TUJUAN DITETAPKANNYA HUKUM SYARIAH (MAQASHID SYARIAH)

TUJUAN DITETAPKANNYA HUKUM SYARIAH (MAQASHID SYARIAH)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahwa semua suruhan dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi dalam sunah yang terumuskan dalam fikih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Anbiya (21): 107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus.

Para ulama sepakat bahwa memang hukum syara’ itu mengandung kemaslahatan untuk umat manusia. Namun ulama berbeda pendapat dalam menempatkan kemaslahatan itu sebagai tujuan penetapan hukum syara’. Dalam hal ini ada dua pendapat:

1.        Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy‘ariyah). Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan penetapan hukum syara’ itu bukan untuk kemaslahatan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari kemaslahatan umat.

2.        Ulama yang yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hamba-Nya (yang dianut oleh ulama kalam al-Mu‘tazilah); berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah menetapkan hukum syara’.

B. Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan Kemaslahatan?

2.      Bagaimana bentuk-bentuk kemaslahatan?

C. Tujuan

1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Kemaslahatan.

2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk kemaslahatan.

 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kemaslahatan

Secara sederhana maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah menyuruh, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau tidak. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat disebutkan sendiri alasannya oleh Allah. Alasan suruhan shalat dijelaskan dalam surat al-Ankabut (29): 45:

 إِنَّ الصَّ الَةا تانْ اهىٰ اعنِ الْفاحْ اشاءِ اوالْمُنْ اكرِ

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” Sedangkan suruhan berzikir disebutkan alasannya dalam surat al-Ra‘d (13): 28:

 أا الَ بِذِكْرِ اللََِّّ تاطْ امئِنُّ الْقلُوُبُ

Artinya: “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Allah melarang minum khamar dan berjudi dalam surat al-Maidah (5): 90:

 إِنَّ اما الْ اخمْرُ اوالْ اميْسِرُ اوالْْانْ اصابُ اوالْْازْ الَمُ رِجْسٌ مِنْ اع املِ الشَّيْ اطانِ فااجْتانبِوُهُ لا اعلَّكُمْ ت فُْلِحُو ا ن

Artinya: “Sesungguhnya minum khamar dan berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan

panah adalah perbuatan keji dari setan dan oleh karenanya jauhilah.”

Untuk menjelaskan kenapa perbuatan tersebut dilarang, dijelaskan Allah dalam surat al-Maidah (5): 91:

إنَِّ اما يرُِيدُ الشَّيْ اطانُ أانْ يوُق اعِ ابيْناكُمُ الْ عاداا اوةا اوالْ ابغْ اضا اء فيِ الْ اخمْرِ اوالْ اميْسِرِ او ايصُدكَُّمْ ا عنْ ذِكْرِ اللََِّّ  او اعنِ الصَّ الَةِ

Artinya: “Sesungguhnya setan bermaksud menimpakan kepadamu permusuhan dan kemarahan melalui khamar dan judi itu dan melengahkan kamu dari mengingat

Allah dan shalat.”

Memang ada beberapa suruhan Allah yang tidak diketahui alasannya oleh akal, seperti suruhan melakukan shalat zuhur setelah tergelincir matahari. Namun tidaklah berarti suruhan Allah itu tanpa tujuan, cuma tujuannya belum dapat dicapai oleh akal manusia.

 
B. Bentuk-bentuk Kemaslahatan

Maslahat dibagi menjadi dua bentuk yaitu:

1.        Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut  جلب المنافع (membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan saat melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakannya kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya, tidak dirasakan sebagai suatu kenik matan tetapi justru ketidakenakan. Seperti orang yang sedang sakit malaria disuruh meminum pil kina yang pahit. Segala suruhan Allah berlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.

2.        Menghindarkan umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut دراالمفاسد

(menolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dila rang, ada juga yang pada waktu berbuat, dirasakannya sebagai suatu yang menyenangkan tetapi setelah itu dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpamanya berzina dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.

Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat kebutuhan itu adalah:

primer, sekunder, dan tersier.

1. Kebutuhan Primer (Dharuri)

Kebutuhan tingkat “primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut. Kebutuhan yang bersifat primer ini dalam Ushul Fiqh disebut tingkat dharuri (الضروري). Ada lima hal yang harus ada pada manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia. Secara berurutan, peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (harga diri). Kelima hal ini disebut “dharurîyat yang lima”.

Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah melarang me lakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah buruk, dan karenanya harus dijauhi.

Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada Allah, kepada Rasul, kepada kitab suci, kepada malaikat, kepada hari akhir, mengucapkan dua kalimah syahadat serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah sebagaimana banyak ditegaskan dalam Al-Qur’an yang di antaranya pada surat at-Taubah (9): 41:

 او اجاهِدوُا بأِامْ اوالِكُمْ اوأانْفسُِكُمْ فيِ اسبيِلِ اللََِّّ

Artinya: Berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah.

Di samping itu Allah melarang manusia berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan agama. Karena itu Allah mengharamkan murtad sebagai mana firmanNya dalam surat al-Baqarah (2): 217:

 او امنْ ايرْتادِدْ مِنْكُمْ اعنْ دِينِهِ فا ايمُتْ اوه اوُ اكافرٌِ فاأوُالٰئِ اك اح بِ اطتْ أاعْ امالهُُمْ فيِ الدنُّْ ايا اوالْْخِ ارةِ

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antaramu dari agamanya kemudian ia mati dalam kekafiran, mereka itulah yang dihapus amalannya di dunia dan akhirat.”

Sehubungan dengan itu Allah menyuruh memerangi orang yang tidak beriman, sebagaimana firman-Nya dalam surat at-Taubah (9): 29:

 اقاتلِوُا الَّذِي ان الَ يؤُْمِنوُ ان باِللََِّّ او الَ باِلْ ايوْمِ الْْخِرِ

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”

Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal, seperti makan, minum, menutup badan, dan mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan baik, karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Seba liknya, segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang Allah. Dalam hal ini Allah melarang mem bunuh tanpa hak, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An‘am (6): 151:

 او الَ تاقْتلُوُا النفَّْ اس التَّيِ احرَّ ام اللََُّّ إِلََّ باِلْ اح قِ

Artinya: “Janganlah kamu melakukan pembunuhan terhadap diri yang diharamkan Allah, kecuali secara hak.”

Sebagai ancaman terhadap pembunuhan itu, Allah menetapkan hu kuman qishash sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 178:

 كُتِ اب اعلايْكُمُ الْقِ اصاصُ فيِ الْقاتلْاى

Artinya: “Allah telah menetapkan atasmu hukuman qishash karena pembunuhan.”

Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat.

Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak akal. Segala perbuatan yang mengarah pada kerusakan akal adalah perbuatan buruk; karenanya dilarang syara’. Dalam hal ini, Allah mengharamkan meminum minuman memabukkan dan segala bentuk makanan, minuman yang dapat mengganggu akal. Nabi dalam sunahnya menetapkan sanksi pukulan sebanyak 40 kali atas peminum minuman yang memabukkan itu. 

Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkannya secara halal dan baik. Segala usaha yang mengarah bagi pencarian harta yang halal dan baik adalah perbuatan baik yang disuruh oleh syara’. Banyak firman Allah dalam Al-Qur’an yang menyuruh manusia mencari rezeki, di antaranya dalam surat al-Jumu‘ah (62): 10:

 فاإذِاا قضُِ ايتِ الصَّ الَةُ فاانْتاشِرُوا فيِ الْْارْضِ اوابْتاغوُا مِنْ فاضْلِ  اللََِّّ

Artinya: Bila telah kamu tunaikan shalat, bertebaranlah di muka bumi dan carilah rezeki dari Allah.

Untuk kelangsungan kehidupan manusia, perlu adanya keturunan sah dan yang jelas. Untuk maksud itu Allah melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu syahwat yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang jika dilakukan secara sah adalah baik. Dalam hal ini Allah mensyari‘atkan kawin dan berketurunan, sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nur (24): 32:

 اوأانْكِحُوا الْْا ايا امىٰ مِنْكُمْ اوالصَّالِحِي ان مِنْ عِ ابادِكُمْ

Artinya: Kawinilah orang-orang yang membujang di antaramu dan orang-orang baik di antara hambamu.

Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan ke turunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu, Nabi sangat melarang sikap tabattul atau membujang karena mengarah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana. Dalam surat al-Isra’ (17): 32, Allah berfirman:

 او الَ تاقْ اربوُا ال زِناا ۖ إنَِّهُ اكا ان افاحِ اشةً او اسا اء اسبيِلًَ

Artinya: “Janganlah kamu dekati perbuatan zina, karena ia adalah perbuatan keji.

Selanjutnya dalam surat an-Nur (24): 2, Allah menetapkan sanksi bagi pezina:

 الزَّان ايِةُ اوالزَّانيِ فااجْلِدوُا كلَُّ اواحِدٍ مِنْهُ اما مِائاةا اجلْداةٍ

Artinya: Pezina laki-laki dan perempuan cambuklah masing masingnya 100 kali.

Termasuk dalam kelima kebutuhan primer (dharuri) tersebut menurut sebagian ulama adalah “harga diri” yang disuruh Allah untuk menjaganya dan melarang berbuat sesuatu yang dapat mencemarkannya. Dalam hal ini diharamkan menuduh perempuan baik-baik melakukan zina tanpa bukti yang sah dan pelakunya diancam dengan 80 kali cambuk, sebagai mana firman Allah dalam surat an-Nuh (24): 4:

 اوالَّذِي ان ايرْمُو ان الْمُحْ اصنااتِ ثمَُّ لامْ ياأتْوُا بِأارْ اب اعةِ شُ اهداا اء فااجْلِدوُهُمْ ثا امانيِ ان اجلْداة ً

Artinya: “Orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak

dapat mengemukakan empat orang saksi cambuklah 80 kali.”

Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu, suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhuan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fardhu” (menurut ulama Hanafiyah). Sebaliknya, larangan Allah yang berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzâtî ( الحرام الذاتي). Untuk mendukung pencapaian dari tujuan yang dharuri ini, syara’ menetapkan hukum- hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.

2.         Kebutuhan Sekunder (Hajiyat)

Tujuan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia ialah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak sampai akan merusak kehidupan, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan. Tujuan penetapan hukum syara’ dalam bentuk ini disebut tingkat hajiyat.

Tujuan hajiyat dan segi penetapan hukumnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

a)      Hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini disebut muqaddimah wajib ( مقدمة واجب). Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat hajiyat.

b)      Hal yang dilarang syara’ melakukannya untuk mengindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti khalwat ituberakhir pada zina. Meskipun demikian, khalwat itu dilarang dalam rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang bersifat dharuri. Kepentingan akan adanya tindakan untuk menjauhi larangan mi berada pada tingkat hajiyat.

c)      Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukshsah (ke mudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah pun tidak akan hilang salah satu unsur yang dharuri itu, tetapi manusia akan berada dalam kesempitan (kesulitan). Rukhshah ini, berlaku dalam hukum “ibadat” seperti shalat bagi yang berada dalam perjalan; dalam “muamalat” seperti bolehnya jual beli salam (inden); juga dalam “jinayat” seperti adanya maaf untuk membatalkan pelaksanaan qishash bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat (denda) atau tanpa diyat sama sekali.

3.         Kebutuhan Tersier (Takhsiniyat)

Tujuan tingkat “tersier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersier, ke hidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan. Tujuan dalam tingkat ini disebut

“takhsiniyat”.

Tujuan takhsiniyat ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram ‘ pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharûrî dan hâjiyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan takhsini ini menimbulkan hukum “sunah”, dan perbuatan yang mengabaikan kebutuh an takhsini menimbulkan hukum “makruh”.

Takhsini berlaku pada bidang ibadal, seperti berhias dan berpakaian rapi pada waktu ke masjid; dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syuf‘ah; juga berlaku pada adat, seperti hemat dalam berbelanja; serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.

Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharûrî lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat hâjiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharûrî pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu di antaranya harus didahulukan.

Bila terjadi perbenturan antara tuntutan yang bersifat dharuri dengan yang bersifat hajiyat, maka yang didahulukan adalah yang tingkat dharuri. Contoh dalam hal ini umpamanya seorang dokter laki-laki menghadapi pasien perempuan yang terancam jiwanya dan diperlukan operasi untuk penyelamatan. Memelihara jiwa si sakit dituntut dalam tingkat dharuri. Tetapi untuk melakukan tuntutan ini ia harus melihat aurat perempuan yang hukumnya terlarang dalam tingkat hajiyat. Di sini terjadi perbenturan antara suruhan dalam tingkat dharuri dengan larangan dalam tingkat hajiyat. Dalam hal ini ulama membenarkan si dokter melihat aurat si sakit waktu operasi tersebut, karena harus mendahulukan yang dharuri dari hajiyat.

Bila terjadi perbenturan dua tuntutan yang sama-sama berada dalam tingkat dharuri namun berbeda dalam unit kepentingan didahulukan urutan yang lebih tinggi. Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan memelihara jiwa,maka diutamakan memelihara agama. Dalam hal ini jihad pada jalan Allah diutamakan bila agama sudah terancam meskipun untuk itu akan mengorbankan jiwa. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat at-Taubah (9): 41:

 او اجاهِدوُا بأِامْ اوالِكُمْ اوأانْفسُِكُمْ فيِ اسبيِلِ اللََِّّ

Artinya: “Jihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah.”

Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara jiwa dengan kepentingan memelihara akal, didahulukan kepentingan memelihara jiwa. Dalam hal ini umpamanya seseorang yang tersekat kerongkongannya dan terancam jiwanya kecuali dengan meminum cairan tertentu dan kebetulan cairan yang ada hanyalah minuman terlarang, maka boleh dia meminum khamar yang terlarang itu meskipun sampai ia mabuk karena meminum minuman itu.

Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara akal dengan kepentingan memelihara harta, maka kepentingan memelihara akal harus didahulukan. Umpamanya seseorang yang akalnya terancam kerusakan dan baru dapat ia melepaskan ancaman itu dengan cara mencuri sesuatu yang dimiliki orang lain. Dalam hal ini dibolehkan ia mencuri untuk memelihara akalnya itu. 

Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara harta dengan kepentingan memelihara harga diri, didahulukan kepentingan memelihara harta. Umpamanya seseorang diperkosa dengan ancaman satu-satunya harta yang dimilikinya akan dimusnahkan. Dibenarkan tindakan membiar kan diri dipaksa berbuat zina yang terlarang karena membela harta, apalagi membela jiwa. 

Untuk membenarkan tindakan mengambil suatu risiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih tinggi itu ulama menggunakan kaidah:

Sesuatu yang diharamkan secara zaati dibolehkan karena dharurat.”

Begitu pula bila terjadi perbenturan antara sesama yang berada dalam kepentingan tingkat hajiyat, didahulukan satu di antaranya, yaitu yang paling enteng risikonya. Seandainya sama risikonya didahulukan kepentingan berdasarkan urut sebagaimana disebutkan di atas, karena meski bagaimana juga kepentingan hajiyat berkaitan dengan salah satu lima unsur dharuri disebutkan di atas. Kepentingan menutup aurat berada pada tingkat haji dan kepentingan belajar pokok-pokok agama juga berada pada tingkat hajiyat yang berkaitan dengan memelihara agama. Bila untuk kepentingan proses belajar mengajar ini si guru terpaksa melihat wajah si murid yang semestinya tidak boleh dilakukan, maka ia dibolehkan meskipun yang demikian adalah aurat. Haram melihat aurat berada pada haram ghairu dzati atau saddu al-dzari‘ah sedangkan belajar pokok-pokok agama itu adalah sesuatu yang bersifat hajiyat. Hajat dalam hal ini didahulukan karena yang berlawanan dengannya hanya sebatas haji pula.

Untuk mendahulukan haji dalam hal ini ulama berpegang pada kaidah: “Sesuatu yang diharamkan bukan secara zaati dibolehkan karena adanya hajat.” Bahkan kadang-kadang ulama menempatkan tingkat haji itu dalam keadaaan tertentu pada tingkat dharuriyat sebagaimana tersebut dalam kaidah berikut ini: “Hajat itu terkadang menempati tempat darurat.”[1]


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Kemaslahat dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah menyuruh, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau tidak. 

Kemaslahat dibagi menjadi dua bentuk yaitu: pertama, Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut )جلب المنافعmembawa manfaat).

Kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan saat melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakannya kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya, tidak dirasakan sebagai suatu kenik matan tetapi justru ketidakenakan. Seperti orang yang sedang sakit malaria disuruh meminum pil kina yang pahit. Segala suruhan Allah berlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.

Krdua, Menghindarkan umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut )دراالمفاسدmenolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dila rang, ada juga yang pada waktu berbuat, dirasakannya sebagai suatu yang menyenangkan tetapi setelah itu dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpamanya berzina dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.

Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat kebutuhan itu adalah:

primer, sekunder, dan tersier.

DAFTAR PUSTAKA

 

Amir Syarifudin. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana.



[1] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta : Kencana 2011), halaman 219-228

Lebih baru Lebih lama