A. Fase
Awal Datang Islam
Menurut beberapa
literatur dan hasil “Seminar Masuknya Islam di Indonesia pada Tahun 1963”, dapat
diketahui bahwa agama Islam datang di Indonesia sekira pada abad ke-1 Hijriyah
atau sekitar abad ke-7 Masehi.' Simpulan itu didukung oleh kenyataan dengan
adanya makam, yang merupakan tradisi dan ciri khas umat lam dalam
memelihara mayat, yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam tradisi
masyarakat Hindu Budha. Periode berikutnya adalah era perkembangan
Islam, yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan, antara
lain dalam bidang politik, hukum keluarga, dan muamalah. Dalam
bidang tersebut telah terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan
budaya lokal, atau dengan pengertian lain, terjadinya pembauran
antara tradisi besar dengan tradisi kecil , yaitu suatu pengakuan dan
legitimasi Islam ke dalam tradisi masyarakat. Pada saat itu, Sudap
banyak terlihat dalam praktik mengamalkan nilai-nilai keagamaan, terutama
dal, ranah ibadah, yang didominasi oleh doktrin
Syafi'iyah. Menurut Rachmat Djatniy, hal itu dikarenakan fikih
Syafi'iyah lebih banyak dan dekat dengan kepribadian
bang, Indonesia. Namun, secara berangsur, pengaruh doktrin
Hanafiah pun mulai masuk da diterima oleh masyarakat. Penerimaan dan penerapan hukum
Islam itu dapat dilihat pada masa-masa awg kerajaan Islam.
B.
Kaitan antara Unsur Lokal dengan Islam
Seiring dengan diterima
dan diterapkannya hukum Islam di basis-basis Islam hukum adat setempat juga
sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam, sehingga muncul beberapa teori, seperto
teori receptio in complexu, teori receptie, teori receptie exil atau
receptio a contrario, yang digagas para ahli, menandai adanya
pengakuan beragam tentang gambaran pelaksanaan dan penerapan hukum
Islam, meskipun di sisi lain masih terlihat terjadinya pergulata antara
elit Islam dengan elit adat dalam rangka memberi pengakuan dan penguata
berlakunya hukum dalam masyarakat Islam Indonesia. Teori itu sendiri
sebenarnya merupakan hasil pengembangan dari teori autoritas hukum yang digagas
H.A.R. Gibb. Teori receptto in complexu itu sekaligus memperkuat alam
pikiran, mengingat orang Indonesia beragama Istam, maka tentunya
ajaran agama itulah yang dianut sepenuhnya, termasuk masalah hukum.
Bukti diberlakukannya
hukum Islam itu sendiri tergambar dengan adanya berbagai peraturan di berbagai
daerah, antara lain seperti berikut:
1.
Adanya
Compendium Frejer, yaitu buku ringkasan tentang hukum perkawinan dan kewarisan
Islam
2.
Digunakannya
kitab Muharrar dan Pepakem Cirebon untuk wilayah Kesultanan Cirebon
3.
Diberlakukannya
kitab Sabi! Al-Muhtadin (syarah kitab Sirat al-Mustagim, karangan Syaikh
Nuruddin al-Raniri) di daerah Kesultanan Banjar
4.
Instruksi
Pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati pada tahun 1808
5.
Stbl. Hindia
Belanda Nomor 22 Tahun 1820
6.
Resolusi
Gubernur Jendetal Nomor 12 Tahun 1823 tentang Peresmian Pengadilan Agama Kota
Palembang
7.
Stbl. Hindia
Belanda 1855 tentang berlakunya Undang-Undang Islam bagi Islam Indonesia
8.
Stbl. 1882
Nomor 152 tentang pembentukan Peradilan Agama, yang diberi nama Presteraad
untuk Jawa dan Madura.
C. Keragaman
Peradilan pada Masa Kesultanan
1. Sejarah Peradilan islam di Indonesia
Sejarah Peradilan islam muncul di Indonesia seiring
dengan tersebarnya agama islam di Indonesia. Masuknya agama Islam ke Indonesia yang untuk pertama kali
pada abad pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang
dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang
sekaligus sebagai mubalig. Setelah melalui proses yang panjang,
berdirilah kesultanan/Kerajaan Islam Samudera Pasai di pesisir timur Sumatera
dan meluas ke pantai utara pulau Jawa. Menurut Bagir Manan, lembaga Peradilan
Agama telah ada dan tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Islam di
Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya Peradilan Agama itu adalah karena kebutuhan
dan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan mereka. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan Islam
bercorak majemuk. Kemajemukan itu amat bergantung kepada proses Islamisasi yang
dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan
bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan
berkembang sebelumya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya,
yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing.
2. Perkembangan peradilan pada masa keultanan
a) Periode
Tahkim
Tahkim yakni para pihak yang bersengketa secara suka
rela menyerahkan perkara mereka kepada seorang ahli agama, baik faqih, ulama,
atau mubaligh untuk diselesaikan dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak yang
bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan oleh ahli agama tersebut.
b) Periode
Ahlul Hilli wal Aqdi
Periode ini terjadi
ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam
kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhidilakukan secara
pemilihan dan baiatoleh ahlul halli waal’-aqdi, yaitu pengangkatan atas
seseorang yang dipercaya oleh ahli majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka (tokoh)
dalam masyarakat
c) Periode
Thauliyah
Dalam hal sudah ada suatu pemerintahan negara, maka
penyelenggaraan peradilan Islam menjadi tanggungjawab negara. Hakim (qadhi)
diangkat oleh Kepala Negara. Hal tersebut disebut dengan istilah “tauliyah ulil
amri dzu syaukah”,yakni pelimpahan kekuasaan mengadili dari pemerintah/penguasa
yang mempunyai kekuasaan
3. Keragaman Peradilan Pada Masa Kesultanan
a)
Kerajaan samudra
pasai
Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang
menerapkan hukum pidana Islam. Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan paham
Syafi’i ke kerajaan- kerajaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah
kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang
ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang
mereka jumpai dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan
pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan
oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu
hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama
dapat mengajukan banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua).
Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul Adil,
Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama).
b)
Kerajaan
Mataram
Kerajaan ini tidak sepenuhnya menerapkan hukum pidana
Islam. Hukum pidana hanya diterapkan dalam masalah Bughah (pemberontakan). Tak
hanya di daerah kekuasan Sultan Agung saja, tetapi di pesisir sebelah utara
Jawa, utamanya di Cirebon hukum Islam utamanya yang berhubungan dengan
masalah-masalah kekeluargaan amat banyak berpengaruh. Tercatat di Priangan
misalnya, adanya Pengadilan-pengadilan Agama yang mengadili perkara yang dewasa
ini masuk kepada masalah-masalah subversif. Pengadilan ini merupakan suatu
peradilan yang mengambil pedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh
penghulu, yang tentu saja adalah pemuka-pemuka agama di kerajaan.
c)
Kerajaan Banjar
Di Kalimantan Selatan, Sebelum kehadiran Islam juga
subur adat istiadat lama yang sifatnya animisme, ini merupakan tantangan para
pendakwah yang tak kenal lelah untuk mengikis setiap hadirnya ajaran yang
bertentangan dengan Islam. Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya
mufti-mufti dan qadhi- qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang
agama. Dalam tugas mereka, terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan
dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping
menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan
perkara-perkara pidana atau dikenal dengan Had.
d)
Kerajaan Di Sulawesi
Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan
lembaga-lembaganya dalam pemerintah kerajaan dan adat lebih lancar karena
peranan raja. Kerajaan yang mula- mula menerima Islam dengan resmi adalah
kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan.
Kemudian menyusul kerajaan Gowa yang muncul sebagai kerajaan terkuat dan
mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya. Melalui kekuasaan politik dalam
struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ (pejabat syari’at) yang
berkedudukan sama dengan Parewa Adek (pejabat adek) yang sebelum datangnya
Islam telah ada (pengadilan tingkat II). Parewa syara’ dipimpin oleh Kali
(Kadli), yaitu pejabat tertinggi dalam syariat Islam yang berkedudukan di pusat
kerajaan (pengadilan tingkat III).
e)
Kerajaan Raja Ali Haji di Riau
Sistem peradilan pada kerajaan Riau telah tertata
dengan rapi pada masa Raja Ali. Lembaga peradilan mempunyai kelengkapan
layaknya sebuah pengadilan dimasa sekarang. Peradilan terdiri dari, Mahkamah
Kerajaan yang bertugas menyelesaikan sengketa dalam kerajaan dan Mahkamah Kecil
yang bertugas menangani setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Untuk
masing- masing mahkamah itu diangkat tiga orang Qadhi yang menangani perkara
mu’amalah, jinayah dan munakahat.