Peradilan Pasca Kemerdekaan Indonesia

 


A.      Peradilan Islam pada Awal Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946, sebuah departemen keagamaan dibentuk. Semua urusan serta pengawasan peradilan agama dipindahkan dari Menteri Urusan Agama. Pemindahan ini tidak hanya mempertegas identitas peradilan agama tapi juga memperluas jurang antara peradilan umum dan peradilan agama. Atas usul Departemen Agama yang disetujui oleh Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Peradilan Agama yang selama ini bernaung di bawah kekuasan Kementrian Kehakiman diserahkan kepada Kementrian Agama berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 5 Tahun 1946. Maka sejak saat itu, Peradilan Agama merupakan bagian dari Departemen Agama.

Pada tahun 1946, dikeluarkan UU No. 2 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Setelah dikeluarkan UU tersebut, diambillah tindakan dengan jalan memisahkan urusan pendaftaran nikah, talak, dan rujuk dari Pengadilan Agama. Kepala penghulu yang sebelumnya merangkap sebagai ketua Pengadilan Agama, tidak lagi mencampuri urusan pengadilan. Maka dari itu, dibentuklah penghulu kabupaten yang bertanggung jawab atas urusan kepenghuluan kabupatennya masing-masing.

Pada tahun 1948, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang Peradilan Agama yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Berdasarkan Undang-Undang ini, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh tiga lembaga peradilan yakni:

1.      Peradilan Umum

2.      Peradilan Tata Usaha Negara

3.      Peradilan Ketentaraan

Pada tahun 1951, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pada pengadilan sipil. Berdasarkan peraturan ini, Pengadilan Agama diatur tersendiri oleh Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan isi undang-undang tersebut, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan atau Mahkamah Syar’iyah untuk daerah Aceh. Akan tetapi, dalam perjalanannya peraturan tersebut dicabut karena tidak dapat memberikan penyelesaian bagi daerah-daerah tertentu dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di daerah luar Jawa dan Madura.

Pada masa awal kemerdekaan, terdapat beberapa macam peraturan yang mengatur tentang Peradilan Agama. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staadsblad tahun 1882 No.152 dan Staadsblad tahun 1937 No. 116 dan 610).

2.      Peraturan tentang kerapatan qadli dan kerapatan qadli besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Staadsblad tahun 1937 No. 638 dan 639).

3.      Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura.

B.       Peradilan Agama sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang beragama Islam dalam mencari keadilan mengenai perkara perdata tertentu diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang  Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009. Pengadilan Agama selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok dan fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

C.      Unifikasi Kelembagaan Peradilan Agama

Susunan pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota madya atau ibu kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama berkedudukan pada setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal dengan sendirinya merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing-masing pengadilan. Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah kota madya atau daerah kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah kewenangan atau kompetensi relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan agama. Daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya luas daerah hukum masing-masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama disesuaikan dengan daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan provinsi.

Peradilan agama adalah sub sistem peradilan negara Republik Indonesia yang khusus melayani pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang didasarkan pada hukum Islam. Dengan kata lain, sistem hukum ketetanegaraan Negara Republik Indonesia menempatkan peradilan agama sama dan sederat kedudukannya dengan peradilan lain.

Tata hukum ketatanegaraan Negara Republik Indonesia menganut sistem peradilan dibagi dalam dua tingkat :

1.      Peradilan tingkat pertama, seperti pengadilan agama yang berkedudukan di kota atau di ibu kota kabupaten yang daerah hukumnya meliputi kota atau kabupaten. Biasanya, nama pengadilan agama sesuai dengan nama kota atau nama ibu kota kabupaten.

2.      Peradilan ulangan yang biasa disebut peradilan banding, seperti pengadilan tinggi agama yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Demikian pula, biasanya nama pengadilan tinggi agama sesuai dengan ibu kota provinsi atau nama provinsinya.

D.      Interdependensi dan Kesejajaran Peradilan Agama

Pada tanggal 29 Desember 1989, RUUPA (Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama) disahkan menjadi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU No. 7 Tahun 1989 merupakan salah satu bukti nyata besarnya pemahaman dan perhatian pemerintahan terhadap aspirasi umat Islam yang mendambakan adanya peraturan yang secara khusus mengatur tentang peradilan agama. Lahirnya undang-undang tersebut membawa pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan Peradilan Agama di Indonesia sehingga menjadi mandiri dan berdiri sama tinggi dengan pengadilan-pengadilan lainnya. Dengan demikian, peradilan agama sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat tertentu yaitu orang-orang yang beragama islam menjadi sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer). Setelah adanya UU No. 7 Tahun 1989, peradilan agama telah memiliki regulasi yang kuat  yang mana mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya

1.      Kelengkapan Susunan Peradilan

Dari segi susunan, peradilan agama tidak berbeda dengan susunan peradilan negeri, yang terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Tetapi yang paling memberi makna adalah keberadaan juru sita sebagai piranti baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam lingkungan peradilan agama.

2.      Kekuatan Absolut Peradilan

Kekuatan lainnya yang terdapat di dalam UU No. 7 Tahun 1989 adalah segi kekuasaan peradilan agama yakni kekuasaan dan kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di antara orang- orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, serta dalam bidang wakaf dan sedekah.

3.      Hukum Acara Peradilan

Kelengkapan susunan yang legimate serta kekuasaan dan kewenangan yang jelas yang dimiliki peradilan agama itu dilengkapi pula dengan adanya sumber hukum acara (hukum formal) seperti yang disebutkan dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989, yaitu hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum.

Lebih baru Lebih lama