Ijtihad Terhadap Al-Furudl Al-Muqadaddarah (Awl, Musyarakah, dan Akdariyah)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan metode istinbath hukum yang dibenarkan dalam kajian Hukum Islam yang sangat diperlukan bagi perkembangan hukum Islam masa kini dan mendatang selama masih bermunculan peristiwa dan kejadian baru. Salah satunya hukum waris, Hukum waris merupakan ketentuan hukum yang sangat penting sebagai intisari syariat yang banyak dibicarakan dalam Alquran. Hukum waris merupakan bagian dari hukum keluarga yang mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat serta menjadi ciri khas umat Islam, namun dalam prakteknya sering menimbulkan polemik dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yang plural.
Sistem kewarisan yang telah ada selama ini dalam batas-batas tertentu ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan dan tidak dapat membumi dengan masyarakat setempat. Hal ini disebab-kan antara lain karena hukum waris merupakan ekspresi langsung dari teks suci (ayat atau nas) sehingga dianggap sebagai hukum yang berlaku mutlak dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan penafsiran ulang, sedangkan kondisi sosial masyarakat membutuhkan suatu bentuk hukum yang dapat mengakomodasikan semua persoalan Sistem kewarisan yang telah ada selama ini dalam batas-batas tertentu ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan dan tidak dapat membumi dengan masyarakat setempat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hasil ijtihad yang menyebabkan perubahan fard yang menjadi hak ahli waris?2. Bagaimana kadar penggunaan nalar (ijtihad) dalam fiqh mawaris?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja hasil ijtihad yang menyebabkan perubahan fard yang menjadi hak ahli waris2. Mampu menjelaskan kadar penggunaan nalar (ijtihad) dalam fiqh mawaris
BAB II PEMBAHASAN
A. Hasil Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Kata tersebut berubah sekurang-kurangnya menjadi dua masdar, yakni al-juhdu yang artinya kesungguhan, sepenuh hati, atau serius, dan al-juhdu yang berarti sulit, berat, atau susah . Secara etimologi ijtihad berarti kesanggupan atau kesungguhan. Adapun bahwasanya fungsi dari ijtihad adalah untuk mengeluarkan hukum syara‟. Dan hukum syara‟ disini hanya terbatas pada hukum yang bersifat amaly dan statusnya dzanny. Dasar hukum kewarisan di Indonesia adalah al-Qur‟an, hadits Rasulullah, perundang-undangan,Kompilasi Hukum Islam, pendapat para sahabat dan pendapat para ahli hukum islam melalui ijtihadnya. Salah satu problem yang timbul dalam masalah kewarisan adalah tentang hak waris cucu yang berlaku dalam sistem hukum Islam yang sering menimbulkan friksi dalam berbagai kalangan. Persoalan ini tidak diatur secara jelas dalam Alquran dan Sunnah sehingga timbul berbagai macam pendapat dalam hal ini.Secara umum para ulama bersepakat bahwa keturunan yang berhak mewarisi hanyalah keturunan melalui garis laki-laki, tanpa mempertimbangkan kemungkinan bahwa keturunan melalui garis perempuan mempunyai hak yang sama seperti yang diberikan kepada keturunan garis laki-laki. Keistimewaan ketentuan bagian ahli waris dalam hukum Islam sering tidak tetap, berubah-ubah sesuai dengan keadaan ahli waris pada waktu pewaris meninggal. Cucu sebagai penerus keturunan dari seseorang merupakan ahli waris yang sangat penting untuk diperhatikan mengingat kedudukan mereka dalam hukum waris yang sangat lemah akibat belum terakomodasinyakebutuhan mereka dalam pewarisan di saat orang tuanya meninggal terlebih dahulu dari kakek. Maka dari itu di berbagai negara yang menganut sistem kewarisan yang bersumber dari hukum Islam membuat aturan-aturan agar tidak terjadi hal yang merugikan bagi cucu-cucu yang terhalang mendapatkan warisan karena adanya saudara dari ayahnya. Dalam perundang-undangan Mesir diatur tentang pemberian hak untuk cucu-cucu yang terhalang mendapatkan hak ayahnya dengan diberikan hak melalui wasiat yang disebut wasiat wajibah. Dalam peraturan perundang-undangan Mesir disebutkan bahwa sekiranya pewaris tidak berwasiat untuk keturunan dari anaknya yang telah meninggal, maka anak dapat menerima bagian saham orang tuanya melalui wasiat dalam batasan sepertiga harta. Dalam perundang-undangan Tunisia, prinsip wasiat wajibah hampir serupa dengan Mesir. Dalam Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah (Tunisia Law Personal Status) disebutkan perbedaannya terletak pada ketentuan yang menyatakan bahwa penerimaan wasiat wajibah hanya diberikan kepada cucu atau para cucu, baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan dalam tingkat pertama. Disamping menerima bentuk wasiat wajibah ditetapkan juga bahwa anak perempuan menghijab kerabat garis sisi dan berhak mengambil sisa pembagian melalui radd (pengembalian). Sedangkan dalam Perundang-undangan Irak (1961) menjadikan keturunan secara mutlak berhak menghijab kerabat garis sisi dan mengembalikan sisa warisan kepada semua ahli waris yang ada secara berimbang. Dan dalam perundang-undangan Pakistan (1961) menerima ahli waris pengganti, tetapi hanya dalam kelompok keturunan yang diperkenalkan dengan istilah inheritance by right . Pola wasiat wajibah ini juga dipakai di beberapa negara Islam lain seperti Sudan, Maroko, Suriah dengan berbagai variasi sesuai dengan paham mazhab yang berkembang di negara tersebut.Di Indonesia terkait dengan kewarisan cucu masih belum memiliki standar yang baku dalam penyelesaian perkara kewarisan cucu disebabkan masih adanya pilihan hukum dalam menyelesaikan persoalan tersebut, meskipun sudah ada aturan kewarisan cucu yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, namun belum menjadi standar baku dalam membuat keputusan tentang hak kewarisan cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) permasalahan kewarisan cucu untuk menggantikan kedudukan orang tuanya diatur dalam pasal 185 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut :
1. Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Proses ijtihad terhadap kewarisan cucu dalam pasal 185 KHI merupakan bentuk ijtihad terhadap persoalan yang tidak terdapat di dalam nas, karena dalam Alquran tidak ada yang menjelaskan tentang bagian kewarisan cucu seperti hak bagian ahli waris yang lain, hanya saja ada pendapat yang menafsirkan kata “mawali” dalam Surat an Nisa’ ayat 33 sebagai waris pengganti, namun demikian secara umum tidak ada ayat lain yang dapat dijadikan landasan tentang persoalan ini. Hazairin menyimpulkan bahwa makna lafaz al-mawali dalam surat an-Nisa’ ayat 33 adalah ahli waris karena penggantian sedangkan ulama mutaqaddimin menafsirkan sebagai ahli waris biasa atau asabah. Perbedaan ini bersumber pada perbedaan pilihan i’rab struktur ayat .
Mengingat tidak adanya dasar aturan yang tercantum dalam nas terkait dengan kewarisan cucu atau hak waris pengganti, maka hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai alternative. Dimana hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengan menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengn rasa keadilan .
B. Kadar penggunaan nalar (ijtihad) dalam fiqh mawaris
Ijtihad bayaniy Yaitu ijtihad yang menggunakan pendekatan kebahasaan, ada beberapa hasil dari ijtihad ini:Hak kewarisan 2 anak perempuan yaitu tiga kemungkinan bagian warisan yang bisa diperoleh anak perempuan. Jika anak yang ditinggalkan pewaris hanyalah satu orang anak perempuan, maka bagian satu orang anak perempuan tersebut adalah 1/2 (separoh) harta warisan. Dan jika anak pewaris tersebut adalah dua orang perempuan atau lebih (tetapi semuanya perempuan) maka bagian mereka adalah 2/3 (dua pertiga) harta warisan. Tetapi jika, di samping anak perempuan, ada pula anak lakilaki maka mereka ber-bagi dalam memperoleh seluruh harta warisan, dengan ketentuan seorang anak laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat bagian seorang anak perempuan. Hal itu sesuai dengan Q.s An-Nisa ayat 11Ijtihad Istislahiy Adalah ijtihad mengenai satu persoalan yang tidak ada penjelasan langsung dalam nass dan tidak pula dapat diqiyaskan dengan kasus yang terdapat dalam nass, dengan cara menggunakan kemaslahatan sebagai dasar pertimbangannya. Jika di terapkan dalam penyelesaian kasus hukum kewarisan islam, metode ijtihad ini akan melahirkan persoalan dari sisi keadilan. Hasil ijtihad ini biasa di kenal dengan Awl, Radd, dan Himarriyah/Musyarakah.Awl Aul secara etimologi mempunyai artikecurangan, kezaliman dan melewati batas.Kata ‘aul juga bisa berarti al-raf’u(naik) Sedangkan dalam segi terminology aulberarti bertambahnya jumlah sihâmdan kurangnya bagian waris. Ibn Hazm dalam hal ini mendefinisikan ‘auldengan “berkumpulnya beberapa ahliwaris yang mempunyai bagian pasti sedangkan harta waris tidak mencukupi untuk dibagikan (sesuai dengan bagian pasti tersebut)”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa‘Aul terjadi ketika jumlah bagian dari kelompok ahliwaris melebihi asal masalah atau penyebutnya. Contoh kasus penyelesaian seorang suami dengan 2 saudari dengan cara aul, jika harta yang di tinggalkan Rp. 42.000.000
Ahli waris |
Bagian waris |
Asal masalah 6 |
Aul 7 |
Harta peninggalan |
Yang di dapat |
Suami |
½ |
3/6 |
3/7 |
X 42.000.000 |
Rp.18.000.000 |
2 saudari |
2/3 |
4/6 |
4/7 |
X 42.000.000 |
Rp.24.000.000 |
Dengan model penyelesaian secara ‘aul seperti itu, maka tidak terdapat kekurangan harta akan tetapi bagian seluruh ahli waris terkurangi secara merata sesuai dengan proporsi dari ketentuan bagian fard masing-masing.
Radd Kata radd berarti i’adah yang bermakna mengembalikan, sebagaimana kalimat radda ‘alayh haqqah yang berarti ‘adahu ‘alayh yang artinya dia mengembalikan hak kepadanya. Kata raddjuga berartisarfyaitu memulangkan kembali. Sebagaimana kalimat radda ‘anhu kaida ‘aduwwih,bermakna memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya. Dalam literatur lain disebutkan bahwa radd berarti al-irja’ yang bermakna pengembalian. Radd dalam bahasa Arab secara umum berarti adalah kembal atau kembalikan atau juga bermakna berpaling atau palingkan dan menghalau. Contoh Penyelesaian kasus dengan Radd dengan ahli waris Anak pr dsan cucu perempuan dari anak perempuan
Ahli waris |
Fard |
Asal masalah 6 |
Penerimaan di raad kan
penyebut jadi 4 (3+1) |
Anak pr |
1/2 |
1/2x6=3 |
¾ X 6.000.000.000=4.500.000.000 |
Cucu pr dari anak pr |
1/6 |
1/6x6=1 |
¼ X 6.000.000.000=1.500.000.000 |
Musyarkah Dalam masalah musytarakah ini suami mendapatkan bagian 1/2, ibu atau nenek mendapat bagian 1/6, saudara seibu memperoleh bagian 1/3, dan saudara laki-laki kandung mendapat bagian ashabah. Namun pada kenyataannya semua ahli waris yang mendapatkan bagian pasti menghabiskan seluruh harta waris yang ada sehingga saudara laki-laki sekandung yang mendapat bagian ashabah atau sisa tidak mendapatkan.
Ahli waris |
Bagian |
6 |
Suami |
½ |
3 |
Ibu/nenek |
1/6 |
1 |
2 sdr lk seibu |
1/3 |
2 |
Sdr lk kandung |
Ashabah |
- |
Majmu siham |
- |
6 |
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa saudara laki-laki kandung pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa dari harta waris dikarenakan telah dibagi habis oleh para ahli waris yang memperoleh bagian pasti (dzawil furûdl). Untuk menyelesaikan masalah ini para ulama faraidl mengambil jalan dengan menjadikan saudara laki-laki kandung sebagai saudara seibu di mana mereka bersama-sama mendapatkan bagian pasti 1/3. Maka pembagian warisan dalam masalah musytarakah:
Ahli waris |
Bagian |
6 |
Suami |
½ |
3 |
Ibu/nenek |
1/6 |
1 |
2 sdr seibu dan sdr lk sekandung |
1/3 |
2 |
Majmu siham |
- |
6 |
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa Ijtihad merupakan metode istinbath hukum yang dibenarkan dalam kajian Hukum Islam yang sangat diperlukan bagi perkembangan hukum Islam masa kini dan mendatang selama masih bermunculan peristiwa dan kejadian baru. Seperti, ijtihad bayaniy yang menghasilkan beberapa keputusan hak waris 2 anak perempuan, hak waris cucu. Kemudian ijtihad istislahiy yang menghasil kan keputusan pembgian waris aul, radd dan musyarkah.
Dalam masalah ini dapat di nyatakan bahwa apabila dalam pembagian warisan terjadi kelebihan harta, maka dikembalikan kepada semua ahli waris yang ada tanpa kecuali sebagai konsekuensi apabila terjadi masalah 'aul, bagian masing-masing ahli waris termasuk suami atau isteri ikut dikurangi maka wajar jika terdapat sisa harta, mereka juga berhak menerima tambahan. Hampir semua Ahli hukum kewarisan Islam setuju atas pemecahan dengan mekanisme 'aul dan radd jika terjadi kekurangan dan atau kelebihan harta dalam penyelesaian pembagian waris
DAFTAR PUSTAKA