ADIL TERHADAP PIHAK YANG BERPERKARA
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum merupakan perpaduan yang menghendaki kekuasaan negara ataupun kedaulatan harus dilaksanakan sesuai hukum begitu pula sebaliknya. Indonesia sebagai suatu negara hukum, “rechtsstaat”, harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sebagai suatu negara hukum, minimal harus mempunyai ciri-ciri tertentu, yakni : (1) Pengakuan dan perlindungan hakhak asasi manusia; (2) Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun legalitas dari tindakan; (3) Legalitas negara pemerintah dalam arti kedudukan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan tiga ciri penting dalam Negara Hukum yaitu (1) aturan-aturan hukum menjadi kekuasaan tertinggi (supermasi hukum), (2) adanya kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law), dan (3) hak asasi manusia terjamin di dalam undang-undang (human right).
Dalam penyelenggaraan Negara Hukum, khususnya Indonesia pada kenyataanya asas equality before the law sangat memprihatinkan, asas yang seharusnya menyamakan setiap orang di hadapan hukum, namun ketika dalam ranah implementasinya berbeda dengan teori yang ada. Sehingga, masih banyak masyarakat yang menganggap penegakkan hukum di Indonesia dengan “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, yang di bawah semakin tertindas yang di atas semakin bringas.
Islam memerintahkan umatnya untuk berbuat adil dengan semua orang, memerintahkan mereka berbuat adil dengan orang yang mereka cintai dan orang yang mereka benci, ia menginginkan mereka adil secara mutlak hanya karena Allah, bukan karena sesuatu yang lain, standarnya tidak dipengaruhi oleh kecintaan dan kebencian. Allah swt berfirman dalam berbuat adil pada orang yang kita cintai: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisaa’: 135)
Mengingat sudah disebutkannya dasar hukum persamaan di hadapan pengadilan berdasarkan Hukum Positif (Undang-undang Indonesia) dan Al-Quran, maka bagaimanakah asas persamaan jika dilihat dari perspektif Hadits Nabi itu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa sifat-sifat adil yang harus dimiliki oleh seorang hakim?
2. Bagaimana makna mufrodat, asbabul wurud dan kualitas hadits tentang adil terhadap pihak yang berperkara?
3. Bagaimana kewajiban hakim berlaku adil terhadap pihak yang berperkara ?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui sifat-sifat adil yang harus dimiliki oleh seorang hakim.
2. Untuk mengetahui makna mufrodat, asbabul wurud dan kualitas hadits tentang adil terhadap pihak yang berperkara.
3. Untuk mengetahui kewajiban hakim berlaku adil terhadap pihak yang berperkara.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Sifat-Sifat Adil Yang Harus Dimiliki Oleh Seorang Hakim.
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Adil dalam penerapannya adalah bahwa:
a. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.
b. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
c. Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan.
d. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.
e. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihakpihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.
f. Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan.
g. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saki-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advocat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan.
h. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.
i. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.
j. Hakim mendengar Kedua Belah Pihak.
k. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di
Pengadilan.
B. Makna Mufrodat, Asbabul Wurud serta Kualitas Hadits tentang Adil terhadap Pihak yang Berperkara
Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits,
حدثنا سعيد بن سليمان ,حدثنا الليث ,عن ابن شهاب ,عن عروة ,عن عائشة ر ضي الله عنها أن قر يشا أهمتهم المرأة المحزومية التي سرقت فقالوا :من يكلم رسول لله صلى الله عليو وسلم ومن يجترىء عليو إلا أسا مة حب رسول الله صلى الله عليو و سلم ؟ فكلم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال :)) أتشفع في حد من حدود الله؟ (( ثم قام فخطب فقال :)) يا أيها الناس إنما ضل من قبلكم أنهم كانوا إذا سرق الشريف تركوه ,وإذا سرق الضعيف فيهم أقاموا عليو الحد ، وايم
, ان الله لو فاطمة بنت محمد سرقت لقطع محمد يده
Artinya: Diberitakan kepada kami dari Said bin Sulaiman, diberitakan kepada kami oleh Lais, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah r.a : bahwa orang-orang Quraisy merasa terusik oleh perkara seorang wanita bermarga Makhzumiyyah yang telah mencuri, maka mereka berkata: siapa yang mau membicarakannya kepada Rasulullah dan siapa yang berani berbicara kepada beliau kecuali Usamah yang dikasih Rasulullah? Maka Usamah berbicara kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata: “apakah engkau mau memberi pembelaan pada salah satu ketetapan Allah?” kemudian Rasulullah berdiri menyampaikan pidato lalu beliau bersabda: wahai manusia! Sesungguhnya telah sesat orang-orang sebelum kalian yang mana apabila orang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya, namun bila rakyat jelata di antara mereka mencuri, maka mereka memberlakukan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.
Dalam hadis lain juga menyatakan bahwa:
واي بين الناس في وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا ييئس الضعيف من عد لكولا يطمع الشريف في حيفك
Artinya: “Samakan antara manusia di hadapanmu, di majlismu, dan hukummu sehingga orang lemah tidak putus asa dari keadilanmu, dan orang mulia tidak mengharap kecuranganmu.” (HR. ad-Daaruquthni)
1. Makna Mufrodat
Pada hadits pertama yang telah disebutkan, yakni hadits tentang persamaan hak di hadapan hukum yang dicontohkan Rasulullah terdapat beberapa mufrodat yang menjadi kunci bahwa hadits ini menjelaskan tentang asas equality before the law. Kata-kata pertama Rasulullah yang ditemukan yakni إنما ضل منقبلكم (innama dzolla man qoblakum) yang artinya “sesungguhnya telah sesat orang-orang sebelum kalian.” Kata “sebelum” di sini yang dimaksud ialah orang-orang sebelum Usamah dan orang-orang Quraisy datang kepada Rasulullah. Kemudian adanya kata yang menunjukkan bahwa Rasulullah sedang berbicara soal hukum pidana, yaitu kata سرق yang artinya mencuri. Jika perkara pidana itu terjadi di antara dua orang yang statusnya berbeda yakni الشريف yaitu orang-orang terhormat dengan الضعيف yaitu rakyat jelata.
2. Asbabul Wurud
Hadits di atas diambil berdasarkan kisah seorang wanita dari Bani Makhzumiyyah yang terdakwa sebagai pencuri. Kemudian orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) si wanita tersebut. mereka berkata, “Siapa yang bisa melobi Rasulullah saw.?” mereka pun menjawab, “Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah saw.” Maka, Usamah pun datang ke tempat Rasulullah dan melobi untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan. Rasulullah saw. bersabda, “Apakah engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?” Kemudian Rasulullah berdiri dan berkhutbah, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri ialah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut.
Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”
3. Analisis Kualitas Hadits
Hadits ini shohih karena dilihat dari periwayatannya, jumlah rowi yang meriwayatkan hadits lebih dari dua. Hadis ini dikabarkan melalui Said bin Sulaiman, dari Lais, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, kemudian dari Aisyah (Istri Rasulullah saw) yang mendengar langsung dari Nabi saw. ketika berselisih tentang hukuman bagi wanita bani Mukhzamiyyah tersebut. Kemudian jika dilihat dari sighat untuk meriwayatkan hadis yaitu sighat حدثنا dan عن.
Dengan demikian hadis ini shahih bukan hadis dhoif, dan hadis ini diriwayatkan di kitab Bukhari Muslim.
C. Kewajiban Hakim Berlaku Adil Terhadap Pihak Yang Berperkara.
Norma moral bagi hakim dalam menjalankan tugasnya diatur di dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor.047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur perilaku hakim sebagai berikut: berperilaku adil, berperilaku jujur, berlaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap profesional.
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga dihadapan masyarakat, hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan.
Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum22 dan peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsipprinsip tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi setiap orang yang sebesar mungkin, justru berpikir secara hukum berkaitan erat dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud.
Di dalam Pancasila kata adil terdapat pada sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, disamping itu juga termuat dalam sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia yang lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi adalah bahwa manusia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan meliputi :
- Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;
- Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; dan
- Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik.
BAB IIIPENUTUP
A. Simpulan
Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum dengan memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga dihadapan masyarakat.
Dalam Islam sendiri, Rasul sudah mencontohkannya bahwa dalam suatu peradilan tidak boleh memandang kedudukan, atau bahkan jabatan orang tersebut. Dengan kisah ketika telah terjadi pencurian, dan ada yang melapor kepada Rasul.
Dan Rasul pun mengkiaskan kejadian tersebut, jika hal tersebut dilakukan oleh Fatimah, maka Rasul akan memenggal tangan anaknya itu. Di sini berarti Rasul tidak memandang sekalipun itu anaknya sendiri maka akan dihukum hal yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali al-Hasyimi, Muhammad. 2009. “Keadilan & Persamaan dalam Masyarakat Muslim: Buku Masyarakat Muslim dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah”. Islamhouse.com.
Budiardjo, Miriam. 2016. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pengaturan Angka 1 Surat Keputusan Bersama (SKB) MA dan KY No.047/KMA/SKB/IV/2009 dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim Mardani. 2015. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rukmini,Mien. 2003. Perlindungan HAM Melalui Azas Praduga Tidak Bersalah dan Azas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.
Musim.or.id, “Penegakkan Hukum di Masa Rasulullah saw.”, (https://muslim.or.id/23872-penegakkan-hukum-di-masa-rasulullah-shalallahu-alaihiwa-sallam.html ), diakses tanggal 23 April Pukul 8.38.
Firman Floranta A. 2015. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara sebagai Amanat Konstitusi. Jember. Jurnal Konstitusi Vol. 12 No. 2.