HUKUM WARIS ISLAM
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan yang lebih tepat adalah perpindahan hak kemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam sunnah Rasulullah, hukum kewarisan islam ditetapkan. Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: pertama, mengganti (QS. Al-Naml [27]:16), artinya “sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan dawud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya”. Kedua, memberi (QS. Al-Zumar [39]:74), dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam [19]:6).
Secara terminology, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang berhak. Hukum kewarisan islam mendapat perhatian besar, karena soal warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda (QS. AliImran [3]:14) tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut termasuk di dalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia, hingga sekarang. Terjadinya kasus-kasus gugat harta waris di pengadilan, baik di pengadilan agama maupun di pengadilan negeri yang menunjukkan fenomena ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Hukum Waris Islam?
2. Apa saja Dasar Hukum Waris Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengentahui Sejarah Hukum Waris Islam.
2. Untuk mengetahui Dasar Hukum Waris Islam.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Waris Islam 1. Pada Masa Pra-Islam
Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa Arab selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa itu, kehidupan orang Arab bergantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap pembagian harta warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-laki dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak.
Pada masa pra-Islam, pembagian harta warisan dilakukan dengan memakai dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab. Tradisi pembagian harta warisan pada masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anakanak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal. Sangat jelas bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka.
Selain itu mereka juga berdalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh.”
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil. Bahkan, sebagian mereka beranggapan bahwa perempuan janda yang ditinggal mati termasuk harta yang dapat diwariskan kepada dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.
Pada masa pra-Islam, warisan dapat diberikan jika ada hubungan kekerabatan. Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat diberikan kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia, dan anakanak yang diadopsi (pengangkatan anak). Dapat dipahami bahwa, seseorang akan mendapatkan hartawarisan apabila:
a) Adanya Pertalian Kerabat
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima warisan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan untuk membela, melindungi, dan memelihara qabalah (persukuan) atau sekurang-kurangnya keluarga mereka. Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas (a) anak laki-laki, (b) saudara laki-laki, (c) paman, (d) anak-anak yang semuanya harus dewasa, dan (e) anak laki-laki paman.
Apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang sudah besar, maka harta peninggalannya jatuh kepada saudara laki-lakinya yang sanggup berperang. Satu hal lain yang aneh ialah bahwa yang diwariskan itu tidak hanya harta peninggalan saja, tetapi juga isterinya, asalkan saja istri itu bukan ibu kandung yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan.
b) Adanya Janji Ikatan Prasetia
Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.
Adapun isi janji prasetia tersebut adalah:“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuananmu, perangku perangmu damaiku damaimu, kamu mewarisi hartamu aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.
Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, maka pihak lain yang masih hidup berhak mendapat harta peninggalan partnernya sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada ahli warisnya.
c) Adanya Pengangkatan Anak
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas dasar pengangkatan anak, disyaratkan harus laki-laki yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal itu tidak akan terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.
Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw mengangkat Zaid Ibn Haritsah menjadi anak angkatnya dan dikatakanlah Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid ini sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdekakan. Abu Hutzaifah Ibn‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakanlah: Salim ibn Abu Huzaifah. Keadaan ini berlaku hingga turun surat al-Ahzab dibawah ini:
ادْعوُهُمْ آلِبَاآئ آهمْ هوَُ أقَْسَطُ آعنْدَ ه آاللَّ ۚ فَإآنْ لَمْ تعَْلمَُوا آبَاءَهُمْ فَإآخْوَانكُُمْ آفي ال آد ي آن وَمَوَا آليكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَليَْكُمْ جُنَاحٌ آفيمَا أخَْطَأتْمُْ آب آه وَلَٰ آكَنْ مَا ت عَ همَدتَْ قُلوُبكُُمْ ۚ وَكَانَ هاللَُّ
غَفوُرًا رَ آحيمًا
Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah dari seoranganak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat tidaklah dapat dianggap sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu haruslah dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.
B. Dasar Hukum Waris Islam 1. Al-Qur’an
Secara historis, hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditentukan Rasulullah. Baik dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah, dasar hukum kewarisan ada tegas mengatur dan ada tersirat,bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam surah anNisa’, di samping surah lainnya sebagai pembantu.
Hukum waris memiliki dasar hukum (dalil) yang kuat, yaitu al-Qur’an pada Surat an-Nisa’: 7, 8, 9, 10, 11,12, 13, 14, 33, 176, Surat Al-Anfal: 75, dan beberapa hadis Nabi SAW. Secara tegas, Allah menjanjikan surga bagi yang mengamalkan hukum ini melalui surat an-Nisa: 13, dan ancaman neraka bagi pelanggarnya melalui surat an-Nisa’: 14. Adapun surat an-Nisa’: 11,12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama, memberikan rincian ahli waris dan bagian masing-masing dalam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, beberapa dasar hukum mengenai kewarisan Islam sebagai berikut:
a) Q.S An-Nisa’ ayat 176
يَسْتفَْتوُنَكَ ق آلُ هاللَُّ يُفْ آتيكُمْ آفي الْكَلََلَ آة ۚ إآ آن امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلدٌَ وَلَهُ أخُْتٌ فلَهََا آنصْ فُ
مَا ترََكَ ۚ وَهوَُ ي آرَثهَُا آإنْ لَمْ يكَنُْ لهََا وَلَدٌ ۚ فَإآنْ كَانتَاَ اثْنَتيَْ آن فَلهَُمَا الثلُُّثاَ آن آم هما ترََكَ ۚ وَ آإنْ كَانوُا آإخْوَةً آرجَالًً وَ آنسَاءً فَ آللذهكَ آر آمثلُْ حَ آ ظ الْْنُْثيََيْ آن ۗ يُبَ آي نُ هاللَُّ لكَُمْ أنَْ ت آضَلوُّا ۗ وَ هاللَّ ُ آ بكُ آ ل شَيْءٍ عَ آليمٌ
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
b) Q.S An-Nisa’ ayat 11
يوُ آصيكُمُ هاللَُّ آفي أوَْلًَ آدكُمْ ۖ آللذهكَ آر آمثلُْ حَ آ ظ الْْنُْثيََيْ آن ۚ فَإآنْ ك هنُ آنسَاءً فوَْقَ اثْنتَيَْ آن فَ لَهُ هن ثلُُثاَ مَا ترََكَۖ وَ آإنْ كَانَتْ وَا آح دَةً فَلهََا ال آن صْفُ ۚ وَ آلْبَوََيْ آه آلك آ لُ وَا آحدٍ آمنْهُمَا السُّدسُُ آم هما ترََكَ إآنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإآنْ لَمْ يكَنُْ لَهُ وَلَدٌ وَوَ آرثهَُ أبَوََاهُ فَ آلِ آ مُ آه الثلُُّثُ ۚ فَإآنْ كَانَ لَه ُ آإخْوَةٌ فَ آلِ آ مُ آه السُّدسُُ ۚ آمنْ بعَْ آد وَ آ صيهةٍ يوُ آصي آبهَا أوَْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأبَْناَؤُكُمْ لًَ تدَرُْونَ أيَهُُّمْ أقَْرَبُ لكَُمْ نَفْعًا ۚ ف آرَيضَةً آمنَ ه آاللَّ ۗ آإ هن هاللََّ كَانَ عَ آليمًا حَ آكيمًا
Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
c) Q.S An-Nisa’ ayat 12
وَلكَُمْ آنصْفُ مَا ترََكَ أزَْوَاجُكُمْ آإنْ لَمْ يكَ نُْ لَهُه ن وَلَدٌ ۚ فَإآنْ كَانَ لَهُه ن وَلَدٌ فَلكَُمُ الرُّبعُُ آم هما ترََكْنَ ۚ آمنْ بعَْآ د وَ آصيهةٍ يوُ آصينَ آبهَا أوَْ دَيْنٍۚ وَلهَُ هن الرُّبعُُ آم هما ترََكْتمُْ آإنْ لَمْ يكَنُْ لكَُمْ وَلَدٌ ۚ فَإآنْ كَانَ لكَُمْ وَلَدٌ فَلهَُ هن الثمُُّنُ آ مهما ترََكْتمُْ ۚ آمنْ بعَْ آد وَ آصيهةٍ توُصُونَ آبهَا أوَْ دَيْنٍ ۗ وَ آإنْ كَانَ رَجُلٌ يوُرَثُ كَلََلَةً أ آوَ امْرَأةٌَ وَلَهُ أخٌَ أوَْ أخُْتٌ ف آلَك آ لُ وَا آحدٍ آمنْهُمَا السُّدسُُ ۚ فَإآنْ كَانُوا أكَْثرََ آمنْ ذََٰ آلكَ فهَُمْ شرَُكَاءُ آفي الثلُّ آثُ ۚ آمنْ بعَْ آد وَ آص هيةٍ يوُصَىَٰ آبهَا أوَْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَا رٍ ۚ وَ آصيهةً آمنَ ه آاللَّ ۗ وَ هاللَُّ عَ آليمٌ حَ آلي مٌ
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Pada ayat berikutnya, yaitu ayat 13-14 menegaskan tentang pelaksanaan ketentuan dua ayat di atas. Bagi orang yang melaksanakannya akan mendapat pahala, yakni dimasukkan ke dalam surga selama- lamanya. Begitu juga sebaliknya, orang yang dengan sengaja mendurhakai hukum Allah swt dan melampaui batas-batas ketentuan-Nya, kelak akan menerima balasan yang sangat menyakitkan, berupa siksa yang amat pedih lagi abadi di dalam neraka.
Kandungan isi ayat-ayat di atas, menunjukkan bahwa ketentuan hukum tentang bagian warisan bagi masing-masing ahli waris (seperti ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3 serta bagian sisa atau ‘ashabah) merupakan ketentuan hukum final yang tidak bisa diubah lagi. Akan tetapi, sejauh mana sejarah dan dinamika pelaksanaannya perlu dilihat dari aspek lain yang menyangkut situasi dan kondisi masyarakat yang menyertai hukum itu dilaksanakan.
2. Sunnah
Adapun beberapa hadis yang menerangkan tentang pembagian harta waris antara lain:
a) H.R Bukhari dan Muslim
عَ آن ابْ آن عَهباسٍ رَ آضيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسوُْلُ آالله صَهلى اللهُ عَلَيْ آه وَسَلهمَ
.ألَْ آحقوُا الفرَا آئضَ بأهَْ آلها، فمََا أبَْقَ آت الفرَا ئآضُ فَ آلِوَْلى رَجُلٍ ذكَرٍَ
خَ هرجَهُ البخَُا آريُّ وَمُسْ آل مٌ
Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan Muslim, no.
1615)
b) H.R Muslim
حَ آديثُ أسَُامَةَ بْ آن زَيْدٍ رَ آضيَ هاللَُّ عَنْهُ : أ هنَ النه آب هي صَلهى هاللَُّ عَلَي آه وَسَلهمَ قَالَ لًَ ي آرَثُ
.الْمُسْ آلمُ الْكَا فآرَ وَلًَ ي آرَثُ الْكَا آفرُ الْمُسْ آلمَ
Artinya: “Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a ia berkata, Nabi SAW bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam”. (HR. Muslim).
3. Ijtihad
Ijtihad merupakan pemikiran sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan, yang belum atau tidak disepakati. Misalnya, terhadap masalah ‘Aul, di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi’in atau ulama.
Para sahabat, tab’in, generasi pasca sahabat dan tabi’it tabi’in dan generasi pasca tabi’in. Telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak ada yang dapat menyalahinya. Imam-imam mazhab yang berperan dalam pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nash shorih.
Yang perlu dikemukakan ialah, bahwa meskipun hokum kewarisan yang sering disebut dengan faraidl (ketentuan), adalah ketentuan yang dibakukan baginya, dalam penerapannya sering dijumpai kasus-kasus yang menyimpang atau tidak sama prinsip seperti yang di kehendaki Al-Qur’an. Yang jelas, penyelesaian pembagian warisan, ketentuan baku dalam Al-Qur’an atau Hadits tetap dipedomani untuk menentukan proporsional atau tidaknya penyelesaian pembagian warisan.
BAB IIIPENUTUP
A. Simpulan
Hukum kewarisan islam pada dasarnya sudah ada sejak sebelum islam datang, dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan islam yang sudah menerapkan hukum kewarisan di daerah masing-masing. Pada masa pra-Islam, pembagian harta warisan dilakukan dengan memakai dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab. Tradisi pembagian harta warisan pada masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal. Kemudian dalam pewarisan awal Islam, kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki dewasa saja, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Adanya hijrah dan ikatan persaudaraan juga memungkinkan untuk mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam, tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi). Dalam hokum kewarisan islam, dasar yang dijadikan acuan yaitu Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihat.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Suhaili Sufyan. 2012. Fiqh Mawaris Praktis. Bandung: Cita Pusaka Media Perintis.
Muhibbudin Moh. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad Ali ash-Shabuni1995. Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basamalah. Gema Inasani Press.
Asrizal. 2016. PELETAKAN DASAR-DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM (TINJAU HISTORIS ATAS HUKUM WARIS PRA DAN AWAL ISLAM). Al-Ahwal, Vol. 9, No. 1. Iim Fahimah. 2018. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM WARIS DI INDONESIA,
NUANSA Vol. XI, No. 2.
Ahmaad Rofiq. 2017. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. Edisi revisi.