KEWARISAN DENGAN STATUS OBJEK YANG AMBIGU

KEWARISAN DENGAN STATUS OBJEK YANG AMBIGU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

        Fiqih mawaris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Fikih mawaris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang di namakan kematian. Akibat hukum yang  selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal nya seseorang, di atur oleh hukum waris.

        Tentunya dalam sistem pembagian waris diketahui secara pasti bagian masing-masing ahli waris begitu juga ahli waris yang ambigu (Khuntsa Musykil). Maka dari itu, perlu perhitungan khusus dalam pembagian harta waris supaya tidak menimbulkan permasalahan dan keraguan dalam proses pembagian harta warisan. Dan dalam pembahasan makalah kali ini terdapat penjelasan mengenai pembagian harta waris untuk janin dalam kandungan, pembagian warisan untuk waria ambigu (Khuntsa musykil) dan pembagian warisan di mana pewaris atau ahli warisnya mafqud atau mati bersamaan.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pembagian warisan untuk janin dalam kandungan?

2. Jelaskan pembagian warisan untuk waria ambigu?

3. Bagaimana pembagian warisan di mana pewaris atau ahli warisnya mafqud atau mati bersamaan?

C. Tujuan masalah

1. Untuk mengetahui pembagian warisan untuk janin dalam kandungan.

2. Untuk menjelaskan pembagian warisan untuk waria ambigu.

3. Untuk memahami pembagian warisan di mana pewaris atau ahli warisnya mafqud atau mati bersamaan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Warisan Untuk Janin dalam Kandungan

        Pembagian waris menurut hukum Islam cara membagi warisan anak dalam kandungan dapat dilakukan dengan dua cara:

a. Tidak dibagikan dahulu sebelum anak yang dalam kandungan itu lahir. Hal ini supaya tidak menimbulkan kesulitan, karena sudah diketahui apakah janin itu lahir dalam keadaan sudah meninggal atau dalam keadaan hidup, dan jenis kelaminnya juga telah jelas. 

b. Harta peninggalan si pewaris tersebut segera dibagikan tanpa menunggu kelahiran anak yang masih dalam kandungan. Hal ini agak rumit, karena tidak diketahui anak dalam kandungan tersebut dalam keadaan hidup atau meninggal, dan belum jelas jenin kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan.

        Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang masih dalam kandungan, terlebih dahulu harus diketahui bagian yang akan mereka terima. Misalkan saja, anak yang dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup dan termasuk dalam salah satu dari tiga macam keadaan, yaitu: 

a. Anak laki-laki, seorang atau lebih.

b. Anak perempuan, seorang atau lebih. 

c. Anak kembar, laki-laki dan perempuan.  

        Permasalahan yang timbul dari pembagian warisan yang ditunda sampai dengan kelahiran anak dalam kandungan tersebut adalah apabila para ahli waris menghendaki harta peninggalan tersebut segera dibagi-bagikan kepada mereka, tanpa menunggu kelahiran anak yang masih dalam kandungan. Jumhur ulama berpendapat bahwa: 

a. Bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang yang tidak akan menerima warisan, seperti saudaranya si mati, maka saudara si mati tidak diberikan sedikitpun, karena anak dalam kandungan diperkirakan laki-laki yang bakal menerima seluruh harta peninggalan secara ushubah. 

b. Bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris yang furudhul muqaddarah-nya tidak pasang surut. Maka, ahli waris tersebut menerima warisan sesuai dengan pembagiannya masing-masing dan anak dalam kandungan menerima sisanya yang ditahan untuknya. Misalnya, ahli waris terdiri dari ibu, isteri, dan anak dalam kandungan. Dalam keadaan seperti ini bagian ibu tidak berubah menjadi lebih kecil dari 1/6 dan bagian isteri tidak berubah dari pada 1/8, walaupun anak dalam kandungan tersebut lahir dalam keadaan hidup ataupun meninggal. 

c. Bila ia mewarisi bersama- sama ahli waris yang furudhul muqaddarah-nya dapat pasang-surut, maka ahli waris tersebut diberikan bagian sesuai dengan bagiannya yang terkecil dan anak dalam kanudngan diberikan bagian yang sedang ditahannya, yaitu bagian yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan. 

        Setelah mereka sepakat bagian yang diberikan kepada anak dalam kandungan ialah bagian terbesar dengan perkiraan laki-laki atau perempuan maka ada perbedaan terkait dengan jumlah anak dalam kandungan yang dijadikan pedoman untuk memperkirakannya, apakah seorang, dua atau lebih. 

a. Menurut Abu Hanifah, bagian yang ditahan untuk anak dalam kandungan ialah sebesar bagian yang terbanyak di antara dua perkiraan 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan. 

b. Menurut Ahmad, Muhammad bin al-Hasan dan al-Lu‟luy, bagian yang ditahan adalah sebesar bagian yang terbanyak di antara dua perkiraan 2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. 

c. Menurut al-laits dan Abu Yusuf, bagian yang ditahan adalah bagian yang terbesar di antara dua perkiraan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Maksudnya, anak dalam kandungan tersebut awalnya diperkirakan laki-laki, kemudian dicari berapa penerimaannya atas dasar perkiraan tersebut. Setelah itu, diperkirakan bahwa anak tersebut perempuan dan dicari berapa yang diterimanya. Dari dua perkiraan tersebut diambil penerimaan yang terbesar untuk ditahannya. Kemudian apabila anak dalam kandungan tersebut lahir dalam keadaan berbeda dengan perkiraan, maka kelebihan-kelebihan yang ada pada ahli waris ditarik kembali untuk diberikan kepada anak yang baru lahir.   

    Contoh kasus penyelesaian waris anak dalam kandungan: Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris: ayah dan isteri dalam keadaan hamil (kandungan di sini adalah anak laki-laki atau anak perempuan). Harta warisannya sebesar Rp.48.000.000,- maka pembagiannya adalah: 

a.       Jika anak dalam kandungan diperkirakan laki-laki:

Ahli Waris

Bagian

Asal Masalah

Harta Warisan

Penerimaan

 

 

24

Rp. 48.000.000

 

Ayah

1/6

4

4/24 x Rp. 48.000.000

Rp. 8.000.000

Istri

1/8

3

3/24 x Rp. 48.000.000

Rp. 6.000.000

Anak Lk”

Sisa (24)

17

17/24 x Rp. 48.000.000

Rp. 34.000.000

Jumlah:

 

 

Rp. 48.000.000

 

b.       Jika anak dalam kandungan diperkirakan Perempuan:

Ahli Waris

Bagian

Asal Masalah

Harta Warisan

Penerimaan

 

 

24

Rp. 48.000.000

 

Ayah

1/6+sisa

4+5=9

9/24 x Rp. 48.000.000

Rp. 18.000.000

Istri

1/8

3

3/24 x Rp. 48.000.000

Rp. 6.000.000

Anak Pr

½

12

12/24 x Rp.48.000.000

Rp. 24.000.000

Jumlah:

 

 

Rp. 48.000.000

 


B. Banci dalam Hukum Kewarisan Islam

Secara etimologi, khunṣa berasal dari kata khanaṣa yang berarti jenis kelamin yang terpecah. Maksud dari terpecah di sini yaitu memiliki alat kelamin lebih dari dua. Dinamai banci karena sikap kemayu seorang laki-laki yang menyerupai perempuan, cara berbicara dan bertutur mereka selembut perempuan. Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia, banci disebut sebagai manusia yang bersifat laki-laki dan perempuan (tidak laki-laki dan tidak perempuan), serta laki-laki yang bertingkahlaku   menyerupai  perempuan   atau  sebaliknya,   wadam,   waria. Dalam kitab fikih, banci didefenisikan sebagai khunṣa (orang yang tidak jelas jenis kelaminnya) dan berbeda dengan banci. Penjelasan itu meliputi orang yang tidak  jelas alat kelaminnya karena memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara bersamaan, atau tidak memiliki jenis kelamin sama sekali.

Banci dalam  hukum  kewarisan  Islam  identik dengan  khunṣa,  namunkonsep dan konotasi yang berlaku di masyarakat saat ini jauh berbeda. Banci identik dengan laki-laki yang berperilaku seperti perempuan sebagai akibat dari konstruksi sosialdiri pelaku.  

        Fuqaha menyikapi khunṣa dengan mengadakan pendeteksian secara sederhana terhadap alat kelamin yaitu dengan memperhatikan pada bagian mana  air  senikeluar jika khunṣa buang air kecil. Jika air seninya keluar pada organ kelamin laki- laki maka ia dikategori sebagai seorang laki-laki atau sebaliknya. Akan halnya jika kemudian ternyata air seni tersebut keluar pada kedua alat kelamin ini, maka khunṣa tadi dikategorisasi sebagai khunṣa musykil. yaitu khunṣa dengan jenis kelamin yang tidakjelas.

    Khunṣa dalam kewarisan Islam membicarakan objek dan tekanan bahasannya pada alat kelamin yang dimiliki oleh ahli waris. Dalam bahasan ini, kepemilikan dua alat kelamin atau ketiadannya sama sekali membuat kebingungan dalam menghukum apakah yang bersangkutan itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Pola ini melahirkan kebingungan dalam menentukan bagian ahli waris tersebut sebab ayat mawaris secara tegas mencantumkan bagian-bagian tersebut atas dasar jenis kelamin para ahli waris. Lihatlah misalnya dengan apa yang dicantumkan dalam QS. (4): 7 sebagai berikut:

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

    Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

    Ayat ini menjelaskan secara rinci jenis kelamin yang akan mendapatkan bagian dari pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua mereka serta karib kerabatnya. Jelas mengisyaratkan bahwa hanya dua jenis kelamin yang akan mendapatkan bagian secara jelas. Kehadiran seorang khunṣa diperhadapkan dengan ayat di atas akan menimbulkan ambiguitas dalam penentuan jenis kelamin si pewaris. Mengantisipasi kebingungan tersebut, fuqaha telah membuat solusi dari kebingungan ini. Solusi yang dimaksud adalah upaya untuk memperjelas status jenis kelamin ganda dengan menguji fungsi dari kedua kelamin tersebut.

    Ilmu kedokteran menamai khunṣa dengan hermafroditisme yang secara medis terbagi menjadi;

1. Individu yang memiliki alat kelamin lateral yaitu pada satu sisi memiliki testisdan pada sisi lainnya memilikiovarium

2. Individu yang memiliki alat kelamin Unilateral yaitu alat kelamin mirip laki-laki dan perempuan pada satu sisi dan sisi lainnya memiliki ovarium atau testis pada sisilainnya

3. Individu yang memiliki alat kelamin Bilateral yaitu alat kelamin mirip laki-laki dan perempuan pada satu sisi dan pada sisi lainnya alat kelamin yang mirip alat kelamin laki-laki danperempuan.

    Dalam kajian fikih, khunṣa dibagi dalam dua garis besar yaitu khunṣa musykil yaitu khunṣa dengan jenis kelamin yang tidak jelas (adakalanya khunṣa ini tidak memiliki alat kelamin dan kadang pula memiliki dua alat kelamin berbeda). Sementara itu terdapat pula khunṣa dengan jenis kelamin yang jelas, jika ternyata diantara dua jenis kelamin tersebut berfungsi normal dan satunya lagi tidak berfungsi. Terhadap khunṣa musykil biasanya fukaha menunda bagian warisnya sampai ahli waris tersebut dewasa guna mengetahui jeis kelamin sejatinya.

    Pemikiran fukaha untuk menunda bagian ahli waris khunṣa sejalan dengan aspek kekinian dimana gugatan penggantian alat kelamin melalui jalur hokum sudah biasa terjadi. Kasus sidang ganti kelamin setidaknya pernah terjadi di Pengadilan Negeri Purwokerto. Dalam kasus ini seorang yang bernama Solihatunnisa warga kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan. Dalam siding ini terungkap bahwa Solihatunnisa terlahir dengan jenis kelamin perempuan, namun sepuluh hari pasca kelahirannya Solihatunnisa tampak memiliki alat kelamin laki-laki. Perkembangan selanjutnya, Solihatunnisa hidup dengan memiliki dua jenis alat kelamin yaitu laki- laki dan perempuan hingga ia dewasa. Gelagat inilah yang kemudian mengundang keingintahuan orang tuanya untuk mengetahui persis jenis kelamin anaknya dengan membawanya ke Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta dan hasilnya sangat mencengang kan. Ternyata Solihatunnisa yang selama ini mereka kira sebagai perempuan berdasarkan hasil pemeriksaan medis secara sah dan terbukti memiliki jenis kromosom “XY” dan secara klinik tidak memiliki Rahim. 

Hak-hak KewarisanKhunṣa

    Seorang banci (khunṣa) dalam kewarisan Islam tetap akan mendapat hak-hak kewarisan mereka. Namun proses ini harus meliputi beberapa  langkah  kongkrit yang mengarah pada kejelasan alat kelaminnya. Kejelasan alat kelamin yang dimiliki merupakan syarat standar dalam penentuan saham mereka sebab dengan jenis kelaminlah saham-saham dalam kewarisan Islam akan dibagikan. Faktor jenis kelamin sangat jelas pengaruhnya dalam pembagian kewarisan seorang khunṣa sebab jenis kelamin memegang peranan besar dalam penentuan besar kecilnya saham mereka. Sebagai gambaran dapat diperhatikan pada bagian-bagian ahli waris yang terteradalamfurūdulmuqaddarahdalamQS.Al-Nisa(4):12sebagaiberikut:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ، وَصِيَّةً مِنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

     Terjemahan:

    dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baiklaki-Kolaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) [274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

    Secara tegas bagian-bagian ahli waris diurai dalam ayat ini berdasarkan kedekatan dengan pewaris dan mempertimbangkan jenis kelamin mereka. Seorang suami akan berbeda bagiannya dengan isteri yang ditinggal oleh pewaris. Ayat ini juga secara spesifik menguraikan sebab kewarisan dari dua unsur; pertama unsur perkawinan dan unsur kekerabatan. Kedua unsur ini dikaitkan pula dengan jenis kelamin yang dimiliki oleh ahli waris. Sekali lagi pencantumansebab-sebab kewarisanpadaayatinitetapkonsistenpadajeniskelaminlaki-lakidanperempuan  dan tidak memberi peluang sedikitpun kepada banci (khunṣa) untuk memiliki harta warisan.

    Kebuntuan terhadap porsi warisan banci (khunṣa) dijelaskan oleh fukaha dengan memberi mereka porsi tertentu kepada mereka secara menggantung. Maksudnya, porsi kewarisan terhadap banci (khunṣa) diberikan kepada mereka dalam bentuk separuh, menunggu sampai kemudian ada kejelasan terhadap status jenis kelamin yang bersangkutan. Secara ringkas pendapat fukaha terhadap porsi kewarisan banci (khunṣa) dapat dilihat sebagai berikut:

1. Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, banci (khunṣa) musykilmendapat bahagian terkecil dari dua perkiraan antara bagian kewarisan laki-laki dan perempuan, dari sisa porsi yang diberikan kepada ahli waris lain.

2. Golongan Syafi‘iyah, Abu Daud, memberikan porsi kepada banci(khunṣa) berdasarkan perhitungan terkecil, sisa porsi mereka ditangguhkan sambil menunggu dan mengadakan penelitian jenis banci (khunṣa) guna diselesaikan secara musyawarah mufakat.

        Menurut golongan Malikiyah, Syi‘ah, memberikan banci (khunṣa) separuh dari dua perkiraan laki-laki danperempuan. Pandapat fukaha telah mengatur bagian terhadap banci(khunṣa) dengan memberi mereka separuh bagian laki-laki dan perempuan, memberi kejelasan hukum sementara sambil menunggu penelitian terhadap jenis kelamin pasti mereka. Fukaha  telah  pula  menyinggung  peluang  timbulnya  banci  (khunṣa) musykildalam garis keturunan meliputi:

1. Garis keturunan anak kebawah ;meliputi anak,cucu dan seterusnya

2. Garis kesaudaraan meliputi;saudara,ponaka(anak dari saudara)

3. Garis kepamanan meliputi; paman dan akan paman (sepupu)

4. Garis perbudakan.

    Berikut tatacara penyelesaian kasus banci (khunṣa) musykil dalam urusan kewarisan berdasarkan simpulan pendapat fukaha:

1. Upaya pertama yang harus dilakukana adalah dengan cara mencaritahu kejelasan jenis kelamin dari banci (khunṣa) musykil tersebut dari proses berkemih mereka. Jika ternyata banci (khunṣa) musykil berkemih dengan menggunakan organ kelamin laki-laki makai adihukumi sebagai laki-laki dan begitupula sebaliknya.

2. Meneliti ciri kedewasaannya (tentu ini membutuhkan waktu) yang mungkin akan mengidentifikasi ciri kedewasaan seorang laki-laki ataupun perempuan. Ciri-ciri ini dapat berupa tumbuhnya kumis dan jenggot bagi laki-laki dan buah dada yang membesar bagiperempuan.

3. Jika dua proses di atas mengalami kebuntuan, maka pendapat fukaha tentang penentuan bagian lebih kecil dari ahli waris laki-laki dan perempuan segera diimplementasikan seraya menunggu kejelasan jenis kelaminmereka

4. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah; bagaimana status laki-laki tulen yang menyerupai perempuan dalam tindak tanduk dan sikap mereka atau sebaliknya. Jawaban yang terlintas adalah; bagi mereka(banci atau lesbian) mereka tetap dihukum berdasarkan jenis kelamin inti mereka. Sebab mereka tidak dalam memberi kebingungan terhadap status jenis kelamin mereka, walaupun mereka bertindak dan berprilaku berbeda dengan jenis kelamin mereka. Bisa jadi mereka inilah yang kemudian dilaknat oleh Allah dalam beberapa riwayat yang berasal dari IbnuAbbas dan pada kesempatan ini tidak dikutip karena kejelasan sumber.

C. Pembagian Warisan Dimana Pewaris atau Ahli Warisnya Mafqud atau Mati Bersamaan

1. Pengertian Mafqud dengan Keadaan 

    Al Mafqud, dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna “hilang”, atau lenyap (adh dhai’u). Dikatakan faqadatis syaiu idza ‘adhamathu (sesuatu dikatakan hilang apabila ia tidak ada). Allah swt. Berfirman: 

“Penyeru-penyeru itu berkata: Kami kehilangan piala-piala raja...” (Q.S. Yusuf ayat 72). 

    Dalam bahasa Arab al Mafqud merupakan isim maf’ul dari kata Yang artinya hilang. Secara istilah, ada beberapa pengertian yang telah dikemukakan, dia antaranya: al mafqud adalah orang yang tidak diketahui keberadaannya setelah sekian waktu menghilang dari tempatnya. Atau orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya apakah dia masih hidup atau sudah mati. Sehingga dalam istilah fiqh al mafqud bermakna “orang hilang,” sebab tidak diketahui kabar beritanya karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati.

Dari beberapa pengertian, baik yang ditinjau dari aspek bahasa ataupun istilah, al mafqud dimaksudkan sebagai sebutan terhadap orang yang tidak diketahui kejelasan tentang hidup dan matinya, oleh sebab menghilangnya seseorang tanpa diketahui lagi keberadaan dan domisilinya. Namun yang lebih ditekankan dalam konteks ini adalah persoalan mengenai ketidakjelasan hidup dan matinya seseorang yang hilang tersebut.

    Dalam kondisi yang tidak jelas demikian, sudah tentu perlu diambil langkah-langkah untuk mengetahuinya, atau paling tidak menetapkan status hukumnya, baik melalui pengumuman pada media massa, melaporkan kepada pihak yang berwajib, atau melalui cara-cara lainnya. Oleh karenanya, pengertian ini tampaknya (secara khusus) lebih dihubungkan dengan persoalan tentang penetapan kematian si mafqud secara hukum.

    Bertolak dari keadaan mafqud yang serba tidak jelas sebagaimana pengertian di atas, fuqaha telah menetapkan beberapa hukum terkait dengan masalah ini, diantaranya yang berhubungan status istrinya, hartanya dan status kewarisannya. Dua di antara keadaan (alternatif) ini, yaitu yang berhubungan dengan status harta dan kewarisannya, akan dijelaskan pada sub-sub bahasan berikutnya. 

    Penyelesaian terhadap beberapa alternatif keadaan si mafqud, menghendaki adanya kejelasan tentang hidup atau matinya. Sehingga, baik status istri, ataupun harta dan kewarisannya, yang (tadinya tidak boleh diusik sama sekali) dapat diberikan ketetapan hukumnya terkait dengan kebolehan istri (si mafqud) untuk dinikahi/dinikahkan, atau kebolehan untuk membagi dan menyelesaikan harta peninggalannya.  

        Penetapan hukum yang berhubungan dengan persoalan itu, dapat ditempuh melalui fakta dan dasar pertimbangan yang dapat menjelaskan statusnya, apakah ia bisa dihukumkan masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu (melewati suatu masa dan diperkirakan secara umum bahwa dia telah mati, sehingga hakimpun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap mati. Sebab yang demikian masih harus dikukuhkan lagi oleh keputusan hakim. 

    Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya (istishhab al hal), hingga benar-benar tampak dugaaan sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib ra. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: “Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya.

2. Batas waktu Penentuan untuk Memutuskan Mafqud Meninggal

    Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa orang hilang dapat dianggap mati, jika orang yang sepadan dengannya atau orang yang sama-sama masa kelahirannya (sebaya) meninggal. Dengan kata lain, tidak ada lagi orang yang satu 121 generasi dengannya, tanpa harus menetapkan waktu meninggal orang yang hilang. Apabila tidak bisa diketahui dengan cara ini, maka diperkirakan dengan waktu. 

    Ada yang mengatakan 120 tahun, 100 tahun, dan 90 tahun. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa penetapan waktu itu diserahkan kepada wali al amr. Dialah yang haurs memilih waktunya, sesuai dengan tempat dan zamannya. Fatwa yang menyebutkan 90 tahun itu, terhitung dari masa kelahiran orang yang hilang.  

    Syafi’i menurut pendapatnya yang shahih menyatakan bahwa, batasan waktu tidak bisa ditetapkan dengan waktu tertentu. Jika hakim telah memutuskan kematiannya berdasarkan hasil ijtihadnya dengan memperhatikan batas usianya yang pada umumnya orang yang sebaya dengannya sudah meninggal, maka dapat diputuskan bahwa al mafqud sudah meninggal.

    Malikiyah berpendapat bahwa menganggap orang yang hilang itu mati, dalam hal berhubungan dengan hartanya, adalah pada umur kebanyakan manusia, yaitu 70 tahun.  Pendapat ini merupakan pendapat yang rajih atau terkuat. Usia manusia, khususnya umat nabi Muhammad saw. berada pada interval 60 sampai 70 tahun, seperti yang tersebut dalam sebuah riwayat (dalam lafadz hadits secara umum) yang menyatakan, “umur umatku itu berkisar antara 60 sampai 70 tahun.” Dalam madzhab ini pula disebutkan bahwa keputusan mengenai pembatasan tersebut diserahkan kepada qadhi sesuai situasi dan kondisi saat itu.  

Contoh :

Jika anak laki-laki (mafqud) dihukumkan masih hidup:

 

No:

Ahli Waris

Fardh

Asal Masalah= 1

Bagian/Perolehan

1

Anak laki-laki

Ahobah bi al nafsi

1xRp.1.000.000,-

= Rp.1.000.000,-

2

Saudara laki-laki

Mahjub

_

 

                     Jumlah                    

 

Rp.1.000.000,-


BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN

    Dari materi diatas dapat disimpulkan bahwa Pembagian waris menurut hukum Islam untuk cara membagi warisan anak dalam kandungan dapat dilakukan dengan dua cara tidak dibagikan dahulu sebelum anak yang dalam kandungan itu lahir dan harta peninggalan si pewaris tersebut segera dibagikan tanpa menunggu kelahiran anak yang masih dalam kandungan. Untuk cara pembagian waris bagi khuntsa musykil (Waria Ambigu) jika seorang khuntsa mewarisi dengan dua pekiraan (sebagai laki-laki dan sebagai perempuan), tetap mengambil salah satu perkiraan saja (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) maka khuntsa diberi bagian yang lebih sedikit, dan sisa dari harta warisan tersebut ditangguhkan.

    Terakhir ada golongan mafqud, mafqud adalah orang yang tidak diketahui keberadaannya setelah sekian waktu menghilang dari tempatnya. Atau orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya apakah dia masih hidup atau sudah mati. Sehingga dalam istilah fiqh al mafqud bermakna “orang hilang,” sebab tidak diketahui kabar beritanya karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Untuk pembagiannya penetapan hukum yang berhubungan dengan persoalan itu, dapat ditempuh melalui fakta dan dasar pertimbangan yang dapat menjelaskan statusnya, apakah ia bisa dihukumkan masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu (melewati suatu masa dan diperkirakan secara umum bahwa dia telah mati, sehingga hakimpun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap mati. Sebab yang demikian masih harus dikukuhkan lagi oleh keputusan hakim.

    Jadi, dapat diketahui bahwa setiap ahli waris berhak menerima harta waris sesuai dengan ketetapan bagiannya masing-masing , adapun dasar untuk mengetahui pembagiannya kita bisa menggunakan sumber yang berasal dari Al Qur’an dan hadist, apabila perlu adanya penafsiran maka bisa merujuk dari hasil ijtihad para ulama atau imam madzhab. Adapun jika menggunakan sumber dari hukum negara yang berdasarkan Undang-Undang maka dapat dilihat pada Kompilasi Hukum islam atau KHI.


DAFTAR PUSTAKA

Amin Husein Nasution. 2014. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Fatchur Rahman.1975. Ilmu Waris. Bandung: Pt Almaarif Al-Ma’arif.

M. Ali Hasan. 1976. Hukum Warisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Muhammad Ali Ash Shabuny. 1996. Hukum Kewarisan Menurut al Qur’an dan Sunnah. terj. Hamdan Rasyid. Dar al Kutub al Islamyah Indonesia.

Nur Lailani Fariha Olajuwon. 2018. “Hak Waris Anak Dalam Kandungan Manurut Fiqih Dan Delevansinya Terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak Di Indonesia”. Skripsi. Surakarta: IAIN Surakarta.

Suhrawadi K. Lubis dan Komis Simanjuntak. 2013. Huukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafi 

Lebih baru Lebih lama