MAKALAH HAKIM PEREMPUAN
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengajarkan tentang kebaikan dan mengharuskan kepada setiap penganutnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sebagai sebuah ajaran yang secara substansial membawa misi rahmatan lil alamin, Islam memposisikan peradilan, sebagai sebuah lembaga yang diharapkan mampu menjadi pelopor dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat serta memelihara hak-hak dasar manusia.
Kehadiran agama Islam membawa pembaharuan bagi kedudukan kaum perempuan, dimana kaum perempuan pada masa sebelum Islam mendapat kedudukan yang rendah, hina, dan memalukan. Kemudian oleh agama Islam diangkat ke posisi yang lebih baik, terhormat, dan dihargai. Dalam kehidupan sosial, agama Islam memberikan kedudukan yang layak dan terhormat bagi kaum perempuan, di samping kaum pria, kaum perempuan juga diberi kedudukan yang relatif sama untuk mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan dan berprestasi baik di sektor publik maupun lingkungan keluarga. Islam sangat memuliakan perempuan, Alquran dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang sangat terhormat bagi kaum perempuan, baik dia sebagai anak, istri, ibu, maupun peran publik lainnya. Begitu pentingnya hal ini, Allah SWT mewahyukan sebuah surat dalam Alquran kepada nabi Muhammad SAW dalam surah an-nisa yang sebagian besar ayat dalam surah ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan perempuan, utamanya yang berhubungan dengan kedudukan, peran, dan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan.
Dalam ajaran Islam perempuan mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak menyalahkan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah mampu berkarir di segala bidang. Islam membebaskan perempuan dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Pada prinsipnya Islam tidak membatasi hak perempuan dalam mengurus seluruh kepentingan publik. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kehormatan perempuan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Hakim Perempuan?
2. Apa Makna Mufrodat dan Kualitas Hadits?
3. Apa Makna Hadis?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Definisi Hakim Perempuan.
2. Untuk Mengetahui Makna Mufrodat dan Kualitas Hadits.
3. Untuk Mengetahui Makna Hadis.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Definisi Hakim Perempuan
Hakim dalam istilah fiqih sama artinya dengan qodhi yang berasal dari kata قضٙ -قضٙ – قاض yang artinya memutus. Adapun menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Pengertian hakim menurut syara’ yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum. Adapun tugas dan wewenang hakim yang paling pokok adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan.
Peran hakim adalah memahami tujuan dari hukum dalam masyarakat, menggali keadilan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, karena hukum dalam masyarakat itu bagaikan organisme hidup.
Hakim dapat melakukan perubahan dengan cara menginterpretasikan hukum. Dalam hal itu, peran hakim menjadi signifikan menjabatani jurang antara hukum yang ketinggalan zaman dan perkembangan masyarakat. Seorang hakim tidak bisa mengatakan urusan perubahan hukum adalah tanggung jawab lembaga legislatif semata. Pengadilan harus mengambil peran perubahan hukum secara bersama-sama dengan lembaga legislatif.
Dikalangan fuqoha atau ahli fiqih menyatakan bahwa peran wanita dalam politik masih menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat. Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tampaknya tidak seperti diduga atau dipraktikkan dalam kenyataan di masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya telah memberikan perhatian yang sangat besar dan memberikan kedudukan yang terhormat kepada kalangan perempuan. Misalnya, Muhammad al-Ghazâlî, salah seorang ulama besar, telah menulis:
Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik di bandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.
Kemudian dipertegas oleh Mahmud Syalthut, syaikh pemimpin dari tertinggi lembaga-lembaga al-Azhar di Mesir telah menulis:
Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.
Sementara itu, kalangan ulama Imâm Mazhab yang bersikap menolak (kontra) me-netapkan bahwa laki-laki sebagai syarat pemimpin. Oleh karena itu, perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin politik dan hakim dalam pandangan jumhur ulama. Bahkan kalangan ulama mazhab seperti Imâm Syafi‘i, Mâlik, dan Hanbali sepakat berpendapat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpin dengan analogi (qiyas) kepada larangan menjadi imam shalat. Substansi masalahnya adalah karena khawf al-fitnah, yaitu menjaga suasana yang mengganggu atau menggoda hati dan pikiran laki-laki da-lam beribadah. Sehingga termasuk pula dalam bidang politik pun perempuan diangap tidak dapat menjadi pemimpin dan bahkan menjadi hakim. Selain itu, pendapat senada yang menolak kedudukan perempuan sebagai pemimpin politik dan hakim juga dikemukakan oleh al-Mâwardî dan Abî Ya‘lâ. Sedangkan kelompok ulama mendukung penerimaan perempuan diterima sebagai hakim dikemukakan oleh Imâm Abû Hanifah. Ia menegaskan bahwa perempuan dibolehkan menjadi hakim dalam perkara perdata (muamalah), tetapi tidak berlaku da-lam perkara pidana (jinayah).
Berkenaan dengan hal tersebut, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa perempuan memiliki hak-hak politik yang sama dengan laki-laki. Menurutnya, tidak ditemukan satu ketentuan agamapun yang secara tegas dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau membatasi bidang tersebut hanya untuk laki-laki. Dalih yang melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik dan publik kesemuanya dapat dilemahkan. Begitu juga dengan Hussein Muhammad yang berpe-ndapat larangan perempuan menjadi pemimpin dalam hadis hanya bersifat infor-matif bukan mengikat. Bahwa sekurang-kurangnya ada tiga kelompok ulama yang menyatakan bahwa pendapat hukumnya berkaitan dengan hukum hakim perempuan, yaitu:
1. Perempuan Tidak Sah Menjadi Hakim Secara Mutlak
Perempuan dianggap tidak sah menjadi hakim secara mutlak dikemukakan oleh ma-yoritas ulama dari kalangan Mazhab Mâlikiyyah, Syafi‘iyyah, Hanabilah, dan sebagian dari kalangan Mazhab Hanafiyyah. Mereka mensyaratkan jenis kelamin laki-laki sebagai keabsahan menjadi seorang hakim. Alasan penolakan terhadap perempuan menjadi hakim disebabkan perempuan me-miliki kekurangan dan kelemahan. Perempuan memiliki kelemahan dari berbagai aspek; kurang kecerdasannya, kurang wawasan, kurang pergaulan dan mengalami keterbatasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
2. Perempuan dapat Menjadi Hakim untuk Perkara Perdata dan Tidak untuk Perkara Pidana (Qishash, Hudud, dan Ta‘zîr)
Pendapat ini dikemukakan oleh seba-gian kalangan ulama dari Mazhab Hana-fiyyah. Mazhab Hanafiyah berpendapat pe-rempuan dapat menjadi saksi untuk perkara perdata, karenanya dapat pula menjadi ha-kim dalam urusan muamalat (perdata), tidak pada kasus yang lain. Pendapat lain mengatakan hukum pe-rempuan menjadi hakim adalah makruh. Alasan kemakruhannya karena di dalam per-sidangan, hakim perempuan terpaksa harus bercakap-cakap dengan kaum laki-laki, pada-hal perempuan dianjurkan untuk selalu me-nutup diri (dari bergaul dan bercakap-cakap yang intens dengan laki-laki). Namun apabila dua pihak yang berperkara adalah perem-puan semua, maka kemakruhan hakim pe-rempuan menjadi hilang.
3. Perempuan dapat Menjadi Hakim dalam Semua Perkara (Perdata dan Pidana)
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-Thabarî, Ibnu Hazm, dan Muhammad bin Hasan. Ketiganya berpendapat bahwa perempuan dapat menangani semua kasus di pengadilan tatkala perannya sebagai hakim. Ada empat dalil yang dipergunakan oleh pendapat ketiga yang mengatakan sahnya perempuan menjadi hakim dalam semua perkara baik pidana maupun perdata. Dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:
a) Ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW menetapkan bahwa orang-orang muslim, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Di antara ayat yang menunjukkan persamaan kaum laki-laki dan perempuan dalam memimpin adalah Surah al-Tawbah ayat 71 yang artinya sebagai berikut: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma‘ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
b) Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: ( كلكم راع وكلكم مسؤل ع ن راعيته ) yang bermakna, “Setiap kalian adalah pemim-pin. Dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kalian pimpin.” (HR. Muslîm)
Mengacu kepada penjelasan Rasulullah SAW di atas, disebutkan bahwa setiap orang adalah pemimpin, tanpa membedakan jenis kelaminnya. Hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan juga ber hak menjadi pemimpin dan juga hakim sebagaimana halnya kaum laki-laki. Selain itu, konteks hadits tersebut menunjukkan adanya proses revolusi budaya, yaitu per-gantian kepemimpinan yang sebelumnya dijabat laki-laki lalu pertama kali dijabat perempuan, yaitu Buwarân binti Syayrawayh bin Kisrâ bin Bawâriz.
c) Qiyas : Menyamakan hukum bolehnya perem-puan menjadi hakim sama dengan hu-kum bolehnya perempuan menjadi auditor. Ibnu Hazm mendalilkan bolehnya perempuan menjadi hakim, dengan riwayat dari ‘Umar bin Khattab bahwa beliau pernah mengangkat Syifâ’, seorang perempuan dari kaum Quraisy untuk menjadi auditor pasar. Oleh karena itu, Ibnu Hazm beranggapan bahwa jika perempuan boleh menjadi auditor, berarti perempuan juga boleh menjadi hakim, karena kedudukan sebagai auditor atau hakim sama-sama merupakan jabatan yang memegang kekuasaan publik.
d) Jenis kelamin laki-laki bukan merupakan hal yang penting sehingga keabsahan sebagai hakim tidak harus berjenis kelamin laki-laki.
B. Makna Mufrodat dan Kualitas Hadits
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَقَلَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللهبِكَلِمَةٍ سمعتها من رسولالله صلي الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّ اهل فَارِس قد مَلَّكُوا عليهم بنت كِسْرَ ى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَ لَّوْا أَمْرَأَة رواه البخاري
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Hasan dari Abu Bakroh ra, beliau mengatakan: Allah telah memberiku manfaat dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW. pada hari perang jamal, setelah aku menganggap bahwa yang benar adalah pemilik unta (‘Aisyah ra) sehingga aku berperang di pihaknya. Kalimat yang aku dengar tersebut adalah ketika ada kabar yang sampai ke Rasulullah SAW. bahwa penduduk Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin, maka Rasulullah SAW. bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepememimpinan atas diri mereka kepada seorang perempuan. ” ( HR. Al-Bukhari)
1. Makna Mufrodat
لن يفلح Tidak akan pernah beruntung
قوم Kaum
ولو Menyerahkan
أمر هم Kepememimpinan
اَمْرَأة Perempuan
2. Kualitas Hadis
Hadits ini sahih. Al- Baghawi berkata: Para ulama sepakat bahwa perempuan tidak layak dijadikan pemimpin dan hakim. Perempuan dianggap lemah dalam melakukan banyak hal. Perempuan juga kurang dalam banyak hal sedangkan pemimpin membutuhkan kesempurnaan, sehingga tugas tersebut tidak boleh diemban kecuali oleh laki-laki yang sempurna.
C. Tafsir dan Makna Hadis
Hadits ini menunjukkan tidak dibolehkan seorang wanita mengurusi peradilan kaum muslimin secara umum. Sebab syariat telah menugaskan kepada malaikat sebagai pemimpin di rumah suaminya.
Mazhab Hanafi berpendapat bolehnya wanita pemangku jabatan sebagai seorang hakim kecuali dalam perkara hukum had. Adapun Ibnu jarir berpendapat bolehnya kamu wanita memangku jabatan ini secara mutlak.
Hadits di atas menggambarkan bahwa tidak akan pernah sukses kaum yang menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada seorang wanita dan mereka dilarang menghalangi diri mereka dari kesuksesan serta diperintahkan untuk berupaya sedapat mungkin melakukan sebab-sebab yang dapat mengarah kepada kesuksesan.
Lafaz walau amrahum dalam redaksi hadis tersebut banyak diartikan mengangkat seseorang sebagai waliyul Amri (pemegang tampuk pemerintahan). Padahal, dilihat dari aspek sejarah, hadis tersebut memang merupakan komentar Rasulullah SAW, tatkala sampai kepada-nya berita tentang pengangkatan Putri kisah yang diangkat sebagai raja Persia pada masa itu.
Hadits di atas, menurut Quraish Shihab dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Menurutnya, pemahaman secara tekstual dan kontekstual ini sudah dipraktekkan sejak zaman nabi Muhammad.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa kronologis dan konteks dari hadis itu. Menurutnya, hadis tersebut melengkapi kisah raja kisra yang telah merobek-robek surat Nabi. Pada saat itu, iya dibunuh oleh anak laki-lakinya. Anak ini kemudian membunuh saudara-saudaranya. Ketika dia mati diracun, kekuasaan kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bahran binti Syiruyah bin Kisra. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana doa Nabi SAW.
Mengubah cara pandang dan pola pikir (mind set) masyarakat yang telah mendarah daging dan terpola pengkondisiannya pada benak pikirannya tidaklah mudah, memerlukan kerja keras yang tentunya harus dimulai dari penyadaran diri sendiri. Persoalannya adalah tidak banyak kaum perempuan berminat atau tertarik pada dunia politik; diawali dari pola penempatan yang telah dikotak-kotakkan dan stereotype, perempuan tepat dan pantasnya ada di ranah domestik, sebaliknya laki-laki ada di ranah publik. Belum lagi dunia politik diasumsikan sebagai dunia maskulin (keras, kasar, rasional, kompetitif, menakutkan) sehingga pantasnya hanya dimiliki laki-laki. Sementara ranah domestik berwatak feminim, lemah, lembut, emosional, ngalah, nurut (bahasa Jawa), halus, ramah; inilah fungsi dan tugas yang tepat dan cocok bagi perempuan; diam di rumah mengurus dan membereskan segala permasalahan di rumah tangga.
Di masa sekarang hakim perempuan sudah tidak lagi asing ditemukan di seluruh pengadilan yang ada di Indonesia, apalagi dengan adanya para aktivis gender yang selalu mengedepankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi dengan adanya syarat atau kriteria untuk bisa menjadi seorang hakim di sebuah pengadilan.
Dikalangan fuqoha atau ahli fiqih menyatakan bahwa peran wanita dalam politik masih menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat.
Menurut ketentuan pasal 13 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Warga negara Indonesia
2. Beragama Islam
3. Ketakwaan kepada Tuhan yang maha esa
4. Setia pada Pancasila dan UUD 1945
5. Bukan sebagai anggota partai terlarang termasuk pada masanya.
6. Pegawai negeri
7. Sarjana Syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
8. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
9. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Persyaratan tersebut merupakan satu perpaduan antara produk pemikiran para fuqaha dengan ketentuan yang berlaku secara umum bagi hakim pada tingkat pertama. Di dalam ketentuan ini tidak ada batasan bagi suatu kaum untuk menjadi seorang hakim, cuman yang menjadi ketentuan adalah layak dan tidaknya menjadi hakim, dalam artian tidak ada batasan-batasan kalaupun seorang dari kaum hawa untuk menjadi hakim.
Wanita itu bisa dan mampu berbuat seperti kaum pria dalam berusaha dan berkarya. Realita ini bisa ditemukan pada masa Nabi SAW, masa sahabat dan masa tabiin. Para wanita tampil di berbagai bidang, seperti Khodijah adalah seorang saudagar kaya yang sukses, dan Asy- Syifa adalah seorang perempuan yang diserahi Umar bin Khattab untuk menangani pasar kota Madinah.
Di dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melakukan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah mampu berkarir di segala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan.
Pada dasarnya Allah memandang laki-laki dan wanita itu sama, hanya ketakwaannya yang membedakan antara satu dengan yang lainnya, hal ini sebagaimana dipertegas dalam ayat ke 13 dari surat al-hujurat yang artinya :
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa Dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"
BAB IIIPENUTUP
Ajaran Islam menggaransi persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama di ranah publik. Dengan demikian tak ada alasan melarang perempuan menjadi hakim baik urusan perdata maupun pidana. Serta tuntutan sosial yang mengaharuskan perempuan memiliki kemampuan lebih dalam menghadapi setiap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dan kehadiran perempuan mampu memberikan solusi dari setiap permasalahan yang muncul. Dengan menjadi seorang hakim perempuan mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya baik di dalam pengadilan maupun di masyarakat luas pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hussein Muhammad, 2001, Fiqh Perempuan. Yogyakarta: LkiS.
M. Quraish Shihab, Membongkar Hadis-hadis Bias Jender.
Sulubus Salam Kitab Al-Qadha
Salam Al Bahsanawi. 1996. Wawasan Sistem Politik Islam. Jakarta : Pustaka al-Kautsar
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Peradilan Agama
Murtadha Mutahhari, 1995, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Cet. 3: Jakarta: Lentera Baritama