MAKALAH RUANG LINGKUP FIQH MAWARIS


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris harta peninggalan seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak, sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Allah dan manusia. 

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut." (HR Daruquthni)

B.    Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan fiqh mawaris?

2.      Apa saja sumber-sumber fiqh mawaris?

3.      Apa hukumnya membagi warisan menurut ketentuan syara' ?

4.      Apa hukum mempelajari dan mengerjakan fiqh mawaris?

C.    Tujuan Makalah

1.      Untuk mengetahui pengertian dari fiqh mawaris.

2.      Untuk mengetahui sumber-sumber fiqh mawaris.

3.      Untuk mengetahui pembagian warisan menurut Syara'.

4.      Untuk mengetahui hukun mempelajari dan mengerjakan fiqh mawaris.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian fiqh mawaris

Mawaris merupakan bentuk jamak dari mirast (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dimaknai dengan mauruts) merupakan harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada para keluarga yang menjadi ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta pusaka tersebut dinamakan muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka disebut warist.

Para ulama ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu faraidh atau fiqih mawaris. Walaupun definisi-definisinya secara redaksi berbeda, namun mempunyai pengertian yang sama. Hasby Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut: mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan waris dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya. Jadi, faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Ini sebagaimana definisi ilmu faraidh yang dita'rifkan oleh faradhiyun.[1]

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagianbagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.[2]

Kompilasi Hukum Islam pasal 171 ayat a, dinyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Dari definisi-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid atau fiqh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meningal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.

B.    Sumber-sumber hukum Fiqih Mawaris

Dasar hukum yang merupakan sumber utama dalam hukum Islam ialah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits (maqbul) Nabi Muhammad SAW. Selain itu, terdapat juga sumber hukum seperti ijma dan qiyas yang membahas tentang ilmu farāidh. Keempat sumber hukum waris Islam tersebut, dapat penulis jelaskan sebagai berikut ini:

1.      Al-Quran

Al-Quran merupakan sumber hukum Islam pertama dan yang paling utama di antara sumber-sumber yang lain. Di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah waris dengan sangat jelas dan rinci mengenai siapa saja yang menjadi ahli waris dan kadar bagian masing-masing yang tercantum dalam Surah Al-Nisā ayat 11, 12, 176 dan ayat-ayat yang memuat ketentuan kewarisan yang bersifat umum, seperti Surah Al-Nisā ayat 7, 8, 9, 10, 13, 14 dan 33, serta surat Al-Anfal ayat 75. Adapun ayat Al-Quran yang mengatur tentang kewarisan secara jelas dan rinci adalah Surah Al-Nisā ayat 11 serta garis hukumnya. Ayat ini mengatur perolehan harta warisan bagi anak, ibu, dan bapak serta persoalan mengenai wasiat dan hutang.

 

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. (yaitu) Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. (dan) Untuk dua orang ibu-bapak, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) Orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Nisā:11).

 يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Selanjutnya ialah Surah Al-Nisā ayat 12. Dalam ayat tersebut mengatur tentang perolehan harta warisan bagi duda, janda dan saudara- saudara serta persoalan wasiat dan hutang. Allah SWT berfirman dalam Al-Nisā ayat 12:

 وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing- masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Nisā:12).

Selanjutnya adalah Surah Al-Nisā ayat 176 serta garis hukumnya. Ayat ini menerangkan tentang arti kalalah dan mengatur perolehan warisan untuk saudara (sekandung atau sebapak) dalam hal kalalah. Allah SWT berfirman dalam kitab suci-Nya:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِى ٱلْكَلَٰلَةِ ۚ إِنِ ٱمْرُؤٌا۟ هَلَكَ لَيْسَ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَهُۥٓ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوٓا۟ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا۟ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۢ

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. AlNisā’: 176).

Menurut Rofiq[3], turunnya ayat al-Qur’an surat Al-Nisaa’ ayat 11 dan 12 yang mengatur pembagian waris yang penunjukkannya bersifat qat’i al-dalalah, merupakan refleksi sejarah dari adanya kecenderungan materialistisku umat manusia dan rekayasa sosial (social engenering) terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat pada waktu itu. 

Surat Al-Nisaa’ ayat 11 dan 12 diturunkan untuk menjawab tindakan sewenang-wenangan Saudara Sa’ad Ibn Al-Rabi yang ingin menguasai  kekayaan peninggalannya, ketika Sa’ad meninggal di medan perperangan. 

Ata meriwayatkan: 

Sa’ad ibn al-Rabi’ tewas (di medan peperangan sebagai sahid) meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang isteri serta seorang saudara laki-laki. Kemudian saudara laki-laki tersebut mengambil harta (peninggalan) seluruhnya. Maka datanglah isteri (janda) Sa’ad, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, ini adalah dua anak perempuan Sa’ad, dan Sa’ad tewas di medan perperangan, pamannya telah mengambil harta kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah: “Kembalilah kamu, barangkali Allah akan memberi putusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah

Isteri Sa’ad tersebut dan menangis. Maka turunlah ayat ini (Surah Al-Nisaa’ ayat 11-12). Kemudian Rasulullah SAW memanggil pamannya dan bersabda: “Berilah kedua anak perempuan Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumun) dan sisanya untuk kamu”.

2.      Al-Hadits

Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penafsir, penjelas, membatasi dan memperluas makna teks Al-Qur’an. Hadits juga berperan sebagai pengisi kekosongan (rechtsvacum) untuk hal-hal yang belum atau tidak diatur oleh AlQur’an. 14 Dalam sumber hukum yang kedua ini juga terdapat beberapa hadits yang secara rinci menjelaskan tentang ilmu farā’idh yang dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Pertama adalah hadits yang menjelaskan bahwa ilmu farā’idh adalah ilmu pertama kali yang akan dilupakan dan ditinggalkan oleh umat Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda:

“Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abu Hurairah, belajarlah ilmu faraidh kemudian ajarkanlah. Sesungguhnya ilmu faraidh itu adalah setengah ilmu yang dilupakan oleh umatku dan ilmu pertama yang ditinggalkan oleh umatku.” (HR. Ibnu Majah)

Kedua ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (muttafaqun alaih). Hadits ini menjelaskan tentang pembagian harta warisan diberikan terlebih dahulu kepada ahli waris yang termasuk dalam kelompok ashab al-furudh, baru kemudian sisanya diberikan kepada kelompok ahli waris yang mendapatkan bagian ashobah bi al-nafsi. Haditsnya adalah sebagai berikut:

Ibnu Abbas berkata: Nabi Muhammad SAW bersabda, Berikanlah jatah warisan yang telah ditentukan itu kepada yang berhak. Adapun sisanya, maka bagi pewaris laki-laki yang paling dekat nasabnya.(HR. Bukhari dan Muslim).[4]  

3.      Ijma’

Ijma’ (konsensus) adalah persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Para sahabat, tabi’in (generasi pasca sahabat), dan tabi’ al-tabi’in (generasi pasca tabi’in), telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu farā’idh dan tidak ada seorang pun yang menyalahi ijma tersebut.19 Salah satu contoh dari ijma para sahabatadalah saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, dapat dihalangi (di-mahjub-kan) oleh salah satu dari enam orang, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan, cucu perempuan, bapak dan kakek.[5]

4.      Qiyas

Qiyas (reasoning by analogy) adalah menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an dan hadits dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh nash, karena ada sebab yang sama. Salah satu contoh qiyas dalam masalah kewarisan, yaitu seperti cicit perempuan dari keturunan cucu laki-laki mendapat bagian 1/6 dengan catatan apabila bersamaan dengan cucu perempuan, maka cucu perempuan tersebut.

C.    Hukum membagi warisan menurut ketentuan syara

1.      Terdapat tiga golongan ahli waris menurut ajaran bilateral:

Dzul faraa-idh (biasa disebut juga sebagai ashabul furudh atau dzawil furudh) Sunting Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang telah mendapat bagian pasti, yang bagian-bagian tersebut telah ditentukan dalam Alquran surat An-Nisa, atau sebagaimana pula telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bab ketiga, yang di antaranya:

a)      anak perempuan yang tidak didampingi laki-laki

b)      ibu

c)      bapak dalam hal ada anak

d)      duda

e)      janda

f)       saudara laki-laki dalam hal kalaalah

g)      saudara, laki-laki dan perempuan bergabung bersyirkah dalam hal kalaalah

h)      saudara perempuan dalam hal kalaalah

2.      Dzul qarabat atau ashabah            

Dzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian sisa atau tidak ditentukan, di antaranya:

a)      anak laki-laki

b)      anak perempuan yang didampingi laki-laki

c)      bapak

d)      saudara laki-laki dalam hal kalaalah

e)      saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalaalah

3.      Mawali      

Mawali adalah ahli waris pengganti yang menggantikan seseorang untuk memeroleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mawali ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (misalnya wasiat) dengan pewaris. Pembagian :

a)      Setengah

Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu, Saudari seayah dan Suami jika tanpa anak.

b)      Seperempat

Suami bersama anak atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.

c)      Seperdelapan

Istri bersama Anak atau cucu dari anak laki-laki

d)      Sepertiga

Ibu tanpa ada anak, Saudari seibu 2 orang atau lebih.

e)      Duapertiga

Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu, Saudari seayah

f)       Seperenam

Ibu bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama Saudari seayah ibu, Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.

Dasar hukum waris Islam

Dasar hukum waris Islam yang pertama tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 

Sedangkan dasar hukum waris Islam yang kedua yaitu dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

D.    Hukum mempelajari dan mengajarkannya

Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

تعلمواالفرائض وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى

Artinya: pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).

Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.

Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.

Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang artinya berbunyi sebagai berikut:

Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka. (Fathur Rahman, 1987 : 35).

Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual pelajarilah, yang dalam kaidah hukum disebutkan asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib, maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.

Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.

Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.

Demikianlah, ilmu faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia dan perkaraperkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya.

Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda : Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).

Disamping itu Allah berfirman : Dan siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Alloh akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa : 14).

Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan prinsip-prinsip antara lain : 

1.      Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan sebagainya.

2.      kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.

3.      Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris wanita.

4.      Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.

Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :

a)      Harta benda yang merupakan Rahmat Allah itu diatur menurut ajaran-Nya.

b)      Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.

c)      Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan Allah SWT.

Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.

 

BAB III

PENUTUP  

     

A.    KESIMPULAN

Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.

Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapanpemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.

Semoga dengan pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).

Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.

             

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman, M. Toha. 1976. Pembahasan Waris dan Wasiat Menurut Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.

Basyir, Ahmad Azhar. 2001. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.

Bukhari, Shahih Al-Bukhari dan Muslim. 2012. “Kitab Faraidh”. Jakarta: Alita Aksara Media.

Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid III. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.

Parman, Ali. 1995. Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik). Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.

Rahman, Fatchur. 1994. Ilmu Waris. Bandung: Al-Maarif.

Rofiq, ahmad. 2000. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syarkun, M. Syuhada’. 2008. Ilmu Fara’idh, Ilmu Pembagian Waris Menurut Hukum Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada.



[1] Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, BAB II Landasan Teori, Hlm 19.

[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, Cet. IV 2000) hlm. 355

[3] Rofiq, Hukum Islam ......, hlm. 356-357.

[4] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dan Muslim, “Kitab Faraidh”, (Jakarta: Alita  Aksara Media, 2012), hlm. 424.

[5] Syarkun, Ilmu Fara’idh......, hlm. 7.

Lebih baru Lebih lama