1.
Sejarah Bani Abbasiyah
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena pendiri dan
penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti
Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah.
Dengan organisasi yang bertingkat dan mekanisme
pembagian tugas di atas gerakan Abbasiyah memutuskan bahwa Khurasan dijadikan
sebagai pusat kegiatan gerakan Abbasiyah. Alasan pemilihan Khurasan selain
karena letak geografisnya yang jauh dari ibukota Dinasti Umayyah, Damaskus,
juga beberaoa faktor sosial yang menguntungkan yaitu masyarakat Khurasan yang
berkebangsaaan Arab mendukung gerakan ini. Sedangkan masyarakat Khurasan
non-Arab mempunyai kekecewaan-kekecewaan politik terhadap Bani Umayyah karena
kebijakan dalam hal pajak yang dianggap memberatkan rakyat. Ditinjau dari proses pembentukannya, Dinasti Abbasiyah didirikan
atas dasar beikut :
a.
Dasar kesatuan untuk menghadapi
perpecahan yang timbuh dari dinasti sebelumnya.
b.
Dasar universal (bersifat
universal), tidak terlandaskan atas kesukuan.
c.
Dasar politik dan administrasi
menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan
d.
Dasar kesamaan hubungan dalam hukum
bagi setiap masyarakat Islam.
e.
Pemerintahan bersifat Muslim
moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai salah satu bagian saja di antara
ras-ras lain.
f.
Hak memerintah sebagai ahli waris
nabi masih tetap di tangan mereka
Adapun
periode-periode pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi menjadi 5 yaitu sebagi
berikut:
a.
Periode pertama (132 H– 232 H)
disebut periode pengaruh persia pertama.Dinasti
Abbasiyah berlangsung dari masa kekuasaan Abu Abbas (As-Saffah) sampai
Al-Watsiq (750-847 M). Pada masa inilah Dinasti Abbasiyah mengalami banyak
kemajuan dan mencapai abad kejayaan. Faktor terjadinya kemajuan pada periode
ini adalah karena terjadinya asimilasi dalam Dinasti Abbasiyah.
b.
Periode Kedua (232-334 H) Periode
ini kekuasaan politik berpindah dari tangan khalifah kepada golongan berikut :.
·
Kaum Turki (232-234 H) kecuali semasa timbul kesadaran puncak di
tangan al-Muwaffaq semasa saudaranya al-Mu’tamid menjadi khalifah (256-279 H),
kemudian di tangan al-Mu’tahdid bin al-Muwaffaq di masa khalifah al-Mu’tamid
dan di masa al-Mu’tadhif sendiri menjadi khalifah (279-289 H). Periode ini
sering disebut juga sebagai masa pengaruh turki pertama.
c.
Periode Ketiga (334-447H) Pada Periode
ini Dinasti Bani Abbasiyah dibawah kekuasaan Dinasti Buwaihi. Karena Dinasti
Buwaihi menganut aliran Syiah membuat keadaanya lebih buruk dibanding periode
sebelumnya, Pada periode ini Pusat pemerintahan Islam dipindahkan dari Baghdad
ke Syiraz tempat Ali bin Buwaihi berkuasa.
d.
Periode Keempat (447-590H). Pada
periode ini sering disebut dengan kekuasaan Turki ke-2 dan kekuasaan bani
abbasiyah masih depegang oleh bani saljuk.
e.
Periode kelima (590-656H). Pada
masa.ini kekuasaan bebas dari dinasti
yang lainnya akan tetapi kekuasaan hanya berpusat dikota Baghdad.
2.
Hubungan Peradilan dengan Pemerintahan
Pada
zaman Dinasti Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan
oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain:
a.
Para Khalifah tetap dari keturunan
Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih
dari keturunan Persia dan Mawali.
b.
Kota Baghdad digunakan sebagai ibu
kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan
kebudayaan.
c.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai
sesuatu yang sangat penting dan mulia.
d.
Kebebasan berfikir sebagai HAM
diakui sepenuhnya
e.
Para menteri turunan Persia diberi
kekuasaaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy,
1993:213-214)
Selanjutnya
periode II, III, IV, kekuasaan politik
Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal
ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak
menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di
daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk
pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya daulah-daulah kecil, contoh:
Daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah.
Pada
masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan
perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab empat atau mazhab
yang lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah di adakan.
Kemudian organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah
didakan jabatan penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi
diwan qadhi al-qudhadh, sebagai berikut:
a.
Diwan qadhi
Al-Qudhah semua badan-badan pengadilan dan
badan-badan yang lain yang ada hukuman dengan kehakiman dibawah diwan
qahdial-qadhah.
b.
Qudadh
Al-Aqaali hakim provinsi yang mengetahui
pengadilan tinggi
c.
Qudhah
Al-Amsaar hakim kota yng mengetuai pengadilan
negeri; al-qadhadh atau al-hisbah
d.
Al-Suthah
Al-Qadhaiyah yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota
negara dipimpin oleh al-mudda’il ummy (jaksa agung),dan tiap-tiap kota oleh
Naib Ummy (jaksa1)
Pada
masa ini ada beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang
peradilan. Antara lain:
a.
Lembaga Qadhi Al-Qudhah (Mahkamah
Agung)
Lembaga Qadhi Al-qudhadh yang merupakan instansi tertinggi
dalamperadilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mhakamah Agung. Badan
hukumini diputuskan pendiriannya sejak masa harun Al-Rasyid yang berkedudukan
di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah. Apabila
diidentikkan dengan Indonesia,pada zaman Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung dan
Jaksa Agung serta peradilan-peradilan di tingkat provinsi dan kota/ kabupaten. Artinya
setiap wilayah sudah memiliki peradilan.
b.
Wilayah Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman
dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebakan dan mencegah kezaliman.
Pejabat badan hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang
penyelesaiannya perlu segera, mengakibatkan sempit nya jalan-jalan umum,
mengganggu kelancaran lalu lintas, dan melanggar hak-hak tetangga serta
menghukum orang yang mempermainkan hukum syara.
c.
Wilayah al-Mazalim
Secara terminologi wilayah al-mazalim berarti “kekuasaan pengadilan
yang lebih tinggi dari kekuasaa hakim & muhtasib yang bertugas memeriksa
kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh peguasa terhadap
rakyat biasa.
d.
Al-Mahkam al-Askariyah
Pada masa pemerintahan Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan
militer dengan hakimnya adalah qadhi al-askar. Tugasnya adalah mengahadiri
siding-sidang di Dar al-Adl terutama persidangan tersebut menyangkut anggota
militer / tantara.
e.
Badan Arbitrase
Madzhab tahkim ini dibenarkan oleh islam. Undang-unadng modern pun
telah banyak mengambilnya. Tahkim dalam pengertian Bahasa arab berarti
“Menyerahkan putusan [ada seseorang dan menerima putusan itu.” Dalam pengertian
istilah tahkim adalah “dua orang atau lebih yang mengtahkim kepada seseorang
diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas
sengketa mereka itu.”
f.
Tempat Persidangan dan Waktu Hakim
Persidangan pengadilan dilaksanakan di suatu majelis yang luas,
yang memenuhi syarat kesehatan & dibangun di tengah-tengah kota, dan
menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara
dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan. Bagi para qadhi / ulama’
memiliki pakaian khusus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi
pada masa khalifah Harun Al-Rayid dan maksud untuk membedakan mereka dengan
rakyat umum.
g.
Munculnya Madzhab-madzhab
Lahirlah madzhab-madzhab dalam bidang fiqh wanita yaitu Abu Hanifah
yang dikenal dengan tokoh Ahlu Ro’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas di
Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan Muhadditisin dan Fuqaha. Kemudian
Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’I dari Makkah dan Madinah hingga markaz
keilmuan di Baghdad Iraq kemudian ke Masjid Jami’ Amru bin Ash di Mesir untuk
meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa’idah-Qa’idah Ijtihad.
3.
Beberapa Perubahan Bidang Peradilan
a.
Ide Pembuatan Undang-Undang Umum
Ide
ini di centuskan oleh Ibnu Muqaffa (w.144 H), beliau mengirim surat kepada
Khalifah Abu Ja’far al Mansur, memohon agar di buat satu UU yang di ambil dari
Al quran dan as Sunnah untuk seluruh rakyat, dan bagi yang perkaratidak ada
ketentan nashnya maka di ambil dari pendapat yang memenuhi tuntutan keadilan
dan kemashlahatan umat. Hal ini di tanggapioleh khalifah dan meminta agar Imam
Malik menolak dan berkata, “Sesungguhnya setiap umat memilki ikatan ulama-ulama
salaf dan mazhab-mazhab”.
Pada
tahun 163 H, khalifah sekali lagi mengajukannya kepada Imam Malik. Namun tetap
di tolak dan berkata “Sesungguhnya sahabat Nabi berbeda dalam furu’ dan
berserakan di berbagai negeri dan masing-masing dari mereka adalah benar”.
b.
Hakim Muqallid
Pada
masa ini hakim tidak lagi berijtihad. Ini berarti menyalahi syarat bahwaa hakim
harus seorang mujtahid. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, ulama-ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa hakimboleh memutuskan perkara dengan pendapat yang
Dho’if dari mazhab yang di anutnya. Golongan Malikiyah mengatakan bahwa seorang
muqallid harus berpegang kepada pendapat imam yang di ikutinya. Ia tidak boleh
menggunakan ijtihadnyakarena hal ini bisa di capai oleh orang-orang yang
berepengetahuan cukup.
Urutan
di atas menunjukan bahwa hakim di utamakan seorang mujtahid, bila tidak ada
atau sedikit din peroleh maka boleh seorang muqallid dengan syarat dalam
memutuskan perkara mempunyai peganga, baik itu mazhab ataupun undang-undang
yang berlaku.
4.
Masalah dalam Penyelenggaraan Peradilan
a. Masalah Dalam Menyelenggarakan Peradilan Periode Abasiyyah 1
Pada
zaman Abbasiyah ini terkenal sebagai puncak kejayaan Islam, tetapi pada awal-awal
daulah tersebut juga dikenal bahwa taasub mazhab sangat dipertahankan. Di Zaman
Abbasiyah hukum berdasarkan agama dan untuk kepentingan agama pada zaman itu
kejayaan maju. Akibatnya terjadi pembaharuan-pembaharuan karena perkembangan
ilmu pengetahuan ekonomi dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang pesat, maka
terjadi pula pertentangan-pertentangan di kalangan fuqaha dengan mazhab, namun
demikian pelaksanaan hukum Islam berjalan menurut mazhab tertentu di wilayah
tertentu seperti di Irak berdasarkan mazhab Hanafi, di Syam dan Maghrib
berdasarkan mazhab Maliki dan Mesir berdasarkan Mazhab Syafi’i.
Masa abbasiyah I ini terkenal dengan
memuncaknya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, maka penulis melihat justru
pada masa itu adalah melemahnya Islam, sebagaimana dijelaskan lebih awal bahwa
pada zaman itu taasub terhadap 4 Mazhab besar adalah sangat tinggi, sehingga
pemikiran ke-Islaman pada waktu itu tidak berkembang karena harus mengacu
kepada mazhab yang di wilayah dimana orang itu berada, namun kita melihat bahwa
yang maju adalah semangat Islam, dimana khalifah pada waktu itu merangkul
fuqaha tetapi menampik qadhi bahkan melarang fuqaha berpedoman kepada mereka,
karena ia khawatir terhadap fatwa mereka yang bertentangan antara kehendak
mereka(khalifah), begitu pula jangan sampai qadhi itu memberikan fatwa kepada
fuqaha yang bertentangan dengan kesenangan khalifah.
b. Masalah Dalam Menyelenggarakan Peradilan Periode Abasiyyah 2
Pada
masa kedua ini adalah merupakan zaman kemunduran daulah Abbasiyah sendiri dan
merupakan tanda awal keruntuhannya. Khilafah Islam pada waktu itu sudah sangat
lemah, karena lemahnya maka berkurang pula kewenangan Qadhi dan menjadi
sempitlah daerah operasionalnya, yaitu hanya terbatas pada masalah hukum
syari’at yang berkembangan di masyarakat. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa
daulah Abbasiyah memang pada akhirnya runtuh, sehingga para sejarawan
mengatakan bahwa Qadhi dan khalifah lemah pada waktu itu sehingga daerah
operasional Qadhi sangat sempit.
Abad
pertama sampai abad ketiga pada masa Abbasiyah, sebagai masa jaya dan majunya
semangat ijtihad dikalangan ulama fikih, yang menjadikan sumber hukum dalam
penetapan hukum di lembaga pengadilan al-Qur’an, sunnah dan ijtihad para hakim
sendiri. Akan tetapi, setelah itu sumber hukum yang menjadi acuan bagi para
hakim di pengadilan sudah berubah, sejalan dengan perkembangan fikih Islam
dimasa itu. Pertentangan mazhab mulai timbul,sehingga masing-masing hakim di
pengadilan dalam menetapkan hukum sesuai dengan mazhab fikih yang mereka anut.
Para
hakim memutuskan perkara di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam masa ini
ada sebagian khalifah Abbasiyah yang
ikut campur dalam penanganan perkara oleh qodhi, sehingga hal ini menyebabkan
menjauhnya fuqoha dari jabatan ini (hakim).