BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris
harta peninggalan seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak, sekaligus
dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari
harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihak
yang merasa dirugikan. Karena pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik
dalam pandangan Allah dan manusia.
Dari
Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta
pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang
yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah.
Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak
yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat
menyelesaikan perselisihan tersebut." (HR Daruquthni)
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan fiqh mawaris?
2.
Apa saja sumber-sumber fiqh mawaris?
3.
Apa hukumnya membagi warisan menurut ketentuan syara' ?
4.
Apa hukum mempelajari dan mengerjakan fiqh mawaris?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui pengertian dari fiqh mawaris.
2.
Untuk mengetahui sumber-sumber fiqh mawaris.
3.
Untuk mengetahui pembagian warisan menurut Syara'.
4.
Untuk mengetahui hukun mempelajari dan mengerjakan fiqh
mawaris.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian fiqh
mawaris
Mawaris
merupakan bentuk jamak dari mirast (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dimaknai
dengan mauruts) merupakan harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang
diwariskan kepada para keluarga yang menjadi ahli warisnya. Orang yang
meninggalkan harta pusaka tersebut dinamakan muwarits. Sedang yang berhak
menerima pusaka disebut warist.
Para
ulama ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu faraidh atau
fiqih mawaris. Walaupun definisi-definisinya secara redaksi berbeda, namun
mempunyai pengertian yang sama. Hasby Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai
berikut: mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan
waris dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap
ahli waris, dan cara pembagiannya”.
Jadi, faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris
yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara‟.
Ini sebagaimana definisi ilmu faraidh yang dita'rifkan oleh faradhiyun.[1]
Sedangkan
secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur
tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui
bagianbagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak
menerimanya.[2]
Kompilasi
Hukum Islam pasal 171 ayat a, dinyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
Dari
definisi-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid atau fiqh mawaris
adalah ilmu yang membicarakan hal pemindahan harta peninggalan dari seseorang
yang meningal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang
ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut,
bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta
peninggalan itu.
B.
Sumber-sumber
hukum Fiqih Mawaris
Dasar
hukum yang merupakan sumber utama dalam hukum Islam ialah nash atau teks yang
terdapat dalam Al-Qur’an
dan Hadits (maqbul) Nabi Muhammad SAW. Selain itu, terdapat juga sumber hukum
seperti ijma’ dan qiyas
yang membahas tentang ilmu farā’idh.
Keempat sumber hukum waris Islam tersebut, dapat penulis jelaskan sebagai
berikut ini:
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam
pertama dan yang paling utama di antara sumber-sumber yang lain. Di dalamnya
memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah waris dengan sangat jelas dan
rinci mengenai siapa saja yang menjadi ahli waris dan kadar bagian masing-masing
yang tercantum dalam Surah Al-Nisā’
ayat 11, 12, 176 dan ayat-ayat yang memuat ketentuan kewarisan yang bersifat
umum, seperti Surah Al-Nisā’
ayat 7, 8, 9, 10, 13, 14 dan 33, serta surat Al-Anfal ayat 75. Adapun ayat
Al-Qur’an yang
mengatur tentang kewarisan secara jelas dan rinci adalah Surah Al-Nisā’ ayat 11 serta garis hukumnya.
Ayat ini mengatur perolehan harta warisan bagi anak, ibu, dan bapak serta
persoalan mengenai wasiat dan hutang.
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. (yaitu) Bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. (dan) Untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) Sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang)
Orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Nisā’:11).
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ
إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Selanjutnya ialah Surah
Al-Nisā’
ayat 12. Dalam ayat tersebut mengatur tentang perolehan harta warisan bagi
duda, janda dan saudara- saudara serta persoalan wasiat dan hutang. Allah SWT
berfirman dalam Al-Nisā’
ayat 12:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا
تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ
وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ
لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ
رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing- masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun. (QS. Al-Nisā’:12).
Selanjutnya adalah
Surah Al-Nisā’
ayat 176 serta garis hukumnya. Ayat ini menerangkan tentang arti kalalah dan
mengatur perolehan warisan untuk saudara (sekandung atau sebapak) dalam hal
kalalah. Allah SWT berfirman dalam kitab suci-Nya:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِى
ٱلْكَلَٰلَةِ ۚ إِنِ ٱمْرُؤٌا۟ هَلَكَ لَيْسَ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَهُۥٓ أُخْتٌ
فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ
فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن
كَانُوٓا۟ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
ٱلْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا۟ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ
شَىْءٍ عَلِيمٌۢ
Artinya: “Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS. AlNisā’: 176).
Menurut Rofiq[3],
turunnya ayat al-Qur’an surat Al-Nisaa’ ayat 11 dan 12 yang mengatur pembagian
waris yang penunjukkannya bersifat qat’i al-dalalah, merupakan refleksi sejarah
dari adanya kecenderungan materialistisku umat manusia dan rekayasa sosial
(social engenering) terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat pada waktu
itu.
Surat Al-Nisaa’ ayat 11
dan 12 diturunkan untuk menjawab tindakan sewenang-wenangan Saudara Sa’ad Ibn
Al-Rabi yang ingin menguasai kekayaan
peninggalannya, ketika Sa’ad meninggal di medan perperangan.
Ata’ meriwayatkan:
Sa’ad ibn al-Rabi’
tewas (di medan peperangan sebagai sahid) meninggalkan dua orang anak perempuan
dan seorang isteri serta seorang saudara laki-laki. Kemudian saudara laki-laki
tersebut mengambil harta (peninggalan) seluruhnya. Maka datanglah isteri
(janda) Sa’ad, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, ini adalah
dua anak perempuan Sa’ad, dan Sa’ad tewas di medan perperangan, pamannya telah
mengambil harta kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah: “Kembalilah
kamu, barangkali Allah akan memberi putusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah
Isteri Sa’ad tersebut
dan menangis. Maka turunlah ayat ini (Surah Al-Nisaa’ ayat 11-12). Kemudian
Rasulullah SAW memanggil pamannya dan bersabda: “Berilah kedua anak perempuan
Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumun) dan sisanya
untuk kamu”.
2.
Al-Hadits
Hadits adalah sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penafsir, penjelas,
membatasi dan memperluas makna teks Al-Qur’an. Hadits juga berperan sebagai
pengisi kekosongan (rechtsvacum) untuk hal-hal yang belum atau tidak diatur
oleh AlQur’an. 14 Dalam sumber hukum yang kedua ini juga terdapat beberapa
hadits yang secara rinci menjelaskan tentang ilmu farā’idh yang dapat
dijelaskan sebagai berikut ini. Pertama adalah hadits yang menjelaskan bahwa
ilmu farā’idh adalah ilmu pertama kali yang akan dilupakan dan ditinggalkan
oleh umat Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda:
“Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abu
Hurairah, belajarlah ilmu faraidh kemudian ajarkanlah. Sesungguhnya ilmu
faraidh itu adalah setengah ilmu yang dilupakan oleh umatku dan ilmu pertama
yang ditinggalkan oleh umatku.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua ialah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (muttafaqun alaih). Hadits ini
menjelaskan tentang pembagian harta warisan diberikan terlebih dahulu kepada
ahli waris yang termasuk dalam kelompok ashab al-furudh, baru kemudian sisanya
diberikan kepada kelompok ahli waris yang mendapatkan bagian ashobah bi
al-nafsi. Haditsnya adalah sebagai berikut:
“Ibnu Abbas berkata: Nabi Muhammad SAW bersabda, “Berikanlah jatah warisan yang telah ditentukan itu kepada yang berhak.
Adapun sisanya, maka bagi pewaris laki-laki yang paling dekat nasabnya.”(HR. Bukhari dan Muslim).[4]
3.
Ijma’
Ijma’ (konsensus)
adalah persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah
ijtihadiyah. Para sahabat, tabi’in (generasi pasca sahabat), dan tabi’ al-tabi’in
(generasi pasca tabi’in), telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu
farā’idh dan tidak ada seorang pun yang menyalahi ijma tersebut.19 Salah satu
contoh dari ijma para sahabatadalah saudara seibu, baik laki-laki maupun
perempuan, dapat dihalangi (di-mahjub-kan) oleh salah satu dari enam orang,
yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan, cucu perempuan, bapak dan
kakek.[5]
4.
Qiyas
Qiyas
(reasoning by analogy) adalah menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal
yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an dan hadits dengan dianalogikan kepada
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh nash, karena ada sebab yang
sama. Salah satu contoh qiyas dalam masalah kewarisan, yaitu seperti cicit
perempuan dari keturunan cucu laki-laki mendapat bagian 1/6 dengan catatan
apabila bersamaan dengan cucu perempuan, maka cucu perempuan tersebut.
C.
Hukum membagi
warisan menurut ketentuan syara
1.
Terdapat tiga golongan ahli waris menurut ajaran
bilateral:
Dzul
faraa-idh (biasa disebut juga sebagai ashabul furudh atau dzawil furudh)
Sunting Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang telah mendapat bagian pasti, yang
bagian-bagian tersebut telah ditentukan dalam Alquran surat An-Nisa, atau
sebagaimana pula telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bab ketiga, yang
di antaranya:
a)
anak perempuan yang tidak didampingi laki-laki
b)
ibu
c)
bapak dalam hal ada anak
d)
duda
e)
janda
f)
saudara laki-laki dalam hal kalaalah
g)
saudara, laki-laki dan perempuan bergabung bersyirkah
dalam hal kalaalah
h)
saudara perempuan dalam hal kalaalah
2.
Dzul qarabat atau ashabah
Dzul qarabat ialah
ahli waris yang mendapat bagian sisa atau tidak ditentukan, di antaranya:
a)
anak laki-laki
b)
anak perempuan yang didampingi laki-laki
c)
bapak
d)
saudara laki-laki dalam hal kalaalah
e)
saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki
dalam hal kalaalah
3.
Mawali
Mawali adalah ahli
waris pengganti yang menggantikan seseorang untuk memeroleh bagian warisan yang
tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mawali ialah keturunan anak
pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam
perjanjian mewaris (misalnya wasiat) dengan pewaris. Pembagian :
a)
Setengah
Anak perempuan, Cucu
perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu, Saudari seayah dan Suami
jika tanpa anak.
b)
Seperempat
Suami bersama anak
atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.
c)
Seperdelapan
Istri bersama Anak
atau cucu dari anak laki-laki
d)
Sepertiga
Ibu tanpa ada anak,
Saudari seibu 2 orang atau lebih.
e)
Duapertiga
Anak perempuan, Cucu
perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu, Saudari seayah
f)
Seperenam
Ibu bersama anak atau
cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama Saudari seayah ibu,
Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.
Dasar hukum waris Islam
Dasar hukum waris Islam yang pertama
tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kemudian telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sedangkan dasar hukum
waris Islam yang kedua yaitu dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
D.
Hukum mempelajari
dan mengajarkannya
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
تعلمواالفرائض
وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى
Artinya: “pelajarilah
al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu
separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang
pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR.
Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).
Hukum mempelajari ilmu
faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya,
gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.
Dan ada juga yang
mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak
terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau
mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala,
tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi
barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka
berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Kewajiban belajar dan
mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam
keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian
harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam
hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah
belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits
Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang
artinya berbunyi sebagai berikut:
“Pelajarilah Al-Quran dan
ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada
orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu
akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka,
maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya
kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 :
35).
Perintah wajib
tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam kaidah hukum
disebutkan “asalnya dari
setiap perintah itu adalah wajib”,
maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi
bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.
Namun demikian perlu
dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban
dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang
melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin
akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak
ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat
secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.
Begitu pentingnya Ilmu
Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu.
Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali di cabut.
Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang
mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini
lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih
apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan
kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.
Demikianlah, ilmu
faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh
dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia
dan perkaraperkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari
Al-Qur’an dan sunnah
Rasul-Nya.
Masalah harta
peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila
menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga
seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya
menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi
belum tentu orang lain menganggap adil.Oleh karena itu, didalam Islam
memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga
apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan
tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai.
Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang
mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari
Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui
ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW
bersabda : ”Bagilah harta
benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Allah
berfirman : “ Dan siapa
yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Alloh akan
memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan siksa
yang menghinakan.”
(QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian
semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan
bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina
dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan
prinsip-prinsip antara lain :
1. Kepentingan
dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda)
diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan
sebagainya.
2. kepentingan
keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak,
juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh
dekatnya hubungan keluarga.
3. Keseimbangan
kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang
seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya
hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris
wanita.
4. Beberapa
hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan
dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya
pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan
maksud :
a) Harta
benda yang merupakan Rahmat Allah itu diatur menurut ajaran-Nya.
b) Harta
benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan
percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c) Harta
benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan
Allah SWT.
Jadi, hukum waris
harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela
untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak
dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain,
misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian
terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu
perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur
pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli
waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya
sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Fiqih Mawaris adalah
ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima
warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu
yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Pada masa awal-awal
Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya
masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk
kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang
persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya,
kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai
komunitas bangsa maupun dalam pemantapanpemantapan ajarannya, yang masih dalam
dinamika perubahan.
Bagi seorang muslim,
tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau
mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala,
tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi
barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka
berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Begitu pentingnya
Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu.
Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali di cabut.
Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang
mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Jadi, hukum waris harus
dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk
membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan maksud
untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya : harta
waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan
sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara
seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan
berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta
atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.
Semoga dengan
pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik
kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita
nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih
bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).
Akhirnya kami selaku
pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang
tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang
memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami
ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
M. Toha. 1976. Pembahasan Waris dan Wasiat Menurut Hukum Islam. Yogyakarta: UII
Press.
Basyir, Ahmad Azhar.
2001. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.
Bukhari, Shahih Al-Bukhari
dan Muslim. 2012. “Kitab Faraidh”. Jakarta: Alita Aksara Media.
Daradjat, Zakiah. 1995.
Ilmu Fiqh Jilid III. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Parman,
Ali. 1995. Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan
Tafsir Tematik). Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.
Rahman, Fatchur. 1994.
Ilmu Waris. Bandung: Al-Maarif.
Rofiq, ahmad. 2000.
Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqih
Mawaris Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syarkun,
M. Syuhada’. 2008. Ilmu Fara’idh, Ilmu Pembagian Waris Menurut Hukum Islam. Jakarta:
PT Grafindo Persada.
[1]
Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, BAB II Landasan Teori, Hlm 19.
[2]
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, Cet. IV
2000) hlm. 355
[3]
Rofiq, Hukum Islam ......, hlm. 356-357.
[4] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari
dan Muslim, “Kitab Faraidh”, (Jakarta: Alita Aksara Media, 2012), hlm. 424.
[5]
Syarkun, Ilmu Fara’idh......, hlm. 7.