PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

    Pasal 25A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah Indonesia dibagi atas daerah-daerah dengan wilayah batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pembagian daerah tersebut merujuk kepada adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sesuai yang disebutkan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.Dalam penjelasan Pasal 18B itu menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan –satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang –undang.

    Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Semenjak dideklarasikan sejak  tanggal 1 Muharram 1423 H atau bertepatan tanggal 15 Maret 2002 M. penerapan syariat islam di Aceh pun memengaruhi Hukum Islam nya atau peradilannya. 

    Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum formil yang berlaku di limgkungan peradilan umum, belum menampung sepenuhnya prinsip-prinsip hukum acara pidana islam. Sesuai dengan kebutuhan Peradilan Syariat Islam. Karenanya kehadiran hukum acara jinayat merupakan kebutuhan mutlak bagi Mahkamah dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. 

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah penerapan hukum pidana islam di NAD?

2. Apa tanggapan masyarakat NAD mengenai penerapan Hukum Pidana Islam di NAD?

3. Seperti apa Hukum Jinayat Cambuk di NAD?

C. Tujuan Masalah 

1. Untuk mengetahui sejarah penerapan hukum pidana islam di NAD.

2. Untuk memahami tanggapan masyarakat NAD mengenai penerapan Hukum Pidana Islam di NAD.

3. Untuk menjelaskan Hukum Pidana cambuk di NAD.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Penerapan Hukum Islam di NAD

    Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem otonomi daerah dalam pemerintahannya. Dimana setiap daerah atau wilayah mempunyai hak, wewenanag dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena pemerinatah daerah lebih tau akan kebutuhan potensi rakyat di masing-masing daerahnya.

    Aceh merupakan daerah yang diberi hak otonom istimewa secara penuh untuk bisa menerapkan Syariat islam sekaligus jinayat dalam masyarakatnya yang telah diterapkan secara resmi mulai tahun 1999 M. Secara perlahan-lahan Aceh memulai meletakan sebuah kerangka kelembagaan untuk menegakkan syariat islam meski memicu sebuah perdebatan di Negara Indonesia.   

    Penerapan hukum islam di Aceh sebenarnya sudah berjalan sejak zaman awal mulai penyebaran islam dari bangsa Arab. Dari sudut sosial-budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya  menampilkan adat dan Islam sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat.   setelah awal kemerdekaan Bangsa Indonesia, pemimpin Aceh sudah meminta izin kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh.  

    Pasca kemerdekaan penerapan Hukum Islam di Aceh merupakan cara untuk mencegah agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Replubik Indonesia. Proses penerapan Hukum islam di Aceh merupakan suatu kebijakan politik dalam rangka meminimalisir ketidakpuasan Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat, dan lebih merupakan langkah politik darurat untuk menyelamatkan Aceh dalam pengakuan Replubik. Kemudian diresmikannya Undang-undang No 18 tahun 1965 agar Aceh dapat melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, Pendidikan, dan adat istiadat, yang secara tidak langsung memberiian status istimewa atau khusus untuk Aceh.

    Salah satu kekhususan yang diberikan pemerintah pusat untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah hak dan peluang untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan Syariat Islam. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu pada Pasal 25 yang isinya:

1. Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebagian dari sistim peradilan Nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

2. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didasarkan atas Syari’at Islam dalam sistim hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk Agama Islam. Mahkamah Syar’iyah terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Kota sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding. 

B. Tanggapan Masyarakat NAD Mengenai Penerapan Hukum Pidana Islam di NAD.

    Masyarakat Aceh memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai penerapan syariat Islam. Pandangan masyarakat Aceh setidaknya dapat dikelompokkan yaitu: 

1. Kelompok pendukung atau pro syariat . Mereka diwakili para ulama yang tergabung dalam Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU), pimpinan dan lingkungan dayah (pesantren) tradisional yang tergabung dalam organisasi Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Begitu juga organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dll.

2. Kelompok yang mengikuti arus yag diwakili masyarakat Aceh umumnya. Mereka yang tidak berkepentingan cenderung mengikuti arus kebijakan peerintah. Realitas ini dianggap sebagai hal yang wajar, karena keterbatasan mereka terhadap pemahaman syariat Islam, kurang terlibatnya dalam kancah publik dan minimnya informasi yang diterima. Kurang pahamnya mereka dalam berbagai sektor informasi penerapan syariat Islam menjadi titik lemah mereka, sehingga sering menjadi obyek dari kelompok yang berkepentingan.

3. Kelompok skeptis, jika tidak bisa dikatakan “menolak” pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Kelompok ini diperankan oleh para cendekiawan muslim, yang mempertimbangkan implementasi syariat Islam dengan berbagai argumen sebagai dasar pijakan. Mereka ini adalah para pakar, seperti akademisi, politisi, pejabat publik, wartawan, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelompok ini mendapat dukungan dari organisasi kemasyarakatan nasionalis, termasuk suara-suara dari luar Aceh yang menyoroti penerapan syariat Islam di Aceh.  

    Pro dan kontra atas penerapan Hukum Islam di NAD juga tidak hanya terjadi kalangan masyarakat Aceh itu sendiri. Namun juga dari masyarakat luas di Indonesia , pemerintah yang terlibat dituding ada unsur politik untuk memblokir bantuanNegara non Muslim terhadap kekuatan Gerakan Aceh Merdeka.


C. Jinayat dan Hukum Pidana cambuk di NAD. 

    Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam, yang disebut juga hukum jinayat. Undang-undang yang menerapkannya disebut Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Meskipun sebagian besar hukum Indonesia yang sekuler tetap diterapkan di Aceh, pemerintah provinsi dapat menerapkan beberapa peraturan tambahan yang bersumber dari hukum pidana Islam. 

    Pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan setiap provinsi untuk menerapkan peraturan daerah, tetapi Aceh mendapatkan otonomi khusus dengan tambahan izin untuk menerapkan hukum yang berdasarkan syariat Islam sebagai hukum formal. Beberapa pelanggaran yang diatur menurut hukum pidana Islam meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol, perjudian, perzinahan, bermesraan di luar hubungan nikah, dan seks sesama jenis. Setiap pelaku pelanggaran yang ditindak berdasarkan hukum ini diganjar hukuman cambuk, denda, atau kurungan. Hukum rajam tidak diberlakukan di Aceh, dan upaya untuk memperkenalkan hukuman tersebut pada tahun 2009 gagal karena tidak mendapat persetujuan dari gubernur Irwandi Yusuf.

    Pendukung hukum jinayat membela keabsahannya berdasarkan status otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, dan mereka menegaskan bahwa wewenang tersebut dilindungi undang-undang sebagai hak kebebasan beragama untuk masyarakat Aceh. Para penentangnya, termasuk Amnesty International, menolak hukuman cambuk dan pemidanaan hubungan seks di luar nikah, sementara pegiat-pegiat hak perempuan merasa bahwa hukum ini tidak melindungi perempuan, khususnya korban pemerkosaan yang dianggap lebih berat beban pembuktiannya dibandingkan dengan tersangka yang bisa lepas dari tuduhan dengan lima kali sumpah. 

    Jarimah dalam peraturan daerah atau Qanun diatur dalam Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat pasal 1 ayat 16 yaitu perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam Qanuj ini diancam dengan Uqubat Hudud dan atau takzir.  

    Posisi syariat dalam UU merupakan suatu pengejewantahan atas hak-hak istimewa yang dimiliki Aceh seperti pelaksanaan syariat Islam, pendidikan dan adat istiadat. Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), kewenangan Aceh dalam melaksanakan keistimewaannya di bidang syariat termasuk jinayat (hukum pidana Islam) semakin tegas diatur. Kurang tepat apabila hukuman atas suatu kejahatan dilakukan oleh masyarakat, misalnya, dengan melempari terdakwa, merendam mereka dalam selokan, dan sebagainya. Secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 125 UUPA secara lebih rinci telah diatur yaitu melingkupi substansi ajaran Islam (akidah, syariah dan akhlak). Inilah landasan juridislahirnya peraturan pidana Islam di Aceh yang lumrah disebut dengan Qanun Jinayat. 

    Menyangkut hukuman cambuk, penelitian Muslim Zainuddin,  mengutip pandangan Abdul Qadir Audah, menyatakan bahwa hukuman cambuk mempunyai tujuan penetapannya yaitu untuk memperbaiki keadaan manusia, baik secara kejiwaan maupun lainnya. Karena manusia harus dihindarkan dari perilaku yang mengarah kepada kejahatan dan ketidaknormalan. Justru itu, kaidah hukuman melingkupi lima hal, yaitu sebagai berikut : 

1. Hukuman yang dijatuhkan mencegah setiap orang untuk melakukan tindak pidana sebelum tindak pidana terjadi (preventif). Apabila hukuman itu telah terjadi maka hukuman itu untuk mendidik si pelaku dan mencegah orang lain untuk meniru dan mengikuti per-buatannya.

2. Batas hukuman adalah untuk kemaslahatan terhadap masyarakat. Sekiranya untuk kemaslahatannya, masyarakat menuntut hukuman diperberat, maka hukuman pun akan diperberat, demikian juga sebaliknya. Sekiranya kemaslahatan masyarakat mengharapkan agar hukuman dapat diperingan, dikurangi atau bahkan dihapus, maka itu pun menjadi pertimbangan dalam penerapan hukum. 

3. Apabila untuk memelihara kemaslahatan masyarakat dari pelaku kejahatan dan untuk menghilangkan kejahatan tersebut diharuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku, maka hal tersebut merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan karena kejahatan tersebut akan hilang dengan hilangnya pelakunya. 

4. Jika telah menghasilkan kemaslahatan individu dan memelihara kemaslahatan masyarakat, maka hukuman telah sesuai dengan yang disyariatkan. 

5. Mendidik pelaku kejahatan bukan dalam artian untuk membalas dendam melainkan untuk perbaikan atas dirinya. 


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

     Penerapan syariat Islam di Aceh terhadap upaya formalisasi hukum pidana Islam dalam sistem hukum dan perundang-undangan nasional dapat dipahami sebagai ikut mewarnai produk hukum nasional yang telah dan akan dibuat. Bahkan sebenarnya berdasarkan qanun di Aceh menunjukkan telah terjadi proses formalisasi hukum pidana Islam di Indonesia hal ini didasarkan UU No.10/2004 tentang hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu UUD 1945, UU/Perpu, PP, Peraturan presiden dan peraturan Daerah. Selain itu legitimasi hukum Islam menjadi perundang-undangan negara memiliki kontribusi positif dalam memperkuat daya rekat ummat Islam terhadap komitmen negara-bangsa (nation-state) karena syariah bisa berjalan seiring dan compatiable dengan Pancasila dan UUD 1945, maka dalam hal ini hukum Islam dipandang sebagai dalam kerang fenomologi konstitusi untuk membangun hukum nasional Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Salim. Challenging the Secular State h.151

Yusni Saby. Apa Pentingnya studi Aceh. 2012. Yogyakarta. Grafindo Lentera media. H.xxxi

Drs. H. M. Saleh Puteh, SH. Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Menurut Peraturan Perundang-Undangan Dan Qanun.

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid al-Syariyatu fi al- Islami, terjemah Khikmawati (Jakarta : Amzah, 2010).xv ; Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Us}ul al-Ahkam, Juz II (ttp : Daar alFikr littibaa’ah wa al-Nasyr)

https://Hukum_jinayat_di_Aceh,ProvinsAceh Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Qanun Aceh, Gubernur Aceh. Dsi.acehprov.go.id. 2017

Ridwan Nurdin. Kedudukan Qanun Jinayat Aceh dalam Sistem Pidana Nasinonal Indonesia. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Jl. Syeikh Abdur Rauf Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Aceh, 23111 e-mail: ridwannurdin@yahoo.com

Muslim Zainuddin, Problematika Hukuman Cambuk di Aceh (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2011)

Ali Geno Brutu. Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah. Sekolah Pasca Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. @ali_geno2ymail.com

Lebih baru Lebih lama