LAFAZ DARI SEGI DILALAH (PENUNJUKAN) ATAS HUKUM

LAFAZ DARI SEGI DILALAH (PENUNJUKAN) ATAS HUKUM 


BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

    Berbicara tentang ibarat al-nash dan isyarat al-nash serta mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah, berarti berbicara tentang dalalat. Dikatakan demikian karena hal tersebut merupakan bagian dari pembahasan tentang dalalat. Dalalat secara umum diartikan sebagai petunjuk memahami sesuatu atas sesuatu. dalam istilah lain dilalah diartikan sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh lafadz ketika diucapkan secara mutlak, atau sesuatu pengertian yang ditunjuki oleh lafadz. 

    Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber hukum, memberikan berbagai pengertian yang digali dari berbagai dilalah lafadz-lafadz-nya. Di dalam makalah ini penulis membahas tentang dilalah secara umum, dilalah menurut pandangan hanafiyah, syafiiyah, kemudian juga berhujah dengan mafhum mukhalafah dana syarat berhujjah nya. 

B. Rumusan Masalah  

1. Bagaimana pembahasan umum tentang Dilalah? 

2. Bagaimana dilalah dalam pandangan Ulama Hanafiyah? 

3. Bagaimana dilalah dalam pandangan Ulama Syafi’iyah? 

4. Bagaimana itu berhujah dengan mafhum muhkalafah? 

5. Apa syarat berhujah dengan mafhum mukhalafah? 

C. Tujuan 

1. Untuk memahami pembahasan umum tentang Dilalah 

2. Untuk memahami dilalah menurut pandangan ulama Hanafiyah  

3. Untuk memahami dilalah menurut pandangan ulama Syafi’iyah 

4. Untuk memahami berhujah dengan mafhum mukhalafah 

5. Untuk memahami syarat berhujah dnegan mafhum mukhalafah 

 

BAB II 
PEMBAHASAN 

A.    Pemahaman Umum tentang Dilalah  

    Arti dilalah secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul / yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil/ yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”. 

    Dalam kalimat “asap menunjukkan adanya api”, kata “api” disebut madlul. Sedangkan “asap” yang menunjukkan adanya “api” disebut dalil. Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu Logika dan Ushul Fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah. Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalahh itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairuh lafzhiyah. 

1. Dilalah lafzhiyyah (penunjukan berbentuk lafaz)  yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu itu diketahui melalui 3 hal: 

a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang di seluruh alam ini. secara lengkap biasa disebut dilalah lafzhiyyah thabi‘iyyah. 

b. Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. secara lengkap biasa disebut “dilalah lafzhiyyah ‘aqliyah”. 

c. Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. secara lengkap bi asa disebut “dilalah lafdhiyyah wadhi‘iyyah”. 

2. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah atau dilalah bukan lafaz  yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa diam atau tidak bersuara. sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu. Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut: 

a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja.  

b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu.  

c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. 

B.    Dilalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyah 

    Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. 

    Dilalah lafaziyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafazhiyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafazhiyah ini di kalangan Hanafiyah disebut “dilalah sukut”. 

1. Dilalah lafaziyah 

Dilalah lafziyah terbagi kepada 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya: 

a. Dilalah ‘ibarah  

Menurut Abu Zahrah: Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam hentuk nash maupun zahir. Contohnya, firman Allah dalam surat AnNisa ayat 3.  

b. Dilalah isyarah 

Menurut Abu Zahrah: Apa yang ditunjuk oleh lafaz tidak melalui ‘ibaratnya. Hakikat dilalah isyarah itu ialah bahwa lafaz yang diungkapkan memberi arti kepada suatu maksud, namun tidak menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafaz itu.  

c. Dilalah al-dilalah  

Menurut Abu Zahrah : Dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa. Dilalah aldilalah atau dilalah al-nash itu terbagi dua: 

a) Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash. Dilalah al-nash dalam bentuk ini disebut “mafhum aulawi”. 

b) Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam nash-nya. Dilalah al-Nash dalam bentuk ini disebut “mafhum musawi” . 

d. Dilalah al-Iqtidha’ atau disebut juga I'tidha al-nash.  Iqtidha al-nash adalah dalam suatu ucapan ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahui nya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu dinyatakan. Para ahli ushul membagi dilalah iqtidha’ itu segi keharusan memunculkan kata yang tak tersebut itu kepada tiga macam: 

a) Sesuatu yang harus di “takdir” kan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ucapan atau kalimat secara hukum. 

b) Sesuatu yang harus di “takdir” kan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat secara akal. 

c) Sesuatu yang harus dimunculkan untuk sahnya ucapan secara hukum. 

    Ditinjau dari segi bentuk yang harus ditakdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran atau kesahan suatu lafaz secara hukum, dilalah iqtidha’ dibagi dua: 

a) Yang ditakdirkan itu adalah sebuah kata. Umpamanya kata sah dalam sabda Nabi 

Muhammad SAW “Tiada shalat bagi orangyang tidak membaca surat al-Fatihah dalam shalat”. 

Secara harfiah, dalam hadis itu disebutkan “tiada shalat”. Meniadakan shalat yang telah terlaksana tentu tidak mungkin, karena sudah berlalu. Jadi yang harus dimunculkan supaya ucapan dalam hadis di atas benar, adalah kata “sah”, sehingga menjadi: “Tidak sah shalat (meskipun ia telah berlangsung) bila dalam shalat itu tidak membaca al-fatihah. 

b) Yang di “takdir” kan adalah suatu peristiwa hukum. Umpamanya si A mengatakan kepada si B, “Wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas nama) saya dengan bayaran 10 juta rupiah.”Kalau si B mewakafkan tanahnya itu tentu yang akan mendapat pahala adalah si B. Dalam hal ini, si A tidak dapat menyuruh si B mewakafkan tanah miliknya dengan harapan agar pahala wakaf itu untuk si A yang menyuruh, karena yang dapat diwakafkan adalah milik sendiri. Agar perbuatan wakaf itu sah secara hukum, perlu dimunculkan suatu perbuatan hukum, yaitu jual beli kebun. Dengan begitu lengkapnya susunan ucapan si A itu adalah. “Juallah kebunmu kepada saya seharga 10 juta rupiah, kemudian tolong diwakafkan untuk dan atas nama saya.” Si B menjawab, “Saya jual kebun saya kepada si A seharga sepuluh juta rupiah dan saya mewakafkan kebun itu untuk dan atas nama si A.” 

2. Dilalah ghairu lafziyah  

    Dilalah ini juga biasa disebut dilalah sukut bayan al-dharurah. Menurut ulama Hanafi ada 4 macam, yaitu: 

a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.  

b. Dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.  

c. Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.  

d. Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.  

C.    Dilalah dalam Pandangan Ulama Syafi‘iyah 

    Dalam pandangan ulama Syafi‘iyah, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah manthuq dan dilalah mafhum. 

1. Dilalah Manthuq

    Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi‘iyah adalah: 

Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 23: 

Ayat ini menurut manthuq-nya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah digauli.

Secara garis besarnya, “dilalah manthuq terbagi 2, yaitu: manthuq sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas: 

2. Dilalah manthuq ghairu sharikh 

  Yang penunjukan (dilalah) nya tidak dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilâlah isyarah” yang di kalangan ulama Hanafiyah juga disebut “dilâlah isyarah atau dengan istilah isyarah al-nash yang telah dibicarakan dalam uraian tentang “Pembagian Dilalah dalam Pandangan 

Ulama Hanafiyah”. 

D.    Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah 

    Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang populer dalam pembahasan ushul fiqh. Namun tentang penetapan hukum melalui cara mafhum mukhalafah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Semua ulama sepakat untuk tidak beramal dengan mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya; sebab dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya di luar nama itu. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum tersebut dalam kaitannya dengan teks hukum: 

1) Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada suatu sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktunya sudah berlalu. Di antara argumentasi (yang terkuat) dari pandangan Jumhur ulama adalah: 

a. Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam suatu keadaan..  

b. Kaitan yang terdapat dalam nash syara’ (teks hukum) baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu untuk menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut.  

2) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthûq (tersurat). Di antara argumentasi yang mereka kemukakan adalah: 

a. Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa Arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum itu tidak berlaku bila kaitannya itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa Arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan, dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mafhûm (maksud tersirat). 

b. Banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan tersebut tidak ada.  

E.    Syarat Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah 

    Ulama yang membolehkan berhujah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujah. Syarat tersebut adalah: 
1. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwafaqah 
2. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekadar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu. 
3. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
4. Dalil manthuq-nya (yang tersurat) disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhûm mukhâlafahnya.  
5. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthûq membicarakan hukum atas sesuatu yang menurut lazimnya berlaku, maka tidak dapat diambil mafhûm mukhalafahnya.  

    Adanya beberapa persyaratan yang dikemukakan golongan ulama merupakan pembatasan dalam penggunaan mafhûm mukhâlafah sebagai hujah. Persyaratan ini berlaku di kalangan ulama yang memperbolehkan berhujah dengan mafhûm mukhâlafah. Bagi kalangan ulama yang tidak membolehkan berhujah dengan mafhûm mukhâlafah merasa tidak perlu mengemukakan pembatasan ini, karena memang pada dasarnya mereka tidak mau berhujah dengan mafhûm mukhâlafah itu. Meskipun kelompok ulama ini tidak menggunakan mafhum mukhalafah tidaklah berarti tertutup baginya cara dalam menetapkan hukum. Tetapi kelompok ulama ini tetap menemukan dalil yang memberi petunjuk baginya dalam menetapkan hukum selain dengan cara mafhum mukhalafah itu.  


BAB III 
PENUTUP 

A. Kesimpulan  

  1. Dilalah lafzhiyyah (penunjukan berbentuk lafaz) yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. 
  2. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah atau dilalah bukan lafaz yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa diam atau tidak bersuara. 
  3. Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. 
  4. Menurut ulama Hanafiyah dilalah lafziyah terbagi kepada 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya, yaitu Dilalah al-dilalah, Dilalah isyarah, Dilalah ‘ibarah, dan Dilalah al-Iqtidha’ atau disebut juga I'tidha al-nash. 
  5. Dilalah ghairu lafziyah juga biasa disebut dilalah sukut bayan aldharurah. Menurut ulama Hanafi ada 4 macam, yaitu: Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan, Dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan, Menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan, dan Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.  
  6. Dalam pandangan ulama Syafi‘iyah, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah manthuq dan dilalah mafhum. 
  7. Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi‘iyah adalah Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu. 
  8. Secara garis besarnya, “dilalah manthuq terbagi 2, yaitu: manthuq sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas. 
  9. Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah) nya tidak dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dialah isyarah” yang di kalangan ulama Hanafiyah juga disebut “dilalah isyarah atau dengan istilah isyarah al-nash yang telah dibicarakan dalam uraian tentang “Pembagian Dilalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyah”. 
  10. Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang populer dalam pembahasan ushul fiqh. 
  11. para ulama berbeda pendapat mengenai kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum tersebut dalam kaitannya dengan teks hukum. 
  12. Ulama yang membolehkan berhujah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujah. Syarat tersebut adalah Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwafaqah, Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekadar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu, Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu, dan Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. 

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifudin. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta : Kencana. 

Lebih baru Lebih lama