IKRAR WAKAF DAN PERUBAHAN PERUNTUKAN WAKAF DALAM PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG

IKRAR WAKAF DAN PERUBAHAN PERUNTUKAN WAKAF DALAM PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

    Pandangan Islam tentang wakaf selama ini hanya terbatas kepada benda-benda hak milik yang bersifat tetap dan itu pun diperuntukkan untuk sarana ibadah semata, benda-benda tersebut tidak boleh diganti dengan benda yang lain meskipun harta wakaf itu sudah rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Selain itu, wakaf merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki hubungan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat. Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur berbagai hal yang penting bagi pemberdayaan dan pengembangan harta wakaf secara produktif. Lahirnya undang-undang wakaf di Indonesia memberikan harapan kepada semua pihak dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. 

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ikrar wakaf?

2. Bagaimana perubahan peruntukan wakaf dalam persepektif fuqaha dan undang-undang?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu pengertian ikrar wakaf

2. Untuk mengetahui bagaimana perubahan peruntukan wakaf dalam persepektif fuqaha dan undang-undang


BAB II
PEMBAHASAN

A. Ikrar Wakaf

    Salah satu unsur penting dalam perwakafan adalah “Ikrar Wakaf”. Ikrar wakaf merupakan pernyataan dari orang yang berwakaf (wakif) kepada pengelola/manajemen wakaf (nazhir) tentang kehendaknya untuk mewakafkan harta yang dimilikinya guna kepentingan/tujuan tertentu.

    Menurut Undang-undang no 41 tahun 2004 ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

    Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan : 

  • Dewasa
  • Beragama Islam
  • Berakal sehat
  • Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

    Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat : 

Nama dan identitas Wakif

Nama dan identitas Nazhir

data dan keterangan harta benda wakaf

Peruntukan harta benda wakaf

Jangka waktu wakaf.

    Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

    Apabila pihak yang berwakaf adalah organisasi atau badan hukum, maka yang hadir dan tercantum namanya dalam Akta Ikrar Wakaf adalah nama pengurus organisasi atau direksi badan hukum yang akan mewakafkan atau sesuai ketentuan yang ada dalam ketentuan anggaran dasar organisasi atau badan hukum tersebut. Misalnya organiasi X hendak mewakafkan hartanya, maka yang harus hadir dan tercantum namanya dalam AIW adalah Pengurus organisasi X, biasanya Ketua dan Sekretaris atau Bendahara. Sedangkan apabila yang hendak berwakaf adalah badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas Sukses Makmur, maka yang hadir dan tercantum namanya dalam AIW adalah direksi PT. Sukses Makmur tersebut.

    Demikian juga halnya mengenai manajer wakaf (nazhir). Apabila nazhir tersebut organisasi atau badan hukum wakaf, maka nama yang tertulis sebagai nazhir dalam akta ikrar wakaf tersebut adalah nama yang ditetapkan oleh pengurus organisasi atau direksi badan hukum wakaf yang bersangkutan. Intinya nama nazhir yang ditulis harus sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Anggaran Dasar masing-masing organisasi dan badan hukum yang bersangkutan.

    Untuk itu kepada siapa saja yang hendak berwakaf, dianjurkan agar pada saat pembuatan Akta Ikrar Wakaf menegaskan secara jelas siapa yang menjadi nazhirnya (apakah pribadi, organisasi atau badan hukum) kepada PPAIW (KUA). Sebaliknya, kepada para PPAIW (KUA) diingatkan agar pada saat pembuatan AIW mempertegas dan memberi penjelasan secara baik dan benar kepada pihak yang akan berwakaf, khususnya mengenai siapa yang akan menjadi nazhir atas harta yang diwakafnya.

B. Perubahan Peruntukan Wakaf Dalam Persepektif Fuqaha dan Undang-Undang

Dalam Persepektif Fuqaha

    Menurut  Sayyid Sabiq menyatakan, bahwa apabila wakaf telah terjadi, maka tidak boleh dijual, dihibahkan, diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangkan kewakafannya. Bila orang yang berwakaf mati, maka wakaf tidak diwariskan sebab yang demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf dan karena ucapan Rasulullah SAW., seperti yang disebut dalam hadist Ibnu ‘Umar, bahwa “ tidak dijual, dihibahkan, dan diwariskan”.

    Dalam persepektif fuqaha perubahan peruntukan wakaf ada tiga ulama yang berpendapat diantaranya :

1. Hanafiyah

    Dalam perspektif mazhab Hanafiyah ibdal ( penukaran ) dan istibdal ( penggantian ) adalah boleh. Menurut mereka, ibdal boleh dilakukan oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain, maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni, tidak dihuni, bergerak maupun tidak bergerak. Menurut pendapat Mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa istibdal terbagi menjadi tiga macam:

  • Wakif mensyaratkan istibdal terhadap dirinya maupun orang lain atau mensyaratkannya untuk dirinya bersama orang lain.
  • Wakif tidak mensyaratkan ada atau tidaknya istibdal karena saat berakad, ia tidak menyinggung sama sekali. Sedangkan disisi lain, barang wakaf sudah tidak bermanfaat dan difungsikan lagi atau hasil yang di dapat dari mauquf tidak bisa menutup biaya pengelolaannya.
  • Wakif tidak mensyaratkan istibdal, namun penggantiannya diperkirakan akanmelipatgandakan hasil yang mampu didapat karena barang pengganti berada dalam kondisi yang lebih menjanjikan.

2. Malikiyah

    Sedangkan dikalangan Mazhab Malikiyah untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, Ulama Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa di manfaatkan lagi. Sedangkan dalam hal benda tidak bergerak, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat jarang terjadi. Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah secara garis besar, mereka membagi dalam dua kelompok:

Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau mengganti peruntukkannya.

Pendapat yang membolehkan penjualan barang wakaf dan atau mengganti peruntukkannya.

3. Syafi’iyah

    Ulama Syafi’iyah sangat berhati-hati dalam penggantian barang wakaf  lebih menonjol dibandingkan ulama Malikiyah. Hal ini dikarenakan tabiat yang sederhana yang bersemayam dalam diri mereka ketika memutuskan suatu hukum. Para ahli hukum di kalangan mazhab Hambali mengatakan bahwa pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan. Kecuali apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap wakaf itu dapat diadakan perubahan baik peruntukan maupun statusnya. 

Dalam Persepektif Undang-Undang

    Dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 03 Thn. 2012 pasal 4 dan 5 tentang perubahan peruntukan harta benda wakaf bahwa, Persyaratan perubahan peruntukan harta benda wakaf antara lain:

a) Fotokopi AIW/APAIW (legalisir Camat atau Notaris) 

b) Fotokopi Setifikat Wakaf (legalisir Camat atau Notaris)

c) Fotokopi Surat pengesahan Nazhir (legalisir KUA)

d) Surat permohonan perubahan peruntukan ditandatangani oleh Nazhir

e) Surat pengantar/permohonan dari Kepala KUA Kecamatan perihal permohonan perubahan peruntukan harta benda wakaf kepada Ketua BWI (dokumen asli)

f) Rekomendasi BWI Perwakilan Kabupaten/Kota setempat, dengan ketentuan :

Apabila Perwakilan BWI kabupaten/kota belum terbentuk, rekomendasi dikeluarkan oleh Perwakilan BWI provinsi

Apabila Perwakilan BWI provinsi belum terbentuk, rekomendasi perwakilan BWI tidak diperlukan;

g) Rekomendasi Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setempat. 

    Pada dasarnya, terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau dialihkan. Pada Pasal 11 PP No. 28 Tahun 1977 menjelaskan:

  • Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
  • Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni:
  1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh  wakif.
  2. Karena kepentingan umum.
  • Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadhir kepada Bupati/Walikota madya Kepala Daerah, cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

    Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh dua orang saksi.

    Adapun perubahan peruntukan wakaf dalam persepektif fuqaha yaitu, hanafiyah, malikiyah, dan syafi’iyah. Adapun dalam persepektif undang-undang yaitu, dalam UU  nomor 41 tahun 2004 dan Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 03 Thn. 2012 pasal 4 dan 5 tentang perubahan peruntukan harta benda wakaf. Di dalam undang-undang tersebut sudah dijelaskan secara rinci dan jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang nomor 41 thn 2004 pasal 17-21

Arief Budiman, Achmad, Hukum Wakaf Administrasi, Pengelolaan dan Pengembangan, Cetakan Pertama, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.

Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 03Thn. 2012 Tentang Perubahan Harta BendaWakaf pasal 4-5

Arief Budiman, Achmad, Hukum Wakaf Administrasi, Pengelolaan dan Pengembangan, Cetakan Pertama, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.

Lebih baru Lebih lama