A. Pengertian
Perjanjian Pernikahan
Perjanjian
pernikahan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing- masing berjanji akan mentaati
apa yang ada dalam persetujuan tersebut, yang kemudian disahkan oleh pegawai
pencatat nikah.
Perjanjian
perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat perjanjian
yang dibuat bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan maka
apapun bentuk perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad
nikah nya sendiri sah. Jadi jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak
bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh
(sah).
Contoh syarat yang tidak
sesuai dengan Syari’at Islam, misalnya, dalam perkawinan itu si istri tidak
akan dikeluarkan dari rumah, maka si suami tidak akan kawin lagi. Maka
perkawinan itu sendiri sah, tetapi syaratnya tidak sa, berdasarkan sabda Nabi
SAW :
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ
وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Artinya : “Apapun
bentuknya syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah maka syarat itu batal sekalipun seratus kali
persyaratan.”[1]
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
mengatur masalah perjanjian perkawianan yang bunyi selengkapnya sebagai berikut
:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat emngadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.
Perjanjian
tesebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
3.
Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4.
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan itu tidak
merugikan pihak ketiga.
Penjelasan pasal
29 tersebut meneybabkan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik
talak. Namun dalam peraturan Mentri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 11
disebutkan satu aturan yang bertolak belakang.
1.
Calon suami
istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
Islam
2.
Perjanjian
berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditanda
tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3.
Sighat taklik
talak ditentukan oleh Mentri Agama.
Jadi perjanjian perkawinan
seperti ditegaskan dalam penjelasana pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974,
telah diubah, atau setidaknya, diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah
satu macam perjanjian pernikahan.
Pasal 46 kompilasi lebih jauh mengatur ketentuan sebagai berikut :
1.
Isi taklik
talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.Apabila keadaan yang
disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi, kemudian tidak dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, Istri harus
mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
2.
Perjanjian
taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut
kembali.Perjaajian yang tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah
pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah alasan taklik talak tidak
dapat dibatalkan karena naskah perjanjian taklik talak dilampirkan dalam
salinan akta nikah yang sudah ditanda tangani suami.
Sebelum akad nikah dilangsungkan, pegawai pencatat perlu meneliti
betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara
material atau isi perjanjian tersebut, maupun teknis sebagaimana perjanjian itu
telah disepakati mereka bersama.[2]
Perjanjian perkawinan juga dapat dibuat oleh kedua belah pihak
menyangkut harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan
aturan syariat Islam. Kompilasi mengatur perjanjian harta bersama dan
perjanjian yang berkaitan dengan masalah poligami. Mengenai bentuk perjanjian
perkawinan dalam kompilasi hukum isalam memperinci sebagai berikut :
1. Pasal 47
a. Pada waktu dan sebelum perkawianan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat Nikah
mengenai kedudukan harta dalam pernikahan.
b. Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
c. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan
harta pribadi atau harta bersama.
2. Pasal 48
a. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta
bersama, maka perjanjian tersebut tidak boleh mneghilangkan kewajiban suami
untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga.
b. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan
tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama dengan
kewajiban suami menanggung biaya rumah tangga.
3. Pasal 49
a. Perjanjian percampuran harta pripadi tidak dapat meliputi semua
harta, baik yang dibawa masing-masingkedalam perkawinan maupun yang di peroleh
masing-masing selama perkawinan.
b. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat
juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pripadi hanya terbatas pada harta
pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran
itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau
sebaliknya.
4. Pasal 50
a. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengkat kepada para pihak dan
pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan pernikahan dihadapan pegawai
pencatat Nikah.
b. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas
persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkan nya di kantor pegawai
pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
c. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat keapada
suami istri, tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak
tanggal pendaftaran itu diumukan oleh suami istri dalam suatu surat kabar
setempat.
d. Apabila dalam tempo 6 bulan pengumuman tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat
kepada pihak 3.
e. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh
merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
5. Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri
untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan
perceraian ke pengadilan agama.
6. Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga,
atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan
biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.[3]
B. Pengertian Pembatalan Nikah
Pembatalan pernikahan sering juga disebut dengan istilah fasakh.
Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan sesorang,
karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetakan oleh
syara. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu dilarang atau
diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum batalnya perkawinan yaitu, rusak atau
tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu
rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Contoh
perkawinan yang batal (tidak sah) yaitu perkawianan yang dilangsungkan tanpa
calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini
batal (tidak sah) karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon
memepelai laki-laki atau perempuan.
Yang dimaksud memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan
ikatan hubungan antra suami dan istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak
terpenuhinya syarta-syarat ketika berlangsung akad nikah, ata karena hal-hal
lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan pernikahan.
Fasakh (batalnyaperkawinana) karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhinya ketika akad nikah.
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah
saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami
b. Suami istri masih kecil, da diadakannya akad nikah oleh
selain ayah. Kemudian setelah dewasa ia
berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara
seperti ini disebut khiyar baligh. Jika memilih untk mengakhiri hubungan maka disebut
dengan fasakh baligh.
Faskh karena
hal-hal yang datang setelah akad.
a. Bila salah seorang dari suami atau istri murtad atau keluar dari
agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh)
karena kemurtadaan yang terjadi belakangan.
b. Jika yang tadinya suaminya kafir masuk Islam, tetapi istri masih
teta dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musryik, maka akadnya batal
(faskh). Lain halnya jika istri ahli itab, maka akad nya tetap sah seperti
semula. Sebab perkawinanya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena
talak. Sebab talak ada talak raji’ dan talak ba’in. Talak raji’ tidak
mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan talak ba’in mengakhiri
seketika pada waktu itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal yang terjadi
belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia
mengakhiri perkawinan secara seketika itu.[4]
Batalnya perniakahan menurut kompilasi hukum Islam apabila :
1. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan
akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu istri
dari keempat itu dalam iddah talak raj’i.
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’aninya
3. Seseorang menikahi bekas bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga
kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya pernah menikah dengan pria lain
yang kemudian bercerai lagi.
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut
pasal 8 Undang-Undang No.1 tahun 1974 yaitu :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke
atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antar
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan
saudara neneknya.
c. Berhubungan dengan semenda yaitu, mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu atau ayah tiri.
d. Berhubungan sesusunan, yaitu orang tua sesusunan, anak sesusunan,
saudara sesunan, dan bibi atau paman sesusunan.
5. Istri dari saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri atau istri-istrinya.
Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila :
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjad
istri sah oria lain yang mafqud.
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih mengalami massa iddah suami
lain.
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak hak.
6. Perkawinan yang dilakukan dengan pakasaan.[5]
C. Urgensi Perjanjian Pernikahan
Pentingnya bentuk perjanjian pernikahan yaitu dapat memberikan
kejelasan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Pemberian jaminan ini
sesuai dengan syariat Islam dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu
terciptanya keluarga harmonis, sakinah mawaddah dan rohmah. Oleh karena itu,
perjanjian perkawinan baik yang berbentuk taklik talak atau perjanjian apa saja
dibolekan jika tidak melanggar syariat Islam.Selain itu urgensi dari perjanjian
pernikahan itu juga dapat mewujudkan apa yang sebenarnya yang dituju dari
pernikahan tersebut, sejalan dengan tujuannya, pernikahan dilangsungkan untuk
membina keluarga yang diliputi ketentraman dan dipenuhi rahmat yang akan terus
dijaga dengan kekutan hukum.[6]
Sedangkan dalam pembatalan pernikahan keputusan pembatalan itu
tidak dapat berlaku surut terhadap :
1.
Perkawinan
yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.
2.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
3.
Pihak ketiga
sepanjang mereka memproleh hak-hak dengan beritikad
baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunya kekuatan
hukum ynag tetap.
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum
antara anak dengan orang tuanya.[7]
D. Alasan perjanjian pernikahan
Adanya
perjanjian pernikahan terdapat dalam pasal 29 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan yang mengatur tentang masalah perjanjian perkawinan. Pasal
ini sangat penting , jika dikaitkan dengan sosio-kultular masyarakat Indonesia
yang sedang berkembang dan merangkak menuju masyarakat maju dengan ciri utama
kuatnya kesadaran akan hak dan kewajiban. Semakin tinggi tingkat social ekonomi
seseorang, semakin tinggi pula dalam memilih pasangan hidup, dari soal
kelangsungan karir sampai soal keamanan harta bawaan yang selama ini telah
diperoleh.
Setiap
individu berhak secara bebas mengadakan perjanjian, sepanjang perjanjian yang
dibuat memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan maka
perjanjian tersebut sah dan bersetatus sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya[8].
Dalam membuat suatu perjanjian perkawinan, tidak ada unsure yang bersifat
memaksa, artinya salah satu pihak tidak menghendaki diadakannya perjanjian
perkawinan maka pihak lain tidak boleh memaksa. Mengenai isi perjanjian
diserahkan sepenuhnya pada kedua belah pihak.
Secara
umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah :
1. Tidak
menyalahi hukum syariah yang disepakati. Maksudnya, bahwa perjanjian
itu dibuat tidak menyalahi hukum, jika bertentangan maka secara tidak langsung perjanjian itu batal.
2. Sama-sama
ridha dan ada pilihan. Maksudnya, kesepakatan yang terjadi diantara
dua belah pihak harus didasarkan dengan kesepakaan bersama.
3. Harus
jelas dan mudah dipahami. Maksudnya, apa yang dijanjikan harus jelas sehingga tidak mengakibatkan
kesalah pahaman.
Syarat khusus perjanjian peenikahan agar tidak
cacat hukum yaitu:
1. Atas
persetujuan bersama mengadakan perjanjian. Pasangan harus membuat perjanjian harus ada persetujuan
bersama, tidak ada pemaksaan atau
penipuan.
2. Suami
istri cakap dalam membuat pejanjian Perjanjian harus dibuat oleh orang yang cakap bertindak hukum,
atau mampu melakukan pembuatan hukum
tersebut.
3. Objek
perjanjian jelas Perjanjian yang dibuat harus jelas oleh masing- masing pihak. Misalnya, percampuran harta
benda pribadi, pemisahan harta
benda bersama dan sebagainya.
4. Tidak
bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan Isi perjanjian tidak bertentangan dengan hukum,
misal jika jika mendapat harta bersama
akan digunakan untuk membuka usaha perjudian dan tidak boleh bertentangan dengan agama misalnya, keharusan suami memadu dua kakak beradik.
5. Dinyatakan
secara tertulis dan disah kan oleh pegawai pencatat nikah
Kompilasi hukum islam memuat delapan
pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52.
Pasal 45 menyatakan:
Kedua
mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
a. Taklik
talak
b. Perjanjian
yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Taklik talak sendiri yaitu terjadinya
talak atau perpisahan yang digantungkan kepada sesuatu, sesuatu ini dibuat dan
disepakati pada waktu akad nikah.[9]
Dengan adanya taklik talak ini dapat
melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi
kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima isteri. Meskupun
sesungguhnya isteri, telah mendapat hak berupa gugat cerai. Karena itu, yang
perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan
membaca serta menandatangani taklik talak tersebut atau tidak. Dimaksudkan agar
tidak terjadi kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.
Perjanjian perkawinan juga dibuat oleh kedua
belah pihak menyangkut harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat islam. Kompilasi hukum islam mengatur peranjian
harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah polgami[10].Terdapat
pada pasal 47 sampai 52.
Pada umumnya pemahaman calon suami
istri dengan dibuatnya perjanjian perkawinan dalam memasuki kehidupan rumah
tangga itu didasarkan pada hal-hal berikut:
1. Terdapat
sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang
lainnya.
2. Kedua
belah pihak membawa inbreng (pemasukan modal) yang cukup besar.
3. Masing-masing
mempunyai usaha sender, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak
tersangkut.
4. Atas
hutang mereka yang dibuat sebelum kawin ditanggung masing-masing
5. Masing-masing
pihak yang pernah berkeluarga, punya anak dan mempunyai harta kekayaan,
sehingga mereka bersepakat untuk membuat perjanjian perkawinan. [11]
E.
Alasan
batalnya pernikahan
Sebab
batalnya pernikahan :
1. Karena
gila
Suami dapat membatalkan
pernikahan bila istri gila atau sebaliknya. Menurut pendapat imam syafi’I hak
membatalkan pernikahan sebelum akad maupun sesudah akad atau juga sebelum dan
sesudah berhubnungan badan. Kemudian, apabila suami membatalkan akad sebelum
mencampuri istrinya, maka istri tidak berhak atas mahar tersebut. Bila
setelahnya, maka dia berhak atas mahar musamma.
2. Penyakit
sopak
Menurut imam Maliki istri
dapat membatalkan pernikahan bila suami terkena sopak sebelum atau sesudah
akad. Sedangkan suami hanya bisa membatalkan pernikahan bila istrinya terkena
sopak sebelum akad, maka keduanya berhak untuk membatalkan perikahan.
3. Penyakit
Kusta
Bila kusta menimpa
sebelum akad maka mereka dapat membatalkan pernikahan. Menurut imam Maliki bila
kusta muncul setelah akad, maka hak untuk membatalkan akad hanya untuk istri
dan tidak mencakup suami.[12]
4. Karena
adanya penyakit menular, seperti sipilis, tbc, dan lain sebagainya.
Disamping
itu, fasakh (pembatalan pernikahan) juga bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:
1. Perkawinan
dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. Missal, budak denagn merdeka, orang pezina
dengan orang yang terpelihara, dan sebaginya.
2. Suami
tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan
istrinya tidak rela.
3. Suami
miskin, setelah jelas kemiskinannyab oleh beberapa orang saksi yang dapat
dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi member nafkah, baik pakaian yang
sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum dibayarkan.[13]
Adapun perjanjian perkawinan sebagai
alasan pembatalan pernikahan atau
perceraian. Secara umum, pembatalan perjanjian tidak mungkin
dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang
terikat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian dalam perjanjian dapat dilakukan
pembatalan apabila:
1. Jangka
waktu perjanjian telah berakhir
Suatu perjanjian selalu
didasarkan pada jangka waktu tertentu (apabila mempunyai jangka waktu
terbatas), maka apabila telah sampai kepada waktu yang telah diperjanjikan,
secara otomatis perjanjian itu batal.
2. Salah
satu pihak menyimpang dari perjanjian
Apabila salah satu pihak
telah melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan, maka
pihak lain yang merasa dirugikan dapat membatalkan perajnjian tersebu
[1]Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2010),
Hal.119-140
[2] Rofiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok, Raja
Grafindo Persada, 2015), Hal.127-128
[3] Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana,
2010), Hal.121-124
[4] Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana,
2010), Hal.141-143
[5] Ramulyo Idris. Hukum Perkawinan Isla, (Jakarta, Sinar Grfika
Offset, 1999). Hal.85-87.
[6] Istianah, 2019, Monogami Dalam Perjanjian Perkawinan (kajian Hukum
Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia), Vol.17, Hal.16, Pekalongan,
IAIN Pekalongan,pdf, http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/2387/1650
(diakses pada tanggal 16 Maret 2020)
[7]Ramulyo Idris. Hukum Perkawinan Isla, (Jakarta, Sinar Grfika
Offset, 1999). Hal.88
[8] Rokhim,Abdul.”Kedudukan Hukum
Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian”Arena hukum. Jilid 41 No 1,
januari 2012, hal 59. http://e-journal.undip.ac.id (diakses pada tanggal 16 Maret 2020)
[9] Nasution Khoirudhin.”Menjamin Hak
perempuan dengan Talik Talak dan Perjanjian perkawinan”.UNISIA, vol. XXXI No.70
Desember 2008, hal 334. http://journal.uii.ac.id diakses pada tanggal 16 Maret 2020)
[10] Rofiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok, Raja
Grafindo Persada, 2015), Hal.128
[11] Yulis Tiana,”perjanjian perkawinan dalam pandangan hukum islam”. Serat
Acitya 2 (3), 128,2014. Hal 137-138.
http://jurnal.untagsmg.ac.id(diakses 16 mare 2020)
[12] Ibrahim Muhammad,”fiqih
perbandingan lima mazhab”(Jakarta, Cahaya,2007)hal386-387
[13] Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana,
2010), Hal,148