PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kewarisan Islam sebagai bagian dari
syari‟at islam dan lebih khusus lagi sebagai bagian dari aspek muamalah
subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek lain dari ajaran
Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-kaidahnya harus didasarkan pada sumber
yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran islam tersebut.
Sumbersumber Islam itu adalah Al-Qur‟an, Sunah Rasul dan Ijtihad. Secara
terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap
ahli waris yang berhak.
Dalam redaksi lain, Hasby Ash-Shiddieqy
mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang
mewarisi dan tidak mewarisi, penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara
pembagiannya. Berbeda dengan definisi diatas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan,
warisan adalah soal apa dan bagaimana pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang
lain yang masih hidup.[1]
Pada penggalan kalimat لِلذَّكَ رِ مِث لْ
حَ ظِ ِ ayat an-Nisa ayat 11, bila dilihat makna
harfiah-nya, dipahami bahwa perolehan harta waris bagi laki-laki dan perempuan
adalah 2 banding 1 atau dalam pemahaman yang lain, perolehan harta warisan bagi
perempuan hanya mendapat setengah dari bagian warisan laki-laki. Bila dikaji,
pemahaman dalam tafsir klasik dan kontemporer memiliki pemahaman yang berbeda
dalam menafsirkan, penggalan ayat tersebut.
Bagi mayoritas penafsir klasik, pembagian waris dengan perbandingan 2:1 bagi
laki-laki dan perempuan dianggap sudah final dan sudah jelas (qath‟i),
sedangkan bagi sebagian penafsir kontemporer,
adanya perbandingan harta waris 2:1 bagi ahli waris
lakilaki dan perempuan dianggap bias gender. Antara tafsir klasik dan
kontemporer memiliki pandangan yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan perempuan.
Sebagaimana menurut Musda Mulia
menjelaskan bahwa dalam penafsiran tafsir klasik, perempuan diposisikan sebagai
objek hukum, khususnya hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti hukum
pewarisan (Setyawan 2017, 72). Bagi masyarakat yang hidup di zaman modern
seperti sekarang, adanya diskriminasi dalam pembagian harta waris antara
laki-laki dan perempuan menjadi suatu masalah bagi mufasir kontemporer terutama
bagi tokoh feminis. Seiring perubahan zaman yang semakin maju, kaum perempuan
banyak yang melakukan gerakan-gerakan untuk mewujudkan kesetaraan dengan
laki-laki. Penuntutan kesetaraan ini dikarenakan kaum perempuan memandang
dirinya mampu dalam segala sisi kehidupan seperti halnya kaum laki-laki.
Misalnya, laki-laki ditugaskan mencari nafkah untuk membantu perekonomian
keluarga, perempuan sekarang pun sudah banyak yang mampu menjalankan roda
perekonomian untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Perempuan yang dulunya
hanya diletakkan dalam tiga tempat yaitu sumur kasur dan dapur yang artinya 4
kaum perempuan hanya berada pada urusan rumah tangga, sekarang mengalami
pergeseran nilai seiring dengan kemajuan zaman.
Perubahan
peranan sosial kaum perempuan bertujuan agar tidak selalu berada pada posisi
second class dari laki-laki. Yang dulunya perempuan hanya bisa menerima nafkah
dari suami, sekarang tidak sedikit perempuan yang menjadi tulang punggung
keluarga. Atas dasar itu, tidak sedikit kaum perempuan yang mempermasalahan
pembagian harta waris yang dirasa tidak adil seperti ketentuan yang tertulis
dalam kitab tafsir klasik pada umumnya. Dari permasalahan tersebut muncul
pertanyaan, bagaimana pembagian waris 2:1 bagi laki-laki dan perempuan menurut
paham kesetaraan gender? maka, penulis merasa perlu adanya penafsian yang
mendukung kesetaraan gender, karena sampai saat ini relasi gender masih saja
menyisakan masalah sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pembagian harta warisan 1:2 ?
2. Bagaimana
pendapat ulama mengenai harta warisan 1:2?
3. Bagimana
hikma pembagian harta warisan 1:2 ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pembagian harta warisan 1:2
2. Untuk
memahami pendapat ulama mengenai harta warisan 1:2
3. Untuk
memahami pembagian harta warisan 1:2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Harta Warisan Dua Banding Satu
Hak waris anak perempuan seorang adalah
seperdua. Allah berfirman, “Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka
dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan),” (QS.An-Nisa [4] Ayat
11). Dia mendapatkan dua pertiga apabila
mereka berjumlah dua atau lebih.
Allah berfirman “jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua, pertiga dari harta yang
ditinggalkan” (QS.An-Nisa [4] ayat 11).
Terkadang anak perempuan mendapatkan sisa karena ahli waris
lainnya (‘aṣhabah bi ghairih) yaitu anak laki-laki. Maka, anak laki-laki
memperoleh dua kali lipat bagian anak perempuan. Allah berfirman, ”Allah
mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan.” (QS.An-Nisa [4]: 11). Dalam ayat ini Allah menyampaikan
wasiat yang mewajibkan kepada kaum muslimin yang telah mukalaf untuk
menyelesaikan harta warisan bagi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik
mereka laki-laki atau perempuan. Apabila ahli waris itu terdiri dari anak-anak
laki-laki atau perempuan, maka berikan kepada yang laki-laki dua bagian dan
kepada yang perempuan satu bagian.[2]
Adapun hikmah anak laki-laki mendapat dua bagian, karena lakilaki memerlukan
harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah istrinya serta anaknya,
sedang perempuan hanya memerlukan biaya untuk
diri sendiri. Adapun jika ia telah menikah maka kewajiban
nafkah itu ditanggung oleh suaminya. Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu
bagian. Dari perincian di atas, diketahui bahwa anak perempuan tidak pernah
menghabiskan semua harta. Paling banyak hanya memperoleh 1/2 dari jumlah harta.
Berbeda dengan laki-laki, apabila tidak ada waris yang apabila anak laki-laki
lebih dari seorang maka dibagi rata di antara mereka. Pembagian kewarisan Islam
yang dalam kasus-kasus tertentu berdasarkan pertimbangan dua banding satu untuk
ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan, kini sering dipertanyakan.
Gugatan semacam ini, sesungguhnya bukanlah hal yang baru mengingat, sejak di
masa-masa awal Islam sesungguhnya pernah “dipertanyakan” oleh sebagian sahabat
Nabi SAW., paling tidak melalui perantaraan istri Rasulullah. Mereka yang mempermasalahkan perimbangan
waris Islam 2:1, sangat setuju untuk mengubah metode perimbangan ini menjadi
1:1, sebagaimana layaknya sistem hukum kewarisan Barat dan sebagian hukum
kewarisan adat. Maksudnya, seorang anak perempuan harus mendapatkan bagian sama
dengan bagian anak laki-laki; demikian pula halnya dengan bagian istri yang
harus sama besar dengan bagian suami, serta bagian ibu yang juga harus sama
banyak dengan bagian ayah. Begitulah seterusnya, termasuk bagian saudara
perempuan yang harus sama dengan bagian saudara lakilaki, serta bagian cucu
perempuan yang harus juga sama dengan bagian cucu laki-laki. Pemikiran untuk
mengubah pertimbangan kewarisan dari 2:1 menjadi 1:1ini memang terkesan
filosofis dan kelihatan lebih adil daripada perimbangan 2:1. Redaksi ayat “Lidzzakari
mitslu hadzzil untsayayni" jelas menunjukkan arti bahwa bagian anak
laki-laki, sama atau sebanding dengan bagian dua orang anak perempuan. Kalau
Allah bermaksud memberikan kemungkinan pengubahan perimbangan kewarisan ini
menjadi 1:1, maka redaksinya tentu akan menjadi lain.[3]
B. Pendapat Ulama Mengenai Pembagian Harta Warisan 2:1
Di zaman Jahiliyah, aturan pusaka orang
Arab didasarkan atas nasab dan qarabah (hubungan darah dan kekeluargaan). Namun
sebatas kepada anak laki-laki yang sudah dapat memanggul senjata untuk membela
kehormatan keluarga dan dapat memperoleh harta rampasan perang. Mereka tidak
memberikan pusaka, kepada para wanita dan anak-anak yang masih kecil. Mereka
beranggapan bahwa kaum laki-laki yang sudah dewasa saja yang mampu dan memiliki
kekuatan dan kekuasaan dalam memelihara harta kekayaan mereka. Anggapan semacam
di atas berlaku pula dalam hal pembagian harta warisan. Itulah sebabnya mereka,
saat itu memberikan harta warisan kepada kaum laki-laki, tidak kepada kaum
perempuan, kepada orang-orang yang sudah dewasa, tidak kepada anak-anak, dan
kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia, juga kepada orang-orang
diadopsi. Menurut mereka, anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan
termasuk keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris.
Hal ini terus berlaku sampai permulaan
Islam, sehingga turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki memperoleh bagian
(pusaka) dari harta peniggalan orang tua dan kerabat-kerabat terdekat, dan
begitupun bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, baik harta itu sedikit ataupun banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan dalam QS. An-Nisa ayat 7.
لِّ ل رِّجَالِِِّ نصَِّي بِِ مِّمَّاِ ترََكَِِ
ٱلوََْٰلِّدَانِِّ وَِٱلْْقَْرَبوُنَِِ وَلِّلن سَِّاءِِِّٓ نصَِّي بِِ مِّمَّاِ
ترََكَِِ ٱلوََْٰلِّدَانِِِّ وَِٱلْْقَْرَبوُنَِ مِّمَّاِ قلََِّ مِّنْهُ أوَِِْ كَثرَُِِِِۚنصَِّيباً مَّفْرُوضًا
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S.An-Nisa ayat 7)
Dengan turunnya ayat di atas,
terhapuslah adat Jahiliah yang tidak memberikan warisan kepada perempuan dan
anak-anak kecil. Namun firman Allah tentang pembagian harta waris tidak sampai
di situ. Karena makna ayat ini masih umum atau zhanni dan belum jelas
pembagiannya. Di akhir ayat ini Allah berfirman, مفزوضا وصيبا‚
Yang artinya “Menurut pembagian yang telah ditetapkan”. Maknanya adalah Allah
telah menetapkan pembagian harta warisan. Namun sebelumnya belum ada ayat yang
menjelaskan pembagian harta warisan, itu berarti bahwa Allah akan menjelaskan
kembali dengan ayat-ayat berikutnya tentang pembagian harta waris. Sehingga
Rasulullah SAW sendiripun tidak berani untuk menetukan bagian-bagian ahli
waris.
Kemudian ayat tadi di jelaskan dalam QS.
An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 sebagai berikut :
يوصِيك
م ٱ للََّّ فىِٓ أوَْ لَدِك مْ ۖ
لِلذَّكَرِ مِث لْ حَ ظِ ٱلْْ نثيََيْنِ ۚ فَإنِ ك نَّ نِسَاءًٓ فَوْقَ
ٱثْنتَيَْنِ فَلَ هنَّ ث ل ثاَ مَا ترََكَ ۖ وَإنِ كَانتَْ وَحِدَةً فَلَهَا ٱلنِ صْ ف ۚ وَلِْبََوَيْهِ
لِك لِ
وَحِدٍ مِ نْ همَا ٱلسُّد س مِمَّا ترََكَ إنِ كَانَ لَهۥ وَلدٌَ ۚ فَإنِ لمَّْ يَك ن لَّ ۥه وَلدٌَ وَوَرِثۥٓهَ أبََوَا ه فَلِِ مِهِ ٱلثلُّ
ث ۚ فَإنِ كَانَ لَهۥٓ إخِْوَةٌ
فَلِِ مِهِ ٱلسُّد س ۚ
مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يوصِى بِهَآ أوَْ
دَيْنٍ ۗ ءَابَا ؤٓك مْ وَأبَْنَا ؤٓك مْ لََ تدَْ رونَ
أيَُّ همْ أقَْرَ ب لَ كمْ نَفْعًا ۚ
فَرِيضَةً مِنَ ٱللََِّّ ۗ إنَِّ ٱللَََّّ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya :Allah mensyari'atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha
Bijaksana.(Q.S.An-Nisa ayat 11)
وَلَك مْ نِصْ ف مَا ترََكَ
أزَْوَا جك مْ إنِْ لمَْ يَك نْ لَ هنَّ وَلدٌَ ،فَإنِْ كَانَ لَ هنَّ وَلدٌَ
فَلَك م الرُّ ب ع مِمَّ ا ترََكْنَ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يوصِينَ بِهَا أوَْ
دَيْنٍ، وَلَ هنَّ الرُّ ب ع مِمَّا ترََكْت مْ إنِْ لمَْ يَك نْ لكَ مْ وَلدٌَ
،فَإنِْ كَانَ لَك مْ وَلدٌَ فَلَ هنَّ
الث مُّ ن مِمَّا ترََكْت مْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ ت و صونَ بِهَا أوَْ دَيْنٍ، وَإِنْ كَ انَ رَ جلٌ يورَ ث كَلََلَةً أوَِ امْرَأةٌَ وَلَه أخٌَ أوَْ أ خْتٌ فَلِك لِ وَاحِدٍ مِنْ همَا السُّد س، فَإنِْ كَان وا أكَْثرََ مِنْ ذَلِكَ فَ
همْ شرَكَا ء فيِ الثلُّ ثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يوصَى بِهَا أوَْ دَيْنٍ غَيْرَ مضَا رٍ، وَصِيَّةً مِنَ اللِ ، وَ الل عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya, “Bagi kalian para suami adalah separo
dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian bila mereka tidak mempunyai
anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
setelah dibayar hutangnya. Dan bagi para istri mendapat seperempat harta yang
kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak; bila kalian mempunyai anak,
maka mereka mendapatkan seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan; setelah
dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar hutang kalian. Bila
seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai satu orang saudara laki-laki
(seibu) atau satu orang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu
lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mempunyai hak bagian sepertiga;
setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya
dengan tidak merugikan. Demikianlah ketentuan Allah. Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
(Q.S.An-Nisa ayat 12)
يَسْتفَْت ونَكَ ق لِ ٱ
للََّّ يفْتِيك مْ فىِ ٱلْكَ لَلَةِ ۚ إنِِ ٱمْ رؤٌا۟ هَلَكَ ليَْسَ لَهۥ وَلدٌَ وَلَۥٓه أ خْتٌ فَلَهَا نِصْ ف مَا ترََكَ ۚ وَه وَ
يَرِث هَ آ إنِ لمَّْ يَك ن لَّهَا وَلدٌَ ۚ فَإنِ كَانتَاَ ٱثْنتَيَْنِ فَلَ
همَا ٱلثلُّ ثاَنِ مِمَّا ترََكَ ۚ وَإنِ كَان وٓا۟ إخِْوَةً رِجَالًَ
وَنِسَاءًٓ فَلِ لذَّكَرِ مِث لْ حَ ظِ ٱلْْ نثيََيْنِ ۗ يبَي
نِ ٱ للََّّ ل كَمْ أنَ تضَِلُّوا۟ ۗ
وَٱ للََّّ بِك لِ شَىْءٍ عَلِيم
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.(Q.S.An-Nisa ayat 176)
Firman Allah SWT “Allah mensyariatkan bagi kalian tentang pembagian pusaka untuk
anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak laki-lakisama dengan bagian dua
orang anak perempuan.” Yaitu Allah SWT memerintahkan kepada kalian untuk
berlaku adil terhadap mereka. Karena sesungguhnya dahulu orang-orang Jahiliyah
menjadikan semua harta warisan hanya untuk ahli waris laki-laki saja, tidak
untuk ahli waris perempuan. Maka Allah SWT memerintahkan agar menyamaratakan di
antara mereka (para ahli waris) dalam pokok harta warisan, namun Allah SWT
membedakan bagian antara dua kelompok dimana Allah menjadikan bagian lelaki
sama dengan bagian dua perempuan. Itu dikarekan laki-laki membutuhkan biaya
nafkah dan beban yang ditanggung, letih dalam menjalankan perdagangan dan
pertanian, mencari penghasilan, dan menanggung kesulitan. Maka sangatlah pantas
jika dia diberi dua kali lipat dari apa yang terima oleh kaum perempuan.
Banyak yang mengklaim kandungan ayat
kewarisan di atas dengan alasan bahwa ayat-ayat ini hanya berlaku untuk
masyarakat Arab pada waktu itu. Sebagaimana Sjadzali menyatakan bahwa kasus
yang kebanyakan terjadi pada orang tua di Indonesia memiliki kebiasaan untuk
mengutamakan kepentingan anak laki-laki dari pada anak perempuan. Anak
laki-laki sering menghabiskan biaya hidup terutama sekolah. Menurutnya apabila
dalam kenyataan semacam ini laki-laki tetap mendapatkan bagian waris 2:1, tentu
hal ini mencerminkan ketidakadilan. Sjdazali mengatakan bahwa pada realitas
sekarang, juga telah membudaya penyimpangan seraca tidak langsung atas
ketentuan al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Banyak yang mengambil tindakan sendiri,
yaitu membagikan kekayaan kepada anakanaknya semasa mereka masih hidup dengan
pembagian untuk masingmasing mendapat bagian yang sama besarnya tanpa
membedakan jenis kelamin masing-masing yang dikategorikan sebagai hibah. Pada
waktu mereka meninggal, maka kekayaan yang harus dibagi sudah tidak ada.
Pemikiran Sjdazali tersebut, terbantahkan
oleh pemikiran Yusuf alQardawi. Al-Qardawi menegaskan, tidak boleh membuka
pintu ijtihad dalam hukum yang telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an
yang sudah qath’i. Karena kewajiban pembagian harta warisan kepada anak
laki-laki dua kali lebih besar dari anak perempuan itu menggunakan dalil
al-Qur’an yang sudah qath’i. Hukum yang sudah qath’i harus tetap dalam
posisinya yang qath’i, begitu pula hukum yang zhanni. Menurut al-Qardawi, tidak
boleh menggubah hukum atau nash yang sudah qath’i menjadi nash yang zhanni atau
menggubah hukum yang zhanni menjadi qath’i. Al-Qardawi menegaskan, ijtihad
bukan berarti upaya memberikan legitimasi terhadap realita menurut apa adanya,
kamudian menarik keluar nash-nash dari ruang lingkup pengertiannya guna mendukung
realita, karena itu, umat Islam dilarang untuk mencari-cari alasan untuk
membenarkan realita itu dengan meninggalkan dalil-dalil syara’ secara tekstual
yang demikian ini menurut al-Qardawi jelas tidak dapat diterima.[4]
Menurut Syahrur, Allah menunjukkan bahwa
jatah laki-laki menjadi dua kali lipat jatah perempuan dalam satu kasus saja
yaitu ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki. dalam
pengertian bahwa terdapat jumlah objektif bukan jumlah hipotesis untuk
menyatakan jumlah satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini berarti bahwa dalam
wilayah himpunan jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan ketika
jumlah
perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki. Dalam hal ini
Syahrur memperhatikan dua hal. Pertama, jumlah perempuan berubah dan berganti,
kedua jatah laki-laki tidak mencapai dua kali lipat jatah perempuan, karena
jika ditentukan harta warisan bagi empat anak, misalnya, yang terdiri dari satu
laki-laki dan tiga perempuan, tentulah jatah laki-laki mencapai 33,33% dari
harta peninggalan, dan jatah perempuan, masing-masing adalah 66,66% : 3 =
22,22. kenyataan ini memperkuat pendapat syahrur bahwa jatah lakilaki sebesar
dua kali lipat jatah perempuan hanya pada satu kasus saja, bukan pada seluruh
kasus sebagaimana yang dianggap oleh para ahli fiqih dalam aplikasi hukum fiqih
selama ini. Di sini syahrur menganggap bahwa 2:1 hanya berlaku pada satu
laki-laki dengan dua perempuan atau lebih. Dalam hal ini Syahrur menganggap
bahwa ayat waris ini menjelaskan bahwa batasan maksimal yang berlaku bagi
laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Artinya laki-laki
tidak bisa lebih dari dua dan perempuan tidak bisa kurang dari satu. Sehingga
dalam keadaan tertentu, laki-laki dan perempuan akan bisa memperoleh posisi
yang sama dalam pembagian harta warisan dalam kondisi bersamaan. Konkretnya,
jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau 100% ditanggung pihak laki-laki,
sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat 0%, dalam kondisi ini,
batasan hukum Allah dapat diterapkan, yaitu memberikan dua bagian kepada
laki-laki dan satu bagian bagi perempuan.
Dengan mempertimbangkan bahwa Allah
telah menetapkan batas maksimal laki-laki dan batas minimal perempuan, tugas
kaum muslimin adalah berijtihad dengan bergerak di antar batasan-batasan
tersebut sesuai dengan kondisi obyektif yang melingkupinya.[5]
C. Hikmah Pembagian Harta Warisan 2:1
Hikmah yang terkandung dalam syariat
Islam yang membedakan kewarisan laki-laki dari perempuan atau bagian laki-laki
dua kali lipat bagian perempuan antara lain:
1. Nafkah
perempuan telah ada yang menanggung, yaitu: anak laki-laki, ayah, saudara
laki-laki dan keluarganya laki-laki yang lain, yang wajib memberi nafkah
kepadanya.
2. Perempuan
tidak dituntut memberi nafkah kepada siapa pun, sedangkan laki-laki dituntut
menanggung nafkah sanak keluarganya dan orang lain yang menjadi
kewajibannya.
3. Kewajiban
mengeluarkan nafkah bagi laki-laki lebih banyak macamnya dan tugas kewajibannya
berkenaan dengan materi lebih vital, sehingga kebutuhannya terhadap harta lebih
besar dibandingkan dengan perempuan.
4. Laki-laki
dituntut untuk memberi mahar kepada istrinya serta memberikan sandang, pangan
dan papan bagi istri dan anakanaknya.
5. Biaya
sekolah anak, ongkos pengobatan anak, istri dan sebagainya menjadi tanggung
jawab laki-laki (suami), tidak menjadi kewajiban perempuan.
Demikian beberapa hikmah dari sekian
banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki
dua kali lebih besar dari kaum wanita. Secara logika, siapa pun yang memiliki
tanggung jawab besar, hingga harus mengeluarkan penbiayaan lebih banyak, maka
dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Inilah
yang dimaksud dengan kaadilan berimbang, seimbang antara hak yang didapat
dengan beban dan kewajiban yang diembannya.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pembagian harta warisan antara laki-laki dan prempuan
mengalami perbedan dalam pmbagianny yaitu 1:2 dalam pembaginnya, untuk
laki-laki mendapatkan 2 bagian atau lebih banyak dari harta waris dibanding
bagian perempuan yang mdapatkan 1 bagian jika disbanding dengn laki-laki yang
mendapatkan 2 bagian, sehingga mnjadipembagian harta 1:2. Dengan adanya
ketentuan hukum yang seperti ini banyak para ulama yang berselisih pendapat
tentang hal ini.
Adapun hikmah anak laki-laki mendapat dua bagian, karena
laki-laki memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah istrinya
serta anaknya, sedang perempuan hanya memerlukan biaya untuk diri sendiri.
Adapun jika ia telah menikah maka kewajiban nafkah itu ditanggung oleh
suaminya. Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu bagian. Dari perincian di
atas, diketahui bahwa anak perempuan tidak pernah menghabiskan semua harta.
Paling banyak hanya memperoleh 1/2 dari jumlah harta. Berbeda dengan laki-laki,
apabila tidak ada waris yang apabila anak laki-laki lebih dari seorang maka
dibagi rata di antara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013)
Kementrian Agama RI.
Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II. ( Jakarta: Lentera Abadi, 2010)
Rana Annisa, “konsep
dua banding satu dalam pembagian harta warisan”, skripsi, Universitas Islam
NEGRI Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh,
2017
https://doi.org/10.52266?sangaji.v2i1.265
Rana Annisa, “konsep
dua banding satu dalam pembagian harta warisan”, skripsi, Universitas Islam
NEGRI Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh,
2017
Rana Annisa, “konsep
dua banding satu dalam pembagian harta warisan”, skripsi, Universitas Islam
NEGRI Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh, 2017
[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal.
281-282
[2]
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II. ( Jakarta: Lentera
Abadi, 2010)
[3]
Rana Annisa, “konsep dua banding satu
dalam pembagian harta warisan”, skripsi, Universitas
Islam NEGRI Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh, 2017,
hal. 20
[4]
Al-Robin, “problematika hukum pembagian waris 2;1 dalam pendekatan teori qathi
zhanni”,
Jurnal Pemikiran Syariah
dan Hukum, Vol. 2, No. 1, 2018, Hal.116, Yogyakarta, Uniersitas Islam Negri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, , https://doi.org/10.52266?sangaji.v2i1.265 Pdf. (diakses pada
tanggal 06 Juni 2021)
[5]
Rana Annisa, “konsep dua banding satu
dalam pembagian harta warisan”, skripsi, Universitas
Islam NEGRI Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh, 2017,
hal. 20
[6]
Rana Annisa, “konsep dua banding satu
dalam pembagian harta warisan”, skripsi, Universitas
Islam NEGRI Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh, 2017,
hal. 20