PENYELESAIAN SENGKETA WAKAF PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG

PENYELESAIAN SENGKETA WAKAF PERSPEKTIF FUQAHA DAN UNDANG-UNDANG 


BAB I
PENDAHULUAN 

A.    Latar Belakang 

        Wakaf sebagai bentuk ibadah yang bersifat social dilakukan dengan cara memisahkan sebagian harta milik dan melembagakan untuk sementara atau selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya sesuai dengan syariat (hukum) islam yang pahalanya terus mengalir kepada yang mewakafkan (wakif), meskipun ia telah meninggal dunia. Dalam perkembangannya, masyarakat islam tidak terlepas dari ciri dinamika social yang memiliki proses social. Salah satu proses social tersebut ialah terjadinya kompetisi dalam memperoleh suatu nilai, yang dapat mencapai puncak eskalasi ke tahap konflik. Paul Bohanan salah seorang pakar sosiologi mengatakan bahwa pada satu sisi, sesuatu yang ekstrem apabila tidak ada konflik dalam suatu masyarakat, akan tetapi di sisi lain yaitu bahwasanya sesuatu yang ekstrem pula apabila suatu konflik tidak dapat diselesaikan. 

        Persengketaan dalam wakaf yang umum terjadi misalnya, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif, tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf, adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif meninggal dunia. Selain itu, sengketa wakaf juga terjadi pada nadzir yang tidak bertanggung jawab atas kewajibannya, seperti: harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya dan terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Sengketa hukum wakaf merupakan permasalahan hukum yang terjadi antara dua pihak atau lebih, dimana masingmasing pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan pihak lain merasa dirugikan, sehingga tujuan dan peruntukan wakaf tidak tercapai. 

        Dengan demikian dari latar belakang tersebut, bahwasanya dalam penyelesaian sengketa wakaf sangat penting, baik untuk khalayak umum maupun akademis. Oleh karena itu, makalah dengan tema “Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Perspektif Fuqaha dan Undang-Undang” ini saya upayakan dapat menjadi bentuk penambahan wawasan kita terkait penyelesaian sengketa wakaf. 

B.    Rumusan Masalah 

1. Bagaimana penyelesaian sengketa wakaf  dan ketentuan  pidananya ? 

2. Apa saja administrasi sengketa wakaf menurut fuqaha dan UndangUndang ? 

C.    Tujuan 

1. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa wakaf dan ketentuan  pidana. 

2. Untuk mengetahui administrasi sengketa wakaf menurut fuqaha dan undang-undang. 

 

BAB II
PEMBAHASAN 

A.    Penyelesaian Sengketa Wakaf dan Ketentuan Pidana 

1.    Penyelesaian Perselisihan atau sengketa benda wakaf 

    Sebagaimana diketahui, dalam kenyataan dilapangan tidak jarang terjadi perselisihan atau persengketaan terhadap benda wakaf. Ini timbul karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan benda wakaf, tidak atau kurang amanah, atau sekiranya jika pengelola sudah berubah, tidak ada informasi yang jelas bahwa benda tersebut adalah benda wakaf. 

    Pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan “Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan memalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Ini sejalan dengan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : 

a. Perkawinan 

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam. 

c. Wakaf dan sedekah. 

Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 menyatakan: 

1. Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syariat islam yang antara lain mengenai: a. Wakaf, wakif, nadzir, ikrar, dan saksi 

b. Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf) 

c. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf. 

2. Pengadilan Agama dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara pada pengadilan agama. 

Tidak sedikit kasus yang mengemukan di Pengadilan Negeri, pihak-pihak yang berusaha untuk “menarik kembali” wakaf yang sudah dilakukan oleh orang tuanya, karena merasa apa yang dilakukan oleh orang tuanya tidak disetujuinya, atau sebagai anak dari orang tua yang diamanati sebagai nadzir, bahwa benda yang dikelola oleh orang tuanya sebagai nadzir adalah miliknya. 

Pasal 62 UU Nomor 41 Tahun 2004 menegaskan: 

1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat; 

2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. 

a. Mediasi 

        Mediasi menurut hukum positif terdapat dalam ketentuan umum Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 2008 yaitu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. 

      Penyelesaian sengketa atas wakaf selain dapat diselesaikan di pengadilan yang berakhir dengan keluarnya putusan atas pertimbangan hakim, penyelesaian sengketa wakaf dapat juga dilakukan melalui ruang nonlitigasi (diluar pengadilan), sebelum sengketa tersebut diproses diperadilan, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan dengan cara mediasi. 

Dilakukannya sarana mediasi ini harus diminta terlebih dahulu persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa.  

b. Arbitrase 

        Artinya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk dan menaati pada keputusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih/tunjuk. Dalam hal sengketa seperti sengketa atas nadzir tanah wakaf jika para pihak ingin melakukan penyelesaian melalui arbitrase, maka lembaga yang digunakan ialah lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), yang merupakan lembaga arbitrase nasional satu-satunya yang menetapkan hukum islam yang berlaku terhadap penyelesaian seluruh sengketa muamalah yang terjadi di lingkungan masyarakat.  

        Selama ini, perselisihan persengketaan tentang benda wakaf, diselesaikan melalui dan oleh Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dalam ketentuannya sebagai berikut : 

        Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: 

1. Perkawi Wasiat; 

2. Hibah; 

3. Wakaf; 

4. Zakat; 

5. Infaq; 

6. Shadakoh; dan 

7. Ekonomi syariah. 

Pasal 50 

(1) Dalam hal sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. 

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud pasal 49.  

2.    Ketentuan Pidana 

        Sebagai ikhtiar untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan di dalam pengelolaan benda wakaf, maka dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf diatur tentang ketentuan pidana. 

Dalam Pasal 67 ditegaskan: 

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00- (lima ratus juta  rupiah). 

(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00- (empat ratus juta rupiah). 

(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atau hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau  pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00- (tiga ratus juta rupiah). 

B.    Sangsi Administratif 

        Kompilasi tidak mengatur masalah ketentuan pidana dalam perwakafan, namun demikian, bukan karena kompilasi tidak setuju, akan tetapi lebih karena posisi kompilasi merupakan pedoman dalam perwakafan. Oleh karena itu, apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka penyelesaiannya dapat dijaring atau dijerat melalui pasal 14 PP Nomor 28 Tahun 1977 dan pasal 75. 

Pasal 14 berbunyi: 

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasal 7 ayat (1) dan (2), pasal 9, pasal 10, dan pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)”. 

Pasal 15 

“Apabila perbuatan yang dimaksud dalam pasal 14 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut atau bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap kedua-duanya”. 

Apabila diuraikan, muatan pasal-pasal yang apabila dilanggar dikenakan sanksi, sebagai berikut : 

1. Wakif yang mewakafkan bendanya tidak di ikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW kepada nadzir disaksikan dua saksi. 

2. Nadzir tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama kecamatan setempat. 

3. Nadzir tidak mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya. 

4. Nadzir tidak membuat laporan secara periodik. 

5. Wakif tidak datang dihadapan PPAIW untuk ikrar wakaf. 

6. Pelanggaran diatas dilakukan oleh wakif dan nadzir dengan sanksi hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp, 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Selanjutnya jenis pelanggaran dan sanksi hukuman dibebankan kepada petugas atau pejabat adalah; 

7. PPAIW tidak mengajukan permohonan kepada 

Bupati/Walikotamadya. Kepala badan pertanahan, untuk mendaftar perwakafan tanah. 

8. Kepala Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya atas nama Bupati/Walikota mencatat permohonan pencatatan tanah wakaf. 

9. Perubahan peruntukan wakaf tanpa persetujuan Menteri Agama. 

Pasal 68 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menegaskan: 

(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administrative atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 dan pasal 32. 

(2) Sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: 

a. Peringatan tertulis. 

b. Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan dibidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah. 

c. Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW. 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.  

 

BAB III
PENUTUP 

A.    Simpulan 

        Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya dalam Pasal 12 PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan “Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan memalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Ini sejalan dengan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : Perkawinan, Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Wakaf dan sedekah. 

        Kemudian dalam Pasal 62 UU Nomor 41 Tahun 2004 menegaskan antara lain Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat; dan Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Sebagai ikhtiar untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan di dalam pengelolaan benda wakaf, maka dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf diatur tentang ketentuan pidana. 

        Sedangkan mengenai sanksi administrasi ialah Kompilasi tidak 1mengatur masalah ketentuan pidana dalam perwakafan, namun demikian, bukan karena kompilasi tidak setuju, akan tetapi lebih karena posisi kompilasi merupakan pedoman dalam perwakafan. Oleh karena itu, apabila terjadi pelanggaran pidana dalam perwakafan, maka penyelesaiannya dapat dijaring atau dijerat melalui pasal 14 PP Nomor 28 Tahun 1977 dan pasal 75. 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Rahmadi Usman. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. (Bandung: PT Aditya Bakti. 2003). 

Rahmad Rosyadi. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. (Bandung: citra Aditya Bakti. 2002).  

Rofiq Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Depok: PT Raja Grafindo Persada. 2013 Edisi Revisi). 

Pasal 67-68 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf 

Lebih baru Lebih lama