantinya setelah
menjalani masa pemidanaan, untuk itu masalah pertimbangan harus selalu
diupayakan oleh Jaksa itu sendiri dengan mencerminkan rasa keadilan yang
sewajarnya yang dapat diterima oleh korbanmaupun masyarakat dengan
memperhatikan ketentuan undang-undang.[4]
Oleh karena itulah, seorang jaksa diharapkan mampu memberikan argumentasi
yuridis yang logis dan rasional dalam setiap tindakannya, dan tidak dapat lagi
semata-mata mengedepankan kewenangannya sebagai tameng dalam penanganan
perkara.
Sebaliknya, “mahkota” seorang jaksa yang menggambarkan
kualitas dan kapabilitasnya sebagai pengemban profesi mulia akan terlihat jelas
dari argumentasi yuridis yang mendasari tindakan dan keputusannya untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.[5]
3. Penalaran Hukum Oleh Hakim
Menyelesaikan masalah hukum secara
yuridis intinya berarti menerapkan aturan hukum positif terhadap masalah
(perkara) tersebut. Menerapkan aturan hukum positif hanya dapat dilakuhan
secara kontekstual menginterpretasikan aturan hukum tersebut untuk menemukan
kaidah hukum yang tercantum di dalamnya, dalam kerangka tujuan kemasyarakatan
dari pembentukan aturan hukum (teleologikal) yang dikaitkan pada asas hukum
yang melandasinya dengan melibatkan juga berbagai metode interpretasi
lainnya.(gramatikal, historikal, sistematikal, sosiologikal).
Metode pembentukan hukum dengan teori
argumentasi adalah cara untuk mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan
suatu argumentasi secara jelas dan rasional dengan cara mengembangkan kriteria
yuridis untuk digunakan sebagai landasan rasionalitas argumentasi hukum.15
Teori argumentasi ini merupakan salah satu penemuan hukum oleh hakim dalam
menangani dan menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi dan perkara tersebut
tidak ada peraturan yangmengaturnya secara khusus dalam undang-undang.Dengan
demikian menurut penulis, argumentasihukum merupakan keterampilan ilmiah dalam
rangka pemecahan masalah-masalah hukum (legal
problem solving).
Teori ini berkembang sejak Aristoteles
yang dimulai dengan studi sistematis tentang logika yang konsisten dalam premis
hingga kesimpulan.Pemikiran yang mendasari ditetapkannya metode argumentasi
hukum adalah banyaknya kasus-kasus baru yang muncul di masyarakat, sementara di
dalam undang- undang belum ada yang mengaturnya secara khusus, maka hakim dapat
melakukan argumentasi hukum guna menjawab kasus-kasus tersebut dalam mencapai
derajat keadilan hukum.
Untuk mewujudkan keadilan hukum dalam
menyelesaikan kasus hukum yang terjadi di dalam masyarakat, maka hakim harus
menggunakan metode berfikir yuridis, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
:
a. Argumentasi
(Penalaran hukum), yaitu berusaha mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan
hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar pemikirannya adalah keyakinan bahwa
hukum harus berlaku sama bagi semua orang.
b. Dalam
penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim
yang berlawanan, baik dalam perdebatan pada pembentukan undangundang maupun
dalam proses pertimbangan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam
proses peradilan.
Oleh karena itu untuk menganalisis
Argumentasi Hukum maka seyogyanya menggunakan logika formal, sedangkan untuk
menganalisis rasionalitas proposisi menggunakan logika sillogistik, logika
proposisi, dan logika predikat. Logika merupakan alur pemikiran yang
mempertautkan sebuah pernyataan tentang suatu konsep dengan memberikan
penalaran melalui argumentasi yang berperan daalm proses rasionalitas
argumentasi.Sebuah argumentasi hukum yang tidak didukung logika, fakta dan
bukti maka akan berdampak pada putusan yang tidak logis, sehingga untuk
pemecahan masalah hukum akan menyulitkan para pencari keadilan untuk mengerti
dan memahaminya.
4. Penalaran
hukum oleh fuqoha
Kekuatan sistem penalaran hukum
al-syafi‟i yang begitu kuat mendasarkan prinsip-prinsip metodologinya antara
lain pada penalaran hukum bahasa (al-qaidah alistinbathiyah al-lughwiyyah),
paling tidak dapat dilihat dalam sistem nalar, yaitu: (1)
Al-syafi‟i meneguhkan keharusan ijtihad yang didasarkan
pada suatu model atau teks pertama (’alâ
mitsâl sabaq). (2) Pengetahuan dipetakan atas dua pembagian secara
berhadapan dalam varian pilihan kata
yang berbeda sekalipun substansinya sama, yaitu pengetahuan berupa ittibâ’ dan istinbâth, terkadang menggunakan kata-kata
”nashshan” dan ”istinbâthan”, nashshan dan istidlâlan, serta
pernah juga menggunakan pilihan kata yang relatif lebih tegas, yaitu
pengetahuan dibagi ke dalam ilmu ijmak dan ikhtilaf. (3) Al-Syâfi‟î membangun
pola penalaran bayânî yang
ditempatkan pada awal pembahasan ushul fikihnya dalam al-Risâlah. Ia membagi struktur sumber dan dalil hukum Islam yang
dipetakannya ke dalam lima tahapan bayân.
Dan qiyas sebagai satu-satunya metode ijtihad ditempatkan pada bayân yang kelima (bayân al-isyârah).
Sehubungan dengan pengertian ijtihad
hanya dapat dipetakan oleh metode qiyas, maka logika yang dipakai pun harus
menggunakan ukuran-ukuran dan indikasiindikasi deduktif-analogis dari qiyas,
yaitu ijtihad dipahami sebagai suatu rangkaian kerja-kerja mental secara
optimal melalui penyingkapan makna dari sumber hukum yang sudah ada. Sedangkan
alat bantu yang digunakan adalah beberapa indikasi atau penanda dari suatu nas
yang relatif dapat mengukur tingkat efektifitas makna, yaitu melalui mitsl, tasybîh dan piranti sejenis yang
dapat dilakukan dalam qiyas. Ijitihad dilakukan semata mengikuti aspek
kepatuhan kepada Allah, bukan atas dasar kehendak subyektif seseorang.
Pada sisi lain, al-Syâfi‟î telah
menyuguhkan suatu proporsi yang positif dengan cara menganjurkan ijtihad bagi
pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan prasyarat lain di dalamnya. Ia tidak
menghendaki siapa pun sebatas mengikuti apa yang dirumuskannya melalui qiyas,
melainkan melakukan pertemanan secara kritis bagi yang memiliki kesanggupan di
dalamnya. Artinya, al-Syâfi‟î secara pribadi memberikan ruang dan kesempatan
bagi siapa pun yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk melakukan nalar
kreatif dan mengembangkan penalaran kritis secara bertanggung jawab. Ia telah
memberikan contoh positif, bagaimana suatu perubahan ijtihad dilakukan terhadap
hasil fatwa yang dilakukannya seperti yang terjadi dengan perubahan fatwa dari qawl qadîm ke qawl jadîd dan terkadang al-Syâfi‟î mengambil kembali pandangan qawl qadîm-nya karena wajh al-istidlâl yang diyakininya
ternyata lebih kuat.[6]
5. Penalaran hukum oleh mujtahid
Penalaran filosofis dalam hukum islam memiliki corak yang
khas yang bertujuan menangkap nilai-nilai maslahat yang terkandung dalam nas
dengan mempertimbangkan realitas sosial yang berkembang dalam masyarakat. Corak
penalaran filosofis dalam islam tumbuh pada masa awal lahirnya hukum islam
kemudian mengalami perkembangan seiring perkembangan fikih. Corak penalaran
filosofis ini dibangun dari rasionalitas dengan tetap menjadikan nas sebagai
dasar dalam memahami maksud-maksud yang terkandung di dalamnya maupun makna
yang lain yang terdapat di balik nas tersebut. Mengacu kepada bjek ijtihad
tersebut, maka terdapa dua corak penalaran filosofis dalam hukum islam yang
didalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan. Kedua corak
tersebut yaitu corak penalaran ta‟lili dan corak penalaran istislahi. a. Corak
penalaran Ta‟lili
Kata Ta‟lili berasal dari kata ilatyang berarti sesuatu
yang menjadi sebab hukum atau suatu ketetapan hukum yang berdasar pada maksud
Syari‟ yang memiliki ilat tertentu sebagai sesuatu yang menjadi sebab atau yang
melatarbelakanginya. Secara etimologi ilat berarti nama bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya
luka atau penyakit itu dikatakan ilat karena dengan adanya “penyakit” tersebut
tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Oleh karena itu apabila
dikatakan, maka hal itu berarti keadaanya berubah dari sehat menjadi sakit.
Kalangan pakar usul fikih menyebutkan beberapa sinonim dari term ilat di
antaranya yaitu: al-sahab, alimarah, al-mustad‟iy, al-baits, al-hamil,
al-manath, al-dalil, al-muqtady, almuqajib dan al-muatssir.
Mengacu kepada pengertian ilat di atas, maka penalaran
ta‟lili adalah suatu bentuk penalaran yang didukung oleh suatu kenyataan bahwa
nas al-qur‟an maupun hadist dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum
sebagian diiringi dengan penyebutan ilat-ilat hukum. atas dasar ilat yang
terkandung di dalam suatu nas, maka pemasalahan-permasalahan hukum yang muncul
diusahakan pemechannya memalui penalaran ilat yang terdapat dalam suatu nas.
Penalaran ilat dalam ushul dikenal dengan metode kiyas dan istihsan.[7]
b. Corak penalaran Istislahi
Secara literal, istislahi berarti mencari kemasahatan dan
menurut para ahli ushul bahwa kata istislah berarti menetapkan suatu hukum bagi
masalah yang tiak ada nasnya dan tidak ada ijma‟ yang berdasarkan kemaslahatan
murni atau maslahat yan tidak dijelaskan syari‟at serta tidak dibatalkan oleh
syariat. Sebagai sebuah bentuk penalaran yang diragukan oleh sebagian uama ahli
ushul, maka penggunaan istislah harus
diperketat dengan berbagai syarat, sehingga tidak dijadikan sebagai sarana
penyaluran hawa nafsu atau sengaja mempermainkan hukum syariat. Sebab
mashalahat yang dimaksud dalam penalaran istishlahi
pada dasarnya bersandar pada perkiraan, sehingga siapapun yang tidak
berhati-hati dalam menggunakan istishlah
dapat memahami maslahat secara tidak benar. Terdapat beberapa syarat yang harus
diperhatian dalam penalaran istislah tersebu yaitu pertama, penetapan maslahat harus dilakkan setelah diadakan
penyelidikan, analisa dan peneliian, sehinga maslahat yang dimaksud benar-benar
hakiki bukan maslahat yang berdasarkan hawa nafsu. Kedua maslahat yang dimaksud adalah maslahat yang hakiki, bersifat
umum dan bukan individu karenanya penerapan maslahat ini akan bermanfaat bagi
sebagian besar umat manusia. Ketiga hendaknya
maslahat umum itu tidak bertentangan dengan syari‟atyangb ada nas dan ijma‟nya.
Mengacu kepada ketiga syarat istislahi diatas, maka
dipahami bahwa ornag yang tidak menerima istislah sebagai sebuah penalaran
filosofis sesungguhnya ia telah menutup-menutupi kemudahan dalam memahami
maksud syari‟. Dalam perkembangan penalaran ushul fiqih, corak penalaran
istishlahi tampak antara lain dalam metode maslahah mursalah dan zariah.[8]
B. Tugas para praktisi hukum dan model penalaran
hukum
1. Kepolisian
Tugas polisi secara umum sebagaimana tercantum dalam Pasal
13 Undang-undang No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian Negara Indonesia adalah: a. Memberikan
keamanana dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan
hukum
c. Memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[9]
2. kejaksaan
Tugas dan wewenang seorang jaksa diantaranya: a. Melakukan
penuntutan
b. Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
c. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
d. Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang
e. Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik[10]
3. Hakim
Adapun tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Negeri diautur
dalam UU No.49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No.2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum dalam Pasal 55 sampai dengan pasal 67 sebagai berikut :
a. Tugas
Pokok :Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman, untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama.
b. Fungsi
:Melakukan tugas-tugas Pengawasan sebagai Pengawas Bidang dengan memberi
petunjuk dan bimbingan yang diperlukan bagi para Pejabat struktural maupun
Fungsional.[11]
4. Mujtahid
Pembagian peringkat mujtahid
dikemukakan pula oleh Abu Zahrah, sebagai tokoh kontemporer Islam. Menurutnya,
ada empat peringkat mujtahid, yaitu; Pertama, al-Mujtahid fl ary-Syar'i atau disebut juga al-Mujtahid alMustaqil, yaitu mujtahid yang kemampuannya tak
diragukan oleh karena memenuhi syarat dan metode ijtihad secara mandiri. Dengan
kata lain mereka berwenang menggunakan seluruh metode istidlal yang mereka
ambilsebagai pedoman, tidak mengekor kepada mujtahid lain; mereka merumuskan
metode ijtihadnya sendiri clan menerapkannya pada masalahmasalah furu'.
Pendapatnya kemudian disebarkan di tengah masyarakat. Kedua, alMujtahid al-Muntasib, yaitu mujtahid
yang syarat-syaratnya telah terpenuhi untuk melakukan ijtihad. Hanya saja dalam
berijtihad ia masih mengacu pada teori ushul fiqh yang digagas oleh Imam
Madzhab. Tetapi, ia berbeda pendapanya dalam masalah cabang, meskipun secara
umum ijtihadmya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan
hasil ijtihad yang diperoleh oleh imamnya. Ketiga, alMujtahid fl al-Madzhab, yaitu mujtahid yang secara bertanggung
jawab mengikuti imamnya baik dalam ushtil
maupun dalam fimt'. Peranan
mereka terbatas melakukan istinbat pada masalah-inasalah yang belum ditetapkan
oleh imamnya. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan 'illat- 'illat fiqh yang telah digali oleh para pendahulunya
terhadap masalah-masalah yang belum di jumpai di masa lampau. Mujtahid dalam
tingkatan ini tidak berhak melakukan ijtihad terhadap masalah yang telah ada
ketetapan dalam madzhabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Keempat, alMujtahid al-Murqjjib., yaitu mujtahid
yang dipandang berkemampuan mengukuhkan pendapat terkuat yang diriwayatkan oleh
· imamnya denagn metode taryib. Ia
tidak melakukan ijtihad te·rhadap hukum-hukum furil yang belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu Fuqoha.[12]
C. Analisis hukum hasil penalaran para
praktisi hukum yang berbeda-beda
Dengan penalaran hukum, hukum tidak dipahami sekedar soal
hafalan pasal-pasal belaka; hukum juga bukan sekedar aturan-aturan atau
norma-norma yang ditetapkan oleh otoritas tertinggi (dewa-dewi, alam semesta,
Tuhan, Legislator, dan sebagainya) sehingga
„wajib‟
diikuti melainkan hukum pun harus mendasarkan diri pada sifat logis. Logis
seharusnya menjadi salah satu karakter atau sifat dasar hukum. M. J. Peterson
dalam artikel online-nya tentang penalaran hukum, merumuskan penalaran hukum
sebagai the particular method of arguing used when applying legal rules to
particular interactions among legal persons. Lief H. Carter dan Thomas F. Burke
dalam buku Reason in Law (2002 6th ed.) merumuskan penalaran hukum sangat
eksklusif. Penalaran hukum diartikan sebagai „cara lawyer dan hakim
membicarakan hukum di ruang publik‟.
Lebih lanjut Carter dan Burke menyatakan bahwa bahasa dan
penalaran hukum memperlihatkan apakah putusan hukum imparsial atau partisan,
legitim atau tidak, tepat atau tidak. Peter Wahlgren dari Stockholm Institute
for Scandianvian Law dalam artikelnya tentang Legal Reasoning, menyatakan bahwa
penalaran hukum merupakan istilah yang dipakai untuk melabeli banyak aktivitas
dalam bidang hukum: proses mental yang bekerja dalam pengambilan keputusan
hukum; identifikasi kasus, interpretasi, atau mengevalusi fakta hukum; pilihan
aturan hukum, dan penerapan hukum dalam kasuskasus konkret; penyusunan sebuah
pertimbangan, argumen, opini atau pendapat hukum. Tetapi semua aktivitas ini
didasarkan para cara bernalar yang tepat (logika).
Hukum menurut Fuller, tidak bisa dipisahkan dari
perhatian normatif filsafat moral; bahwa lembaga formal negarahukum diatur oleh
prinsip-prinsip moralitas hukum; bahwa hukum dan moralitas berasal dari „hukum
alam‟. Roland Dworkin dalam Law‟s Empire (1986) menuntut agar hakim dalam
memutuskan perkara merujuk pada prinsipprinsip moral sebagai dasar pembenarannya.
Tetapi pemikir lain menyatakan bahwa penalaran hukum yang baik, seperti tipe
penalaran lain, taat pada aturan logika yang sama dan terancam oleh tipe
kesalahan logis yang sama pula. Dengan demikian tidak ada perbedaan signifikan
antara logika dan penalaran hukum. Dalam dunia yang sangat menekankan
subjektivitas, diperlukan standar penalaran yang objektif berdasarkan
prinsip-prinsip logika. Setiap hari para lawyer dan hakim berusaha
memilah-milah argument mana yang baik dan mana yang buruk dalam proses
pengadilan. Tetapi menentukan secara tepat apa yang membuat suatu argumen hukum
lebih kuat dari argumen hukum lain yang lebih lemah bukanlah pekerjaan mudah.
Di sini prinsip-prinsip logika yang lebih objektif diperlukan untuk menjamin
kepastian, objetivitas dan mengurangi preferensi pribadi lawyer atau hakim.
Scharffs menyatakan bahwa suatu penalaran hukum yang baik mesti menggabungkan
kebijaksanaan praktis, keterampilan, dan “retorika”. “Good legal reasoning is a
combination of practical wisdom, craft, and rhetoric. The good lawyer is
someone who combines the skills or character traits of practical wisdom, craft,
and hetoric. Each of these three concepts is anessential component of legal
reasoning”.
Andrzej Malec dalam “Legal Resoning and Logic”(2001)
menyatakan bahwa penalaran dan argumentasi hukum menggunakan dua ketentuan atau
aturan sekaligus. Pertama, aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan dari logika
dasar atau logika klasik (classical logic), dan kedua aturan-aturan dari
penalaran hukum (“the rules of legal reasoning”). Lebih jauh Malec menjelaskan
bahwa aturan-aturan penalaran hukum dapat dibagi lagi menjadi lima (5)
kelompok, yakni: 1) aturan interpretasi (rules of interpretation) yang dipakai
untuk mengkonstruksi makna ekspresi hukum; misalnya aturan yang terkenal,
“clara non sunt interpretanda”, 2) aturan-aturan penyimpulan (“rules of
inference”) berguna untuk menyimpulkan konsekuensi dari aturan-aturan hukum,
aturan-aturan penalaran: per analogiam (a simili), a contrario, a fortiori (a maiori
ad minus, a minori ad maius) merupakan jenis ini; 3) “Rules of collision”
(aturan tentang kontradiksi) digunakan untuk memecahkan kontradiksi
aturan-aturan hukum; aturan dari jenis ini misalnya lex posterior derogate legi
priori; 4) aturan yang dipakai untuk menentukan lingkungan faktual, aturan dari
jenis ini: in dubio pro reo (in dubio pro libertate). 5). Aturanaturan
prosedur, aturan bahwa hakim seharusnya mempertimbangkan argumen dari kedua
belah pihak, adalah jenis dari aturan ini. Sistem aturan penalaran hukum ini,
oleh sejumlah pemikir disebut sebagai “logika hukum” (legal logic). Logika
hukum pun dianggap sebagai model logika heuristik karena pertimbangan dan
argumentasi dalam penalaran hukum tidak hanya memperhitungkan sisi logis
melainkan juga faktor-faktor lain yang menentukan makna hukum itu sendiri.
Swisher mengatakan bahwa penalaran hukum bisa dimasukan
ke dalam bidang penelitian hukum (legal research) dan legal course. Secara
lebih spesifik, Swisher menunjukkan bahwa sebelum memulai pembahasan tentang
logika deduksi dan induksi, materi penalaran hukum bisa dimulai dengan
pengantar umum, glosari dan pengertian (definisi) istilah-istilah dasar yang
berkaitan dengan penalaran hukum. Istilah-istilah kunci tersebut antara lain:
hukum (law), fakta (fact), masalah (issue), preseden (precedent), preseden
hukum (legal precedent), premis (premise), premis salah (false premise),
penyimpulan (inference), argumen (argument), argumen analogi (arguing by
analogy), analisis (analysis), sintesis (synthesis), konklusi (conclusion),
penalaran (reasoning), dan sebagainya. Pembahasan bisa dilanjutkan dengan
contoh-contoh penalaran hukum deduktif dan induktif kemudian didiskusikan dan
dianalisis.35 Karena penalaran hukum tidak lain dari analisis dan sintesis informasi
faktual dan premis-premis hukum (proposisiproposisi) yang berlaku melalui
medium argumen hukum (legal argument) guna menghasilkan konklusi hukum.
Selengkapnya, Swisher menulis, „Legal reasoning may be defined as the analysis
and synthesis of factual information and legal precedent [the premises] through
the medium of legal argument, to reach a logical conclusion.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan memahami karakter dari beberapa
penalaran hukum yang dilakukan para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim,
mujtahid, fuqoha, kita dapat menegtahui bahwa penalaran tidak hanya sekedar
hafalan pasal-pasal saja, namun hukum juga bukan sekedar
atauran-aturan atau norma-norma yang ditetapkan oelh pihak yang
berwenang sehingga harus dipatuhi melainkan hukumpun harus mendasarkan pada
sifat yang logis.
Logika, penalaran, argumnetasi hukum
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam studi hukum. Dalam hal perkara dipengadilan co tohnya, pra
praktisi hukum mengenal apa itu ynag dinamakan dengan legal reasoning. Legal reasoningi adalah pencarian “reason”
tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim
memutuskan suatu perkara/kasus hukum yang dihadapinya, bagaimana seorang polisi
menalar hukum, dan seorang jaksa yang memberikan argumentasi hukumnya dalam
penuntutan.
Pertimbangan dan penalaran hukum yang
logis dapat menjamin objektivitas dan imparsialitas hukum. Terutama bagi hakim.
Karena dengan penalran logikaa, hukum tidak lagi mendasarkan diri pada
kepentingan dan pertimbangan lain yang ada diluar nalar atau akal sehat. Dengan
logika, kepastian hukum pada akhirnnya didasarkan pada relasi anatara keduanya
dalam proposisi logis yang dirumuskan secara objektif.
B. Saran
Penyusun menyadari akan banyaknya kekurangan pada penulisan
makalah ini. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sekalian agar kedepannya kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan
tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya
dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Junaidi. (2014). “Tugas dan
Wewenang Lembaga-lembaga Pengananan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Jurnal Yudisia. 5(1) 107.
Akbar, Asep Opik. (2014). Konstruksi
Epistimologi Penalaran Hukum Imam Syafi‟i. XIV(2). 188-189
Arief, Basrief. (2014, 3 April).
"Amanat Jaksa Agung RI Pada Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan
Jaksa (PPPJ) Angkatan VXXI Gelombang II Tahun 2014", Jakarta: Jaksa Agung
Republik Indonesi.
Idrus, Achmad Musyahid. (2014).
“Tradisi Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam”. Jurnal Al-Daulah 3(1) 50-51.
Iman, Fauzul. (2004). “Ijtihad dan
Mujtahid”. Jurnal Al-Qalam 21 (100)
17.
Pengadilan
Negeri Sungaliat, “Tugas Pokok dan
Fungsi” https://www.pn-
sungailiat.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=241&l
ayout=&lang=en diakses
pada 15 Mei 2021.
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor:
PER-014/A/JA/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa
Situmeang, Enos Alexander.
“Pertimbangan Penuntut Umum dalam Melakukan Penuntutan Dilihat Dari Peran
Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana”.
Weruin, Urbanus Ura. (2017). “Logika,
Penalaran dan Argumentasi Hukum”. Jurnal
Konstitusi 14 (2) 386-387.
Winarso, Nur Basuki. (2011). “Beberapa
Permasalahan Dalam Penyelidikan Dan Penyidikan Oleh Kepolisian”. Jurnal Perspektif. XVI (1) 117-118.
[1]
Nur Basuki Winarso, “Beberapa Permasalahan Dalam Penyelidikan Dan Penyidikan
Oleh Kepolisian”.
Jurnal Perspektif.
Vol. XVI, No. 1. 2011. Hlm. 117-118.
[2] Peraturan Jaksa Agung RI
Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa
[3] Basrief
Arief, "Amanat Jaksa Agung RI Pada Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan
Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan VXXI Gelombang II Tahun 2014", Jakarta:
Jaksa Agung Republik Indonesia Kamis, 3 April 2014.
[4]
Enos
Alexander Situmeang, Pertimbangan
Penuntut Umum dalam Melakukan Penuntutan Dilihat
Dari
Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana, Hlm. 62
[5] Basrief
Arief, "Amanat Jaksa Agung RI Pada Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan
Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan VXXI Gelombang II Tahun 2014", Jakarta:
Jaksa Agung Republik Indonesia Kamis, 3 April 2014.
[6] Asep Opik Akbar,
Konstruksi Epistimologi Penalaran Hukum Imam Syafi’i. Vol.XIV, No. 2. 2014.
Hlm. 188-189
[7] Achmad Musyahid Idrus.
Tradisi Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam. Jurnal Al-Daulah. Vl. 3, No. 1.
2014. Hlm. 50-51
[8] Ibid., hlm. 56-58
[9]
Junaidi Abdullah, “Tugas dan Wewenang
Lembaga-lembaga Pengananan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal
Yudisia, Vol. 5, No. 1, 2014. Hlm. 107
[10]
Ibid., Hlm. 112-113
[11] Pengadilan Negeri Sungaliat,
“Tugas Pokok dan Fungsi” https://www.pnsungailiat.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=26&Itemid=241&layout=&lang=en diakses
pada 15 Mei 2021.
[12] Fauzul Iman, “Ijtihad dan
Mujtahid”, Jurnal Al-Qalam, Vol. 21, No. 100, 2004, Hlm. 17
[13] Urbanus Ura Weruin, “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum”,
Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 2, 2017, hal. 386-387.