SISTEM KEWARISAN MAZHAB JA’FARI

 

SISTEM KEWARISAN MAZHAB JA’FARI


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting Hukum Keluarga Islam. Ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang di miliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.

Dikalangan umat Islam sendiri, terdapat suatu ajaran normatif dalam satu pernyataan yang disandarkan kepada Sabda Nabi yang menyatakan keutamaan ilmu faraid. Ilmu faraid digambarkan merupakan setengah dari pengetahuan yang ada. Pada level aturan normatif peranan penting kewarisan dalam Islam dapat juga dilihat dari begitu terperincinya aturan-aturan yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berkaitan dengan pembagian waris.

Walaupun demikian bagi kalangan tertentu hukum waris dalam hal-hal tertentu yang -dianggap tidak fundamental bisa saja ditafsirkan dan direkonstruksi sesuai dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk dipertimbangkan. Dalam konteksnya yang lain selain realistis, ada beberapa problem hukum waris yang menjadi polemik.karena nash tentangnya terkesan bisa gender, termasuk didalamnya adalah dikursus tentang warisan 2:1 untuk laki-laki dan peempuan. Kenyataan demikian ditambah dengan munculnya versi Sunni dan Syiah serta perbedaan-perbedaan lainnya antar kalangan mereka tentang berbagi hal mengenai kewarisan yang secara tidak langsung mendukung pendapat di kalangan tertentu yang menginginkan adanya pembaharuan hukum waris.

Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai berbagai hal terkait kewarisan dalam Mazhab Ja’fari yang berkaitan dengan Syiah. Serta perbedaan asasi antara fiqh mawaris Sunni dan fiqh mawaris Ja’fari.

 

 

1.2  Rumusan Masalah

a.       Bagaimana kelompok-kelompok ahli waris dalam Mazhab Ja’fari?

b.      Bagaimana urutan ahli waris dalam Mazhab Ja’fari?

c.       Apa perbedaan asasi antara fiqh mawaris Ja’fari dengan fiqh mawaris Sunni?

1.3  Tujuan Masalah

a.       Untuk mengetahui kelompok-kelompok ahli waris dalam Mazhab Ja’fari

b.      Untuk mengetahi urutan ahli waris dalam Mazhab Ja’fari

c.       Untuk memahami perbedaan asasi antara fiqh mawaris Ja’fari dengan fiqh mawaris Sunni

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengelompokan Ahli Waris Menurut Fiqih Ja’fariyah

Bahwa Fiqih Ja’fariyah mempunyai konsep tersendiri dalam hal waris yaitu “al Aqrab fa al-Aqrab” kaidah ini merupakan pokok untuk menentukan penerima warisan, Syi’ah lebih mengutamakan kerabat yang lebih dekat dengan mayit.

Di samping itu Syi’ah tidak menerima hadits-hadits kecuali hadits dari Ali r.a., dan keturunaanya, sehingga mereka menolak adanya ashabah, walaupun adanya ashabah berdasarkan hadits Thawus yang berbunyi:

اَلحْقُوْا اَلْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَابَقِيَ فَلأْوْلىَ عَصَبَةُ ذَكَر

Artinya:

Berikan bagian-bagian yang telah ditetapkan kepada pemiliknya, sedangkan selebihnya merupakan ashabah bagi kaum laki-laki. Bertolak dari penolakannya terhadap penisbatan hadits Thawus tersebut kepada Nabi Saw.”

Selanjutnya imamiyah menolak adanya ashabah dengan menggunakan ayat berikut ini:

لِلرِّجَالِ نَصِیۡبٌ مِّمَّا تَرَکَ الۡوَالِدٰنِ وَ الۡاَقۡرَبُوۡنَ ۪ وَ لِلنِّسَآءِ نَصِیۡبٌ مِّمَّا تَرَکَ الۡوَالِدٰنِ وَ الۡاَقۡرَبُوۡنَ مِمَّا قَلَّ مِنۡہُ اَوۡ کَثُرَ ؕ نَصِیۡبًا مَّفۡرُوۡضًا

Artinya:

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Ayat ini menunjukkan adanya persamaan hak antara kaum laki-laki dengan kaum wanita, sebab ayat tersebut menentukan bagian kaum wanita seperti bagian kaum laki-laki, sedangkan orang yang berpendapat tentang adanya ashabah telah melakukan diskriminasi antara laki-laki dan wanita dalam hal si mayit meninggalkan seorang anak perempuan, anak laki-laki, dan saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki, maka anak perempuan mendapatkan separuh bagian, karena lebih dekat dengan mayit.[1]

Alquran al-Karim telah menentukan bagian dua pertiga untuk dua anak perempuan atau lebih dan memberikan separuh harta bila dia hanya seorang diri. Di sini tidak bisa tidak harus ada orang lain yang kepadanya sisa dari harta yang sudah diambil oleh bagian fardh itu diberikan.

 Sebagaimana dalam kitab al-Jawahir, yang menjelaskan bahwa Manakala orang yang meninggal dunia itu mempunyai sepuluh orang anak Perempuan dan seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki tersebut Menerima bagian seperenam, sedangkan sepuluh orang anak perempuan Tersebut menerima bagian lima perenam. Kalau posisi anak laki-laki tersebut Digantikan oleh anak laki-laki dari paman mayit, artinya orang yang Meninggal itu mempunyai sepuluh orang anak perempuan dan seorang anak Laki-laki dari paman, maka bagi orang-orang yang menyatakan adanya Ashabah anak paman tersebut mengambil bagian sepertiga, sedangkan Sepuluh anak perempuan tersebut menerima dua pertiga. Berdasarkan Kenyataan ini, maka anak laki-laki sendiri jauh lebih buruk dari pada anak Laki-laki paman.[2]

Dengan demikian rumusan pengelompokan dan Pembagian waris perspektif Syi’ah Ja’fariyah, adalah politik yang pada Masa Nabi Saw, umat Islam bersatu bulat dalam segala-galanya dan tidak Ada perselisihan karena semuanya dikembalikan kepada Nabi Saw, baik Dalam perkataannya, perbuatannya dan taqrir, sehingga apa yang keluar dari Nabi Saw, suatu ketetapan, maka wajar Syi’ah muncul pada masa Nabi Saw, karena mereka percaya adanya nash peristiwa Gadir Khum.

 Imam Ja’far menolak adanya ahli waris secara ashabah dan tanpa membedakan kerabat wanita dari kerabat laki-laki. Maka sebagaimana seorang anak laki-laki sendirian mengambil seluruh warisan, anak perempuan dan saudara perempuan yang sendirian pun mengambil yang sama. Imam Ja’far membagi ahli waris laki-laki dan perempuan dalam dua tingkatan:[3]

1)      Dzu al- Fardl

yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, atau 1/8.

a.       Dzu al- fardl yang mendapatkan separo harta.

1.      Anak perempuan

2.      Anak perempuan dari anak laki-laki.

3.      Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak.

4.      Suami.

b.      Dzu al- fardl yang mendapatkan seperempat harta

1.      Suami.

2.      Istri.

c.       Dzu al- fardl yang mendapatkan seperdelapan harta

 Istri, baik satu ataupun terbilang, mendapat pusaka dari suaminya Seperdelapan dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu Meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan, atau dari Anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.[4]

d.      Dzu al- fardl yang medapat dua pertiga

1.      Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak ada anak Laki-laki.

2.      Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.

3.      Saudara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang.

4.      Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.

e.       Dzu al- fardl yang mendapat sepertiga

1.      Ibu, apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu dan tidak meninggalkan saudara baik laki-laki ataupun perempuan baik seibu sebapak ataupun sebapak atau seibu.

2.      Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu baik laki-laki maupun perempuan.

f.        Dzu al- fardl yang mendapat seperenam

1.      Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau Beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara Perempuan seibu sebapak atau hanya sebapak atau seibu.

2.      Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak Dari laki-laki.

3.      Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibuk tidak ada.

4.      Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak Laki-laki).

5.      Kakek (bapak dari bapak), apabila bersama anak atau anak dari anak Dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada.

6.      Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.

7.      Saudara perempuan yang sebapak, baik sendiri ataupun berbilang, Apabila bersama saudara perempuan yang seibu sebapak.

g.      Bagian kakek bersama saudara

Kakek (bapak dari bapak), apabila bersama saudara seibu sebapak atau saudara sebapak, cara pembagian harta pusaka antara mereka tidak mendapatkan kepastian dari al-Qur’an dan al-Hadis.[5]

2)       Dzu al- Qarabat

Ahli waris yang mempunyai kedudukan lebih dekat kepada mayit. Artinya ahli waris pada tingakatan pertama berhak mendapatkan warisan dari pada tingkatan kedua dan ahli waris pada tingkatan kedua berhak mendapatkan warisan dari pada tingkatan ketiga dan seterusnya.

PENGELOMPOKAN AHLI WARIS FIKIH JA’FARIYYAH

No

Laki-Laki

 

Perempuan

Keterangan

1.

Anak Laki-Laki

1.

Anak Pr

-    Jika ahli waris Lk yang 15 ada semua maka yang berhak mendapatkan warisan hanya 3 orang, yaitu:

1.      Anak Lk

2.      Ayah

3.      Suami

-    Jika ahli waris perempuan yang 10 ada semua maka yang berhak mendapat warisan hanya 5 orang, yaitu:

1.      Anak Pr

2.      Ibu

3.      Cucu Pr dari Anak Lk

4.      Istri

5.      Saudara Pr dari Kandung

-   Jika ahli yang 25 ada semua maka yang berhak mendapatkan warisan adalah:

1.      Anak (Lk dan Pr)

2.      Ayah

3.      Ibu

4.      Suami

5.      Istri

 

2.

Cucu Lk dari Anak Lk

2.

Cucu Pr dari Anak Lk

3.

Ayah

3.

Ibu

4.

Kakek (Ayahnya Ayah)

4.

Nenek (Ibunya Ibu)

5.

Saudara Lk Kandung

5.

Nenek (Ibunya Ayah)

6.

Saudara Lk Seayah

6.

Istri

7.

Saudara Lk Seibu

7.

Saudara Pr Kandung

8.

Keponakan Lk dari Saudara Lk Kandung

8.

Saudara Pr Seayah

9.

Keponakan Lk dari Saudara Lk Seayah

9.

Saudara Pr Seibu

10.

Paman (Saudara Ayah Kandung)

10.

Anak-Anak dari Saudara Seibu

11.

Paman (Saudara Ayah Seibu)

11.

Orang perempuan yang memerdekakan budak

12.

Sepupu Lk (Anaknya Paman) Kandung

 

 

13.

Sepupu Lk (Anaknya Paman) Seayah

 

 

14.

Suami

 

 

15.

Orang laki-laki yang memerdekakan budak

 

 

 

 

2.2 Urutan Ahli Waris dalam Mazhab Ja’fari

Urutan dan tertib ahli waris menurut Mazhab Ja’fari ada tiga yaitu: Pertama, dua orang tua, anak-anak mereeka (cucu). Kedua, kakek nenek, saudara lelaki dan perempuan serta anak-anak mereka. Ketiga paman dari ayah dan ibu serta anak-anak mereka. Berikut penjelasan mengenai urutan susunannya:

a.      Kelas I (Ayah, Ibu, Anak-anak dan Anak-anak mereka (cucu)

1)      Warisan Ayah

Terdapat beberapa keadaan untuk warisan ayah, yaitu:

1.      Jika ayah sendirian, tanpa ibu, tanpa anak-anak dan anak-anak merka (cucu) juga tanpa suami dan istri, maka dia akan menerima seluruh warisan dengan kekerabatan.

2.      Jika bersamanya terdapat suami atau istri, maka ayah menerima bagiannya yang tertinggi dan sisanya diterima oleh ayah dengan kekerabatan.

3.      Jika ada sorang anak lelaki atau beberapa anak lelaki atau beberapa anak lelaki dan perempuan atau cucu dan terus turun ke bawah, maka ayah menerima seperenam saja dan sisanya untuk lainnya

4.      Jika ada sorang anak prmpuan, maka ayah mnrima srnam dngan saham (fardh) dan anak prmpuan mnrima sparo juga dngan saham (fardh) dan sisa sprtiga dikmbalikan pada ayah dan anak prmpuan, bukan kpada ayah saja. Sprtiga yang sisa ini dibagi mpat bagian, yaitu ayah mnrima sbagian dan anak prmpuan mnrima tiga bagian

5.      Jika ada dua anak prmpuan atau lebih bersamanya, maka ayah menerima seperlima dan anak-anak perempuan menerima empat perlima. Sebab seperenam yang tersisa adalah dari bagian ayah, sedangkan bagian mereka (anak-anak perempuan) dikembalikan pada semua bukan kepada ayah saja.

6.      Jika ada ibu bersamanya, maka ibu menerima bagiannya yaitu sepertiga jika tidak ada penghalang (kakek atau nenek). Dan seperenam jika ada penghalang (kakek atau nenek), sedangkan seluruh sisa yang ada diterima oleh ayah.

7.      Jika ada anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) bersamanya, maka hukumnya sama dengan hukum ayahnya, yaitu ayah menerima seperenam dan sisanya untuk cucu perempuan, sebagaimana disebutkan pada nomor tiga, sebab anak-anaknya anak anak (cucu) meneepati posisi ayah mereka, jika ayah mereka meninggal berdasarkan ijma’dan nash.[6]

2)      Warisan Ibu

Ada beberapa keadaan untuk warisan Ibu, yaitu:

1.      Ibu menerima seluruh warisan jika tidak ada ayah, tidak pula anak, tidak pula anaknya anak (cucu), tidak pula suami atau istri. Dia menrima sepertiga dengan saham (fardh) dan selainnya dengan pengembalian (ar-radl).

2.      Ibu menerima tiga perempat, jika terdapat istri saja dan menerima sepertiga

3.      Ibu menerima separo jika terdapat suami saja dan sepertiga saham.

4.      Ibu menerima sepertiga jika terdapat ayah, dan dia tidak terhalang untuk menerima lebih dari seperenam, baik oleh dua saudara lelaki mayat atau empat saudara perempuan atau saudara lelaki dan dua saudara perempuan seayah dan seibu atau seayah.

5.      Ibu menerima seperempat jika terdapat anak perempuan, sama persis nomor empat

6.      Ibu mengambil seperlima jika terdapat dua anak perempuan

7.      Ibu menerima kurang dari seperempat dan lebih dari seperlima jika terdapat seorang anak perempuan dan suami.[7]

3)      Warisan Anak-Anak (al-Banun)

Terdapat beberapa keadaan untuk warisan anak-anak, yaitu:

1.      Jika anak sendirian dia mengambil harta warisan seluruhnya, baik lelaki maupun perempuan. Hanya saja anak laki-laki mengambil harta warisan dengan hubungan kekerabatan, sedangkan anak perempuan mengambil separohnya dengan saham (fardh) dan separo lainnya dengan pngambilan (radd)

2.      Jika bersama anak-anak itu terdapat dua orang tua atau salah satu dari keduanya, dan diantara anak-anak itu terdapat anak laki-laki maka untuk salah satu dari kedua orang tua seperenam dan untuk kedua orang tua dua perenam dan sisanya untuk anak-anak.

3.      Jika bersama dua anak perempuan atau lebih terdapat dua orang tua, maka untuk anak-anak perempuan dua prtiga (dari harta warisan) dan untuk dua orang tua masing-masing sepernam.

4.      Jika bersama anak-anak perempuan itu ada salah orang dari dua orang tua, maka untuk mereka (anak-anak perempuan) empat perlima dan untuk salah seorang dari dua orang tua itu seperlima.

4)      Anaknya Anak (Cucu)

Apabila mayit meninggalkan anak-anaknya dan anak-anak dari anak-anaknya, untuk itu bahwa anak laki-laki mayit menghalangi anak-anak dari anak-anak mayit, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya anak-anak dari anak-anak mayit tidak bisa menerima warisan dengan adanya anak laki-laki mayit. Tetapi kalau mayit meninggalkan anak perempuan, maka anak perempuan mayit mengambil bagian seperdua, sedangkan seperdua cucu diberikan kepada beberapa anak dari anak laki-lakinya.

Selanjutnya tidak ada seorangpun diantara anak dari anak-anaknya yang menerima warisan dengan adanya salah satu sorang mayit., baik laki-laki maupun perempuan dan seorang anak laki-laki dari anak laki-lakinya, maka seluruh harta diberikan kepada anak perempuan, sedangkan anak laki-laki dari anak laki-lakinya itu tidak menerima bagian sedikitpun.

Seandainya mayit sama sekali tidak mmpunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan tetapi dia mmpunyai beberapa orang anak dari anak-anaknya, maka anak laki-laki dari anak laki-laaki mayit menggantikan kedudukan orang tuanya baik dalam menghalangi maupun dalam kekerabatan dan sbagainya. Kalau anak laki-laki dari anak laki-laki itu bersama saudara-saudara perempuan mereka, maka mereka berbagi bersama dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali dari bagian perempuan.[8]

b.      Kelas II (Kakek Nenek, Saudara Lelaki dan Perempuan serta Anak-Anak Mereka)

1)      Warisan Kakek Nenek

Dalam Syi’ah tidak ditemukan istilah kakek nenek dari pihak ayah dan kakek nenek dari pihak ibu, mereka hanya mengungkapkan dengan istilah kakek nenek saja.[9]

Untuk itu para kakek dan nenek serta saudara lelaki dan perempuan mayit bersama menerima waris, dan peringkat mereka sama, karena itu bila mereka bersama dan memiliki peringkat hubungan yang sama dengan mayit dan semuanya berasal dari jalur ayah, maka kakek mengambil bagian saudara perempuan, dan berbagi bersama-sama dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Apabila kakek dan nenek bersama saudara-saudara mayit, dan mereka semua berasal dari jalur ibu maka mereka berbag bersama secara rata tanpa ada perbedaan. Sedangkan bila mereka semua bertemu, tetapi ada perbedaan jalur dalam hubungan kekerabatannya dengan mayit, kakek dan nenek dari jalur ibu, sedangkan para saudara berasal dari jalur ayah ibu atauseayah, maka kakek dan nenek atau mereka berdua mengambil bagian sepertiga, sedangkan para saudara yang berasal dari jalur ayah mengambil bagian dua pertiga.

Sementara itu anak-anak dari saudara laki-laki dan perempuan dari semua jalur dan seterusnya hingga ke bawah, menggantikan tempat ayah-ayah mereka ketika yang disebut ini tidak ada, yaitu dalam pembagian warisan bersama para kakek dan nenek dari semua jalur, dan setiap mereka masing-masing mengambil bagian orang yang digantikannya.

2)      Warisan Saudara Lelaki dan Saudara Perempuan

Saudara laki-laki dan perempuan mayit yang mempunyai hubungan kekerabatan dengannya melalui jalur ayah ibu, menghalangi saudara-saudaranya yang mempunyai hubungan kekerabatan dengannya melalui hanya satu jalur secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi kalau mayit mempunyai saudara perempuan seayah seibu dan sepuluh saudara laki-laki seayah saja, maka saudara kandung yang hanya seorang itulah yang menerima waris, sedangkan lainnya tidak.

Saudara laki-laki dan perempuan seayah menggantikan kedudukan saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah seibu manakala yang disebut ini tidak ada. Ketentuan yang berlaku juga sama, yaitu apabila hanya seorang, bagiannya adalah seperdua dan jika lebih dari seorang, bagiannya dua pertiga.

Saudara perempuan seayah seibu memperoleh bagian seperdua, saudara perempuan seibu memperoleh bagian seperenam, sedangkan saudara perempuan seayah tidak memperoleh bagian karena dia digugurkan oleh saudara perempuan seayah seibu.Kemudian sisanya diberikan kepada saudara perempuan seayah seibu saja. Dengan demikian tirkah dibagi menjadi enam: lima bagian untuk saudara perempuan seayah seibu dan satu bagian untuk saudara perempuan seibu.[10]

3)      Warisan anak-anak saudara lelaki dan perempuan

Anak-anak dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari semua jurusan tidak dapat mewarisi dengan adanya salah seorang di antara saudara-saudara laki-laki dan perempuan mayit dari semua jalur.[11] Ketika saudara-saudara laki-laki dan perempuan mayit tersebut tidak  ada maka anak-anak mereka menggantikan posisi mereka dan masing-masing mereka mengambil bagian orang yang digantikannya. Seperenam merupakan bagian sesorang anak dari saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, dan sepertiga untuk beberapa orang anak dari beberapa orang saudara laki-laki atau perempuan seibu, manakala saudara mayit tersebut berbilang. Sedangkan sisanya diberikan kepada anak-anak dari saudara laki-laki seayah seibu atau yang seayah saja. Anak-anak saudara yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mayit melalui jalur ayah saja, gugur dengan adanya anak dari saudara yang  memiliki hubungan kekerabatan melalui jalur ayah ibu.

Dengan demikian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah tidak bisa mewarisi dengan adanya anak laki-laki saudara seayah seibu. Sementara itu beberapa orang anak dari saudara-saudara perempuan dan laki-laki seibu berbagi sama rata seperti orangtua mereka, sedangkan anak-anak dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah berbagi dengan perbedaan (bagian laki-laki dua kali bagian perempuan) sebagaimana halnya orangtua mereka.

Anak-anak saudara yang menempati peringkat lebih atas menghalangi orang-orang yang berada pada peringkat lebih bawah. Dengan demikian anak laki-laki dari anak saudara laki-laki gugur dengan adanya anak perempuan dari saudara perempuan, karena adanya kaidah “yang dekat menghalangi yang lebih jauh”. Anak-anak saudara bisa menyertai pada kakek dalam menerima waris seperti halnya ayah mereka, yaitu ketika ayah-ayah mereka itu tidak ada. Dengan demikian anak laki-laki dari saudara laki-laki atau perempuan dapat menerima waris bersama-sama dengan kakek dari pihak ayah. sebagaimana halnya dengan ayahnya kakek yang mewarisi bersama- sama dengan saudara laki-laki mayit ketika kakek tidak ada.[12]

c.       Kelas III (Paman dari Ayah dan Ibu serta Anak-anak Mereka)

Apabila orangtua kandung, anak dan cucu tidak ada, demikian Pula saudara laki-laki dan saudara perempuan serta anak-anak mereka. Dan juga tidak terdapat kakek dan nenek, maka paman dan bibi dari pihak Yang manapun berhak atas waris. Kadang-kadang ada di antara mereka Yang sendirian dan ada pula yang bersama-sama.

Apabila terdapat paman-paman dan bibi-bibi dari pihak ayah Sedangkan yang dari pihak ibu tidak ada, maka untuk satu orang paman Atau satu orang bibi dari pihak ayah, seluruh harta warisan baik paman si Mayit itu adalah paman kandung paman seayah maupun paman seibu Saja.

Kalau para paman dan bibi (saudara ayah) jumlahnya lebih dari satu dan mempunyai hubungan dari jalur yang sama dengan simayit, maka kalau mereka sekandung atau seayah, mereka berbagi dengan ketentuan laki-laki memperoleh dua bagian wanita, tetapi bila mereka itu seibu, mereka berbagi sama rata, tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan wanita.

Kalau hubungan para paman dan bibi (saudara ayah) itu tidak dariJalur yang sama, sebagian misalnya sekandung sedangkan yang lain Seayah dan seibu saja, maka yang pertalian kekerabatannya dengan si Mayit hanya melalui ayah saja, hak warisnya menjadi gugur, karena Kerabat yang memiliki hubungan seayah saja hanya memperoleh bagian.

Apabila paman dan bibi (saudara ayah) kandung atau seayah berada bersama-sama paman dan bibi (saudara ayah) seibu, maka kerabat dari ibu yang hanya seorang menerima bagian seperenam, sedangkan bila jumlah mereka lebih dari satu, mereka menerima sepertiga, yang dibagi secara rata tanpa ada perbedaan antara bagian laki-laki dengan bagian perempuan.

Apabila terdapat paman dan bibi dari pihak ibu tanpa ada paman dan ibu dari pihak ayah, maka paman dari pihak ibu yang hanya seorang saja menerima seluruh bagian harta, baik mereka itu seayah, seibu atau sekandung. Tetapi bila jumlah mereka lebih dari satu dan hubungan mereka dengan mayit dari jalur yang sama, maka bila mereka semua sekandung atau seayah atau seibu, seluruhnya berbagi waris bersama- sama dengan ketentuan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan.[13]

2.3 Perbedaan Asasi fiqih Mawaris Sunni dan Fiqih Mawaris Ja’fari

Terdapat perbedaan sistem kewarisan antara fiqih mawaris Sunni dan fiqih mawaris Ja’fari jika dilihat lebih spesifik, ulama Sunni yang memaknai Alquran Surat al-Nisa’: 11 secara apa adanya. Jika hanya terdapat anak perempuan yang berdiri sebagai ahli waris, maka maksimal ia hanya dapat memperoleh setengah bagian. Sebab hal tersebut sudah diatur di dalam nas secara qath’i. Sedangkan hal tersebut tidak berlaku di dalam hukum kewarisan Syiah. Mereka berpendapat bahwa anak perempuan bisa memperoleh seluruh harta jika ia berdiri sebagai ahli waris satu-satunya. Oleh karena itu, bagi mereka masih terbuka ruang untuk dimaknai secara kontekstual meskipun nasnya qath’i[14]

Dalam kewarisan sunni terdapat tiga prinsip yaitu pertama ahli waris perempuan tidak dapat mengijab (menghalangi) ahli waris laki-laki yang jauh, kedua hubungan kewarisan dari garis laki-laki lebih dutamakan dari pada garis perempuan, ketiga tidak mengenal ahli waris pengganti sehingga cucu yang orang tuanya meninggal sebelum kakehnya meninggal tidak mendapatkan warisan dari kakeknya.

Sistem kewarisan Sunni yang menganut asas patrilineal, di mana kerabat yang terhubung dengan pewaris melewati perempuan dipandang sebagai kerabat jauh yang tersisih dalam kewarisan (kecuali saudara seibu dan ibunya ibu) dan disebut dengan istilah dzawi al-arham. Sistem kewarisan Sunni juga membedakan kerabat perempuan dengan kerabat laki-laki dari sisi kekuatannya sebagai ahli waris. Karena itu, dalam sistem kewarisan Sunni, anak laki-laki menghalangi kerabat arah ke samping (saudara dan keturunannya) dan kerabat arah menyimpang (paman dan keturunannya), sedangkan anak perempuan tidak menghalangi mereka.

Pola kewarisan yang di gunakan madzhab sunni secara idealitas norma diletakan pada asas-asa hukum waris islam yang menurut pandangan ahli hukum terdiri atas : (1) asas ijbari (reseptif), (2) asas keadilan dan keseimbangan, (3) asas bilateral, (4) asas individual, (5) asas perarilan setelah kematian, dan (6) asas personalitas keislaman.

Mengenai asas bilateral ini fuqoha sunni memiliki corak tersendiri, terutama mengenai konsep dzawi al-arham yang dianggap sebuah penyimpangan Al-quran terhadap tradisi kewarisan tribal arab  yang sama seekali tidak memberikan bagian bagi perempuan dan kerabatnya.sehingga dalam varian hukumnya fuqha sunni menempatkan dzawi al-arham sebagai ahli waris yang di luar pookok keutamaan.  Dzawi al-arham hanya akan dapat jika dzawi al-furud dan ashobah tidak ada.[15]

Di lain sisi, sistem kewarisan Syiah imam ja’fari memiliki paradigmanya tersendiri. Sistem pembagian yang terdiri dari dzawi al-furud, asabah, hingga dhaw al-arham tidak dipakai. Pembagian sematamata didasarkan pada derajat kedekatan atau pertalian darah antara ahli waris dengan pewaris.[16]

System kewarisan yang dirumuskan ulama syiah menolak pembagian ahli waris dalam asabah dan dzawi al-arham seperti yang dirumuskan ulama sunni. Mereka menggunakan istilah dzawi al–aqarabah untuk kedua jenis kelompok tererbut. Dzawi al-aqarabah mencakup dua kelompok ahli waris keduanya yaitu dari garis laki-laki maupun perempuan.

Mengenai asas bilateral menurut pandangan ulma syiah, dzwi al-arham sama sekali tidak. Laki-laki dan perempuan beserta keturunanya mereka sama sebagai kerabat (dzawi al-aqarabah) seorang cucu laki-laki atau permpuan dari anak perempuan dan seorang cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki derajatnya sama menurut pandangan syiah. Keturunan dari anak perempuan tidak terhalang oleh keturunan laki-laki.

Perbedaan terbesar antara Sunni dan Syiah dalam skema pembahasan waris adalah berdasarkan fakta bahwa Syiah menganggap Alquran tidak hanya sebatas wahyu yang mereformasi adat pra-Islam yang mendasarkan waris pada keturunan laki-laki saja. Alquran dalam pandangan mereka melampaui hal tersebut dengan menghadirkan dispensasi atau pengecualian. Semua ahli waris yang memiliki hubungan darah dengan pewaris terintegrasi ke dalam hierarki tunggal mengikat. Prioritas penerima harta waris diberikan kepada ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Dalam hal ini, laki-laki atau pun perempuan memiliki derajat yang setara dengan pewarisnya.[17]

Perbedaan yang mendasar dari sistem kewarisan Sunni adalah tidak ada ahli waris yang dikecualikan atau dihijab semata-mata karena alasan jenis kelamin atau karena dikaitkan dengan ahli waris yang memiliki hubungan dengan pewaris lewat jalur perempuan. Perbedaan kedua adalah prioritas diberikan kepada ahli waris yang masih dalam cakupan keluarga inti pewaris dan keturunannya langsung. Walaupun, pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan tetap diberlakukan porsi 2:1. Namun, anak hingga cucu terbawah tetap diprioritaskan dari ahli waris lainnya yang masih berhubungan darah dengan pewaris.

Perbedaan asasi lain antara sistem kewarisan Ja’fari dengan sistem kewarisan Sunni adalah dalam penggunaan derajat kekerabatan sebagai faktor yang menentukan keberhakan kerabat yang hubungannya dengan pewaris tidak secara langsung. Sistem kewarisan Ja’fari menggunakan derajat kekerabatan sebagai faktor penentu secara mutlak, sedangkan sistem kewarisan Sunni menggunakannya secara selektif.

BAB III

PENUTUP

3.1  Simpulan

Fiqih Ja’fariyah mempunyai konsep tersendiri dalam hal waris yaitu “al Aqrab fa al-Aqrab” kaidah ini merupakan pokok untuk menentukan penerima warisan, Syi’ah lebih mengutamakan kerabat yang lebih dekat dengan mayit. Imam Ja’far menolak adanya ahli waris secara ashabah dan tanpa membedakan kerabat wanita dari kerabat laki-laki. Maka sebagaimana seorang anak laki-laki sendirian mengambil seluruh warisan, anak perempuan dan saudara perempuan yang sendirian pun mengambil yang sama. Imam Ja’far membagi ahli waris laki-laki dan perempuan yaitu Dzu al- Fardl dan Dzu al-Qarabat.

Urutan dan tertib ahli waris menurut Mazhab Ja’fari ada tiga yaitu: Pertama, dua orang tua, anak-anak mereeka (cucu). Kedua, kakek nenek, saudara lelaki dan perempuan serta anak-anak mereka. Ketiga paman dari ayah dan ibu serta anak-anak mereka.

Terdapat perbedaan sistem kewarisan antara fiqih mawaris Sunni dan fiqih mawaris Ja’fari jika dilihat lebih spesifik, ulama Sunni yang memaknai Alquran Surat al-Nisa’: 11 secara apa adanya. Jika hanya terdapat anak perempuan yang berdiri sebagai ahli waris, maka maksimal ia hanya dapat memperoleh setengah bagian. Sebab hal tersebut sudah diatur di dalam nas secara qath’i. Sedangkan hal tersebut tidak berlaku di dalam hukum kewarisan Syiah. Mereka berpendapat bahwa anak perempuan bisa memperoleh seluruh harta jika ia berdiri sebagai ahli waris satu-satunya. Oleh karena itu, bagi mereka masih terbuka ruang untuk dimaknai secara kontekstual meskipun nasnya qath’i.

Perbedaan asasi lain antara sistem kewarisan Ja’fari dengan sistem kewarisan Sunni adalah dalam penggunaan derajat kekerabatan sebagai faktor yang menentukan keberhakan kerabat yang hubungannya dengan pewaris tidak secara langsung. Sistem kewarisan Ja’fari menggunakan derajat kekerabatan sebagai faktor penentu secara mutlak, sedangkan sistem kewarisan Sunni menggunakannya secara selektif.

 

DAFTAR PUSTAKA

Zuhrah , Muhammad Abu, 2001, “Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, Lentera, Semarang

Mughniyah, Muhammad Jawal, Fiqih al-Imam Ja’far as-Shadiq Ardh wa Istidlal, Ter. Abu Zanab dkk (Jakarta: Lentra, 2009), hlm. 744

Lir Ab. Haris, Ditribusi kekayaan dan fungsi sosial dalam hukum waris islam dalam study kritis terhadap pola kewarisan dalam sisitem hukum sunni, tesis (Bandung: Program pascasarjana IAIN Sunan Gunun Jati Bandung, 2000), diakses pada 10 April 2021

Faby Toriqirrama, EKSISTENSI ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN SYIAH. Vol. 09, Nomor 01, AL-HUKAMA 2019, 32, diakses pada 10 April 2021

al-Muta’al al-Sha’idi, al-Mirats fi al-Syari’at al-Islamiyyah

Mahsun Fuad, Perkembangan Hukum Waris Islam di Irak, Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 12 No.2, 2018, diakss pada 8 April 2021

                                                    

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Mahsun Fuad, Perkembangan Hukum Waris Islam di Irak, Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 12 No.2, 2018, hlm. 42-43

[2] al-Jawahir, hal 25.

[3] Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih al-Imam Ja;far as-Shadiq, hl. 749

[4] Faby Toriqirrama, EKSISTENSI ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN SYIAH. Vol. 09, Nomor 01, AL-HUKAMA 2019, 38

 

[5] Op cit, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, 744-745.

[6] Muhammad Jawal Mughniyah, Fiqih al-Imam Ja’far as-Shadiq Ardh wa Istidlal, Ter. Abu Zanab dkk (Jakarta: Lntra, 2009), hlm. 723

[7] Muhammad Jawal Mughniyah, Fiqih al-Imam Ja’far as-Shadiq Ardh wa Istidlal, Ter. Abu Zanab dkk (Jakarta: Lntra, 2009), hlm. 740

 

[8] Muhammad Jawal Mughniyah, Fiqih al-Imam Ja’far as-Shadiq Ardh wa Istidlal, Ter. Abu Zanab dkk (Jakarta: Lntra, 2009), hlm. 744

[9] Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 548

[10] Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 551

[11] Faby Toriqirrama, EKSISTENSI ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN SYIAH. Vol. 09, Nomor 01, AL-HUKAMA 2019, hlm. 39

[12] Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 573

[13] al-Muta’al al-Sha’idi, al-Mirats fi al-Syari’at al-Islamiyyah, 14.

[14] Faby Toriqirrama, EKSISTENSI ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN SYIAH. Vol. 09, Nomor 01, AL-HUKAMA 2019, 25

[15] Lir Ab. Haris, Ditribusi kekayaan dan fungsi sosial dalam hukum waris islam dalam study kritis terhadap pola kewarisan dalam sisitem hukum sunni, tesis (Bandung: Program pascasarjana IAIN Sunan Gunun Jati Bandung, 2000), hal. 1

[16] Faby Toriqirrama, EKSISTENSI ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM KEWARISAN SYIAH. Vol. 09, Nomor 01, AL-HUKAMA 2019, 32

[17] Ibid.

Lebih baru Lebih lama