PENGERTIAN DAN DASAR-DASAR PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral dan sangat penting dalam kehidupan keluarga. Dalam praktik, perkawinan tidak hanya menyangkut masalah pribadi dari pihak yang menjalankan perkawinan, akan tetapi hal ini juga menyangkut masalah keluarga, kerabat bahkan masyarakat. Karena perkawinan sebagai langkah awal dalam membentuk sebuah keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera lahir batin sesuai yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dimana Negara menjamin kepada tiap Warga Negara Indonesia membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut tentunya perkawinan harus melalui prosedur dan syarat-syarat yang telah diatur sehingga bisa dinyatkan sahnya perkawinan tersebut. Perkawinan yang sah akan memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum orang yang melangsungkan perkawinan akan terlindungi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan?
2. Apa tujuan perkawinan?
3. Apa saja hikmah perkawinan?
C. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami pengertian perkawinan
2. Mengetahui tujuan perkawinan
3. Mengetahui hikmah-hikmah perkawinan
BAB IIIPEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dijelaskan “Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua” .
Dari uraian tersebut bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan penjelasannya, sesungguhnya perkawinan bukan hanya kebutuhan lahiriah (jamani), namun juga merupakan kebutuhan rohani (bathin). Pengertian tersebut juga relefan dengan Al – Qur’an Surat Ar – Ruum ayat 21 yang telah penulis uraikan sebelumnya.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain maupun masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri.
Apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan secara formal yaitu dengan dilaksanakannya akad nikah menurut agama Isalam dan tata cara yang lain menurut agama selain Islam, hal ini membuktikan telah terjadi ikatan lahir dari pasangan suami isteri tersebut.
Perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena perkawinan tersebut harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah penulis uraikan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) juga mempertegas mengenai sahnya perkawinan, yaitu :
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan perkawinan berbeda agama antara kedua calon mempelai. Karena bagi orang yang beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan diluar syariat agama Islam, begitu juga sebaliknya bagi agama Kristen juga tidak sah apabila dilakukan tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen. Sehingga di Indonesia tidak dimungkinkan untuk dilakukan perkawinan berbeda agama. Selain perkawinan harus dilasanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan juga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian meskipun perkawinan tersebut dilaksanakan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu apabila bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif di Indonesia.
B. Tujuan Perkawinan
Di dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Sebagaimana dijelaskan dari pasal 1 (satu) tersebut bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Sedangkan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam terdiri dari:
1. Berbakti kepada Allah
2. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita saling membutuhkan
3. Mempertahankan keturunan umat manusia
4. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita
5. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.
Kelima tujuan perkawinan ini didasarkan kepada (QS. Ar-Rum ayat 21) yang menyatakan bahwa “Ia jadikan bagi kamu dari jenis kamu, jodoh-jodoh yang kamu bersenang-senang kepadanya, dan ia jadikan di antara kamu percintaan dan kasih sayang sesungguhnya hal itu menjadi bukti bagi mereka yang berfikir”.
Menurut Imam al Ghazali, tujuan perkawinan antara lain untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan, memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya, memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung-jawab menjalankan kewajiban dan menerima hak, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang kekal, membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang terntram atas dasar kasih sayang.
C. Hikmah Perkawinan
Menurut Mustafa al-Khin dalam pernikahan sesungguhnya terdapat hikmah-hikmah yang agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:
1) Memenuhi tuntutan fitrah
Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah Allah letakkan pada manusia.
Islam adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi tuntutan-tuntutan fitrah, ini bertujuan agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia dengan mudah dan tanpa paksaan. Oleh karena itulah, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul (membujang). Akan tetapi sebaliknya, Islam juga membatasi keinginan ini agar tidak melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi moral sehingga kemurnian fitrah tetap terjaga.
2) Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin
Salah satu hikmah pernikahan yang penting adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaan- perasaan cinta dan kasih. Ini menjelaskan bahwa begitu besar hikmah yang terkandung dalam perkawinan. Dengan melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3) Menghindari dekadensi moral
Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Akan tetapi insting ini akan berakibat negatif jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya akan berusaha untuk memenuhi insting tersebut dengan cara yang terlarang. Akibat yang timbul adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan merusak fundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik dan mental.
4) Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an dan hadist.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan bukan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya. adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaan- perasaan cinta dan kasih
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Moch, Isnaeni, S.H.,MS., Hukum Perkawinan Indonesia, (PT. Refika Aditama, Bandung, 2016).
Akhmad Munawar, Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia, Al’ adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015.
Nurhadi, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan (Perkawinan) Ditinjau dari Maqashid Syariah, UIR Law Review, Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018.
Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat, YUDUSIA, Vol.7, No. 2, Desember 2016.
Ali Ahmad al-juwairi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid II.
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember 2014.