MAUQUF ALAIH DALAM PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG

MAUQUF ALAIH  DALAM  PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

    Wakaf dalam hukum Islam merupakan salah satu spare parts penting yang dapat digunakan sebagai sarana dan pendistribusian resmi rizki Allah SWT guna merealisasikan kemaslahatan manusia (Rofiq, 2003).

    Di Indonesia wakaf dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia yang juga menjadi salah satu penunjang pengembangan agama dan masyarakat Islam. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan  dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum.

    Praktek  pelaksanaan  wakaf yang dianjurkan oleh  Nabi yang dicontohkan  oleh Umar bin Khatab dan diikuti oleh beberapa sahabat Nabi yang lain sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari  pengelolaan  benda  tersebut. Pemahaman yang paling mudah dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemerliharaan bendanya (wakaf), tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda  tersebut untuk  kepentingan  atau kemaslahatan  umum (Departemen  Agama RI, 2007).

    Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mauquf ‘alaih dan syarat-syaratnya dalam  perspektif fuqaha dan undang-undang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud mauquf ‘alaih?

2. Bagaimana syarat mauquf ‘alaih menurut fuqaha?

3. Bagaimana syarat mauquf ‘alaih menurut undang-undang?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari mauquf ‘alaih.

2. Untuk mengidentifikasi syarat mauquf ‘alaih menurut fuqaha.

3. Untuk mengidentifikasi syarat mauquf ‘alaih menurut undang-undang. 


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan pembagian mauquf ‘alaih

    Yang dimaksud dengan mauquf 'alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya. Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih mengenai jenis ibadat disini, apakah ibadat menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif. 

1. Madzhab Hanafi

    Madzhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak sah. Karena itu sah wakaf orang Islam kepada semua syi'ar-syi'ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi'ar-syi'ar Islam dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi. Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadat dalam pandangan Islam seperti pembangunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Adapun kepada selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadat dalam pandangan agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja hukumnya tidak sah. Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf 'alaih (peruntukan wakaf) untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua syi'ar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.

2. Madzhab Syafi'i dan Hambali

    Madzhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf 'alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja. Secara khusus, ahli fiqih dari madzhab Syafi'i (Syafi'iyyah), membagi tempat penyaluran wakaf kepada dua bagian, yaitu:

a.) Kepada orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu)

Imam Nawawi menyebut bagian ini dengan "syahshan mu'ayyinan au jamaatan mu'ayyinina" (satu orang atau kelompok tertentu). Syaratnya ialah hendaklah penerima wakaf dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya pada saat pemberian wakaf. Syarat tersebut membukakan peluang penyaluran wakaf kepada anggota masyarakat yang cukup luas, baik individu maupun kelompok. Dalam penerapannya timbul perbedaan pendapat mengenai sebagian masalah dan mudah diselesaikan. 

  • Wakaf kepada diri sendiri

    Ada dua pendapat tentang hukum wakif berwakaf kepada dirinya sendiri. Pertama, Abu Yusuf, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubramah, sebagian ahli madzhab Syafi'i dan Hambali memperbolehkan wakif mewakafkan sebagian atau seluruh wakafnya sepada dirinya sendiri. Diantara pendukungnya dari madzhab Syafi'i ialah Zubairi Dalilnya ialah bahwa penetapan hak terhadap sesuatu sebagai wakaf tidak sama dengan penetapannya sebagai milik. 

  • Wakaf kepada muslim (muslimat)

    Wakaf kepada muslim atau muslimat tertentu atau kelompok tertentu.

  • Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu

    Kepada kafir dzimmi dari muslim (muslimat) Imam Nawawi mengatakan: "hukumnya sah, wakaf kepada kafir dzimmi tertentu, baik dari muslim maupun dari kafir dzimmi juga". Dalilnya ialah karena kafir dzimmi, secara umum dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya pada saat pemberian wakaf.

b.) Wakaf kepada yang tidak tertentu

    Tempat kedua penyaluran wakaf ialah kepada pihak tidak tertentu. Nawawi menyebutnya "waqfan 'ala al-jihati" (berwakaf ke pihak umum). Tujuan wakif ialah memberikan wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran dan kemiskinan, secara umum, bukan kepada pribadipribadi tertentu. Pembahasan bagian kedua ini terbagi kepada dua bagian pokok, yaitu mengandung unsur maksiat atau tidak. 

  • Wakaf umum yang mengandung unsur maksiat

    Sumber wakafnya ada dua kemungkinan, yaitu dari muslim atau non muslim. Contohnya seperti wakaf untuk gereja yang digunakan sebagai tempat ibadah, baik bahan bangunan, lampu, tikar, kitab suci Taurat, Injil, pelayan dan sebagainya. Demikian juga wakaf senjata untuk perbuatan kriminal, seperti perampokan. Hukum wakaf seperti ini ada dua kemungkinan, tergantung masa pemberian wakafnya, yaitu : - Jika pemberian wakafnya kepada gereja-gereja tua dan terlaksana sebelum dakwah Rasulullah Muhammad SAW, maka umat Islam mengakuinya dan tidak membatalkannya. - Jika pemberian wakafnya kepada gereja-gereja baru sesudah dakwah Rasulullah SAW, maka umat Islam tidak mengakuinya dan membatalkannya. Begitu juga wakaf senjata kepada perampok adalah batal karena sebagai sarana untuk melakukan perbuatan maksiat.

  • Wakaf umum yang tidak mengandung unsur maksiat

    Wakaf ini terbagi kepada dua segi, yaitu : - Tampak padanya tujuan ibadah, dan hukumnya sah. Contohnya ialah seperti wakaf kepada orang-orang miskin, fisabilillah, ulama-ulama, pelajar-pelajar, mujahidin, masjid-masjid, ka'bah, sekolah-sekolah, rumah-rumah penampungan kelompok sufi yang fakir,benteng-benteng, jembatan-jembatan dan kafan-kafan mayat. Pengertian dari masing-masing pihak tersebut di atas diuraikan dalam buku-buku fiqih. - Tidak tampak padanya tujuan ibadat, seperti wakaf kepada orang kaya, kafir dzimmi, dan orang yang melakukan maksiat. Di kalangan ahli fiqih madzhab Syafi'i terdapat dua pendapat : (1) hukumnya tidak sah. Ini ditinjau dari status wakaf adalah ibadat, (2) hukumnya sah. Ini ditinjau dari status wakaf adalah memilikkan, tanpa melihat kepada ibadat atau tidak. Sama halnya dengan wasiat dan wakaf atas yang tertentu. Karena itu para pendukung pendapat ini mengatakan wakaf atas masjid dan tempat pemondokan adalah memilikkan manfaat wakaf kepada kaum muslimin (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2006).

B. Syarat Mauquf ‘Alaih Menurut Fuqaha

    Dalam hal distribusi wakaf, aturan syariah tidak begitu jelas dan tegas. Hal ini tentu berbeda dengan zakat yang menegaskan distribusi zakat untuk ashnaf yang jelas. Yang dimaksud dengan mauquf ’alaih adalah tujuan wakaf. Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syari‟at Islam. Syarat- syarat mauquf ’alaih adalah qurbat atau pendekatan diri kepada Allah. Oleh karena itu yang menjadi objek atau tujuan wakaf (mauquf ’alaih)nya harus objek kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada Allah. Mauquf ’alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah (Departemen Agama RI, 2007).

    Mauquf ’alaih harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah meurut nilai Islam (Basyir, 1987). Selain tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, mauquf ’alaih harus jelas untuk kepentingan umum. Maukuf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama, dipergunakan dan murni hak milik wakif. Harta wakaf dapat berupa benda tetap maupun benda-benda bergerak, maukuf juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini s esuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.

    Dalam literatur Fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili (al-Zuhaili, 1996) para ulama terlibat perdebatan panjang tentang mauquf ’alaih dan syaratsyaratnya. Menurut mereka mauquf ’alaihi dibagi menjadi mu’ayyan dan ghair muayyan. Al-Mu’ayyan dapat berupa satu orang, dua orang, ataupun sekumpulan orang (jamak). Sedangkan ghair al-mu’ayyan atau jihat al-waqf adalah kaum fuqara, ulama, para qari‟, para pejuang, masjid-masjid, ka‟bah, pasukan dan persiapannya, sekolah-sekolah, bendungan-bendungan, dan urusan merawat jenazah.

    Berkenaan dengan al-mu’ayyan, para fuqaha bersepakat bahwa syaratnya adalah kemungkinannya untuk memiliki (kaunuh ahl li al-tamalluk). Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang wakaf untuk al-ma’dum (yang belum ada), almajhul (yang belum dikenal), dan untuk diri sendiri.

    Sedangkan wakaf untuk ghair al-mu‟ayyan atau jihat al-waqf (sasaran wakaf) adalah: pertama, hendaknya sasaran itu merupakan kebaikan dan kebajikan (jihat khair wa birr) sehingga berinfak di dalamnya dapat dianggap bentuk taqarrub kepada Allah; kedua, Abu Hanifah dan Muhammad menambahkan bahwa akhir dari wakaf ahli hendaknya berupa sasaran yang tidak akan terputus selamanya. Ta’bid menurutnya adalah syarat dibolehkannya wakaf. Distribusi harta wakaf diperuntukkan bagi sasaran tertentu (ghard al-waqf) dengan syarat-syarat diantaranya:

1. Sasaran itu berupa salah satu bentuk kebajikan (al-birr) seperti subsidi untuk lembaga pendidikan umum dan khusus, pendirian perpustakaan, bantuan lembaga kajian keilmuan dan keislaman, pemeliharaan anak yatim, para janda, orang lemah, dan lain-lain.

2. Di dalamnya tidak terdapat maksiat yang diharamkan syariat dan hukumnya, atau dicela oleh akhlaq yang terpuji.

3. Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

4. Akivitas kebajikan dalam sasaran wakaf hendaknya bersifat kontinyu.

5. Barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif. f. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf

C. Syarat Mauquf ‘Alaih Menurut Undang-Undang

    Mauquf’alaih adalah pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.  Di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, disebutkan dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat diperuntukkan bagi: 

1. Sarana dan kegiatan ibadah

2. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

3. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa,

4. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat lainnya, dan / atau

5. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan perundang undangan.

    Mauquf'alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.  Dalam hal ini apabila wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, maka nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan  tujuan dan fungsi wakaf. 


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

    Salah satu unsur wakaf yang penting adalah mauquf ‘alaih. Ia merupakan pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf. Mauquf ‘alaih biasa juga disebut dengan istilah sasaran wakaf atau pihak-pihak yang berhak menerima wakaf. Sebagian lainnya menyebutnya dengan istilah tujuan wakaf. Istilah berkaitan dengan bidang-bidang yang berhak mendapatkan manfaat wakaf.Sebagai sasaran atau tujuan wakaf, mauquf ‘alaih memiliki kedudukan yang sentral dalam akad wakaf. Bahkan, dapat dikatakan bahwa wakaf itu sendiri dilakukan karena adanya kebutuhan tentang mauquf ‘alaih, seperti masjid, makam, lembaga pendidikan, rumah sakit, dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghafur. 2005. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media.

Imam. 1985. Hukum Wakaf di Indonesia. Yogyakarta: Dua Dimensi.

Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Suhadi,

Sarpini. 2019. “Telaah Mauquf ‘alaih dalam Hukum Perwakafan”. Jurnal Zakat dan Wakaf, Vol 6 No 1. IAIN Purwokerto.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Lebih baru Lebih lama