TAFSIR AYAT ETIKA PERADILAN

 TAFSIR AYAT ETIKA PERADILAN



A.    Etika Peradilan

1.      Berlaku Adil Dalam Menjatuhi Hukuman

Tafsir annisa ayat 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat amanat kepada pemiliknya dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”.

Setelah ayat-ayat yang lalu berakhir dengan penjelasan tentang kesudahan masing-masing kelompok mukmin dan kafir kini Alquran menjelaskan suatu ketetapan hukum ini karena jiwa manusia sangat benci siksaan dan sangat mendambakan kenikmatan.

Diharapkan dengan penjelasan tentang nikmat dan Siksa di atas akan tertanam dorongan dalam jiwa manusia untuk meraih kenikmatan dan menghindar dari siksa dengan melaksanakan tuntunan yang datang sesudahnya. Ini merupakan kebiasaan yang banyak sekali ditemukan dalam AlQuran, sebagaimana halnya yang terlihat di sini memang ketika tujuan dampak atau akibat suatu perintah tercermin dalam benak dan tertanam di dalam jiwa maka perintah itu betapa pun beratnya akan dengan mudah dilaksanakan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyampaikan perintah dan larangannya tidak sekaligus tidak juga berdiri sendiri agar akal manusia tidak dipenuhi aneka informasi dan perintah pada saat yang sama maka setiap perintah dikaitkan dengan sesuatu yang dihujam ke dalam lubuk hati bila telah mantap dan ditampung di dalam benak dan hati datang lagi perintah dan larangan baru dengan cara seperti di atas dan ini pada gilirannya terhujam pula kedalam hati dan benak.

Mengingat ayat ini kita dapat berkata bahwa setelah menjelaskan keburukan sementara orang Yahudi, seperti tidak menunaikan amanah yang Allah percayakan kepada mereka yakni amanah mengembalikan dan tidak menyembunyikan isinya, kini Alquran kembali menuntun kaum muslimin mengikuti jejak mereka. Kali ini sangat sangat ditekankan karena ayat ini langsung menyebut asma Allah sebagai yang memerintahkan sebagaimana terbaca dalam FirmanNya di atas Sesungguhnya Allah yang Maha Agung yang wajib wajahnya serta kamu menunaikan amanat-amanat secara sempurna dan tepat waktu kepada pemiliknya yakni yang berhak baik amanat Allah kepada kamu maupun amanat manusia, Betapapun banyaknya yang bertanya kepada kamu dan Allah nyuruh kamu apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, baik yang berselisih dengan manusia lain maupun tanpa perselisihan, maka kamu harus menetapkan perkara dengan adil sampai dengan apa yang diajarkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, pihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi yang melanggar, tidak pula menganiaya kalau lawanmu pula memihak kepada temanmu. Sesungguhnya Allah dengan memerintahkan dan menetapkan hukum dengan adil, telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Karena itu berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan ketahuilah bahwa dia yang memerintahkan kedua hal ini mengenai kamu. Dan Sesungguhnya Allah sejak dulu hingga kini Maha mendengar apa yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain maupun dengan hati kecilmu sendiri, lagi Maha melihat sikap dan tingkah laku kita.

Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan Bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanat adalah lawan dari khianat, Iya tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikan-nya itu.

Agama mengajarkan bahwa Amanat atau Kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi SAW, " tidak ada Iman bagi yang tidak memiliki amanah" selanjutnya,  amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan.

(إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ)" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat amanat", yakni hak-hak yang dipercayakan kepadamu (إِلَىٰ أَهْلِهَا) "kepada yang berhak menerimanya". Ayat ini turun ketika Ali radhiallahu'anhu mengambil kunci Ka'bah dari Utsman bin tahlah penakluk kota Makkah,  Tetapi dia menolaknya dan berkata : " Seandainya aku tahu dia adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, aku tidak akan menolaknya. " Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan agar kunci itu dikembalikan kepadanya dan bersabda : "Ambilah untuk selamanya dan seterusnya." lalu dia merasa takjub akan hal itu. Lantas Ali membacakan kepadanya dan dia langsung masuk Islam. Dan ketika meninggal dunia, Dia memberikan kunci itu kepada adiknya, syaibah, kemudian terus dipegang oleh anaknya. Kendati ayat ini turun karena sebab yang khusus, tetapi keumumannya bisa dijadikan sebagai pegangan, dengan qarinah.

(وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاس)" dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia" Allah menyuruh mu (أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا) "agar kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah dengan sebaik-baiknya" di situ huruf mim pada (نِعِمَّا) di idgham kan atau dimasukkan ke dalam (ما) yang berstatus nakiroh maushufah (kata benda tak tertentu yang di beri sifat), yakni (يَعِظُكُمْ) "sebaik-baik sesuatu".

 " yang dijadikan pelajaran bagi mu" Ialah menyampaikan amanat dan menetapkan hukum dengan adil.

(ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا)" Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar" Apa yang diucapkan ()" maha melihat" apa yang di bicarakan.

Tafsir annisa ayat 135

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak-penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.[1]

Asbabul Nuzul

            Dikemukakan oleh Ibnu Hatim yang bersumber dari As-Suddi, As-Suddi berkata: “Ketika ayat ini diturunkan mengenai Nabi saw. yang menerima pengaduan dua orang laki-laki uyang bersengketa,yang satu kaya yang satu lagi fakir. Nabi saw. dipihak yang fakir, karena menurut pandangan beliau saw. bahwa orang fakir tidak akan berbuat dlalim kepada yang kaya. Maka, Allah tidak membenarkan perlakuan Nabi saw. itu dan menyuruh untuk menegakkan keadilan diantara kedua belah pihak, kaya dan fakir.[2]

            Setelah mengemukakan nasehat dan peringatan diatas, dikemukakanNya dalam ayat ini, natijah dari segala bimbingan sebelum ini terhadap semua ummat beriman, yaitu: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya,menjadi saksi-saksi karena Allah,yakni selalu merasakan kehadiran Ilahi, memperhitungkan segala langkah kamu dan menjadikan demi karena Allah, biarpun keadilan yang kamu tegakkan itu terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu, masalnya terhadap anak atau saudara dan paman kamu sendiri, Jika ia, yakni pribadi yang disaksikan itu kaya, sehingga boleh jadi kamu harapkan bantuannya atau dia disegani san ditakuti,ataupun miskin yang biasanya dikasihi, sehingga menjadikan kamu bertindak tidak adil guna,memberinya manfaat atau menolak mudharat yang dapat jatuh atas mereka,maka sekali-kali jangan jadikan kondisi itu asalan untuk tidak menegakkan keadilan, karena Allah lebih utama dan lebih tahu kemaslahatan mereka, sehingga tegakkanlah keadilan demi karena Allah. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu menutar balikkan kata-kata dengan mengurangi kesaksian, atau menyampaikannya secara palsu atau berpaling, enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah sesantiasa Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan yang sekecil-kecilnnya sekalipun.[3]

            Firman-Nya (كونواقوامين بالقسط) jadilah penegak-penegak keadilan, merupakan redaksi yang sangat kuat. Perintah berlaku adil dikemukakan dengan menyatakan: (إعدلوا)  berlaku adillah. Lebih tegas dari ini adalah (كونوامقسطين) Jadilah orang-orang adil. Dan lebih tegas dari ini adalah (كونواقائمين بالقسط) jadilah penegak-penega keadilan, dan puncaknya adalah keadilan sempurna lagi sebenar-benarnya. Yakni, hendaklah secara sempurna dan penuh perhatian kamu jadikan penegakan keadilan menjadi sifat yang melekat pada diri kamudan kamu laksanakan dengan penuh ketelitian.sehingga tercermin seluruh aktivitas lahir dan batinm. Jangan sampai ada sesuatu yang bersumber darimu mengeruhkan keadilan itu.

            Firma-Nya (شهداءالله) menjadi saksi-saksi karena Allah mengisyaratkan juga bahwa persaksian yang ditunaikan itu hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejlan dengan nilai-nilai Illahi.

            Didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah, karena tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan ma’ruf yang diperintahkannya itu, ayat ini memerintahkan mereka, bahkan semua orang, untuk melaksanakan keadilan baru dirinya menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. Disisi lain, penegakan keadilan serta kesaksian dapat menjadi dasar untuk menampilkan mudharat yang dapat dijatuhkan. Bila demikian halnya, maka menjadi wajar penegakan keadilan disebut terlebih dahulu, karena keadilan diutamankan karena menolak kemadharatan atas diri sendiri melalui penegakan keadilan lebih diutamakan daripada menolak madharat atas orang lain atau karena penegkan keadilan memerlukan aneka kegiatan yang berbentuk fisik, sedang kesaksian hanya berupa ucapan yang disampaikan, dan tentu saja kegiatan fisik lebih berarti daripada sekedar ucapan. Demikian, Fakhruddin ar-Razi menjelaskan rahasia didahulukan-nya perintah menegakkan keadilan atau kesaksian.[4]

            Ibnu Jarir Ath-Thabari mengemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang dialami Nabil saw. ketika dua orang- satu kaya dan yang lainnya miskin- dimana hati Nabi saw. cenderung membela si miskin karena iba kepadanya akibat kemiskinannya. Allah meluruskan kecenderungan tersebut melalui ayat ini. Firman-Nya  (فلاتتبعوا الهوى أن تعدلوا)  yang diterjemahkan di atas dengan  janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dapat juag berarti janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena enggan berlaku adil.

Kata (خبير), digunakan untuk siapa yang mendalami sesuatu masalah. Seorang pakar dalam bidangnya dinamai khabir, karena itu pula kata yang biasa digunakan untuk menunjuk pengetahuan yang mendalam dan sangat rinci menyangkut hal-ha yang tersembunyi. Allah swt. menyandang nama khabir. Menurut Imam Ghazali, Al-Khabir adalah yang tidak tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang sangat dalam dan disembunyikan, serta tidak terjadi sesuatupun dalam kerajaan-Nya dibumi maupun sialam raya, kecuali diketahui-Nya tidak bergerak satu zarrah atau diam, tidak bergejolak jiwa, tidak juga tenang, kecuali ada beritanya disisi-Nya.[5]

Surah Al-An’am  Ayat 152

وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِٱلَّتِى هِىَ اَحْسَنُ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَنُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإذَا قُلْتُمْ فَٱعْدِلُواْ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ وَبِعَهْدِ اللهِ أَوْفُواْ ذَا لِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿۱۵۲﴾

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik, sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidan membebani seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Dan apabila kamu berkata, hendaklah kamu berlaku adil, kendati ia memilika hubungan kekerabatan, dan penuhilah janji Allah. Itulah yang Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil peringatan.” (QS. 6: 152)

وَلاَ تضقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِٱلَّتِي ﴾ ﴿ “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara” dengan sikap ﴿ هِيَ أَحْسَنُ ﴾ “Yang lebih baik”, maksudnya yang lebih menjamin keselamatannya ﴿ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ﴾ “Sampaai ia dewasa.” Yakni sampai ia mencapai akil baligh. ﴿ وَأَوْ فُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.” Yakni secara fair dan tidak curang.

            ﴿ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْ‘َهَا ﴾ “Kami tidak membebai seseorang melainkan sebatas kemampuan.” Yakni sesuai dengan kesanggupannya dalam hal itu. Maka jika ia keliru di dalam menakar atau menimbang –dan Allah Maha Mengetahui niatnya didalam hati- ia tidak akan dihukum, sebagaimana diterangkan di dalam hadits

            ﴿ وَإِذَا قُلْتُمْ ﴾ “Dan apabila kamu berkata” dalam konteks hukum atau lainnya ﴿ فَاعْدِلُوا ﴾ “hendaklah kamu berlaku adil” dengan bersikap jujur ﴿ وَلَو كَانَ ﴾ “Kendati ia” yakni orang yang menjadi obyek hukum itu ﴿ ذَاقُرْبَى ﴾ “Memiliki hubungan kekerabatan” yakni kerabat dekat.

            ﴿ وَبِعَهْدِ اللهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴾ “Dan penuhilah janji Allah. Itulah yang Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengambil peringatan.” Dibaca dengan tasydid dan tanpa tasydid yang berarti mengambil pelajaran.[6]

            Ayat ini menjelaskan larangan yang berkaitan dengan harta, karena harta adalah sesuatu yang nilainya sesudah nilai nyawa. Larangan menyangkut harta dimulai dengan larangan mendekati harta kaum lemah, yakni anak-anak yatim. Ini sangat wajar karena mereka tidak dapat melindungi diri dari penganiayaan akibat kelemahannya. Dan karena itu pula, larangan ini tidak sekedar melarang memakan/menggunakan, tetapi juga mendekati. Ayat ini mmenyatakan dan janganlah kamu dekati apalagi menggunakan secara tidak sah harta anak yatim, kecuali dengan cara yang terbaik, sehingga dapat menjamin keberadaan, bahkan pengembangan harta itu, dan hendaklah pemeliharaan secara baik itu berlanjut hingga ia yakni anak yatim itu mencapai kedewasaannya dan menerima dari kamu harta mereka untuk mereka kelola sendiri. Tentu saja mengelola harta termasuk menyerahkan harta anak yatim memerlukan tolak ukur, timbangan dan takaran, maka ayat ini menyebut larangan yang selanjutnya, yakni sempurnakanlah takaran dan timbangan bil qish yakni dengan adil, sehingga kedua pihak yang menimbang dan ditimbangkan untuknya merasa senang, dan tidak dirugikan. Larangan selanjutnya menyangkut ucapan karena ucapan berkaitan dengan penetapan hukum termasuk dalam menyampaikan hasil ukuran dan timbangan. Lebih-lebih lagi karena manusia seringkali bersifat egois dan memihak kepada keluarganya. Untuk itu dinyatakannya bahwa; dan apabila kamu berucap,dalam menetapkan hukum, atau persaksian, atau menyampaikan berita, maka janganlah kamu curang atau berbohong. Berlaku adillah tanpa mempertimbangkan hubungan kedekatan atau kekerabatan, kendatipun dia yang menerima dampak ucapanmu yang baik atau yang buruk adalah kerabatmu sendiri dan wasiat selanjutnya, mencakup ucapan dan perbuatan yaitu jangan melanggar janji yang kamu ikat dengan dirimu, orang lain atau dengan Allah. Penuhilah janji Allah itu karena kesemuannya disaksikan oleh-Nya, dan yang demikian itu diwasiatkan kepada kamu agar kamu terus menerus ingat, bahwa itulah yang terbaik untuk kamu semua.

            Ayat ini menggunakan bentuk perintah-bukan larangan menyangkut takaran dan timbangan. Ini menurut Thahir ibn Asyur untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurrna timbangan dan takaran, sebagaimana dipahami dari kata  أوفوا yang berarti sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat-alat ukur masih sangat sederhana. Kurma dan anggur pun mereka ukur bukan dengan timbangan tetapi takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbang. Perintah menyempurnakan ini juga mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan ahti dan kedermawanan yang merupakan salah satu yang mereka akui dan banggakan sebagai sifat terpuji. Seakan-akan ayat ini tulis Ibn Asyur mengatakan pada mereka: “dimanakah kedermawananan kalian yang kalian berlomba untuk menampakkannya. Bukankah sebaiknya sifat terpuji itu kalian menampakkan pada saat menakar dan menimbang, sehingga kalian melebihkannya dari sekedar berlaku adil, bukan justru mengurangi dan mencurinya.

            Kata القسط  Alqisth mengandung makna rasa senang kedua pihak yng bertransaksi, karena itu ia bukan sekedar berarti adil, apalagi jika ada keadilan yang tidak dapat menyenangkan salah satu pihak. Yang menganiaya tidak akan senang menerima , walau sanksi yang adil. Qisth adalah adil, tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak senang dan rela. Timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua pihak, karena itu ayat di atas disamping memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan, juga memerintahkan penyempurnaan itu bil qisth, bukan sekedar bil’adl/ dengan adil. Memang diatas penulis menerjemahkan kata al-qisth, sebagaimana sekian banyak terjemahan dengan adil. Ini karena sangat sulit bagi penulis menemukan padanan kita yang tepat untuk kata qisth itu dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing.

            Perintah-Nya selanjutnya yang berbunyi: Dan apabila kamu berucap, maka berlaku adillah. Ucapan, terdiri dari tiga kemungkina; pertama; benar, dan ini bisa saja bermakna positif atau negatif, serius atau canda; kedua, salah dan ini ada yang disengaja (bohong) ada juga yang tidak disengaja (keliru); dan ketiga, omong kosong. Ini ada yang dimengerti tetapi tidak berfaedah dan ada juga yang tidak dimengerti sama sekali. Nah, perintah berucap disini menyangkut ketiga jenis ucapan itu dengan rincian sebagai berikut, ucapan bohong dan omong kosong tidak dibenarkan sama sekali untuk diucapkan, berbohong di samping merugikan orang lain juga merugikan pengucap sehingga terlarang. Omong kosong adalah yang tidak dimengerti atau dimengerti tapi tidak berfaedah. Adapun yang benar tetapi tidak adil, yakni bukan pada tempatnya, maka ucapan semacam ini tidak dibenarkan. Bukankah Rasul saw, mencegah siapapun menegur seseorang yang berbicara ketika khatib menyampaikan khotbah jum’at, padahal kandungan teguran itu adalah benar? Ini dicegah, bukan karena ia tidak benar, tetapi karena ia diucapkan secara tidak adil yakni bukan pada tempatnya, Rasul saw, bersabda: “Apabila engkau berkata kepada temanmu pada hari jumat saat khatib berkhotbah: Diamlah! maka engkau telah melakukan sesuatu yang mestinya tidak engkau lakukan, dan siapa yang melakukan hal demikian maka tiada (pahala) Jumat baginya.” (HR. Bukhari Muslim dan lain-lain melalui Abu Hurairah)

            Penggalan ayat yang menyangkut ucapan ini menggunakan juga bentuk redaksi perintah bukan larangan, padahal yang dijanjikan pada ayat yang laluadalah yang diharamkan Allah swt., yakni yang dilarang oleh-Nya. Ini untuk mengisyaratkan bahwa yang disukai Allah adalah menampakkan sesuatu yang hak, tetapi dalam saat yang sama ia adil, dan bahwa sebaiknya seseorang tidak berdiam diri dalam menghadapi kebenaran. Seandainya ayat ini menyatakan jangan berbohong, maka perintah tersebut telah dinilai terlaksana walau yang bersangkutan diam tidak berbicara, padahal diam menyangkut kebenaran baru dianjurkan bila dampak negatif pembicaraan lebih besar dari pada dampak diam.

            Ayat ini ditutup dengan wasiat selanjutnya, yaitu perintah memenuhi عهد الله ‘ahda Allah/ perjanjian Allah. Rangkaian kedua kata ini dapat berarti apa yang ditetapka oleh Allah atas kamu menyangkut perjanjian, yang dalam hal ini adalah syariat agama; bisa juga dalam arti apa yang kamu telah janjikan kepada Allah untuk melakukannya dan yang telah kamu akui, atau bisa jadi juga ia berarti perjanjian yang Allah perintahkan untuk dipelihara dan dipenuhi. Kesemua makna ini benar lagi diperintahkan Allah swt., dan juga dapat ditampung oleh redaksi tersebut. Bahwa ia dinamai perjanjian Allah, karena perjanjian itu disaksikan oleh Allah lagi biasanya disepakati atas nama Allah swt.

            Dapat disimpulkan bahwa ayat ini mengandung tuntunan tentang sistem pergaulan antar sesama yang berintikan penyerahan hak-hak kaum lemah dan tentu saja kalau hak-hak kaum lemah telah mereka peroleh, otomatis hak-hak yang kuat akan diperolehnya pula.[7]

Ayat 21-22

”Dan adakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar mihrab? Ketika mereka masuk  menemui Daud, maka mereka ia takut kepada mereka. Mereka berkata : “Janganlah takut; (kami adalah) dua pihak, yang sedang pihak berperkara,  yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah putusan antara kami dengan haq dan janganlah engkau pergi terlalu jauh serta tunjukilah kami ke jalan tengah.”

     Ayat yang lalu diakhiri dengan mengemukakan anugerah Allah kepada Nabi Daud as. Menyangkut kemampuan memutuskan perkara. Kelompok ayat-ayat ini menguraikan kemampuan itu, dan beliau peroleh setelah pengalaman sangat berharga yang diajarkan Allah, kepadanya melalui satu ujian yang diuraikan oleh kelompok-kelompok ayat ini.

     Ayat-ayat di atas menyatakan: Dan adakah telah sampai kepadamu hai Nabi Muhammad berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar mihrab tempat beribadah Nabi itu, dan bukan dari pintu masuk biasa? Ketika mereka masuk menemui Daud, maka ia terkejut dan takut kepada mereka kedatangan mereka tanpa berita dan tidak melalui pintu biasa.

      Kata tasawwaru terambil dari kata sur yaitu pagar, kata tasawwaru berarti mereka memanjat pagar. Kata al-mihrab tempat melempar berasal dari kata hirab semacam (lembing). Dari sini kata tersebut diartikan benteng. Kata ini berkembang maknanya sehingga dipahami juga dalam arti tempat sholat. Dalam perkembangan lebih jauh kota mihrab digunakan dalam arti tempat berdirinya imam guna memimpin sholat, tetapi bukan makna ini yang dimaksud oleh ayat di atas.[8]

     Kata khashman adalah bentuk dual dari kata khashm dengan kata tasawwaru, berbentuk jamak. Boleh jadi yang dimaksud dengan khashman  adalah dua kelompok yang masing-masing terdiri dari dua orang atau lebih, sehingga dua kelompok itu berjumlah dari tiga orang dan karena itu kata tasawwaru menggunakan bentuk jamak. Dapat juga dikatakan bahwa mereka memang hanya berdua, tetapi di sini digunakan bentuk jamak, karena bahasa Arab sering menggunakan bentuk jamak walau hanya menunjuk dua sosok jika bentuk dualnya berat di ucapkan pada firman-Nya: fa qad shaghat qulubukuma (QS. At-tahrim (66):4), di sini kata qulub  berbentuk jamak, walau secara tegas ditunjukan kepada dua orang yakni dengan kata kuma.

     Thabathaba’i  membedakan antara dua macam takut. Takut yang mengakibatkan keguncangan jiwa yang biasa dilukiskan dengan kata khasyyah, takut semacam ini merupakan sifat buruk dan tercela, kecuali khasyyah kepada Allah. Karena itu, para Nabi tidak pernah memiliki rasa khasyyah kecuali terhadap-Nya. Itulah yang dimaksud dengan oleh kata khasyyah.

     Kata tusytbith yang terambil dari kata syathath yang pada mulanya berarti terlalu jauh, baik berkaitan tempat maupun dalam putusan. 

       Surat Shaad ayat 22

إِنَّ هَٰذَآ أَخِى لَهُۥ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِىَ نَعْجَةٌ وَٰحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِى فِى ٱلْخِطَابِ

ketika mereka menemui Daud lalu dia terkejut dari merek, mereka berkata: jangan takut (kami) adalah dua orang yang berseteru; salah satu dari kami berbuat semena-mena kepada yang lain. Maka berilah kami keputusan dengan benar, dan jangan menyimpang. Dan berilah kami petunjuk yang lurus.” (QS.38;22)

إِذْ دَخَلُوا عَلَىٰ دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ ۖقَالُوا لَا تَخَفْ) “ ketika mereka menemui Daud lalu dia terkejut karena mereka, mereka berkata: “jangan takut.” Kata khashman “dua orang berseteru” ada yang berpendapat dua orang yang berseteru supaya cocok dengan dhamir jamak, dan ada yang berpendapat dua orang yang berperkara, sedang dhamir di sini bermakna huma dan kata khashm  digunakan untuk satu orang atau lebih.

 Ayat 23

sesungguhnya ini adalah saudaraku. Dia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku punya satu ekor kambing saja. Lalu dia berkata: ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku, Dan dia berhasil mengalahkan aku dalam perdebatan itu.” (QS.38;23)

(Tulisan arab) “sesungguhnya ia adalah saudaraku”, maksud saudaranya seagama. (Tulisan arab) “ Dia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina”, dia mengibaratkan wanita dengan kambing betina ( Tulisan arab) “ Dan aku mempunyai satu ekor saja.

Surah Asy-Syuura Ayat 15

فَلِذَالِكَ فَٱدْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَا ءَ هُمْ وَقُلْ ﺁ مَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لاَ حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ ﴿۱۵﴾

“Maka kerana itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allahlah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepadaNyalah kembali (kita).” (QS. Asy-Syura.42: 15)

               ﴿ فضلِذَلِك ﴾ “Maka karena itu”, yakni tauhid ﴿ فَادْعُ ﴾ “Serulah” wahai Muhammad, para manusia itu. ﴿ وَاسْتَقِمْ ﴾ “Dan tetaplah” atasnya, ﴿كَمَا أُمِرْتَ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ هُمْ﴾ “ Sebagaimana kamu diperintahkan dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka “ dalam meninggalkannya ﴿وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ وَقُلْ ﺁمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ كِتَابٍ ﴾ “Dan katakanlah:” Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil “, yakni agar aku berbuat adil ﴿ بَيْنَكُمْ ﴾ “di antara kamu “ dalam memberikan keputusan.

            ﴿ اللهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ ﴾ “Allahlah Tuhan kami daan Tuhan kamu, Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu.” Jadi setiap orang itu pasti dibalas dengan amal perbuatannya. ﴿ لاَحُجَّةَ ﴾  “Tidak ada pertengkaran” permusuhan ﴿ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ﴾ “Antara kami dan kamu” ini sebelum ada perintah untuk berjihad.

﴿ اللهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ﴾ “Allah mengumpulkan di antara kita “ pada hari kiamat untuk memberikan keputusan yang rinci ﴿ وَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ ﴾ “Dan kepadaNyalah kembali (kita)” tempat kembali.[9]

Surat Al-baqarah ayat 188

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“ Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu  dengan jalan yang batil  dan ( janganlah ) kamu membawa ( urusan ) harta itu  kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan ( jalan berbuat ) dosa, padahal kamu mengetahui.(188)

    Ali bin Abi thalhah bercerita dari ibnu Abbas mengenai seseorang yang menguasai harta kekayaan namun tidak memiliki bukti kepemilikannya. Maka dia memanipulasi harta itu dan mengadukannya kepada hakim, sedang dia mengetahui bahwa harta itu bukan haknya dan dia pun mengetahui bahwa dirinya berdosa lantaran memakan barang haram. Sebagian ulama salaf mengatakan, janganlah Anda mengadukan persoalan sedang Anda mengetahui bahwa Anda itu zalim.  Dalam shahihain  dikatakan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah bersabda (227)

Ketahuilah, aku hanyalah manusia dan datang kepadaku pengaduan sengketa. Boleh jadi ada seseorang di antara kamu yang lebih unggul hujahnya sehingga aku memenangkannya dan mengalahkan yang lain. Barangsiapa yang ku menangkan perkaranya sedang ia mengambil hak seorang muslim, maka kemenangan itu berupa sebongkah api. Silahkan mengambil atau meninggalkannya. “(HR. Bukhari dan Muslim)[10]

     Ayat dan Hadits di atas menunjukkan bahwa ketetapan hakim tidak merubah karakteristik perkara. Hakim tidak dapat menghalalkan perkara haram yang berkarakter haram dan dia tidak mengharamkan perkara halal yang berkarakter halal, karena hanya berpegang teguh kepada zahirnya saja. Jika sesuai, maka itulah yang dikehendaki, dan jika tidak sesuai, maka hakim tetap beroleh pahala dan bagi yang bermuslihat adalah dosanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:” Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu yang batil sedang kamu mengetahuinya”, yakni kamu mengetahui kebatilan perkara yang kamu sembunyikan di dalam alasan-alasan yang kamu ajukan.

      (188) maksudnya, janganlah kalian mengambil harta sebagian kalian, artinya, harta orang lain. Allah menyandarkan harta itu kepada mereka, karena sepatutnya seorang Muslim mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, ia menghormati hartanya sebagaimana hartanya dihormati, dan karena tindakannya memakan harta orang lain membuat orang lain akan berani memakan hartanya saat ia mampu. Dan karena tindakannya memakan harta itu ada dua macam; pertama, dengan hak dan kedua, dengan batil dan hal yang diharamkan dari kedua macam itu adalah ketika ia memakan harta orang lain dengan cara batil, maka Allah membatasinya dengan hal tersebut.[11]

     Termasuk dalam hal itu adalah memakan harta orang lain dengan cara pemaksaan, pencurian, pengkhianatan pada suatu titipan atau peminjaman atau semacamnya, dan juga termasuk dalam hal itu adalah mengambilnya dengan cara barter yaitu dengan barter yang diharamkan, seperti akad-akad riba, perjudian dengan keseluruhan, semua itu adalah cara  memakan harta orang lain dengan cara batil, karena bukan dalam bentuk pertukaran imbalan yang dibolehkan. Demikian juga mengambil upah atas suatu pekerjaan yang belum ditunaikan. Termasuk dalam hal itu juga adalah mengambil upah terhadap ibadah dan perbuatan-perbuatan ketaatan, di mana semua itu tidaklah menjadi sah hingga hanya diniatkan untuk Allah semata. Termasuk dalam hal itu juga adalah mengambil harta-harta zakat, sedekah, wakaf dan wasiat oleh orang yang tidak memiliki hak darinya atau lebih dari haknya yang semestinya. 

    Dan Barangsiapa  yang mengemukakan di hadapan hakim hujjah-hujjah yang batil lalu hakim memenangkan perkaranya, maka sesungguhnya hal itu tidaklah halal baginya, dan barangsiapa yang telah memakan harta orang lain dengan batil dan dosa, sedang ia mengetahui hal itu, maka hukumannya tentu akan lebih keras.

     Dengan demikian, seorang wakil (kuasa hukum atau pengacara) apabila mengetahui bahwa orang yang mewakilkannya itu batil dalam gugatannya, maka tidaklah halal baginya untuk berseteru demi membela orang yang berkhianat.

2.      Menjauhi suap dan hadiah

            Hadiah secara bahasa adalah : pemberian, ganjaran sebagai pengharapan.[12] Sedangkan Secara istilah, hadiyyah seringkali diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada orang lainkarena penghormatan atau pemuliaan.[13]
Imam Nawawi berkata: ‚Hibah, hadiah dan shadaqah suka rela adalah kata-kata yang saling berdekatan yang semuanya menunjukkan makna yaitu menjadikan orang lain memiliki sesuatu tanpa adanya ganti harga (kompensasi). Jika hanya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan,maka namanya adalah shadaqah. Jika memberikan sesuatu kepada seseorang karena untuk memberikan penghormatan kepadanya dan menumbukan kecintaan makanamanya adalah hadiah. Dan jika tidak demikian maka namanya hibah.

            Dalam al-Qur’an, lafal hadiyyah digunakan 2 kali, yaitu yang pertama pada surah al-Naml/27:35 terkait dengan keinginan Ratu Balqis untuk mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman as.:

Terjemahnya: Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.

Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa tujuan Ratu Balqis mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman untuk mengetahui apakah dia termasuk nabi yang diutus oleh Allah swt. atau dia hanyalah seorang raja. Jika Nabi Sulaiman menerima hadiah tersebut berarti dia bukanlah nabi akan tetapi seorang raja yang senang terhadap harta benda. Namun jika Nabi Sulaiman seorang nabi maka dia akan menolak hadiah itu karena keinginannya hanyalah bagaimana mengajak orang lain masuk ke dalam agamanya dan dia tidak memiliki keinginan duniawi.

Dan lafal hadiyyah yang kedua pada surah yang sama ayat 36 terkait dengan tanggapan Nabi Sulaiman as. terhadap hadiah Ratu Balqis

Terjemahnya: Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik dari pada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu‛.

    Dari kedua ayat tersebut, dapat diungkapkan bahwa sebenarnya hadiah adalah pemberian dalam bentuk materi kepada orang lain dengan tujuan penghormatan atau pemulyaan kepadanya. Hal tersebut ditegaskan al-Bagawi bahwa hadiah adalah pemberian karena dorongan al-mulatafah/perlakuan yang baik atau rayuan. Dalam sebuah peristiwa, Nabi saw. pernah diberi hadiah oleh al-Sa‘ab ibn Jusamah al-Laisi lalu Nabi menolaknya. Penolakan tersebut membuat al-Sa‘ab tidak senang kemudian Nabi menjelaskan alasan penolakannya yaitu karena Nabi sedang melaksanakan ihram dengan mengatakan kami bukan menolak pemberianmu akan tetapi kami sedang ihram.[14]

    Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Nabi saw. menganjurkan bahkan memerintahkan untuk memberikan hadiah karena sangat berguna dalam membangun komunikasi dan persaudaraan,dan Nabi saw. tidak pernah menolak hadiah dari siapapun kecuali karena alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan itu seperti yang dialami Nabi Sulaiman yang menganggap pemberian itu mangandung maksud lain yaitu suap (Risywah). Karena memang, perbedaan keduanya sangatlah sedikit.

    Secara  bahasa risywah adalah upah, hadiah, komisi, atau suap. Sedangkan secara istilah risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang bathil/salah atau menyalahkan yang benar.

Pejelasan mengenai riswayah perdapat dalam al-quran surat al-baqarah 188

   
        
 
        “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda oranglain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui dan janganlah kamu makan harta benda kamu diantara kamu dengan jalan yang batil”. (pangkal ayat 188).
Pangkal ayat ini Hamka menejelaskan membawa orang beriman kepada kesatuan dan kekeluargaan dan persudaraan sebab itu dikatakan “harta benda kamu diantara kamu”. Ditanamkan di sini bahwa harta benda kawanmu itu adalah harta benda kamu juga. Kalau kamu aniaya hartanya, samalah dengan kamu menganiayah harta bendamu sendiri. Memakan harta benda dengan jalan yang salah, ialah tidak menurut jalannya yang patut dan benar. Maka termasuklah disini segala macam penipuan, pemalsuan, reklame, dan atpertensi yang berlebih-lebihan, asal mendapat keuntungan.
Seperti contoh menerbitkan buku-buku pornografidan menyebarkan gambar-gambar. Yang kalau ditanya maka yang membuatnya mudah saja berkata “cari makan”. Atau kolportir mencari pembeli suatu barang dengan memperlihatkan contoh yang bagus dan bermutu tinggi, padahal setelah persetujuan harga dan barang itu diterima, ternyata tidak sesuai dengan contoh. Atau menyediakan alat penimbang yang curang antara pembeli dengan penjual.

Ini merupakan conroh-contoh dari 1001 contoh yang lain, maksudnya ialah segala usaha mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan jalan yang batil dan merugikan sesama manusia, sehingga memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak di ridhai Allah SWT.[15]

 

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al- Mishbah. Jakarta: Lentera hati.

Junaidi, Najib. 2015. Tafsir Jalalain. Surabaya: PT. ElBA Mandiri Sejahtera.

Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul: Riwayat Turunnya Ayat-ayat Al-qur;an. Darul ulya Indonesia.

 

 

 

 

 [1]Najib Junaidi, Tafsir Jalalain, (Surabaya: PT. ElBA Mandiri Sejahtera, 2015), hal 399

[2]Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul: Riwayat Turunnya Ayat-ayat Al-qur;an, (Darul ulya Indonesia)

[3]M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, (Jakarta: Lentera hati, 2000), hal 589

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, hal 590[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, hal 590

[6] Najib Junaidi, Tafsir Jalalain, (Surabaya: PT. elba Fitrah Mandiri Sejahtera, 2015)

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2003)

[8] M. Quraish Shihab, tafsir Al-misbah, Jakarta: Lentera Hati,2002

[9] Najib Junaidi, tafsir Jalalain, (Surabaya: PT. elba Fitrah Mandiri Sejahtera, 2015)

[10] Al-imam Jalaluddin Muhammad, Tafsir Jalalain, PT. Elba fitrah mandiri Sejahtera, Surabaya: cetakan pertama, Desember 2015 M.

[11]  Al-imam Jalaluddin Muhammad, Tafsir Jalalain, PT. Elba Fitrah Mandiri Sejahtera, Surabaya: cetakan kedua, April 2015 M.

[12] Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer(Surabaya: Gitamedia Press, 2006) h. 160

2 Abd al-Rauf al-Manawi, Faid al-Qadir Syarh al-Jami‘ al-Sagir, Juz. V (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356 H.),, h. 740

[14] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju’fiy al-Bukhariy (Selanjutnya ditulis al-Bukhariy ), al-Jami’ al-Sahih-Sahih Imam al-Bukhariy, cet 1 ( t.tp : Dar Tauq al-Najah,, 1422 H), Juz. II, h. 917

[15] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar, juz 1,(Singapura: Kerjaya Printing Industries Pte Ltd, 1990),438

Lebih baru Lebih lama