PEWARIS DALAM HAL ADANYA ANAK LUAR KAWIN

PEWARIS DALAM HAL ADANYA ANAK LUAR KAWIN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang 

        Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap harkat dan martabat anak sebenarnya sudah terlihat sejak Tahun 1979 ketika membuat Udang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, akan tetapi hingga keluarnya undang-undang perlindungan anak dan sampai sekarang, kesejahteraan dan pemenuhan hak anak masih jauh dari yang diharapkan. Melalui suatu perkawinan diharapkan sekali hadirnya keturunan yaitu anak, akan tetapi tidak semuanya anak terlahir dari perkawinan yang sah, banyak pula fenomena yang terjadi dalam masyarakat dimana anak lahir diluar perkawinan. 

        Status hukum dari seorang anak luar kawin hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dengan ayah biologis dan keluarganya anak luar kawin sama sekali tidak mempunyai hubungan keperdataan, ketentuan inipun berlaku bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan dapat diartikan bahwa peristiwa perkawinan tersebut tidak pernah ada sehingga anak yang lahir diluar perkawinan tersebut menurut undang-undang dikategorikan sebagai anak luar kawin.

        Fakta tersebut menunjukkan adanya diskriminasi dan tidak adanya perlindungan hukum bagi anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Sebagaimana yang diatur dalam pasal KUH-Perdata pasal 280 dan sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU VIII/2010 mengenai status anak luar nikah. Berdasarkan penjelasan yang dijelaskan diatas sehingga menarik untuk dikaji bagaimana aturan mengenai hak dan kedudukan anak luar nikah yang telah diakui dalam pewaris menurut KUH-Perdata.

B.    Rumusan Masalah 

1. Menjelaskan tentang hak waris aktif dan pasif ? 

2. Menjelaskan mengenai hak waris anak diluar nikah?

3. Menjelaskan cara menentukan pembagian waris anak luar kawin? 

C.    Tujuan Penulisan 

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dari hak waris aktif dan pasif .

2. Untuk mengetahui mengenai hak waris anak diluar nikah.

3. Untuk mengetahui cara menentukan pembagian waris anak luar kawin


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hak Waris Aktif dan Pasif 

1. Hak waris aktif 

        Ahli waris anak diluar nikah muncul apabila si pewaris meninggalkan seorang anak luar kawin yang diakui dengan sah oleh pewaris. Kedudukan seorang anak jika seorang anak luar kawin atau anak sah ditentukan oleh Hukum Keluarga. 

        Dalam Undang-Undang tidak dengan tegas mengatakan siapa yang dapat dikatakan anak luar kawin, tetapi dapat dilihat pada pasal 272 KUH Perdata dapat kita simpulkan, bahwa anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu si anak tersebut, dan tidak termasuk di dalam kelompok anak zinah dan anak-anak sumbang. Anak yang dilahirkan setelah ayahnya meninggal atau bercerai belum tentu anak luar kawin, karena kalau ia dibenihkan ketika ibunya berada dalam perkawinan yang sah dan dilahirkan dalam jangka waktu 300 hari sesudah putusnya perkawinan adalah anak sah (Pasal 255 KUHPerdata). 

        Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut system KUHPerdata asasnya adalah, bahwa merekamereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris sajalah yang mempunyai hak waris menurut Undang-Undang.

        Jika seorang anak luar kawin meninggal terlebih dahulu dari orangtuanya, kemudian orangtua yang mengakuinya meninggal dunia, bagian anak luar kawin itu jatuh pada anak sahnya dan atau keturunan anak sah itu. Anak sah dari seorang anak luar kawin yang telah meninggal lebih dulu bertindak sebagai pengganti orangtuanya, tetapi mereka tidak dapat mewaris dalam kedudukan sendiri oleh karena antara anak sah itu dan ayah atau ibu orangtua yang mengakuinya tidak ada hubungan perdata. 

        Anak luar kawin pada umumnya tidak memiliki hubungan perdata dengan keluarga sedarah bapak atau ibu yang mengakuinya. Tetapi jika keluarga sedarah bapak atau ibu yang mengakuinya tidak meninggalkan satu ahli waris pun sampai derajat keenam, maka anak luar kawin itu mewarisi dari keluarga sedarah bapak atau ibu yang mengakuinya hal ini tertuang dalam Pasal 873 ayat 1 BW. 

2. Hak waris pasif 

        Di dalam hal ini adalah menjadi pewarisnya, seperti terdapat dalam Pasal 870 KUHPerdata, bahwa kalau anak luar kawin meninggal tanpa suami/istri maupun keturunan, maka berlakulah Pasal 870 KUHPerdata. Jadi kalau anak luar kawin meninggal dengan meninggalkan suami/istri dan anak/keturunan, maka Pasal 870 KUHPerdata tidak berlaku. Dalam hal demikian maka terhadap anak luar kawin yang meninggal (sebagai pewaris), berlakulah ketentuan Bab XII bagian ke satu “tentang ketentuan umum” dan bagian kedua “tentang pewarisan keluarga sedarah yang sah dan suami atau istri yang hidup terlama”. Dalam hal demikian anak luar kawin dianggap sebagai pewaris biasa, sama dengan pewaris-pewaris yang lain. 

B. Mengenai Hak Waris Anak Diluar Nikah

1. Menurut Undang-Undang perkawinan

Menurut Undang-Undang Perkawinan Dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh karena itu ia hanya dapat mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya saja dan ia tidak mendapat warisan dari bapak dan keluarga bapaknya. 

2. Menurut Hukum Waris adat

Pada umumnya menurut hukum adat anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah itu hanya mewaris dari ibu atau kerabat ibunya. Di daerah Jawa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah adalah anak kowar, anak ini hanya dapat mewaris dari ibunya atau keluarga ibunya. Walaupun demikian apabila kemudian ibunya setelah anak itu lahir kawin dengan lelaki yang membenih anak tersebut dan anak itu tinggal bersama ayah kandungnya itu, si anak tetap tidak dapat mewaris dari bapaknya. Begitu pula anak yang lahir dari ayah ibunya yang kemudian cerai kemudian rujuk kembali secara diam-diam tanpa dilakukan di hadapan pejabat negara atau agama, ia tetap anak kowar dan tidak bersah sebagai ahli waris. Anak Luar Kawin yang tidak layak menjadi ahli waris apabila : 

a. Jika oleh hakim ia dihukum karena membunuh 

b. pewaris, jadi wajib ada putusan hakim yang menghukumnya. 

c. Jika ia secara paksa mencegah kemauan pewaris untuk membuat wasiat.

3. Menurut Ulama

Menurut Wahbah Zuhaily bahwa status anak zina disamakan dengan anak mula‟anah dengan ketentuan bahwa anak tersebut terputus hubungan saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya, karena tidak adanya status nasab yang sah diantara mereka. Dalil hukum yang dapat dikemukakan ialah dari beberapa Hadits Rasul, diantaranya;

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa ArRazi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb, telah menceritakan kepadaku Umar bin Ru`bah At Taghlibi, dari Abdul Wahid bin Abdullah An Nashri, dari Watsilah bin Al Asqa' dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang wanita menjaga tiga orang yang mewarisi; budak yang ia bebaskan, anak temuannya, dan anaknya yang karenanya ia melakukan li'an”. (HR. Abu Daud).

Kemudian Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi, yaitu:

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa saja lelaki yang berzina dengan wanita merdeka maupun budak wanita, maka anaknya ialah anak hasil zina. Dia tidak mewarisi juga tidak diwarisi”. (HR. Tirmidzi)

        Dari dua Hadits tersebut menurut Wahbah Zuhaili cukup untuk membuat sebuah kesimpulan bahwa anak zina tidak mewarisi harta ayahnya dan ayahnya tidak memiliki hak waris atas hartanya. Dalam hukum Islam telah ditentukan pula bahwa adanya suatu hak nasab bagi seseorang harus dilandasi dengan adanya sebab yaitu perkawinan yang sah. Selanjutnya sebab perkawinan yang menjadi salah satu syarat terhadap pemenuhan hak nasab akan berujung pada pemenuhan hak waris mewarisi. 

        Menurut pandangan bapak Munawir selaku ketua Lembaga Batsul Masail Nahdlatul Ulama Provinsi Lampung juga mengatakan kedudukan anak yang lahir di luar pernikahan pernikahannya nanti jika ingin menikah yang akan menjadi walinya adalah wali hakim, sedangkan jika ditinjau dari segiharta warisnya terputus terhadap ayah biologisnya, anak tersebut hanya dapat di berikan warisannya hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Dalam sebuah pernikahan itu pasti sama-sama memiliki harta, dan apabila harta tersebut mutlak dari hartanya ibu biologis maka anak tersebut mendapatkan haknya dari warisan ibu biologisnya, berikut ini adalah contoh semisalnya seorang ibu meninggal maka pembagiannya biasanya jika untuk anak laki-laki adalah Ashabah dan jika anak perempuan itu setengah dari bagian anak laki-laki dari harta ibunya, karena di dalam pernikahan harta dari seorang ayah dan seorang ibu itu dapat di bedakan. Atau pun bila seorang suaminya yang meninggal terlebih dahulu maka istri dan anaknya tetap dapat, jika anak tersebut anak laki-laki maka yang lain mahjub sedangkan jika tidak ada anak laki-lakinya maka naik kesaudara laki lakinya, ketika anak luar nikah itu tidak mendapatkan harta waris maka ayah biologisnya itu bisa memberikan harta berupa hibah ataupun wasiat, pembagian wasiat itu tidak boleh lebih dari 1/3, walaupun memberikannya lebih dari 1/3 sisanya maka harus di berikan kepada hak ahli waris sedangkan hibah itu bisa berapa saja tanpa ada batasan dan hibah ini di wasiatkan selagi ayah tersebut masih hidup. 

a. Cara menentukan pembagian waris anak luar kawin 

1. Pembagian waris menurut fuqoha

    Mengenai pewarisan anak luar perkawinan dalam Islam, para fuqoha berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina atau hamil diluar kawin, yaitu sebagai berikut: 

a. Pendapat pertama 

Abu Hanifah, Malik, dan Syafi‟I berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris mewarisi yang sudah diketahui. Ibu dapat mewarisi fardh, saudara ibu juga mewarisi fardh, dan sisanya dikembalikan kepada mereka yang berpendapat adanya ar-radd. Jumhur Ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nas, dan tidak ada nas yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari sepertiga, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari seperenam. Contoh, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektar dan meninggalkan ahli waris: ibu, bapak, paman, dari pihak ibu, dan bapaknya ibu.

Dalam kasus ini, warisan yang di berikan untuk ibu adalah fardh dan arradd, karena paman dari pihak ibu dan bapaknya ibu termasuk ke dalam kelompok dzawil arham, sedangkan bapak simayit tidak mendapat apa-apa karena nasabnya terputus. Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, istri mendapat bagian seperdelapan, anak perempuan, sebagai furudh dan ar-radd, dan saudara seibu tidak mendapat apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama dzawul furuud yang mewarisi.

b. Pendapat Kedua

Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dapat diwariskan dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Dalam suatu riwayat dari ibnu mas‟ud, ibnu Umar pun berpendapat demikian. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi‟in. Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi.

Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau lian wafat meninggalkan istri dan anak perempuan tidak ada lagi orang lain selain saudara seibu; istri mendapat  seperdelapan (1/8) yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan separuh (1/2) sebagai bagian tetap (fardh), dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Jika seorang laki-laki wafat meninggalkan seorang anak diluar kawin, ibu, dan paman dari ibu, ibu mendapat sepertiga (1/3) dan paman dari pihak ibu mendapat (2/3) sebagai ashabah. Indonesia sangat mengutamakan keadilan dan kesejahteraan di depan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga hal ini sangat berpengaruh mengenai kewarisan anak di luar perkawinan. Mengenai bagian waris anak luar perkawinan maka hukum waris bagi yang beragama Islam diatur dalam pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. 

2. Pembagian warisan untuk anak luar kawin menurut kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata).

    Berdasarkan Pasal 584 KUH Perdata, hak milik atas suatu kebendaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal selaku pewaris antara lain dapat diperoleh karena pewarisan. Dalam KUH perdata, hukum waris diatur dalam buku kedua tentang benda Bab XII sampai BAB XVIII pasal 830 – pasal 1130. Perlu diingat bahwa seorang ahli waris tidak hanya menerima aktiva (Hak) tetap juga Passive (Kewajiban) pewaris.

 Menurut Hukum perdata ada dua macam cara memperoleh warisan 

a. Secara ab intestate (bij versterf) atau menurut KUH Perdata yang menetapan siapa yang berhak mewarisi tanpa membedakan siapa yang lahir lebih dahulu dan jenis kelaminnya pria/wanita, bahkan anak-anak luar kawin yang diakui (natuurlijke erkende kinderen) merupakan ahli waris ; diantaranya menggunakan Legitieme portie yaitu suatu bagian mutlak tertentu dari harta warisan terutama bagi anak sah maupun anak luar kawin yang disahkan, yang dijamin oleh hukum dan tidak dapat dihapuskan oleh siapapun termasuk pewaris dengan surat wasiat. Besarnya legitieme portie menurut pasal 914 KUH perdata dari anak luar kawin yang telah diakui adalah ½ (setengah) dari harta peninggalan yang sebenarnya akan diterima. 

b. Secara testamentair atau ditunjuk dalam surat wasiat yaitu akta yang berisi kehendak terakhir seseooorang tentang hal-hal yang ia inginkan terjadi pada harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia (Pasal 874 KUH Perdata).Meskipun wasiat merupakan kehendak terakhir pewaris, namun tidak berarti harus selalu dilaksanakan jika isinya bertentangan dengan undang-undang. 

    Pembagian harta warisan bagi anak luar kawin dalam hukum perdata didasarkan pada ketentuan KUH perdata dengan berpedoman pada ketentuan 832 KUH Perdata mengenai golongan- golongan yang berhak mewarisi harta milik pewaris melalui legitieme poortie sepanjang anak luar kawin tersebut disahkan melalui pengadilan. 

3. Pembagian Waris menurut UU No. 1 Tahun 1974 

        Kedudukan anak luar kawin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar dari perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan hukum atau kerabat dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal ini berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengakui adanya anak luar kawin.  Namun demikian, agar anak luar kawin dapat memiliki hak untuk mewarisi harta warisan apabila pewaris menyatakan bahwa pewaris atau ayahnya mengakui keberadaan anak luar kawin tersebut sehingga besarnya pembagian harta warisan bagi anak luar kawin diserahkan kembali kepada pewaris melalui hibah wasiat. Pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuannya. 

Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dengan cara : 

a. pengakuan sukarela, yaitu suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang- undang bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan, seperti pencatatan akta kelahiran si anak pasal 281 ayat (1) KUH Perdata, pengakuan terhadap anak luar kawin pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung, pengakuan terhadap anak luar kawin dalam akta autentik (akta notaris). 

b. Pengakuan Paksaan, yaitu pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi karena paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir diluarr perkawinan tersebut dengan mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya ke pengadila Negeri. 

    Apabila terjadi sengketa dalam hal warisan untuk anak luar kawin, notaris memiliki peran dalam pembuatan akta warisan untuk anak luar kawin dengan perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris dengan membuat : 

a. Akta pembatalan, yaitu akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan akta pembagian waris yang telah dibuat sebelumnya dan kemudian dibuatkan akta pembagian waris yang baru untuk anak yang diluar nikah agar dapat dicantumkan dalam ahli waris sesuai yang telah ditentukan undang-undang. 

b. Akta perdamaian, yaitu akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan bermufakat dan membagi waris menurut undang-undang. c. Akta perjanjian pelepasan hak tuntutan, yaitu pembuatan akta yang merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang didalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan akta pembagian waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta perjanjian pelepasan hak tuntutan, dibuat tanpa membatalkan akta pembagian waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si ana luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris. 

4. Pembagian warisan untuk anak luar kawin menurut putusan mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VII/2010 tanggal 13 Februari 2012. 

        Putusan mahkamah konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU yang diajukan Hj.Aisyah Mochtar alias Machica binti H.Mochtar Ibrahim yang meminta putranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum moerdiono mantan menteri sekertaris Negara di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum moerdiono. 

        Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan pada pembuktian mengenai asal- usul anak yang diatur dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta autentik mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Dengan adanya putusan mahkamah konstitusi tersebut maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah. Berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat yang dapat dibuktikan adanya hubungan bilogis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui tes DNA. Apabila penyangkalan mengenai anak luar kawin dari anak- anak ahli waris yang sah, maka dalam hal ini tetap perlu dimohonkan penetapan pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah. 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

        mempunyai hubungan hukum apapun dengan orang tuanya apabila tidak ada pengakuan dari ayah maupun ibunya, dengan demikianbila anak luar kawin tersebut diakui Setiap anak yang dilahirkan di luar suatu ikatan perkawinan yang sah adalah merupakan anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata Anak luar kawin dianggap tidak maka ia dapat mewaris harta peninggalan dari orang tua yang mengakuinya, dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-undang. Akan tetapi, disatu sisi juga dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu UU No.1 tahun 1974 (Pasal 43 ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bisa kita lihat bahwa ada perbedaan mengenai pendapat para ulama tentang pembagian waris atau hak waris kepada anak yang lahir diluar nikah.

        Dengan demikian, maka keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan dalam Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut yang juga merupakan bagian dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Aprilianti Rosida. 2011. Hukum Waris Menurut KitabUndang-Undang Hukum Perdata. Bandar Lampung: Harakindo Publishing.  

Muchamad Rima Saputra. 2017. ”Kedudukan Anak Luar Nikah Terhadap Harta Waris (studi Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Provinsi Lampung)”. Skripsi. Lampung: UIN RadenIntan Lampung.

Muhammad Jawad Mughniyah. 2005. Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hambali, (terj: Masykur A. B, dkk). Cet. 13. Jakarta: Lentera.

Nurhimmi Falahiyati. 2018. ”Hak Waris Anak Luar Kawin Berdasarkan KUHPerdata Dikaitkan Dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010”. Medan: Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian.

WahbahZuhaili. 2011. Fiqh Islam Waadillatuhu; Hak-hakAnak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul Hayyie Al-Kattani). Jilid 10. Jakarta: GemaInsani.

Yessy Kusuma dewi. 2018. ”Akibat Hukum Bagi Anak Luar Kawin Dalam Pembagian Warisan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Jakarta: Bina Mulia Hukum.

Lebih baru Lebih lama