PRAKTIK PENEMUAN HUKUM

PRAKTIK PENEMUAN HUKUM


A.    Penalaran Hukum Melalui Interpretasi Dan Konstruksi Hukum

Penemuan  hukum  adalah  kegiatan  atau  usaha  menemukan hukum suatu perkara karena hukumnya tidak jelas (tidak lengkap) atau  proses  pembentukan  hukum  oleh  hakim  atau  aparat  hukum lainnya,  yang  diberi  tugas  untuk  menerapkan  peraturan  hukum umum  pada  peristiwa  hukum  dan  proses  konkretisasi  peraturan hukum  yang  bersifat  umum,  dengan  mengingat  akan  peristiwa konkret tertentu.[1]

Secara umum dikenal ada dua jenis metode penemuan hukum, yaitu metode interpretasi dan  metode  konstruksi.  Ada  banyak  metode  interpretasi,  yang  sama  lain  bersifat  saling melengkapi. Tiap-tiap metode memiliki ciri-cirinya sendiri, sehingga tidak ada petunjuk tentang metode mana yang sesungguhnya harus digunakan dalam sebuah kasus konkret. Menurut Burght dan  winkelman,  di  masa  lalu  memang  telah  ‘diperjuangkan”  suatu  pedoman  yang  kaku  pada pemilihan  metode-metode  interpretasi,  namun  perlawanan  dengan  harapan  itu,  yang  akhirnya diperoleh  sekadar  petunjuk-petunjuk  yang  kabur.hal  ini  karena  sulit  memperoleh  pemahaman tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim dalam mengambil suatu keputusan tertentu karena yang terlihat hanya argument-argumen yang dikemukakan secara eksplisit dalam vonisnya.[2]

Dalam table  berikut  dapat  dilihat  uraian  singkat  tentang  bermacam-macam  metode interpretasi  yang  dikenal  dalam  kegiatan  penemuan  hukum,  disertai  dengan  keterangan  dan contoh sekedar untuk memperluas uraian:

No

Nama Interpretasi

Keterangan

1

Gramatikal

Penafsiran  menurut  bahasa,  antara  lain dengan  melihat  definisi  leksikalnya.  Contoh: istilah “pesisir” diartikan sebagai “tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut)”. (lihat:W.J.S.Poerwadarminta,  kamus  Umum  bahasa Indonesia.

2

Otentik

Penafsiran  menurut  batasan  yang dicantumkan  dalam  peraturan  itu  sendiri, yang  biasanya  diletakkan  pada  bagian penjelasan   (memorie  van  toelichting), rumusan  ketentuan  ketentuan  umumnya, maupun  dalam  salah  satu  rumusan  pasal lainnya.  Contoh:  “semua  kata  lingkungan hidup”  yang  ada  dalam  UU  No.  23  Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup harus ditafsirkan sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir  1   UU  tersebut,  yaitu  kesatuan  ruang dengan  semua  benda,  daya,  keadaan  dan mahluk  hidup,  termasuk  manusia  dan perilakunya,  yang mempengaruhi kelangsungan  perikehidupan  dan

kesejahteraan  manusia  serta  mahluk  hidup lain.

3

Teleologis (sosiologis

Penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Seringkali tujuan kemasyarakatan ini dimaknai secara prakmatis. Contoh: kata-kata”dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan bahwa negara tidak lagi harus menopoli sendiri penggelolaannya(fungsi besturen/beheren). Pemerintah sebagai repesentasi negara, cukup mengatur dan mengawasi (fungsi regelen dan tezichthouden) Oleh sebab itu untuk sumber daya air yang notabene sumber hidup masyarakat banyak, tidak perlu harus diusahakan oleh badan usaha milik negara/daerah. Hak guna usaha air itu dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha air itu dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha (Pasal 9 UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air).

4

Sistematis (logis)

Penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya. Contoh:Ketentuan tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Pasal 31-33 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup ditafsirkan sejalan dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative Penyelesaian Sengketa

5

Historis (subjektif)

Penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah undang-undang). Contoh: Kata-kata “hukum agraria merupakan pelaksanaan dari Manifesto Politik Republi Indonesia” dalam konsiderans UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokokpokok Agraria, harus ditafsirkan menurut pemikiran soekarno dalam pidatonya tanggal 17 agustus 1960. Ia menyatakan waktu itu, bahwa negara harus mengatur pemilikan tanah dan mempimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secar perorangan maupun secara gotong royong.

6

Komparatif

Penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum lain. Sistem hukum lain yang dimaksud di sini dapat saja peraturan hukum negara lain.

7

Fituristis (antisipatif)

Penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan undang-undangan atau rumusan yang di cita-citakan (ius constituendum). Contoh: rumusan “wilayah pesisir” ditafsirkan sebagai “Kawasan perairan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan dilaut, secara geografis kea rah darat sejauh pengaruh dari darat, seperti air sungai, sedimen, dan pencemaran dari darat,” Menurut Pasal 1 Butir 3 RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir. Apabila RUU ini sudah diundangkan, maka penafsirannnya tidak dapat lagi dikatakan futuristis.

8

Restriktif

Penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan. Contoh: istilah “ menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup” dalam Pasal 1 Butir 25 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya ditafsirkan sebagai Menteri Negara lingkungan Hidup.

9

Ekstensif

Penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan. Contoh: istilah”menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup” dalam Pasal 1

Butir 25 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, ditafsirkan secara luas mencakup semua mentri yang bidang tugasnya bersinggungan langsung dengan lingkungan hidup, yaitu Mentri Negara Lingkungan Hidup dan mentri-mentri teknis terkait pada cabinet tersebut (contoh Menteri Kehutanan, Mentri Pertambangan,

Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan.

Sebagaimana  telah  disinggung  di  muka,  metode-metode  penemuan  hukum  dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2)  the  purposive  approach  (focus  on  purpose).Interpretasi  gramatikal  dan  otentik  termasukkategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua yaitu fokus pada tujuan.

Metode  penemuan  hukum  lainnya  adalah  konstruksi  hukum,  atau  disebut  juga  dengan metode argumentasi. Paul scholten menggambarkan metode konstruksi sebagai berikut:

No

Nama Konstruksi

Keterangan

1

Analogi

Pengkonstruksian dengan cara mengabstraksikan prinsip suatu  ketentuan  untuk  kemudian  prinsip  ini  diterapkan dengan “seolah-olah” memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Contoh: Pasal 1576 KUH Perdata menyatakan jual beli tidak  memutuskan  hubungan  sewa  menyewa. Bagaimana  dengan  hibah?  Apakah  hibah  juga memutuskan hubungan sewa menyewa. Mengingat tidak ada  aturan  tentang  hibah  ini,  maka  Pasal  1576  KUH Perdataini  dikonstruksikan  secara  analogi,  sehingga berlaku  ketentuan  penghibahan  pun  tidak  memutuskan hubungan sewa menyewa.

2

Penghalusan hukum (penyempitan hukum

Pengkonstruksian  dengan  cara  mengabstraksi  prinsip suatu  ketentuan  untuk  kemudian  prinsip  itu  diterapkan dengan “seolah-olah”  mempersempit  keberlakuannya pada  suatu  peristiwa  konkret  yang  belum  ada pengaturannya.  Biasanya,  jika  diterapkan  sepenuhnya akan memunculkan ketidakadilan. Contoh:  Pasal  1365  mengatur  tentang  kewajiban memberi ganti rugi kepada korban atas kesalahan yang diperbuat  dalam  hal  tejadi onrechtmatigedaad. Bagaimana  jika  si  korban  juga  mempunyai  andil  atas kesalahan  sehingga  menimbulkan  kerugian  itu? Mengingat hal ini tidak diatur, maka prinsip Pasal 1365 dapat dikonstruksikan menjadi ketentuan baru bahwa si korban juga berhak mendapatkan ganti rugi, tetapi tidak penuh.  Metode  penemuan  hukum  yang  sama  dapat diterapkan  untuk  memaknai  isi  Pasal  34  UU  No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3

A Contrario

Pengkonstruksian  dengan  cara  mengabstraksi  prinsip stuatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara  berlawanan  arti  atau  tujuannya  pada  suatu peristiwwa  konkret  yang  belum  ada  pengaturannya. Contoh:  menurut  Pasal  38  UU  No.41  Tahun  1999 tentang  Kehutanan,  pada  kawasan  hutan  lindung dilarang  dilakukan  penambangan dengan  pola pertambangan  terbuka.  Bagaimana  jika  bukan

pertambangan  terbuka?  Undang-undang  ternyata  tidak eksplisit  menyatakannya.  Dengan  argumentum  a contrario  dapat  saja  disimpulkan  bahwa  karena  tidak diatur,  berarti  kawasan  hutan  lindung  dapat  dilakukan penambangan  asalkan  tidak  dengan  pola  pertambangan terbuka.

 

Sangat menarik untuk mengamati bahwa batas-batas antara metode interpretasi dan konstruksi dalam  banyak  segi  demikian  tipis.  Interpretasi  ekstensif  dan  analogi,  misalnya,  sama-sama terkesan memperluas keberlakuan suatu rumusan norma. Walaupun demikian, garis batas kedua metode ini dapat ditarik tegas, seperti dikemukakan Moeljatno. Menurutnya, perbedaanya terkait dengan gradasi semata.Interpretasi ekstensif masih berpegang pada aturan yang ada, sementara pada  analogi,  peristiwa  yang  menjadi  persoalan  tidak  dapat  dimasukkan  kedalam  aturan  yang ada,  meskipun  diyakini  bahwa  peristiwa  itu  seharusnya  juga  diatur  atau  dijadikan  peristiwa hukum. Itulah  sebabnya,  ada  pandangan  yang  masih  menerima  interpretasi  ekstensif  dalam          hukum pidana, namun menolak analogi karena dianggap bertentangan dengan asas legalitas.[3]

B.     Konsekuensi Prinsip Hakim Heteronom dan Otonom

1.      Prinsip Heteronom

    Penemuan hukum disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Sedangkan hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian. Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri,karena harus tunduk pada undang-undang.

     Penemuan hukum heteronom adalah penemaun hukum yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar penemuan hukum itu sendiri, khususnya pengaruh undang-undang, termasuk juga pengaruh dari sistem pemerintahan,ekonomi,politik,dsb. Penemuan hukum heteronom sesuai dengan pandangan klasik, yang dikemukakan oleh Montesqueu dan Emmanuel Kant,bahwa hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim hanyalah sebagai penyambung lidah atau corong dari undng-undang,sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang,tidak dapat menambah dan mengurangi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang.[4] Undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif. Oleh karena itu demi kepastian hukum dan kesatuan hukum,hakim harus ada dibawah undang-undang.

    Peradilan tidak lain hanyalah bentuk sillogisme,yaitu bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis mayor telah ditentukan dalam perundang-undangan, misalnya barang siapa mencuri dihukum. Premis minor adalah peristiwanya atau kasusnya, misalnya, Toni mencuri burung,sedangkan putusannya merupakan kesimpulan yang logis yaitu karena toni mencuri maka harus dihukum.

Konsekuensi dari prinsip hakim heteronom ini kurang fleksibelnya hakim / terlalu statis terhadap undang-undang, sedangkan keberagaman permasalahan manusia yang seiring perkembangan zaman semakin hari semakin kontemporer, sehingga tidak mungkin tercangkup dalam suatu peraturan perundang-undangan secara menyeluruhdan jelas. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhanmempunyai kemampuan yang terbatas sehingga undang-undang yang dibuatnya tidaklah lengkapdan tidak sempurna untuk mencangkup keseluruhan permasalahan manusia dalam kehidupannya. Untuk itu, tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya untuk mengatur permasalahan yang ada dalam masyarakat.Setiap undang-undang bersifat statis dan terkadang tidak selalu mengikuti perkembangan kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah dibebankan kepada para hakim dengan melakukan penemuan hukum dengan syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut, tidak boleh mendistorsi maksud dan jiwa undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenang-wenang.

2.      Prinsip  Otonom

          Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan atau perkembangan masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya.

            Pandangan penemuan hukum otonom muncul pada sekitar tahun 1850, karena aliran heteronom dari peradilan tidak dapat lagi dipertahankan. Tokoh-tokohnya antara lain Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Franscois Geny, Oliver Wonder Holmes, Jerome frank, dan Paul scholten. Dalam perkembangannya, dua sistem penemuan hukum (otonom dan heteronom) itu saling mempengaruhi dan tidak ada batas yang tajam satu sama lain. Sehingga dalam praktik penemuan hukum, dijumpai pula penemuan hukum campuran antara kedua sistem tersebut. Konsekuensi dari prinsip hakim otonom, Menurut Sudikno Mertukusumo mengemukakan aliran penemuan hukum bebas merupakan aliran yang sangat berlebihan karena hakim diberikan kebebasan bukan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan saj'a, tapi hakim diberikan pula kebebasan untuk menyimpang. Kritik terhadap penemuan hukum bebas ini dikemukakan pula oleh Achmad Ali di mana dikatakan bahwa kebebasan yang diberikan kepada hakim, akan membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan sehingga hakim akan menjadi raja terhadap undang-undang karena ia berkuasa menciptakan hukum sendiri bagi semua anggota-anggota masyarakat.



[1] Moh. Imron Rosyadi, “Judge Made Law: Fungsi dan Peranan Hakim dalam Penegakan Hukum Indonesia”, dalam AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 03, Nomor 01, (Surabaya: STAI Taswirul Afkar Surabaya, 2013).hlm. 99.

[2] Gr. Van der Burght & J.D.C. Winkelman, “Penyelesaian Kasus, “ Terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal

Pro Justisia, Tahun XII No. 1 Januari 1994, hlm. 44

[3] Sitti Mawar, “Metode Penemuan Hukum (Interpretasi Dan Konstruksi) Dalam Rangka Harmonisasi Hukum”, (Aceh: UIN Ar-Raniry, 2020), hlm. 10.

[4] http://patawari.wordpress.com/2009/03/12/proses-penemuan-hukum/ tgl.01/12/2011

 

Lebih baru Lebih lama