
1.
Sejarah Turki
Utsmani
Nama Turki Usmani diambil dan dibangsakan
kepada Sultan Utsmani raja pertama Turki Utsmani. Kerajaan/Dinasti Turki
Utsmani tidak henti-hentinya berperang dan berjihad melawan para musuh Islam
selama lebih dari 6 abad yang dipimpin oleh 37 orang Sultan dan khalifah silih
berganti.
Pada masa Turki Utsmani ini merupakan masa
yang paling bersejarah bagi symbol kejayaan Islam dalam segi pandang kerajaan
dan kekuasaan wilayah. Mereka berhasil menakhlukkan Konstantinopel (kini
Istanbul) sementara umat islam sebelumnya tidak dapat menakhlukkanya. Mereka
juga berhasil menakhlukkan negeri-negeri yang belum pernah diinjak seorang
muslim pun. Berbagai penaklukkan membentang kejantung Eropa. Mereka menaklukkan
Yunani, Yugoslavia (kini Serbia dan montenegoro), Bulgaria, Rumania, Magyar,
(Hungaria), Besarrabia (Modavia), Ukraina, dan Siprus. Juga banyak wilayah
Rusia, Austria, Polandia, Slovakia, dan Italia. Mereka berhasil pula
menaklukkan wilayah Asia kecil lainya, Armenia, Georgia, dan seluruh negeri
Kaukasia.
Peran Turki Utsmani dalam
perkembangan peradaban islam tidak membentang dari Asia sampai Eropa dalam
rentang waktu yang relative lama, lebih dari enam abad, maka terjadilah
interaksi peradaban dengan berbagai wilayah yang berbeda dibawah kekuasaan
Turki dan saling mempengaruhi, sehingga peradaban yang lebih kuat banyak
memberikan pengaruh terhadap peradaban yang lebih lemah.
Kemajuan dan
perkembangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung
cepat itu diikuti pula oleh kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan yang lain,
diantaranya sebagai berikut:
a. Bidang Kemiliteran
Kerajaan Turki Usmani mencapai masa keemasannya bukan hanya karena
keunggulan politik para pemimpinnya. Akan tetapi yang terpenting diantaranya
adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya
yang sanngup bertempur kapan saja dan dimana saja.
b. Bidang Pemerintahan
Suksesnya Ekspansi Turki Usmani selain karena
ketangguhan tentaranya juga dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan
yang teratur. Dalam mengelola wilayah yang luas para raja-raja Turki Usmani
senantiasa bertindak tegas.
c. Bidang Ilmu Pengetahuan
Sementara dalam bidang ilmu pengetahuan
tidaklah begitu menonjol.
Karena itulah dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuwan
terkemuka dari Turki Usmani.
d. Bidang Budaya
Pengaruh dari ekspansi wilayah Turki Usmani
yang sangat luas, sehingga
kebudayaannya merupakan perpaduan macam-macam kebudayaan. Diantaranya adalah
kebudayaan Persia, Bizantium, dan Arab.
e. Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki Usmani
mempunyai peranan besar dalam bidang sosial dan politik. Masyarakat
digolong-golongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat
dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku
Ragam faktor keruntuhan Kerajaan Turki Ustmani
dibedakan menjadi dua, yakni Faktor internal dan eksternal. Berikut beberapa
faktor yang menyebabkan keruntuhan Kerajaan Turki Usmani:
a. Faktor Internal
1) Buruknya Sistem Pemerintahan
2) Hilangnya Keadilan.
3) Banyaknya terjadi Korupsi.
4) Meningkatnya Kriminalitas.
5) Heterogenitas Penduduk dan Agama.
6) Kehidupan Istimewa yang berlebihan.
7) Merosotnya perekonomian negara akibat
peperangan.
b. Faktor Eksternal
1) Munculnya gerakan nasionalisme bangsa yang
tunduk pada Kerajaan Turki Usmani saat berkuasa yang akhirnya menyadari
kelemahan kerajaan ini.
2) Kemajuan teknologi di wilayah barat yang
meningkat terutama bidang persenjataan.
a.
Peradilan Islam pada Masa Turki Usmani
Sebelum Tandhimat (1300-1839 M)
Pada
masa sebelum tanzimat, peradilan Islam terkait erat dengan kedudukan sultan
sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala urusan agama.
Lembaga-lembaga hukum yang didirikan berkaitan dengan masalah sipil, politik,
militer dan tata usaha negara.
Kewenangan
peradilan yang ada ketika itu dibagi kepada dua, yaitu kewenangan
hukum/peradilan syari‘ah yang disebut qadhi dan kewenangan dalam hukum-hukum
non-syari‘ah yang disebut syurthah. Kekuasaan qadhi diatur secara hierarkis,
mulai dari tingkat pusat sampai daerah.
Secara
rinci pejabat dan kelembagaan-kelembagaan yang ditetapkan oleh Sultan dapat
dilihat sebagai berikut:
1)
Al-Qadhi
Kelembagaan
ini diserahi kewenangan dalam pelaksanaan hukum-hukum syari’ah. Qadhi-Qadhi dan
kekuasaan kehakiman tertentu yang dibawahi atau dikepalai oleh Qadhi al-Qudhlat
ialah:
a)
Qadli (biasa) yaitu qadli yang
berwenang menangani perkara-perkara sipil (bukan militer)
b)
Qadli al-Jund atau qadli al-Askari
yaitu qadli yang berwenang dan mempunyai tugas menyelesaikan perkara-perkara di
lapangan militer.
c)
Nadhir al-Madhalim yaitu pejabat
kehakiman yang menyelesaikan perkara-perkara yang menyangkut
penyelewengan-penyelewengan pejabat pemerintah (peradilan tata usaha negara)
Untuk
di daerah, kelembagaan dibagi menjadi 3 yaitu:
a) Inspektur (al-Mufattisy)
b) Hakim (al-Qadhi)
c) Wakil Hakim (Nuwah al-Qadhi)
2)
Syurtah
Kelembagaan
ini diserahi kewenangan dalam pelaksanaan hukum-hukum non syariah misalnya
qonun, bidang keagamaan dan ketertiban khususnya yang menyangkut tugas-tugas
kepolisian. Lembaga ini dikepalai oleh Shahib al-Syurthah disebut juga Shahib
al-Mu’nah. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini yaitu sebagai berikut:
a)
Al-Juz’iyat (Mahkamah Biasa atau Rendah), wewenangnya
adalah menyelesaikan perkara perkara pidana dan perdata.
b) Mahkamah al-Isti’naf (Mahkamah Banding),
wewenangnya adalah meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
c) Mahkamah al-Tamyiz au al-Naqd wa al-Ibram
(Mahkamah Tinggi), wewenangnya adalah mencatat para qadhi yang terbukti
melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
d) Mahkamah ak-Isti’naf al-Ulya (Mahkamah
Agung), wewenangnya langsung dibawah pengawasan sultan.
b.
Peradilan Islam pada Masa Turki Usmani
Pasca Tandhimat (1339-1924 M)
Tandhimat ialah suatu zaman yang memang banyak
diadakan peraturan-peraturan dan perundang-undangan baru. Secara ringkas
tandhimat merupakan suatu zaman (periode) penggalakan, peraturan peraturan dan
perundang-undangan di Kerajaan Turki Usmani dalam rangka pembaharuan.
Munculnya Tandhimat dilatarbelakangi oleh
kesadaran banga Turki Usmani akan ketertinggalannya disbanding banga Eropa.
Pemuka-pemuka pembaharu di zaman ini ialah Musthafa Rasyid Pasya dan Sultan
Mahmoed Sadik Rif’at Pasya.
Ide-ide mereka dalam memajukan Turki Usmani
ialah sebagai berikut:
1)
Pengadaan
undang-undang dan peraturan-peraturan.
2)
Harus
ada kesejahteraan rakyat dengan meningkatkan bidang-bidang pertanian dan
perdagangan.
3)
Hak-hak
rakyat dijamin dan keadilan harus ditegakkan. Kepentingan rakyat harus
diperhatikan kerena pemerintah didirikan adalah untuk kepentingan rakyat.
Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan
diumumkannya piagam Gulhane (Khatt-I syarif Gulhane ) pada 3 november 1839 M,
kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya piagam Humayun pada tahun 1856
M. Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-186 M) putra Sultan
Mahmud II. Isi pokok Piagam Gulhane adalah sebagai berikut:
1)
Tertuduh
agar diadili secara terbuka dan hukuman mati agar tidak dilaksanakan sebelum
putusan dari pengadilan
2)
Larangan
terhadap pelanggaran terhadap seseorang.
3)
Jaminan
terhadap hak milik dan kebebasan menggunakan hak milik itu bagi si pemilik.
4)
Terpidana
masih mempunyai hak waris, dan harta tidak boleh disita.
5)
Pegawai
kerajaan digaji sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Pada akhir
periode Turki Utsmani, persoalan paradilan semakin banyak dan pelik. Sumber
hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syari’at Islam, tetapi diambil
dari hukum Barat (Eropa). Sehingga memunculkn lembaga peradilan yang sumber
hukumnya saling berbeda, yaitu:
1)
Mahkamah
al-Thawaif atau Qadha al-Milli, peradilan untuk suatu Kelompok (agama).
Sumbernya dari agama masing-masing.
2)
Qadha
al-Qanshuli, peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang
orang asing tersebut.
3)
Qadha
Mahkamah Pidana, bersumber dari undang-undang Eropa
4)
Qadha
Mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata.
5)
Majlis
al-Syar’i al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga
sumbernya fiqh Islam.
3.
Kodifikasi
Undang-Undang Perdata
a.
Kodifikasi Undang-Undang Perdata (Majallah
al-Ahkam)
Usaha
pembentukan hukum Islam dalam sebuah undang-undang telah dimulai sejak abad ke-2 H (abad ke-8 M). saat itu Ibn
Al-Muqaffa’pernah mengirim surat kepada Khalifah
Al-Mansyur (mem.137-159 H/754-775
M) untuk membuat suatu undang-undang umum
yang berlaku untuk semua wilayah.
Usaha
nyata untuk menempatkan ketentuan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan
negara baru terbentuk dengan munculnya “Majallah Al-Ahkâm Al-’Adliyyah”,yang
kodifikasi pada masa pemerintahan Turki Utsmani yang disusun tahun 1869-1876. Undang-undang
ini telah diterjemahkan dalam edisi Indonesia, dengan judul “Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Islam”.
Majallah
al-Ahkam terdiri atas 16 Buku dengan 1851 pasal. Berikut ini 16 buku membahas
tentang :
1)
Jual beli
(al-buyû’) |
9) Pengampuan, pemaksaan |
2)
Sewa menyewa
(al-ijârah) |
10) Hak milik bersama (al-syirkah) |
3)
Jaminan
(al-kafâlah) |
11) Perwakilan (al-wakâlah) |
4)
Pemindahan
utang (al-hiwâlah) |
12) Perdamaian dan pembebasan |
5)
Gadai
(al-rahn) |
13) Pengakuan (al-iqrâr) |
6)
Barang yang
dipercayakan (amânâh) |
14) Gugatan (a l-da’wâ) |
7) Hibah (hibah) |
15) Pembuktian dan sumpah |
8)
Perampasan
dan perusakan barang |
16)
Putusan
pengadilan dan pemeriksaan perkara |
b.
Kondisi Sosial Politik Turki Era Penyusunan Kitab Majallah
Pada
awal tahun 1800 M kemunduran Khilafah Usmaniyah mulai tampak dengan semakin
lemahnya control terhadap wilayah-wilayah dibawah kekuasaannya, setelah
sebelumnya kerajaan besar ini kehilangan wilayah kekuasaannya di daerah black
sea dan Cremia akibat perang berkepanjangan melawan Rusia antara tahun
1768-1792.
Kekalahan
demi kekalahan yang diderita Turki Usmaniyah diantara penyebabnya adalah
ketertinggalan negara ini dibidang teknologi, terutama teknologi kemiliteran.
Sementara hukum Islam yang ada adalah produk masa lalu yang pada masa itu
sedang mengalami kejumudan. Kondisi yang demikian tersebut menjadikan hukum
Islam tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang dihadapi
masyarakat.
Kitab
Majallah disusun dalam situasi dimana pemerintah Usmaniyah sedang gencar
melakukan reformasi dibidang hukum. Reformasi hukum (Tanzîmat) diawali dengan
instruksi Sultan Abdul Majid I (1839-1861 M) yang diumumkan di Gulhane Park
pada tanggal 3 Nopember 1839 M, sesaat setelah beliau diangkat menjadi Khalifah
Usmaniyah. Sejak itulah Turki memulai reformasi hukumnya dengan mengganti
sistem hukum sebelumnya yang diambil dari sistem hukum Konstantinopel dan adat
dengan sistem hukum modern Barat.
c.
Metode Penyusunan Kitab Majallah
1) Menggunakan al-Qur‟an dan Sunnah serta
metode-metode dalam ilmu ushul fiqh sebagai sumber dan metode mengeluarkan
hukum (takhrîj al-hukm).
2) Melakukan tarjîh atas hasil ijtihad yang telah
ada untuk kemudian ditetapkan dan digunakan pendapat yang paling kuat.
3) Melakukan kajian ulang atas pendapat-pendapat
fiqh yang telah ada, dengan cara menguji pendapat-pendapat tersebut dengan
kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh.
4) Mengambil salah satu pendapat fiqh dalam
mazhab tertentu untuk diikuti dan dijadikan dasar berfatwa.
d. Kedudukan Kitab Majallah dalam Tata Hukum Turki Modern
1) Pertama, kitab Majallah menjadi spirit atau semangat penegakan
hukum perdata Turki modern. Karena itu dalam pandangan beberapa pakar hukum
Islam di Turki, apabila terdapat pasal-pasal dalam Turk Medeni Kanunu yang
bertentangan dengan kitab Majallah, maka pasal tersebut tidak boleh
diberlakukan.
2) Kedua, kitab Majallah hingga saat ini masih menjadi sumber hukum muamalah masyarakat muslim di Turki secara privat. Melalui beberapa kali wawancara dengan para pedagang di pasar-pasar tradisional dan bahkan di beberapa mall besar di kota Istanbul.