AKAD GADAI (RAHN)
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Gadai dalam fiqh disebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan. Menurut beberapa madzhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Akad merupakan hal terpenting dari sebuah transaksi. Sah atau tidaknya transaksi bergantung pada akad yang dilakukan. Antara haramnya riba dan halalnya jual beli juga ditentukan oleh akad yang dilakukannya. Akad ibarat benang tipis yang memisahkan haluan kanan dan oposisinya.
Dalam literatur Islam sitilah akad diartikan sebagai pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Ikrar merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembentukan akad. Akad ini berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu sedangkan kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan kabul saling yang dilakukan saling bersesuaian, maka terjadilah akad di antara mereka.
Dalam masyarakat kita, ada cara gadai yang hasil barang gadaian itu langsung dimanfaatkan oleh pegadai (orang yang memberi piutang). Hal tersebut banyak terjadi, terutama di desa-desa, bahwa sawah dan kebun yang digadaikan langsung oleh pegadai dan hasilnya pun sepenuhnya dimanfaatkannya.
Ada cara lain, bahwa sawah atau kebun yang dijadikan jaminan itu diolah oleh pemilik sawah atau kebun itu. Tetapi hasilnya dibagi antara pemilik dan pegadai. Kondisi pemilik barang (jaminan) boleh memanfaatkan hasilnya tetapi dalam beberapa hal tidak boleh bertindak untuk menjual, mewakafkan, atau menyewakan barang jaminan itu, sebelum ada persetujuan dari pegadai.
Namun kenyataanya, bahwa gadai yang ada pada saat ini, khususnya di Indonesia dalam prakteknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan riba. Hal ini dapat dilihat dari praktek pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat ia harus menambahkan adanya barang gadai (rahin) karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu dalam melunasi utangnya.
Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukam bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin. Hal ini lebih sering disebut dengan bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu, aktivitas perjanjian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
Pada dasarnya barang gadaian tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Namun harus diusahakan agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan: jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadaian, maka hasil harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
Di dalam pelaksanaan gadai ini, beberapa dari pihak masyarakat mengatakan bahwa gadai dan praktek pemanfaatan sepeda motor itu tidak ada kejelasan tentang hukum kehalalan dan keharaman. Kadang akad yang dilakukan itu telah sesuai dengan hukum syara’. Tetapi di dalam pelaksanaan dari akad dan sistem yang diterapkan itu sendiri belum ditindaklanjuti dan masih terus dipertanyakan tentang hukumnya.
Berdasarkan hal di atas maka penulis ini mencoba mengangkat dan membahas permasalahan tersebut dalam suatu karya ilmiah berbentuk makalah dengan judul “Akad Gadai (rahn)”.
1.2. Rumusan Masalah
- Apa definisi dari gadai (rahn)?
- Bagaimana dalilnya gadai (rahn)?
- Apa rukun dan syaratnya gadai (rahn)?
- Apa konsekuensi hukum gadai (rahn)?
1.3. Tujuan
- Untuk mengetahui definisi dari gadai (rahn)
- Untuk mengetahui dalil gadai (rahn)
- Untuk mengetahui rukun dan syarat dari gadai (rahn)
- Untuk mengetahui konsekuensi hukum gadai (rahn)
BAB IIPEMBAHASAN
2.1. Definisi Gadai (rahn)
Dalam fiqih muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn secara bahasa berarti menahan, maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Pengertian al-rahn dalam bahasa arab adalah al-thubut wa al-dawam, yang berarti tetap dan kekal, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Menurut bahasanya rahn adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan. Seperti dikatakan ni’mat al-rahinah, artinya karunia yang tetap dan lestari. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mudatsir ayat 38:
كُلُّ نَفۡسٍ ۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِيۡنَةٌ
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”(QS. al-Mudaththir: 38)
Secara etimologis, kata al-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad al-rahn dalam istilah hukm positif disebut dengan barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Dalam Islam al-rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT surat al-Ma’idah ayat 5:
وَتَعَاوَنُوۡا عَلَى الۡبِرِّ وَالتَّقۡوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوۡا عَلَى الۡاِثۡمِ وَالۡعُدۡوَانِ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيۡدُ الۡعِقَابِ
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Ma’idah : 2)
Secara terminologis, ada beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan para ulama fiqih yaitu:
a) Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut:
Menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utanganya.
b) Ulama Hanabillah mendefinisikan sebagai berikut:
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya. Bila yang yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
c) Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut:
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya. Bila yang yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
d) Ulama Hanafiyah mendefinisikan sebagai berikut:
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
Dari beberapa definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsip diantara para ulama dalam mengartikan gadai atau rahn. Definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa gadai atau rahn adalah menjamin hutang dengan barang yang memungkinkan hutang itu bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya. Prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqih muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.
Gadai menurut Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Pemilik barang yang berhutang disebut rahin (yang menggadaikan) dan yang menghutangkan, yang mengambil barang tersebut serta mengikatnya di bawah kekuasaannya disebut murtahin. Serta untuk sebutan barang yang digadaikan adalah rahn (gadaian).
2.2. Dalil Gadai (rahn)
Berikut beberapa dalil tentang gadai (rahn) yaitu:
a) Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 283:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّق ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Baqarah: 283)
b) Dalam Hadis al-bukhari dan Muslim
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ.
Artinya:“Dari Aisyah r.a. menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, dan dia menggadaikan baju besinya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
c) Dalam hadis al-Bukhari, Nabi SAW bersabda:
ﻋنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَن دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
Artinya: “Anas r.a. berkata, Rasulallah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi di madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau”. (HR. al-Bukhari)
d) Dalam hadis riwayat Syafi’i dan Daruqutni, Nabi SAW bersabda:
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
Artinya: “Abu Hurairah r.a berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian”.14 (HR. Syafi’i dan Daruqutni)
Dari landasan al-quran di atas telah menjelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah dimana sikap saling tolong-menolog dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Dan dari hadis di atas dapat dipahami juga bahwa bermuamalah dibenarkan juga dengan non muslim dengan syarat harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada kekhawatiran bagi yang memberi piutang.
2.3. Rukun dan Syarat Gadai (rahn)
2.3.1. Rukun Gadai
Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun mutlak adanya dalam sebuah akad, layaknya sebuah transaksi gadai dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun gadai menurut ulama Hanafiyah adalah, ijab dari rahin dan qabul dari murtahin. Disamping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad al-rahn ini, maka diperlukan al-qabd (penguasaan barang). Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan dan hutang, menurut Ulama Hanafiyah termasuk syarat-syarat al-rahn, bukan rukunnya. Sementara rukun gadai menurut jumhur Ulama ada empat, yaitu:
1) Sighat (ijab dan qabul), seperti seseorang berkata “aku gadaikan laptopku ini dengan harga Rp 1500.000” dan yang satunya lagi menjawab. “Aku terima gadai laptopmu seharga Rp 1500.000” atau bisa dengan kata-kata lain.
2) Pihak yang mengadakan akad (aqid), yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
3) Barang yang digadaikan (marhun).
4) Hutang (marhun bih).
2.3.2. Syarat-Syarat Gadai (Rahn)
Ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat gadai sesuai dengan rukun gadai itu sendiri. Syarat-syarat gadai yang dimaksud, terdiri atas: orang yang berakad (aqid), sighat (ijab qobul), hutang (marhun bih), barang yang digadaikan (marhun). Keempat syarat dimaksud, diuraikan sebagai berikut:
1) Orang Yang Berakad (aqid )
Syarat yang terkait dengan aqid (orang yang berakad) adalah ahli tasharruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Selain itu, ia harus cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan dari walinya.
2) Sighat (ijab qabul)
Pernyataan ijab qabul yang terdapat dalam gadai tidak boleh digantungkan (mu’allaq) dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan hakikat rahn. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad jual beli, sehingga tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu tertentu atau dengan waktu di masa depan. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa akad gadai tidak boleh disandarkan kepada waktu mendatang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu utang habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang wakut pembyarannya.
3) Hutang (marhun bih)
Syarat hutang (marhun bih) menurut ulama Hanafiyah adalah:
a) Hutang itu hendaklah barang yang wajib diserahkan.
b) Utang itu memungkinkan dapat dibayarkan.
c) Utang itu jelas dan tertentu.
Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan Shafi’iyah memberikan syarat bagi marhun bih sebagai berikut:
a) Berupa hutang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
b) Hutang harus lazim pada waktu akad.
c) Hutang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4) Barang Yang Digadaikan (marhun)
Menurut ulama Syafi’iyah, gadai bisa sah dengan dipenuhi syarat sebagai berikut:
a) Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.
b) Penetapan pemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c) Barang yang digadaikan bisa dijual manakala tiba masa pelunasan hutang gadai.
Menurut para Fuqaha mengenai syarat marhun (barang yang di jadikan agunan) adalah:
a) Barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang.
b) Barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan, karenanya khamr. tidak boleh dijadikan barang jaminan, disebabkan khamr tidak bernilai harta dan tidak bermanfaat dalam Islam.
c) Barang jaminan itu jelas dan tertentu.
d) Agunan itu milik sah orang yang berutang.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun antara lain:
a) Dapat diperjual belikan
b) Bermanfaat
c) Jelas
d) Milik rahin
e) Bisa diserahkan
f) Tidak bersatu dengan harta lain
g) Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
2.4. Konsekuensi Hukum Gadai (rahn)
Konsekuensi hukum gadai meliputi:
2.4.1. Penahanan Marhun
Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie) itu terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang, maka dalam keadaan yang demikian itu si pemegang gadai berwenang untuk menahan benda itu sampai hutang itu dilunasi.
2.4.2. Penjagaan dan Pemeliharaan Marhun
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal penjagaan dan pemeliharaaan barang gadai.
Ulama Shafi’iyah dan Hanabilah berpendapat biaya penjagaan dan pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya.
Sedangkan para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa biaya penjagaan dan pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya penjagaan dan pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinkan oleh rahin maka biaya penjagaan dan pemeliharaan jatuh pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin. Resiko atas kerusakan menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.
2.4.3. Otoritas (hak dan kewajiban) Murtahin Atas Marhun
1) Hak Murtahin (Penerima Gadai) Atas Marhun:
a) Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b) Pemegang gadai berhak mendapatkan biaya penggantian yang telah dikeluarkan untuk menjadi keselamatan harta marhun.
c) Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2) Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai) Atas Marhun:
a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian.
b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
c) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
2.4.4. Pemanfaatan Marhun
Akad gadai bertujuan meminta kepercayaan dan menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Selama hal itu demikian keadaannya, maka orang yang memegang gadaian (murtahin) memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan (rahin). Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba.
Selain itu dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan pemilik barang.
Apabila barang gadaian berupa hewan atau kendaraan, penerima gadai boleh mengambil susunya dan menungganginya dalam kadar seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan untuknya. Dalam hail ini, orang yang menerima gadai tidak perlu meminta izin oleh pemiliknya, tetapi menurut madzhab Hambali, apabila barang yang digadaikn berupa hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang agunan atau barang tidak boleh mengambil atau memanfaatkannya.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulannya yaitu orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
2.4.5. Penjualan Marhun
Pembayaran atau pelunasan hutang gadai apabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin. Prosedur penjualan atau pelelangan gadai jika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:
a) Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin.
b) Dapat memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran.
c) Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin.
d) Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
BAB IIIPENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gadai atau rahn adalah menjamin hutang dengan barang yang memungkinkan hutang itu bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya. Beberapa dalil tentang gadai (rahn) yaitu dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 283, dalam Hadis al-bukhari dan Muslim, dalam hadis al-Bukhari, dan dalam hadis riwayat Syafi’i dan Daruqutni. Rukun gadai ada empat yaitu sighat (ijab dan qabul), pihak yang mengadakan akad (aqid), barang yang digadaikan (marhun), dan hutang (marhun bih). Syarat-syarat gadai, terdiri atas: orang yang berakad (aqid), sighat (ijab qobul), hutang (marhun bih), dan barang yang digadaikan (marhun). Konsekuensi hukum gadai meliputi: Pertama, penahanan marhun, yaitu Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie) itu terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang, maka dalam keadaan yang demikian itu si pemegang gadai berwenang untuk menahan benda itu sampai hutang itu dilunasi. Kedua, penjagaan dan pemeliharaan marhun, yaitu bahwa biaya penjagaan dan pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinkan oleh rahin maka biaya penjagaan dan pemeliharaan jatuh pada murtahin. Ketiga, otoritas (hak dan kewajiban) murtahin atas marhun, yaitu hak murtahin (penerima adai) atas gadai: Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, pemegang gadai berhak mendapatkan biaya penggantian yang telah dikeluarkan untuk menjada keselamatan harta marhun, selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin). kewajiban murtahin (penerima gadai) atas marhun: penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian, penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri, dan penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai. Keempat, pemanfaatan marhun, yaitu orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu. Kelima, penjualan marhun yaitu, pembayaran atau pelunasan hutang gadai apabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya.
DAFTAR PUSTAKA
S, Burhanuddin. 2009. Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam. Yogyakarta: The Syariah Institute.
Zuhaily, Wahbah. 2002. Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatahu. Beirut: Dar Al-Fikr.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Agama RI, Departemen. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Sabiq, Sayyid. 1995. Al-Fikh Assunnah. Beirut: Dar Al-Fikr.
Syafe’i, Rahmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Subekti. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sholikul Hadi, Muhammad. 2003. Pegadaian Syariah. Jakarta: Salemba Diniyah.
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.