WASIAT WAJIBAH DAN PENGGANTI TEMPAT

WASIAT WAJIBAH DAN PENGGANTI TEMPAT

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Pengertian dari wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakimsebagaiaparat negara yang memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.

Ada pendapat yang menyampaikan bahwa wasiat wajibah itu akan lebih baik diberikan setelah harta peninggalan diberikan kepadaahli waris. Dimana jumlah maksimal bagian yang bisa diberikan adalah 1/3 dari harta yang telah dibagikankepada ahli waris tadi. Sehingga, bagian yang diperoleh oleh keluarga yang non muslim ini berbeda dengan ahli waris muslim. Putusan wasiat wajibah ini pun telah diterima dengan baik oleh para pihak baik yangmenggugat ataupun digugat. Hal ini disampaikan oleh salah satu anggota keluarga yang terkait dalam putusankasasi No 16 K/AG/2010, bahwa setiap anggota keluarganya yang muslim ataupun non muslim menerima dengan baik dan lapang dada putusan Mahkamah Agung dalam hal memberikan wasiat wajibah.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 menetapkan besarnya wasiat wajibah ialah sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi dua syarat, Penerapan hukum serta mekanisme hukum wasiat wajibah dan pengganti tempat akan dibahas dalam makalah ini oleh karena itu perlu diketahui lebih lanjut pembahasan masalah makalah ini sebagai berikut.

 

B.  Rumusan Masalah

1. Apa itu wasiat wajibah dan pengganti tempat?

2. Apa saja syarat wasiat wajibah?

3. Bagaimana penerapan hukum wasiat wajibah dan penggantian tempat?

4. Bagaimana mekanisme hukum wasiat wajibah dan pengganti tempat ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui wasiat wajibah dan pengganti tempat.

2. Untuk mengetahui syarat wasiat wajibah.

3. Untuk mengetahui penerapan hukum wasiat wajibah dan pengganti tempat.

4. Untuk mengetahui mekanisme hukum wasiat wajibah dan pengganti tempat.


 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat Wajibah

Pengertian dari wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakimsebagaiaparat negara yang memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yangdiberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.[1]

Dengan demikian, wasiat wajibah adalah wasiatyang dipandang telah dilakukan olehseseorang yang meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiattersebut.

Dalam hal menjawab pedoman wasiat wajibah tersebut, ada beberapa pendapat yang menyampaikan bahwa wasiat wajibah itu akan lebih baik diberikan setelah harta peninggalan diberikan kepadaahli waris. Dimana jumlah maksimal bagian yang bisa diberikan adalah 1/3 dari harta yang telah dibagikankepada ahli waris tadi. Sehingga, bagian yang diperoleh oleh keluarga yang non muslim ini berbeda dengan ahli waris muslim.Putusan wasiat wajibah ini pun telah diterima dengan baik oleh para pihak baik yangmenggugat ataupun digugat. Hal ini disampaikan oleh salah satu anggota keluarga yang terkait dalam putusankasasi No 16 K/AG/2010, bahwa setiap anggota keluarganya yang muslim ataupun non muslim menerima dengan baik dan lapang dada putusan Mahkamah Agung dalam hal memberikan wasiat wajibah. Pembagian harta warisan dilaksanakan sesuai hasil putusan kasasi secara kekeluargaan dan damai tidak ada paksaan.[2]

Orang yang berhak menerima wasiat wajibah, menurut Fatchur Rahman, adalah meliputi cucu-cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki maaupun pancar perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya. Kompilasi, dalam hal ini membuat ketentuan tersendiri, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak angkat atau orang tua angkat. Pasal 209 berbunyi:

1.             Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.

2.             Terhadap anak angkatnya yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

B. Syarat Wasiat Wajibah

            Kompilasi Hukum Islam di Indonesia telah memberlakukan ketentuan wasiat wajibah kepada ahli waris yang orang tuanya terlebih dahulu meninggal dunia dari pada pewaris, yakni dalam kedudukan sebagai ahli waris pengganti, dan kepada anak atau orang tua angkat yang tidak mendapatkan atau tidak di beri wasiat oleh orang tua atau anak angkatnya.Dalam Islam Seseorang yang meninggal dunia paling tidak akan meninggalkan dua hal, pertama meninggalkan ahli waris dan kedua meninggalkan harta peniggalan (warisan).[3]

Karena itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 menetapkan besarnya wasiat wajibah ialah sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi dua syarat:

1.      Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pustaka.

2.      Si mati (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan padanya.[4]

            Harta peninggalan dari yang meninggal, belum dapat di bagi sebab dalam hal ini harus di kurangi biaya penyelenggaraan jenazah, melunasi hutang dan wasiat.Adapun Batasan dalam pelaksanaan wasiat wajibah, maka apabila wasiat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut di laksanakan setelah meninggalnya si pewasiat. Sejak saat itu si penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat.[5]

C. Penerapan Hukum Wasiat Wajibah dan Penggantian Tempat

Kompilasi Hukum Islam (KHI), wasiat yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dalam konsep hukum Islam kontemporer selain wasiat dikenal juga istilah wasiat wajibah yaitu suatu wasiat yang wajib untuk diberikan. Secara teori wasiat wajibah mempunyai arti sebagai tindakan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat wajibah bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan pada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi:  (1)  Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya19. Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash,sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini”. “Rasulullah menjawab ‚ jangan‚ seperdua?” tanya Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan, “Jangan”‚ “bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah‚ “Besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik.”[6]

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan dan manusia yang satu dengan

yang lainnya.

Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada keturunan  kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke  atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual.[7]

D. Mekanisme Hukum Wajibah dan Penggantian Tempat

Penyelesaian kasus pewarisan yang didalamnya terdapat penerima wasiat wajibah yang dilakukan oleh Muhammad Musthafa Syahatah alHusaini adalah memberikan sepertiga bagian kepada penerima wasiat wajibah, clan memberikan sisanya (1 /3 bagian) kepada abli waris yang berhak menerimanya. Jadi dalam penyelesaian Muhammad Musthafa Syahatah al-Husaini ini, bagian penerimaan orang penerima wasiat wajibah, seandainya masih hidup tidak diperhitungkan.

Penyelesaian kasus pewarisan yang di dalamnya terdapat wasiat wajibab yang di lakukan olah Hasanain Muhammad Makhluf: Pertama: Menentukan bagian masing-masing ahli waris (tidak termasuk penerima wasiat wajibah) sesuai kadar penerimaannya. Kedua: Membeikan bagian penerima wasiat wajibah sebesar saham yang diterima oleh saudara orang tuanya (dengan ketentuan lidzakari mitslu hadhi al-untscryainz), sehingga dalam kasus tersebut seakan-akan terjadi 'aul. Ketiga: Apabila bagian penerima/para penerima wasiat wajibah, pada poin kedua di atas, sepertiga (kurang dari sepertiga) tirkah, maka ketentuan rada poin kedua tersebut diberlakukan; tetapi apabila bagiannya meleb1hi sepertiga tirkah, maka bagian penerima wasiat wajibah sepertiga tirkah, sedangkan dua pertiga lainnya diberikan kepada ahli waris sesuai dengan kadar bagiannya masing-masing.

Penyelesaian pewarisan yang di dalamnya terdapat penerima wasiat wajibah yang dilakukan oleh Hazairin adalah dengan memberikan bagian para cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia, sebesar bagian yang seharusnya diterima oleh orang tuanya, yakni sebagai mawali bagi orang tuanya yang telah meninggal dunia tersebut. Jadi dalam menyelesaikan kasus pewarisan tersebut, para ahli waris diberikan bagian sebesar bagian penerimaanya, termasuk para ahli waris pengganti yang menduduki kedudukan orang tuanya, dengan membagikan diantara mereka (bila lebih dari seorang) dengan ketentuan laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan.[8]


 

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Ditarik kesimpulan bahwa wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara yang memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.

Ada pendapat yang menyampaikan bahwa wasiat wajibah itu akan lebih baik diberikan setelah harta peninggalan diberikan kepadaahli waris. Dimana jumlah maksimal bagian yang bisa diberikan adalah 1/3 dari harta yang telah dibagikankepada ahli waris tadi. Hal ini disampaikan oleh salah satu anggota keluarga yang terkait dalam putusankasasi No 16 K/AG/2010, bahwa setiap anggota keluarganya yang muslim ataupun non muslim menerima dengan baik dan lapang dada putusan Mahkamah Agung dalam hal memberikan wasiat wajibah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 menetapkan besarnya wasiat wajibah ialah sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi dua syarat yakni:

1.      Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pustaka.

2.      Si mati (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan padanya


 

DAFTAR PUSTAKA

Hanum, Zulfia dan Alfi Syahr. 2016 “WASIAT WAJIBAH SEBAGAI WUJUD PENYELESAIAN PERKARA WARIS BEDA AGAMA DALAM PERKEMBANGAN SOSIAL MASYARAKAT,” Jakarta, Journal For Islamic Social Sciences, Vol. 1 Edisi 1.

Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis. “TINJAUAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN  KUH PERDATA”, Semarang.

Ramadhani, Andre Gema. Ngadino. dan Irawati. 2020 “PELAKSANAAN WASIAT WAJIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PRAKTEK PENGADILAN AGAMA SAMBAS,” NOTARIUS, Vol. 13 No. 1.

Rofiq, Ahmad. 2017 “HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA” Edisi Revisi, Depok: Rajawali Pers.

Setiawan, Eko. 2016 “PENERAPAN WASIAT WAJIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS,” Malang, Muslim Heritage, Vol. 1  No. 2.

Somawinata, Yusuf. 2008. “WASIAT WAJIBAH; KONSEP DAN PELAKSANAANNYA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA,” ALQALAM, Vol. 25 No. 1.



[1]Ahmad Rofiq, “HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA” Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pers, 2017), Hlm. 371.

[2]Zulfia Hanum dan Alfi Syahr, “WASIAT WAJIBAH SEBAGAI WUJUD PENYELESAIAN PERKARA WARIS BEDA AGAMA DALAM PERKEMBANGAN SOSIAL MASYARAKAT,” Jakarta, Journal For Islamic Social Sciences, Vol. 1 Edisi 1 (2016).

[3]Andre Gema Ramadhani, Ngadino, dan Irawati, “PELAKSANAAN WASIAT WAJIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PRAKTEK PENGADILAN AGAMA SAMBAS,” NOTARIUS, Vol. 13 No. 1 (2020).

[4]Ahmad Rofiq, “HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA” Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pers, 2017), Hlm. 371.

[5]Andre Gema Ramadhani, Ngadino, dan Irawati, “PELAKSANAAN WASIAT WAJIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PRAKTEK PENGADILAN AGAMA SAMBAS.”, NOTARIUS, Vol. 13 No. 1 (2020).

[6]Eko Setiawan, “PENERAPAN WASIAT WAJIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS,” Malang, Muslim Heritage, Vol. 1  No. 2 (November 2016).

[7]PASNELYZA KARANI, Dalam Tesis “TINJAUAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN  KUH PERDATA”, Semarang, 2010, Hlm. 20

[8]YUSUF SOMAWINATA, “WASIAT WAJIBAH; KONSEP DAN PELAKSANAANNYA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA,” ALQALAM, Vol. 25 No. 1 (April 2008).

Lebih baru Lebih lama