A. Pengadilan Khusus di NAD
1.
Terbentuknya
Mahkamah Syar’iyyah di Nanggroe Aceh Darussalam
Salah satu kekhususan yang diberikan pemerintah pusat
untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah hak dan peluang untuk membentuk
Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan Syariat Islam. Hal ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu pada Pasal 25
Dari Pasal 25 itu sendiri yang berisi :
1)
Peradilan Syari’at Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebagian dari sistim peradilan Nasional
dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2)
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, didasarkan atas Syari’at Islam dalam sistim hukum
nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
3)
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
2 diberlakukan bagi pemeluk Agama Islam. Mahkamah Syar’iyah terdiri dari
Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Kota sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
2.
Kewenangan
Mahkamah Syar’iyyah di Nangroe Aceh Darussalam
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Pasal 49
Qanun Nomor 10 Tahun 2002: “Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama,
dalam bidang :
a. Ahwal
al-Syakhshiyah;
b. Mu’amalah;
c. Jinayah
B.
Pelaksanaan
Syariat Islam dan Mahkamah Syariah di NAD
1. Sejarah
Syariat Islam dan Mahkamah Syariat di NAD
Pada tanggal 18 Agustus 2006 telah di Undang-undangkan
, Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. Dimana UU ini
lahir sebagai implementasi nota kesepahaman antara Pemerintah replubik
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan kesepahaman damai ini
dilakukan di Helsinki Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, untuk kemudian
lahirlah UU tersebut. Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang
memiliki hak untuk menerapkan syariat Islam secara penuh.
Mahkamah syariat itu sendiri adalah Lembaga peradilan
syariat Islam di NAD sebagai pengembangan peradilan agamayang diresmikan
bertepatan 1 Muharram 1424 H oleh ketua Mahkamah agung Bagir Manan dengan
dihadiri Mentri Agama dan Mentri Dalam Negri kala itu. Karena adanya tuntutan
dan desakan dari masyarakat Aceh, pemerintah pusat merespon dengan menetapkan
Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Kemudian dua tahun setelahnya pemerintah pusat kembali
menetpakan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Provinsi Nanggore aceh
Darussalam (NAD) yang mengatur lebih jauh otonomi khusus bagi NAD seperti
halnya mengenai Mahkamah syariat, qanun, lambing daerah, zakat, dan
lain-lainnya.
2. Penerapan Syariat Islam dan Mahkamah Syariat di NAD
Serambi Makkah adalah sebutan lain untk wilayah Aceh.
Jadi bukan hal baru lagi untuk masyarakat Aceh saat penerapan suariat silam.
Bahkan di daerah Aceh ada beberapa yang menerapkan syariat islam di hukum
adatnya. Misalnya saja mengenai hukum rajam bagi yang berzina di daerah Aceh
Selatan.
Penegakan Syariat Islam terus dilakukan Dinas Syariat
Islam dalam usaha untuk menegakkan syariat Islam dengan mengajak warga
melaksanakannya penuh kesadaran. Dalam pelaksanaanya pemerintah provinsi Aceh
membentuk badan Pengawasan yang diberi nama Wilayatul Hisbah. Wilayatul Hisbah
yaitu Lembaga yang bertugas menegakkan amar makruf nahi mungkar melalui
sosialisasi qanun-qanun kepada masyarakat luas.
3. Respon
masyarakat NAD atas penerapan Syariat Islam
a. Kelompok
pendukung atau pro syariat . Mereka diwakili para ulama .
b. Kelompok
yang mengikuti arus yag diwakili masyarakat Aceh umumnya. Mereka yang tidak
berkepentingan cenderung mengikuti arus kebijakan peerintah. .
c. Kelompok
skeptis, jika tidak bisa dikatakan “menolak” pemberlakuan syariat Islam di
Aceh. Kelompok ini diperankan oleh para cendekiawan muslim, yang
mempertimbangkan implementasi syariat Islam dengan berbagai argumen sebagai
dasar pijakan.