AKAD DEPOSIT ( AKAD WADI’AH )

AKAD DEPOSIT ( AKAD WADI’AH )


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

    Perbankan secara umum baik bank konvensional maupun bak syariah. Memiliki tiga fungsi utama, yaitu menghimpun dana dari masyarakat, menyalurkan dana ke masyarakat, dan memberikan pelayanan dalam bentuk jasa. Merujuk pada fungsi pertama menghimpun dana dari masyarakat terkait dengan ini peneliti menentukan produk giro wadi’ah yang terangkai pada akad wadi’ah sebagai salah satu produk perbankan syari'ah untuk diteliti kemurnian akadnya. Artinya dari teori akad wadi'ah yang berarti titipan murni menurut fiqih muamalah. Pada praktik operasional di perbankan syari'ah menggunakan prinsip wadi'ah yad-dhamanah setelah adanya pergeseran prinsip atau pemekaran makna yang berimplikasi pada akibat hukumnya. Sementara fikih klasik tidak mengenal wadi'ah yad-dhamanah atau menyamakan prinsip wadi'ah yad-dhamanah dengan qardh (piutang). Secara prinsip produk ini dinilai berbeda dengan prinsip wadi'ah ( titipan murni) menurut fiqih muamalah klasik.

    Secara umum pengertian al-wadi'ah diyakini sebagai titipan atau simpanan murni. Dipandang dari pendapat ulama klasik dan kontemporer, maka terdapat perbedaan makna secara tekstual sehingga praktik dan pemahaman akad wadi'ah berbeda. Pendapat ulama klasik mengenai al-wadi'ah adalah akad seseorang kepada orang lain dengan menitipkan sesuatu benda untuk dijaga dengan baik. Jika terdapat kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya. Sebaliknya jika kerusakan akibat kelalaian penerima titipan maka penerima titipan wajib untuk menggantinya. Lebih lanjut, pendapat ulama kontemporer membagi al-wadi'ah menjadi dua jenis. Pertama, wadi'ah yal-amanah yaitu titipan yang tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan atau penyimpanan untuk menggunakan barang atau dana yang dititipkan. Kedua, wadi'ah yal-amanah, yaitu penerima titipan berhak menggunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil sewaktu-waktu ketika diperlukan.

    Produk perbankan syari'ah yang menggunakan akad wadi'ah atau titipan dana dikategorikan menjadi Giro, Tabungan, Deposito, ataupun _Safe Deposit Box_. Menurut ulama fiqih, titipan dana di perbankan konvensional merupakan refleksi dari bentuk qardh (pinjaman). Hal ini seharusnya berbeda dengan bank syari'ah, ketika menggunakan prinsip titipan dengan akad wadi'ah, dimana pihak perbankan hanya bertindak sebagai penerima titipan, bukan pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap dana yang dititipkan. Pendapat ini sesuai dengan al-qur'an dan hadis yang digunakan sebagai dasar hukum wadi'ah, bahwa tidak ada tanggung jawab penuh bagi penerima titipan selama tidak melakukan kelalaian atau memberikan jaminan kepada penitip.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana yang pengertian dari Akad Wadi’ah ?

2. Bagaimana dasar hukum Akad Wadi’ah ?

3. Apa saja rukun dan syarat Akad Wadi’ah ?

4. Apa saja macam-macam dari Akad Wadi’ah ?

5. Bagaimana konsekuensi Akad Wadi’ah ?

C. Tujuan 

1. Untuk memahami pengertian Akad Wadi’ah 

2. Untuk mengetahui dasar hukum Akad Wadi’ah

3. Untuk mengetahui rukun dan syarat Akad Wadi’ah

4. Untuk mengetahui macam-macam dari Akad Wadi’ah 

5. Untuk mengetahui konsekuensi Akad Wadi’ah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadi’ah

    Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.   

    Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.  Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesame manusia.  Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. 

    Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik perseorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja apabila si penitip menghendaki. 

B. Landasan Hukum / Dalil tentang Wadi’ah

1. AL Qur’an 

وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Aritinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai)  sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada  barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah  yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah  dia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang  berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu 11 kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah: 283) 

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا


Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”  

2. Landasan Hukum dari Al-Hadits

a. Hadits Riwayat Abu Dawud dan Al Tirmidzi: 

Artinya: “Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati orang yang mengkhianati anda.”  

b. Hadits Riwayat Thabrani : 

“Dari Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Tiada kesempurnaan iman bagi orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci.”  

3. Landasan Hukum dari Ijma’ 

Di jelaskan oleh Muhammad Syafi’i Antonio bahwa para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi al-Wadiah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat.  

C. Rukun Akad Wadi’ah dan Syarat-Syaratnya 

1. Rukun Akad Wadi’ah 

Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafi adalah ijab dan qabul, yaitu penitip berkata kepada orang lain, sedangkan Menurut jumhur ulama, rukun akad wadi’ah ada emapat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang titip dan orang yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijab qabul).Qabul dari orang yang dititipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya. Bisa juga suatu tindakan yang menujukan hal itu, seprti ada orang meletakan harta di tempat orang lain, lalu orang itu diam saja, maka diamnya orang kedua tersebut menempati posisi qabul, sebagaimana dalam jual beli muathah.  

a. Muwaddi’ / Orang yang menitipkan. 

b. Mustauda’ / Orang yang menerima titipan. 

c. Obyek wadi’ah / Barang yang dititipkan. 

d. Ijab dan qabul.  

2. Syarat-syarat Akad Wadi’ah 

Syarat-syarat akad wadi’ah antara lain, sebagai berikut :  

a. Orang yang menitipkan syaratnya baligh, berakal, dapat dipercaya dan syarat- syarat lain yang berkaitan dengan kesepakatan bersama. 

b. Orang yang menerima titipan syaratnya baligh, berakal, dapat dipercaya dan syarat-syarat lain yan berkaitan dengan kesepakatan bersama. 

c. Barang yang dititipkan syarat barang yang dititipkan adalah barang atau bendaitu merupakan sesuatu yang berwujud, dimiliki oleh orang yang menitipkan, dan dapat diserahkan ketika perjanjian berlangsung.

d. Ijab dan qabul wadi>ah syaratnya pada ijab dan qabul dimengerti oleh kedua belah pihak. Ijab merupakan ucapan dari penitip dan qabul adalah ucapan dari penerima titipan.  

D.  Macam-macam Wadi’ah 

Macam-macam wadi’ah dibedakan menjadi 2 yaitu: 

a. Wadi’ah Yad amanah merupakan titipan murni, yakni pihak yang dititipi tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipi tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan berhak meminta biaya penitipan. Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh, baik nilai maupun fisik barang. Jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan dibebani tanggung jawab. 

b. Wadi’ah Yad Dhamanah titipan yang penerima titipan diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut. Dari keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan ini dapat diberikan sebagian kepada pihak yang menitipkan dengan syarat tidak diperjanjikan sebelumnya. 

E. Konsekuensi Akad Wadi’ah 

1. Status Akad Wadi’ah 

Wadi’ah dari Yad Amanah ke Yad Dhamanah 

Dalam kitab-kitab fiqh, wadi‟ah bersifat yad amanah, yaitu titipan murni dari muwaddi‟ yang menitipkan barang kepada mustawda‟ yang wajib menjaga dan memelihara sampai diambil kembali oleh si penitip. Mustauwda‟ tidak diwajibkan mengganti jika barang mengalami kerusakan atau hilang selama dalam masa titipan, sepanjang bukan karena keteledorannya. Wadi‟ah dari yang semula yad amanah ini bisa berubah menjadi yad dhamanah. Artinya, mustawda‟ wajib menanggung kerusakan atau ganti rugi barang titipan. wadi‟ah dari yad amanah berubah menjadi yad dhamanah ketika dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:   

a) Orang yang dititipi tidak memelihara barang titipan. Apabila barang titipan itu rusak oleh orang lain atau kemungkinan lain yang bisa menyebabkan barang itu rusak atau hilang sedang ia mampu untuk mencegah hal tersebut, maka ia dikenakan ganti rugi atas kelalaiannya.

b) Pengingkaran tata cara pemeliharaan barang titipan. Mustawda’ harus mengganti rugi apabila barang titipan itu rusak atau hilang dikarenakan ia melanggar kesepakatan atas tata cara pemeliharaan barang tersebut. Seperti,  kesepakatan antara muwaddi‟ dan mustawda‟  meletakkan barang titipan di almari, akan tetapi mustawda‟  memindahkannya tanpa sepengetahuan  muwaddi‟  maka jika barang itu kemudian rusak, ia dikenakan ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut. 

c) Menitipkan barang titipan itu kepada orang lain. Apabila barang yang dititipkan itu rusak atau hilang dikarenakan orang yang dititipi menitipkan lagi  kepada orang lain, maka ia harus mengganti rugi, kecuali dalam keadaan darurat seperti kebakaran atau sepengetahuan orang yang menitipi barang tersebut karena status mustawda‟ (Orang yang dititipi) akan berpindah kepada orang yang ketiga. Menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali, orang yang dititipi dikenakan ganti rugi, kareka kewajiban memelihara barang tersebut dipikul dipundaknya. Tetapi jumhur ulama termasuk Imam Abu yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (kedua ahli fikih mazhab hanafi) menyatakan bahwa dalam kasus seperti ini pemilik barang boleh memilih  apakah ia boleh menuntut ganti rugi kepda orang yang dititipi  barang (mustawda‟ I ) sehingga orang yang dititipi barang oleh orang yang dititipi pertama (mustawda‟ II) tidak dikenakan ganti rugi. Atau ia meminta ganti rugi kepada orag yang di titipi kedua, tetapi ia (mustawda‟II) boleh meminta ganti rugi kepada (mustawda‟I) Apabila barang itu rusak atau digunakan oleh (mustawda‟ II)secara terang terangan sehingga rusak maka pemilik boleh meminta ganti rugi kepada mustawda‟I atau mustawda‟II.               

d) Menggunakan Barang titipan. Mustawda’ tidak diperbolehkan menggunakan barang titipan tanpa sepengetahuan muwaddi, apabila rusak atau hilang dalam keadaan digunakan maka mustawda‟ dikenakan ganti rugi. 

e) Bepergian dengan membawa barang titipan. Menurut jumhur ulama yang berbeda dengan pendapat Hanifah , orang yang dititipi tidak dibenarkan membawa barang titipan dalam bepergian dengan kemungkinan lebih baik meninggalkannya kepada orang yang dipercayai. Apabila barang itu hilang atau rusak maka ia harus mengganti rugi. Dan apabila ia bepergian dengan membawa  titipan karena tidak ada orang yang dipercayakan untuk menjaga barang itu, apabila rusak atau hilang maka ia tidak dikenakan ganti rugi. 

f) Meminjamkan barang titipan atau memperdagangkannya. Apabila barang yang dititipkan diperdagangkan oleh mustawda‟ tanpa seizin muawaddi‟ maka ia harus mengganti rugi. Sedangkan keuntungannya dari perniagaannya itu menurut mazhab maliki milik orang yang dititipi (wadii‟). Apabila perniagaannya itu atas seizin muwaddi maka akad wadi‟ah berubah menjadi akad hutang (ad dain). 

g) Mencampurkan titipan dengan yang lain. Mustawda‟harus mengganti rugi barang titipan apabila dengan sengaja telah ia campuri dengan barang yang lain yang susah dipisahkan. 

h) Mengingkari status barang titipan. Apabila muwaddi meminta barang titipan miliknya  dan tidak diserahkan oleh mustawda‟, bahkan ia mengingkari adanya akad itu dan barang titipan itu, kerusakan dan kehilangan barang itu ditanggung oleh mustawda‟. 

i) Mengembalikan barang titipan tanpa seizin muwaddi’. Kerusakan atau kehilangan barang titipan ditanggung oleh mustawda‟ apabila ia mengembalikan tanpa seizin dan sepengetahuan muwaddi (rusak atau hilang diwaktu pengembalian). 

j) Menurut Abdul Husain at-Tariqi  dalam wadi‟ah yad amanah menjadi yad Dhamanah, penerima titipan (muwaddi‟) tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang kecuali dalam beberapa hal, diantaranya : khianat, tidak hati-hati, barang titipan tercampur dengan barang titipan yang lain. Oleh karena itu  perlunya di syaratkan dalam wadi‟ah bahwa pelaku transaksi adalah orang yang berakal sekaligus telah dewasa dan titipan barang telah diterima setelah adanya serah terima.

2. Otoritas Akad Wadi’ah 

    Pemegang otoritas dalam mentransformasikan nilai-nilai fundamental dari hukum Allah untuk diterapkan dalam realitas kehidupan nyata (al-sulthah al-syar‟iyyah) adalah Rasulullah melalui sunnah/tradisi yang beliau bangun. Dua hal ini yakni Alqur‟an dan Sunnah selanjutnya menjadi sumber asasi hukum 

    Islam. Pada masa Rasulullah ini hukum Islam (Syari‟ah) menyatu dengan pengaturan tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara (siyasah). Setelah Rasulullah wafat, wewenang untuk menggali dan mengaplikasikan hukum Islam (al-sulthah al-syar‟iyyah) ini berpindah ke tangan para mujtahid melalui ijtihad mereka dalam menggali hukum dari sumber asasiyah, serta para ulilamri (kepala pemerintahan) dalam menetapkan kebijakan penerapan hukum tersebut. 

    Dalam fiqh muamalah, hukum asal berakad itu diperbolehkan sepanjang tidak ada Syar‟ yang melarangnya atau tidak bertentangan dengan prinsip kebolehan berakad menurut Syar‟.    Manusia diberi kebebasan berkontrak untuk mewujudkan kemaslahatan. Bidang muamalah memang berbeda dengan bidang ibadah. Kalau dalam ibadah harus ada nash yang memerintahkannya dan tidak boleh beribadah tanpa adanya nash, maka dalam muamalah sepanjang tidak ada nash yang melarangnya hukumnya boleh.   

    Adanya kaidah dalam fiqh muamalah bahwa semua transaksi diperbolehkan asal tidak ada dalil yang melarang, mengharuskan penggalian prinsip-prinsip yang mendasari pelarangan akad-akad dalam dalil yang sudah ada, yang dapat dapat dirumuskan lebih lanjut tentang apa sebenarnya yang dituju oleh syari‟at dibalik dalil-dalil yang membolehkan atau melarang transaksi/akad tertentu. Penggalian prinsip ini antara lain difomulasikan oleh Riyadl Manshur Al-Khalify yang mengelompokkan prinsip-prinsip yang menjadi tujuan disyariatkannya berbagai transaksi bisnis/muamalah Islam menjadi lima yaitu: 

a) Prinsip keadilan (al-„adalah), lawan dari kezaliman (al-zhulm) 

b) Prinsip kejujuran dan transparansi (al-shidq wa al-bayan), lawan dari kebohongan dan penyembunyian fakta (al-kidzb wa al-kitman) 

c) Prinsip perputaran harta (al-tadawul) lawan dari penumpukan harta (al-kanz) 

d) Prinsip kebersamaan, persatuan dan tolong menolong (al-jama‟ah wa al-i‟tilaf wa al-ta‟awun), lawan dari perpecahan, perselisihan dan saling bertolak belakang (al-furqah wa al-ikhtilaf wa al-tadabur) 

e) Prinsip memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan (al-taysir wa raf‟ al-haraj).  

3. Perselisihan Atau perbedaan antara akad wadi’ah fiqih dengan akad wadi’ah syari’ah

    Wadi'ah yang merupakan salah satu prinsip yang digunakan bank syari‟ah dalam memobilisasi dana dalam masyarakat. Al-Wadi‟ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Prinsip ini diterapkan pada produk giro. Prinsip wadiah yang dipakai adalah wadi‟ah yad dhamanah karena pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasinya hukumnya adalah sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang menghutangkan uang dan bank sebagai pihak yang berhutang uang. Hal ini berbeda dengan wadi‟ah amanah dimana titipan tidak boleh dimanfaatkan. 

    Prinsip wadiah yad dhamanah dalam bank syari‟ah ini diterapkan pada produk Giro Wadiah dan Tabungan Wadiah yang di dalamnya terkandung dua unsur akad, yaitu wadiah dan qard. Hanya saja dalam penamaannya pihak bank menggunakan istilah akad wadiah yad dhamanah dengan tanpa memasukkan nama qard di dalam nama transaksinya. Hal ini justru menimbulkan tumpang tindih, karena ada dua jenis wadiah dan qard yang mempunyai maksud bertolak belakang dalam satu akad. 

    Kitab-kitab fiqh lama tidak pernah membayangkan bahwa barang yang dititipkan adalah berupa uang kertas dalam bentuk tabungan. Tetapi wadi‟ah pada bank syari‟ah adalah berupa tabungan uang.  Dalam ungkapan sehari-hari orang sering bilang “nitip uang”. Inilah yang barangkali diakomodir oleh bank dalam produk tabungan wadi‟ah. Untuk lebih mengenal perbedaan antara wadi'ah fiqh dengan wadi‟ah bank syariah, bisa dicermati perbandingan sebagai beriku berikut: 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

    Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.  

    Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.  Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesame manusia.  Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. 

B. Saran

    Dalam penyusunan makalah ini masih memerlukan kritikan dan saran bagi pembahasan materi tersebut. Selanjutnya kami berharap makalah yang kami buat dapat membantu pembaca agar dapat memahami.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema Insani, h. 85, 2001 

Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007 

Ali Hasan, op.cit. hlm. 247. 

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Konsep dan Implementasi Bank Syariah, Jakarta, Renaisan Anggota IKAPI, 2005, hlm. 37. 

Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 86-87. 

Wahbah az-Zuhaili,FiqihI slam5,Jakarta:Gema Isnani, h.557, 2011. 

Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 246.  

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta: Penerbit Lentera,  h. 616, 2009. 

Hendi Suhendi, Fiqh muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 183.  

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus : Dar Al Fikr 1986, hal. 301. 

Amin, Hasan Abdullah. Al-wadi‟ah Al-mashrifiyah An-naqdiyah wa Istitssmariha fi Al-islam. Jeddah : Dar Asy-syuruq. 

 Az-Zuhaili, Wahbah, 1986, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus : Dar Al Fikr

Abdurrahman Al Jaziiri, al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah. Juz 2. Darut-Taqwa. 

Abidin, Ibnu. 1978. Radd al-Muhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar. Jilid V. Beirut: Dar al-Fikr. 

Akgunduz, Ahmed (ed). 2009. Studies in Islamic Economics : Islamic Banking and Development. Rotterdam : IUR Press. 

Lebih baru Lebih lama