SEJARAH PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

SEJARAH PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

        Perkawinan di Indonesia terbilang sangat di prioritaskan, dengan diadakannya sebuah regulasi yang mengatur tentang perkawinan, hal ini dikarenakan tuntutan dan keperluan masyarakat akan adanya sebuah hukum yang mengatur mengenai perkawinan, sebab jika hal tersebut tidak diatur dalam sebuah peraturan ataupun di formalitaskan maka akan terjadi penyelewengan terhadap hak-hak istri dan anak.

        Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya UNDANG-UNDANG perkawinan dalam tatanan masyarakat. Maka dari itu kita selaku masyarakat yang paham akan hukum perlu juga mengetahui dari mana asal usul UNDANG-UNDANG perkawinan di Indonesia saat ini, dan makalah ini akan mengupas sejarah pembuatan UNDANG-UNDANG perkawinan di Indonesia.

B. Rumusan masalah

1. Bagaiman Sejarah Peraturan Tentang Perkawinan di Indonesia?

2. Apa saja kontroversi dan perdebatan Rancangan Undang-Undang Perkawinan?

3. Bagaimana kompromi dan solusi dari perdebatan Rancangan Undang-Undang Perkawinan?

C. Tujuan 

1. Untuk mengetahui Bagaiman Sejarah Peraturan Tentang Perkawinan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui Apa saja kontroversi dan perdebatan Rancangan Undang-Undang Perkawinan.

3. Untuk mengetahui Bagaimana kompromi dan solusi dari perdebatan Rancangan Undang-Undang Perkawinan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Peraturan Tentang Perkawinan di Indonesia

        Jauh sebelum adanya Undang-Undang No 1 tahun 1974 masyarakat pada jaman kerajaan–kerajaan melaksanakan perkawinan  menggunakan hukum  adat atau hukum agama yang dianut.  Pada masa penjajahan  Belanda, Sebagian masyarakat tunduk terhadap Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris menurut Islam  yang dibuat oleh kolonial belanda dengan tujuan segala bentuk urusan kekeluargaan dapat berada pada tatanan suatu undang undang yang dibuat oleh penguasa pada masa itu.

        Kemudian muncul teori Reseption complex yang di kemukakan oleh Van Den Bergh, yang mana berisi bahwa bagi umat islam ketika hendak mengajukan permasalahan maka menggunakan hukum Islam yang berlaku dalam kebiasaannya, yang tidak bertentangan dengan regulasi pemerintah. Maka dari ini lah Undang-Undang  perkawinan yang bercorak keislaman lahir. 

        Setelah indonesia merdeka kemudian disahkanlah undang-undang perkawinan diantaranya Undang-Undang no 22 tahun 1946 yang mengatur tentang nikah, talak, dan rujuk yang mana pada pasal 1 ayat 1 berbunyi “nikah yang dilakukan oleh umat islam kemudian disebut nikah yang diawasi dan dicatat oleh pegawai pencatatan nikah yang di angkat oleh kementerian agama…”, dari regulasi inilah kemudian berkembang menjadi Undang-Undang No 1 tahun 1974

        Peraturan mengenai pernikahan diatur berdasarkan mandat dari presiden yakni yang menyatakan bahwa setiap pernikahan harus di catatkan dalam catatan sipil, maka dari itu dibuatlah Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang di sahkan pada tanggal 2 januari 1974. Pasal ini lahir dari hasil unifikasi dan pembaharuan hukum. Ide unifikasi hukum dilakukan guna membentuk sebuah regulasi yang mana dapat mengikat semua golongan masyarakat, sedangkan pembaharuan hukum adalah tuntutan pada masa kini yakni keinginan kesamaan derajat antara suami dengan istri dalam hak maupun kewajiban pernikahan. 

        Guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan hukum perkawinan di masa sekarang maka Undang-Undang yang sebelumnya di review ulang, sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang No 16 tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang No 1 tahun 1974 “bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” dalam pasal ini menegaskan begitu pentingnya keterlibatan Negara mengatur suatu pernikahan dengan bentuk peraturan.

B. Kontroversi dan perdebatan Rancangan Undang-Undang Perkawinan 

1. Rancangan Undang-Undang Perkawinan 1/1974

    Rancangan Undang-Undang perkawinan 1973 yang dirumuskan oleh pihak Departemen Kehakiman  terdiri dari bab 15 dan 73 pasal 152. Sebagai telah disebutkan di atas, Rancangan Undang-Undang perkawinan ini  menuai kontroversi bagi umat islam karena di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang bertentangan dengan hukum islam. Ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan hukum islam tersebut, yang paling menonjol adalah: 

a. Sahnya perkawinan (Pasal 2 ayat 1).

    Perkawinan sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatatan nikah oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut undang-undang/ketentuan hukum yang berlaku dan tidak bertentangan. 

b. Larangan kawin

    Hubungan kawin karena anak angkat(Pasal 8(c)) dan larangan kawin untuk ketiga kalinya bagi suami istri yang pernah bercerai dua kali, dan larangan pernikahan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sepersusuan, hubungan anak angkat. 

c. Perbedaan agama bukan merupakan penghalang perkawinan(Pasal 11.)

    Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan bukanmerupakan penghalang perkawinan. 

d. Jangka waktu tunggu bagi janda untuk dapat kawin lagi adalah 360 hari (Pasal 12).

    Jangka waktu tunggu bagi janda untuk dapat kawin lagi adalah 360 hari atau jika ia sedang mengandung jangka  waktu tunggunya adalah 40 hari setelah melahirkan anak. 

e. Pertunangan yang berakibat kehamilan (Pasal 13).

    Bila pertunangan seorang laki-laki dan perempuan berakibat kehamilan, maka pihak pria diharuskan kawin dengan wanita itu jika disetujui oleh pihak wanita. 

f. Anak luar kawin dapat diakui sebagaianak sah (Pasal 49).

    Anak yang dilahirkan diluar perkawinan dapat diakui sebagai anak sah, ketentuan ini diambil dari pasal 280 BW yang jelas tidak dibenarkan oleh hukum islam. Sebab menurut hukum islam, yang disebut anak sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

g. Anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan kedudukan hukum anak kandung(Pasal 62).

    Anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum sama seperti anak yang sah dari suami istri yang mengangkatnya. 

2. Rancangan Undang-Undang Perkawinan 16/2019 

    Dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan 16/2019 masih ada beberapa pasal-pasal yang menjadi perdebatan di kalangan para ahli, berikut beberapa pasal-pasal kontroversi menjadi perdebatan:

a. Batas minimal usia menikah pasal 7 ayat (1)

    Dalam Undang-Undang Perkawinan 1974, ada perbedaan batas minimal usia nikah bagi perempuan 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. kemudian pasal 7 ayat (1) diubah menjadi sama-sama 19 tahun, para ahli berpendapat karena sejalan dengan batas usia anak yang disebutkan dalam Undnag-Undang Perlindungan Anak. 

b. Sahnya perkawinan menurut agama yang dianut, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)

    Pasal 2 (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”. Dari pasal tersebut ada dua isu yang menjadi perdebatan di kalangan ahli, yang pertama mengenai pernikahan beda agama, sebagian ahli berpendapat “bahwa UU Perkawinan tidak mempersulit proses perkawinan termasuk perkawinan beda agama, untuk boleh tidaknya perkawinan itu diserahkan ke pengadilan” namun sebagian ahli menentang pendapat tersebut karena dianggap membolehkan nikah antaragama”. Isu kedua tentang penghayat kepercayaan  Sebagian Ahli berpendapat, bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak boleh menghambat pelaksanaan dan pencatatan perkawinan para penghayat kepercayaan, karena penghayat kepercayaan berkemungkinan mendapat keabsahan dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan.

c. Kepala Keluarga, Pasal 31 ayat (3) 

    Pasal ini mengatakan suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Hal ini oleh para aktivis gender bersifat diskriminatif dan bias gender, karena pada kenyataannya tidak sedikit perempuan yang menjadi kepala keluarga. 

d. Asas Monogami, Pasal 3 ayat (1)

    Undang-Undang perkawinan menganut asas monogami, hal ini ditegaskan dalam pasal 3 ayat (1). tetapi di Undang-Undang tersebut memperbolehkan seorang pria memiliki lebih dari satu istri.

e. Status anak luar kawin, Pasal 43  ayat (1) dan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 

    Rumusan masalah anak luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan pada Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan anak luar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya, membuat perdebatan karena berakibat anak yang lahir dari hasil zina juga dianggap anak sah.

C. Kompromi dan solusi dari perdebatan Rancangan Undang-Undang Perkawinan

        Sebagaimana diketahui dalam Undang-Undang Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, yang merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan agama sebagai dasar untuk melakukan perkawinan. Kedua calon mempelai harus yang seagama atau seiman, kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu menentukan lain. Penjabaran prinsip hukum ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

        Kemudian pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Negara dinilai mencampuradukkan urusan administrasi dan urusan agama. Intinya, pemohon minta agar syarat agama dan kepercayaan dalam pernikahan dapat dikesampingkan, khususnya bagi pasangan yang hendak menikah berbeda agama.

        Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Pasangan yang melangsungkan kawin beda agama ini kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Pernikahan model ini juga berdampak pada aspek hukum lain seperti status anak dan masalah waris.

        Kemudian dalam Undang-Undang Perkawinan juga mengandung prinsip perkawinan terdaftar, di mana tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaan itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu perkawinan bilamana perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu perkawinan menurut atau berdasarkan Undang-UndangPerkawinan. Penjabaran prinsip hukum ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

        Pengaturan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan terdapat kelemahan, karena dijadikan dua ayat, perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan unsur pencatatan perkawinan yang bersifat imperatif (tidak mengandung unsur keharusan).  Kelemahan pengaturan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan ini menimbulkan perbedaan penafsiran eksistensi dan pemaknaan hukum pencatatan perkawinan tersebut. Di satu sisi, Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan ditafsirkan secara alternatif, maka sahnya suatu perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu; sementara pada sisi lain, Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan ditafsirkan secara kumulatif, maka pencatatan perkawinan juga menjadi penentu sahnya suatu perkawinan. 

        Perbedaan penafsiran tersebut di atas menunjukkan bahwa kompromi yang tercapai di tingkat legislatif yang melahirkan Pasal 2 Undang-Undang 1/1974 hanya selesai di tingkat teks, tetapi masih menyimpan masalah dalam konteks. Akibatnya, ketika ketentuan tersebut dijalankan memunculkan ambiguitas praktek hukum perkawinan, khususnya dalam penyelesaian perkara pernikahan pada lembaga peradilan, baik perdata maupun pidana. Hal ini tentu berdampak negatif bagi kepastian hukum dalam masalah perkawinan. 

 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

        Melihat dari kontroversi-kontroversi yang ada dan bahkan menimbulkan perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, baik itu mengenai pencatatan nikah, keabsahan nikah dan lain sebagainya dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang perkawinan sangatlah penting dalam tatanan masyarakat. Oleh karena itu kita selaku masyarakat yang paham akan hukum serta perlu juga mengetahui dari mana asal usul Undang-Undang perkawinan di Indonesia saat ini. Itu semua bertujuan agar kita mengetahui apa saja yang harus kita lakukan, jikalau suatu hari kita menghadapi permasalahan-permasalahan perkawinan seperti yang sudah dituliskan dalam makalah  ini.

            Selain memahami sejarah Undang-undang yang ada saat ini, kita juga harus mengetahui apa saja yang masih menjadi polemik perkawinan di Indonesia, karena pada dasarnya pernikahan adalah kegiatan hukum yang pastinya aka nada akibat hukum yang terjadi. Sehingga kita dapat mengerti prosedur-prosedur hukum yang harus kita patuhi demi mematuhi peraturan-peraturan yang ada, sehingga kita juga mendapatkan perlindungan hukum yang jelas jika suatu saat kita mempunyai masalah khususnya mengenai perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA

Ariefiani Harahap, Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan 

Hormati, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/10/22/penghayat-kepercayaan-bagian-dari-masyarakat-yang-harus-kita-jaga-dan-hormati, diakses tanggal 8 maret 2021

M-22/MYS, Lima Hal Krusial dalam Revisi UU Perkawinan, 

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54efe7a624603/limahal-krusial-dalam-revisi-uu-perkawinan/, diakses pada 5 maret 2021

Masruhan, “Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia Perspektif Maqashid Al-Shariah”, Al-Tahrir, Volume 13, Nomor 2, 2012, Fakultas Syari’ah  Universitas Negri Sunan Ampel, Surabaya 2013.

Moh. Hatta, “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 

11, No. 1, Juni 2008.

Nafi’ Mubarok, “Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, dalam jurnal AL-HUKAM  

The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 02, Nomor 02, IAIN Sunan 

Ampel Surabaya, Desember 2012

Rosa Agustina, “Beberapa Catatan Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia” (Denpasar: 

Pustaka Larasan, 2012).

Super User, Kedudukan Anak Luar Nikah Pasca Putusan MK No. 46/PUU/VII/2010, https://sumut.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mk-nomor-46puu-viii2010, diakses tanggal 8 maret 2021

Taufiqurahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia,(Jakarta:PRENADEMEDIA

GRUP, 2013).

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang perkawinan

Undang-Undang No. 16 tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 

Tentang perkawinan

Lebih baru Lebih lama