MUNASAKHAH DAN TAKHARRUJ

MUNASAKHAH DAN TAKHARRUJ




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

        Seringkali dalam kenyataan di masyarakat, ditemukan kasus seseorang meninggal dunia, tetapi hanya warisannya tidak segera dibagikan kepada para ahli warisnya yang berhak. Tidak berapa lama kemudian, di antara ahli warisnya ada yang menyusul wafat sebelum harta warisan yang wafat pertama tadi dibagikan. Di kemudian hari, diantara para ahli warisan yang wafat pertama maupun ahli waris dari yang wafat belakangan tidak jarang terjadi persilisihan karena masing-masing mengklaim harta warisan.

        Hal yang dapat membawa kepada perpecahan keluarga-bahkan perbuatan kriminal seperti ini seharusnya dapat dihindari atau dicegah. Dalam Islam, pembagian warisan hendaknya disegerakan pelaksanaannya setelah urusan fardhu kifayah  atas mayit selesai.  Penundaan pembagian warisan yang terlalu lama dapat menimbulkan kesulitan untuk menentukan bagian masing-masing ahli waris. Hal ini wajar terjadi karena mungkin terdapat lebih dari seorang diantara ahli waris yang menyusul wafat sebelum harta warisan dari yang wafat pertama sekali dibagikan. Alhamdulillah, meskipun tampaknya sulit, masalah yang digambarkan seperti diatas dapat diselesaikan dalam Islam. Masalah ini dalam ilmu faraidh sering disebut munasakhah.

        Pun dengan takharruj. Takharuj adalah salah satu permasalahan dalam ilmu waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta warisan. Kedua permasalahan ini sudah terjadi sejak masa shahabat Nabi Muhammad SAW. Hal ini timbul menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa yang belum dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha pada masa itu menjelaskan kedua hal tersebut melalui ijtihad. 

        Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang ada diantara ahli waris yang kurang berkenan menerima harta yang ada karena kurang sesuai dengan kebutuhannya, jika hal ini terjadi, maka harus ada penyesuaian, yaitu melalui sistem takharruj. Pada hakikatnya takharruj termasuk kedalam salah satu bentuk penyesuain dalam pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharruj adalah mekanisme pembagian harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu perdamaian diantara seluruh ahli waris dengan mengadakan kesekapatan terhadap bagian yang akan diterima.

        Olehnya itu, pada makalah ini akan dibahas terkait munasakhat, takharruj dan hal-hal yang berkaitan dengannya sebagai ilmu dasar dalam mempelajari Al-Mawaris. Mulai dari pengertian sampai pembagian-pembagiannya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dalam hal kewarisan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian munasakhah dan takharruj?

2. Apa saja macam,  bentuk, dan unsur dari munasakahah dan takharruj?

3. Bagaimana cara melakukan munaskhah dan takharruj?

C. Tujuan 

1. Untuk mengetahui pengertian munasakhah dan takharruj

2. Untuk mengetahui macam bentuk, unsur dari munasakhah dan takharruj

3. Untuk bisa menyelesaikan masalah dengan munasakhah dan takharruj

 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Munasakhah

    Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang' . Makna yang pertama --yakni memindahkan / menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:

هَٰذَا كِتَٰبُنَا يَنطِقُ عَلَيْكُم بِٱلْحَقِّ ۚ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Terjemah Arti: (Allah SWT berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan" (Q.S. Al-Jatsiyah 29)

    Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut: Menurut As-Sayyid Asy-Syarif, munasakhah didefinisikan sebagai ”pemindahan bagian warisan dari sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya karena kematiannya sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan.” Sementara itu, Ibnu Umar Al-Baqry mendefinisikan munasakhah sebagai “kematian seorang sebelum harta dibagi-bagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang mewarisinya menyusul meninggal dunia.” Kedua pengertian munasakhah ini pada dasarnya sama saja karena sudah mengandung unsur-unsur penting dari munasakhah sebagai berikut:

1. Harta warisan belum dibagi kepada ahli waris

2. Adanya kematian sebagian ahli waris

3. Adanya pemindaan bagian harta  warisan dari orang yang mati belakangan kepada ali waris lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi ahli waris terhadap orang yang mati lebih dahulu.

4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah mati kepada ahli warisnya harus dengan jalan warisan 

        Munasakhah adalah memindahkan bagian sebagian ahli waris kepada  orang yang mewarisinya karena kematiannya sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan. Contoh: Pewaris meninggalkan dua orang anak lelaki bernama A dan B. Sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan A meninggal dunia.

        Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid adalah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena emang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya disini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan Al-jami’ah. Al-Munasakhat mempunyai tiga macam keadaan;

        Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali sauadaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya  dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada awalnya.

        Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal dunia, berarti ia meninggalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaann yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggal anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yag disebut oleh kalangan ulama faraid disebut masalah al-jami’ah.

        Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori Al-jama’iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan .

B. Unsur-unsur Munasakhah

1. Harta pusaka si pewaris belum dibagibagikan kepada ahli waris, menurut ketentuan pembagian harta warisan

2. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.

3. Adanya pemindahan bagian harta warisan dari orang yang meninggal kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama.

4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah mati kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai. Sebab kalau pemindahan bagian tersebut karena suatu pembelian atau penghibahan ataupun hadiah, itu adalah diluar pembahasan munasakhah.

        Dengan demikian, terjadilah munasakhah itu ialah karena harta warisan belum dibagi-bagi, kemudian salah satu atau lebih diantara ahli waris meninggal sehingga terjadi pemindahan hak kepada ahli waris yang semestinya ia mahjub hirman. Dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia tidak dikenal munasakhah. Akan tetapi yang dikenal istilah mawali. Mawali yang dimaksud adalah tidak lain yaitu ahli waris pengganti. Dan yang dimaksud ahli waris pengganti ialah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu.

        Sebabnya ialah karena orang yang digantikan itu ialah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia maih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris. Akan tetapi orang yang digantikan tersebut hendaknya merupakan penghubung antara dia yang menggantikan dengan pewaris yang meninggalkan harta warisan. Mereka yang menjadi mawali adalah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mawaris (bentuknya dapat saja semacam wasiat) dengan si pewaris Jadi munasakhah dan mawali dalam kewarisan adalah sama tetapi berbeda dalam penyelesaian kasus kewarisannya, boleh juga dikatakan serupa tetapi tidak sama.

        Dengan mempehatikan ta’rif dan unsur-unsur munasakhah diatas, maka munasakhah itu juga mempunyai bentuk-bentuk. Adapun bentuk-bentuk munasakhah itu ada dua, yakni:

C. Macam-macam Bentuk Munasakhah

        Pada dasarnya, munasakhah mempunyai dua bentuk, yaitu

1. Bentuk pertama: Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang mati belakangan adalah ahli waris juga bagi orang yang mati lebih dahulu.

2. Bentuk kedua: Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang mati belakangan adalah bukan ahli waris bagi orang yang mati lebih dahulu. Yaitu, seandainya tidak terjadi kematian yang kedua, ia tidak dapat mewarisi orang yang mati lebih dahulu .

D. Cara Penyelesaian Munasakhah

1. Untuk Munasakhah Bentuk Pertama

    Penyelesaiannya adalah cukup dilakukan pembagian satu kali saja, yaitu dengan membagi harta warisan orang yang mati lebih dahulu kepada ahli waris yang hidup saja dengan menganggap bahwa orang yang mati belakangan sudah tidak hidup pada saat kematian orang yang mati lebih dahulu, sebagaimana halnya dikumpulkannya harta pribadi orang yang mati belakangan yang bukan diwarisinya dari orang yang mati lebih dahulu dengan jumlah harta peninggalan orang yang mati lebih dahulu.

Contoh kasus:

Seseorang (X) meninggal dunia dengan harta warisan sejumlah Rp 300 juta. Ahli warisnya 2 anak laki-laki (A dan B) dan 2 anak perempuan (C dan D). Sebelum warisan dibagi, A menyusul meninggal dunia sehingga ahli warisnya hanya saudara laki-laki dan perempuannya, yaitu B, C, dan D. Berapakah bagian B, C, dan D?

Penyelesaian:

Karena semua ahli waris dari A juga merupakan ahli waris dari X, maka dalam hal ini, A dianggap tidak ada, atau bukan ahli waris dari X sehingga ahli waris dari X hanya B, C, dan D. Selanjutnya B, C, dan D mewarisi X sebagai ‘ashabah bil-ghair, sehingga uang Rp 300 juta dibagi kepada mereka bertiga dengan perbandingan 2:1:1. Maka bagian masing-masing adalah:

Bagian B = 2/4 x Rp 300 juta = Rp 150 juta

Bagian C = 1/4 x Rp 300 juta = Rp 75 juta

Bagian D = 1/4 x Rp 300 juta = Rp 75 juta

Seandainya A dalam contoh ini memiliki harta peninggalan Rp 100 juta, maka uangnya dikumpulkan dengan uang X sehingga menjadi Rp 400 juta. Kemudian baru dibagi kepada B, C, dan D dengan perbandingan yang sama seperti sebelumnya, yaitu 2:1:1. Maka bagian masing-masing adalah:

Bagian B = 2/4 x Rp 400 juta = Rp 200 juta

Bagian C = 1/4 x Rp 400 juta = Rp 100 juta

Bagian D = 1/4 x Rp 400 juta = Rp 100 juta

2. Untuk Munasakhah Bentuk Kedua:

Penyelesaiannya adalah dengan melakukan dua kali pembagian, yaitu harta peninggalan yang mati lebih dahulu dibagikan kepada para ahli warisnya, termasuk yang mati belakangan, kemudian bagian orang yang mati belakangan dibagikan kepada para ahli warisnya.

Contoh kasus:

Seseorang (X) meninggal dunia dengan harta warisan sejumlah Rp 60 juta. Ahli warisnya seorang anak laki-laki (A) dan seorang anak perempuan (B). Sebelum warisan dibagi, A menyusul meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan (C)

Penyelesaian:

Pembagian I (X meninggal):

Dalam hal ini, A dan B adalah ‘ashabah bil-ghair, sehingga mendapat bagian dengan perbandingan 2:1. Jadi:

Bagian A = 2/3 x Rp 60 juta = Rp 40 juta

Bagian B = 1/3 x Rp 60 juta = Rp 20 juta

Pembagian II (A meninggal):

Dalam hal ini, bagian C adalah 1/2 (karena anak perempuan dari A), sedangkan bagian B (yaitu saudara perempuan dari A) adalah sisa (sebagai ‘ashabah ma’al-ghair):

Bagian C = 1/2 x Rp 40 juta = Rp 20 juta

Bagian B = sisa (umg) = Rp 20 juta

Kesimpulan:

Bagian B = Rp 20 juta + Rp 2 juta = Rp 40 juta

Bagian C = Rp 20 juta

E. Pengertian Takharruj

        Takharuj adalah salah satu permasalahan dalam ilmu waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta warisan. Permasalahan ini sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi Muhammad. Hal ini timbul dan menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa yang belum dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha’ pada masa itu menjelaskan kedua hal tersebut melalui ijtihad

        Takharuj berasal dari kata (خرج-يخرج-خروجا ) kharaja, yakhruju, khuruujan dengan makna keluar, dengan timbangan tafa’ul (تفاعل), yaitu (تخارج- يتخارج – تخارجا) takharaja, yatakharju, takharujan dengan makna saling keluar. Artinya ahli waris keluar dari kedudukannya sebagai ahli waris. 

        Takharruj dapat didefinisikan sebagai persetujuan seorang ahli waris untuk keluar dari pembagian harta warisan sehingga ia tidak mengambil sedikitpun dari harta warisan atau yang lain. Takharruj juga dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang atau beberapa orang ahli waris dalam menerima sebagian pusaka dengan cara memberikan suatu prestasi.

Menurut Syara’ pengunduran diri semacam ini diperkenankan. Sebagaimana diperbolehkannya seorang ahli waris menggugurkan hak warisnya dan memberikan seluruh bagiannya kepada ahli waris lain, kemudia ia dinyatakan sebagai orang yang menggugurkan hak warisnya. Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf mempunyai 4 istri. Tatkala ia wafat, salah seorang istrinya yaitu Thumadhir binti al-Asbagh bersedia menggugurkan ¼ kewarisannya dari 1/8 harta warisan yang nilainya sebesar 100.000 dirham.

        Wahbah az-Zuhaili mendefenisikan takharuj sebagai berikut :

اتفاق الورثة باخراج بعضهم من الميراث ببدل شئ من التركة او غيرها

Artinya : Kesepakatan ahli waris mengeluarkan sebagian dari mereka dari harta warisan, dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya.

Abu Zahrah mengartikan takharuj sebagai berikut :

التخارج هو ان يتصالح بعض الورثة علي قدر معلوم في نظير ان يترك حصته فيها, سواء أكان التصالح مع الورثة  مجتمعين أم مع بعضهم


Artinya : Takharuj adalah perdamaian sebagian ahli waris terhadap sejumlah harta tertentu, dengan melepaskan bagiannya di dalam harta tersebut, yang dilakukan oleh keseluruhan ahli waris atau sebagian ahli waris saja.

    Jadi, takharuj adalah suatu perjanjian damai antar para ahli waris atas keluarnya  atau mundurnya salah seorang ahli waris atau sebagaian ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain.

        Pembagian harta warisan dalam bentuk Takharuj tidak dijumpai dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.  Dasar hukumnya merupakan hasil ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan . Atsar tersebut berasal dari Ibnu Abbas yang berbunyi sebagai berikut:

ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﻴﻮﺴﻒ ﻋﻤﻦ ﺤﺪﺜﻪ ﻋﻤﺮﻮﺒﻦ ﺪﻴﻨﺎﺮ ﻋﻦ ﺍﺒﻦﻋﺒﺎﺲ : ﺃﻦﺍﺤﺪﻲ ﻨﺴﺎﺀ ﻋﺒﺪ ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺒﻦ ﻋﻮﻒ ﺼﻠﺤﻮﻫﺎﻋﻠﻰ ﺜﻼﺜﺔ ﻮﺜﻤﺎﻨﻴﻦ ﺃﻠﻔﺎ ﻋﻠﻰﺃﺨﺮﺠﻮﻫﺎ ﻤﻦ ﻤﻴﺮﺍﺚ.

Artinya: “Dari Abi Yusuf dari seseorang yang menceritakan kepadanya, dari Amru bin Dinar dari ibnu Abbas:  Salah  seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf  diajak untuk berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan.”

        Dari atsar sahabat tersebut, dipahami bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan perinsip musyawarah dan damai dilakukan oleh para janda dan anak Abdurrahman bin ’Auf dengan cara salah seorang jandanya menyatakan keluar dari haknya untuk menerima harta warisan suaminya, namun dengan imbalan pembayaran uang sejumlah delapan puluh tiga ribu dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh tiga ribu dirham.

        Selain atsar sabahat, dasar hukum al-takharruj adalah analogi terhadap setiap terjadi muamalah jual beli dan tukar menukar atas dasar kerelaan masing-masing, sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan kesepakatan,  perjanjian pembagian harta warisan dengan metode takharruj hukumnya boleh.

        Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 183 menyebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah amsing-masing menyadari bagiannya . Pasal tersebut menjadi acuan dalam pembagian warisan secara damai dengan mengedepankan kerelaan bersama, walaupun pasal ini mengakibatkan pembagian warisan yang berbeda dari petunjuk pembagian warisan yang telah ditentukan dalam Bab III Kompilasi Hukum Islam namun hal ini tetap dibenarkan demi tercapainya kemaslahatan diantara para ahli waris.

F. Bentuk-Bentuk Takharuj Dan Cara Pembagiannya

        Dalam hal waris mewarisi, Al- Takharuj mempunyai 3 bentuk, sebagai berikut: 

1. Perjanjian dua pihak. Pembagian harta warisan dalam bentuk ini adalah   terdapat dua pihak, pihak pertama adalah ahli waris yang menyatakan diri keluar dari hak untuk menerima warisan dan menyerahkan bagian warisannya kepada pihak kedua atau ahli waris lain. Selanjutnya pihak kedua (ahli waris lain) menyerahkan sesuatu sebagai tebusan atas harta warisan yang telah diserahkan kepada ahli waris pihak pertama.

2. Perjanjian jual beli.  Takharuj dalam bentuk ini adalah seakan-akan terjadi trasanki jual beli.  Pihak ahli waris pertama yang telah menyerahkan bagian harta warisannya kepada pihak ahli waris kedua menerima pembelian atau harta  yang diberikan oleh pihak ahli waris yang kedua.

3. Perjanjian tukar menukar.  Al-takharuj  juga dapat berbentuk tukar menukar barang harta warisan atau barter.  Dalam bentuk ini, pihak yang  telah menyatakan keluar atau mundur dari menerima harta warisan pewaris menerima tebusan  atau barter sebagai alat penukar dari harta warisan yang seharusnya menjadi bagiannya.  Tebusan atau barter itu diberikan oleh ahli waris lain yang tidak mengundurkan diri.

        Dalam prakteknya, penyesuaian secara takharruj dapat dikategorikan kepada tiga bentuk berdasarkan kesepakatan ahli waris yaitu:

a. Kesepakatan dua orang di anatara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari menerima harta dengan imbalan tertentu yang diberikan oleh ahli waris lain dari hartanya sendiri.

b. Kesepakatan ahli waris atas keluarnya salah seorang dari menerima harta warisan dengan imbalan yang dipikul bersama dari harta mereka di luar hak yang akan mereka terima dari harta warisan.

c. Kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang menerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta itu sendiri. 

G. Cara Penyelesaian Munasakhah

Contoh 1: Serang ahli waris mentakharuj seorang ahli waris lainnya.

    Pewaris meninggalkan ibu, anak perempuan, ayah, dan saudara lelaki kandung. Ibu mengundurkan diri dari menerima harta warisan sebagai suatu tegenprestasi (prestasi: kewajiban berdasarkan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang yang berhutang) atas sejumlah uang yang diberikan oleh anak perempuan pewaris kepadanya. 

Penyelesaian:

1. Sebelum takharuj: 

Ibu = 1/6;

Anak perempuan = 1/2;

Ayah = 1/6 + sisa (usbah) 1/6 = 1/3;

Saudara lelaki = 0 terhijab ayah.

2. Setelah tahkaruj:

Anak perempuan = ½ + 1/6 (TAKHARUJ IBU);

Ayah = 1/6 + usbah (1/6) = 1/3;

Saudara lelaki = dihijab ayah = 0

Contoh 2: Beberapa ahli waris mentakharuj / mengundurkan seorang ahli waris.

    Pewaris meninggalkan suami (A), ibu (B), saudara lelaki sekandung (C). A diundurkan (mutakharaj) oleh B dan C dengan prestasi mahar yang terhutang kepada pewaris belum dibayar A (suami kepada Pewaris, isteri A).

Penyelesaian:

1. Sebelum takharuj:

A (suami) = 1/2;

B (ibu) = 1/3 = 2/6;

C (saudara lelaki sekandung) = sisa = 1/6.

2. Setelah takharuj:

Perolehan B dan C seimbang dengan penerimaannya sebagai ahli waris sebelum takharuj, B (ibu) : C (saudara lelaki) = 2/6 : 1/6 atau 2 : 1

B (Ibu) = 2/3 x 1/2 (takharuj suami) = 1/3. Jadi ibu (B) = 1/3 + 1/3 (takharuj suami) = 2/3;

C (saudara lelaki) = 1/3 x 1/2 (takharuj suami) = 1/6 Jadi C = 1/6 + 1/6 = 1/3

Contoh 3: Takharruj sama.

    Pewaris meninggalkan anak perempuan (A), ibu (B), 2 saudara lelaki kandung (C dan D). Para ahli waris (B, C,D) mentakharuj dengan anak perempuan (A) dengan masing-masing membayar sejumlah uang yang sama diberikan kepada A.

Penyelesaian

1. Sebelum takharuj:

A = 1/2;

B = 1/6;

C dan D = sisa = 2/6, C = 1/6; D = 1/6

2. Setelah takharuj:

B (ibu) = 1/6 + 1/6 (1/3 x 1/2 (bagian anak perempuan) = 1/6) = 2/6 (1/3);

C (saudara lelaki sekandung) = 1/6 + 1/6 (1/3 x 1/2 (bagian anak perempuan) = 1/6) = 1/3;

D (saudara lelaki sekandung) = 1/6 + 1/6 (1/3 x ½ (bagian anak perempuan) = 1/6) = 1/3.

 

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

        Munasakhah adalah memindahkan bagian sebagian ahli waris kepada  orang yang mewarisinya karena kematiannya sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan. Adapun Unsur-unsur penting dari munasakhah adalah: Harta warisan belum dibagi kepada ahli waris, Adanya kematian sebagian ahli waris, Adanya pemindaan bagian harta warisan dari orang yang mati belakangan kepada ali waris lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi ahli waris terhadap orang yang mati lebih dahulu, dan Pemindahan bagian ahli waris yang telah mati kepada ahli warisnya harus dengan jalan warisan. Munasakhah mempunyai dua bentuk, yaitu: bentuk pertama, Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang mati belakangan adalah ahli waris juga bagi orang yang mati lebih dahulu. Bentuk kedua, Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang mati belakangan adalah bukan ahli waris bagi orang yang mati lebih dahulu. 

        Takharuj merupakan perjanjian antara para ahli waris, ahli waris yang menyatakan diri keluar, mendapat imbalan atau pembayaran dari ahli waris lain.  Beberapa bentuk dari takharruj ialah perjanjian dua pihak, perjanjian jual beli dan perjanjian tukar menukar. Jika dilihat dari segi waktu pembagiannya, maka bentuk takharruj ada dua yakni sebelum pembagian warisan dan sesudah pembagian warisan. Dalam prakteknya, takharruj dapat dilakukan setelah pembagian harta warisan. Takharruj juga diberlakukan sebelum harta warisan dibagi. Cara ini berarti bahwa kesepakatan semua ahli waris adalah di luar cara yang ditentukan oleh syara’.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Beni. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Kitab. Kompilasi Hukum Islam cet 1. Graha Media press

M, Hajar. 2014. Polemik Hukum Waris. Pekanbaru: Suska Press

Rukiah. 2014. “Sistem Munasakhah Dalam Kewarisan”. Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 12 No. 2

Rahman, Fatchur. 1981. Ilmu Waris Cet II. Bandung: PT. Al-Ma’arif

Sudirman, Muh. 2016. “Munasakhah Dalam Sistem Kewarisan Islam”  Jurnal Supremasi, Vol. 11 No. 2

Wulandari, Triya. 2014. Skripsi Pelaksanaan Pembagian Warisan Secara Damai Dalam Bentuk Takharuj Di Pengadilan Agama Makassar. Makasar: Universitas Hasanuddin

Lebih baru Lebih lama