PERJANJIAN DAN PEMBATALAN NIKAH

 


A.    Pengertian Perjanjian Pernikahan

Perjanjian pernikahan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing- masing berjanji akan mentaati apa yang ada dalam persetujuan tersebut, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat nikah.

Perjanjian perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan maka apapun bentuk perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikah nya sendiri sah. Jadi jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah).

Contoh syarat yang tidak sesuai dengan Syari’at Islam, misalnya, dalam perkawinan itu si istri tidak akan dikeluarkan dari rumah, maka si suami tidak akan kawin lagi. Maka perkawinan itu sendiri sah, tetapi syaratnya tidak sa, berdasarkan sabda Nabi SAW :

مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

                 Artinya : “Apapun bentuknya syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah   maka syarat itu batal sekalipun seratus kali persyaratan.”[1]

 

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur masalah perjanjian perkawianan yang bunyi selengkapnya sebagai berikut :

1.    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat emngadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2.      Perjanjian tesebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3.      Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4.      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga.

           

            Penjelasan pasal 29 tersebut meneybabkan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam peraturan Mentri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 11 disebutkan satu aturan yang bertolak belakang.

1.      Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam

2.      Perjanjian berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditanda tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.

3.      Sighat taklik talak ditentukan oleh Mentri Agama.

 

              Jadi perjanjian perkawinan seperti ditegaskan dalam penjelasana pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, telah diubah, atau setidaknya, diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian pernikahan.

 

Pasal 46 kompilasi lebih jauh mengatur ketentuan sebagai berikut :

1.      Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi, kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, Istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

2.         Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.Perjaajian yang tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah alasan taklik talak tidak dapat dibatalkan karena naskah perjanjian taklik talak dilampirkan dalam salinan akta nikah yang sudah ditanda tangani suami.

Sebelum akad nikah dilangsungkan, pegawai pencatat perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian tersebut, maupun teknis sebagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama.[2]

Perjanjian perkawinan juga dapat dibuat oleh kedua belah pihak menyangkut harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan aturan syariat Islam. Kompilasi mengatur perjanjian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah poligami. Mengenai bentuk perjanjian perkawinan dalam kompilasi hukum isalam memperinci sebagai berikut :

1.      Pasal 47

a.       Pada waktu dan sebelum perkawianan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam pernikahan.

b.      Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

c.       Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan harta pribadi atau harta bersama.

2.      Pasal 48

a.       Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama, maka perjanjian tersebut tidak boleh mneghilangkan kewajiban suami untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga.

b.      Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama dengan kewajiban suami menanggung biaya rumah tangga.

3.      Pasal 49

a.       Perjanjian percampuran harta pripadi tidak dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masingkedalam perkawinan maupun yang di peroleh masing-masing selama perkawinan.

b.      Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pripadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

4.      Pasal 50

a.       Perjanjian perkawinan mengenai harta mengkat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan pernikahan dihadapan pegawai pencatat Nikah.

b.      Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkan nya di kantor pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan.

c.       Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat keapada suami istri, tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumukan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat.

d.      Apabila dalam tempo 6 bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak 3.

e.       Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

5.      Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke pengadilan agama.

6.      Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.[3]

B.     Pengertian Pembatalan Nikah

Pembatalan pernikahan sering juga disebut dengan istilah fasakh. Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan sesorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetakan oleh syara. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum batalnya perkawinan yaitu, rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Contoh perkawinan yang batal (tidak sah) yaitu perkawianan yang dilangsungkan tanpa calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini batal (tidak sah) karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon memepelai laki-laki atau perempuan.

Yang dimaksud memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antra suami dan istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarta-syarat ketika berlangsung akad nikah, ata karena hal-hal lain yang datang kemudian membatalkan kelangsungan pernikahan.

 

Fasakh (batalnyaperkawinana) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhinya ketika akad nikah.

a.       Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami

b.      Suami istri masih kecil, da diadakannya akad nikah oleh selain  ayah. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika memilih untk mengakhiri hubungan maka disebut dengan fasakh baligh.

Faskh karena hal-hal yang datang setelah akad.

a.       Bila salah seorang dari suami atau istri murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadaan yang terjadi belakangan.

b.      Jika yang tadinya suaminya kafir masuk Islam, tetapi istri masih teta dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musryik, maka akadnya batal (faskh). Lain halnya jika istri ahli itab, maka akad nya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinanya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.

Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Sebab talak ada talak raji’ dan talak ba’in. Talak raji’ tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan talak ba’in mengakhiri seketika pada waktu itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri perkawinan secara seketika itu.[4]

Batalnya perniakahan menurut kompilasi hukum Islam apabila :

1.      Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu istri dari keempat itu dalam iddah talak raj’i.

2.      Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’aninya

3.      Seseorang menikahi bekas bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi.

4.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No.1 tahun 1974 yaitu :

a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya.

c.       Berhubungan dengan semenda yaitu, mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri.

d.      Berhubungan sesusunan, yaitu orang tua sesusunan, anak sesusunan, saudara sesunan, dan bibi atau paman sesusunan.

5.      Istri dari saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

1.      Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.

2.      Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjad istri sah oria lain yang mafqud.

3.      Perempuan yang dikawini ternyata masih mengalami massa iddah suami lain.

4.      Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan

5.      Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak hak.

6.      Perkawinan yang dilakukan dengan pakasaan.[5]

 

C.    Urgensi Perjanjian Pernikahan

Pentingnya bentuk perjanjian pernikahan yaitu dapat memberikan kejelasan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Pemberian jaminan ini sesuai dengan syariat Islam dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu terciptanya keluarga harmonis, sakinah mawaddah dan rohmah. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan baik yang berbentuk taklik talak atau perjanjian apa saja dibolekan jika tidak melanggar syariat Islam.Selain itu urgensi dari perjanjian pernikahan itu juga dapat mewujudkan apa yang sebenarnya yang dituju dari pernikahan tersebut, sejalan dengan tujuannya, pernikahan dilangsungkan untuk membina keluarga yang diliputi ketentraman dan dipenuhi rahmat yang akan terus dijaga dengan kekutan hukum.[6]

Sedangkan dalam pembatalan pernikahan keputusan pembatalan itu tidak dapat berlaku surut terhadap :

1.         Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.

2.         Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

3.         Pihak ketiga sepanjang mereka memproleh hak-hak dengan beritikad

       baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunya kekuatan  

       hukum ynag tetap.

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.[7]

 

D.    Alasan perjanjian pernikahan

Adanya perjanjian pernikahan terdapat dalam pasal 29 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur tentang masalah perjanjian perkawinan. Pasal ini sangat penting , jika dikaitkan dengan sosio-kultular masyarakat Indonesia yang sedang berkembang dan merangkak menuju masyarakat maju dengan ciri utama kuatnya kesadaran akan hak dan kewajiban. Semakin tinggi tingkat social ekonomi seseorang, semakin tinggi pula dalam memilih pasangan hidup, dari soal kelangsungan karir sampai soal keamanan harta bawaan yang selama ini telah diperoleh.

Setiap individu berhak secara bebas mengadakan perjanjian, sepanjang perjanjian yang dibuat memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan maka perjanjian tersebut sah dan bersetatus sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya[8]. Dalam membuat suatu perjanjian perkawinan, tidak ada unsure yang bersifat memaksa, artinya salah satu pihak tidak menghendaki diadakannya perjanjian perkawinan maka pihak lain tidak boleh memaksa. Mengenai isi perjanjian diserahkan sepenuhnya pada kedua belah pihak.

Secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah :

1.    Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati. Maksudnya, bahwa     perjanjian itu dibuat tidak menyalahi hukum, jika bertentangan maka    secara tidak langsung perjanjian itu batal.

2.    Sama-sama ridha dan ada pilihan. Maksudnya, kesepakatan yang terjadi                       diantara dua belah pihak harus didasarkan dengan kesepakaan bersama.

3.    Harus jelas dan mudah dipahami. Maksudnya, apa yang dijanjikan         harus jelas sehingga tidak mengakibatkan kesalah pahaman.

Syarat khusus perjanjian peenikahan agar tidak cacat hukum yaitu:

1.    Atas persetujuan bersama mengadakan perjanjian. Pasangan harus         membuat perjanjian harus ada persetujuan bersama, tidak ada    pemaksaan atau penipuan.

2.    Suami istri cakap dalam membuat pejanjian Perjanjian harus dibuat       oleh orang yang cakap bertindak hukum, atau mampu melakukan     pembuatan hukum tersebut.

3.    Objek perjanjian jelas Perjanjian yang dibuat harus jelas oleh masing-    masing pihak. Misalnya, percampuran harta benda pribadi, pemisahan            harta benda bersama dan sebagainya.

4.    Tidak bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan Isi perjanjian            tidak bertentangan dengan hukum, misal jika jika mendapat harta          bersama akan digunakan untuk membuka usaha perjudian dan tidak boleh bertentangan dengan agama misalnya, keharusan suami memadu dua kakak beradik.

5.    Dinyatakan secara tertulis dan disah kan oleh pegawai pencatat nikah 

Kompilasi hukum islam memuat delapan pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 45 sampai dengan pasal 52.

 Pasal 45 menyatakan:

Kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :

a.       Taklik talak

b.      Perjanjian yang tidak bertentangan dengan hukum islam.

Taklik talak sendiri yaitu terjadinya talak atau perpisahan yang digantungkan kepada sesuatu, sesuatu ini dibuat dan disepakati pada waktu akad nikah.[9]

Dengan adanya taklik talak ini dapat melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima isteri. Meskupun sesungguhnya isteri, telah mendapat hak berupa gugat cerai. Karena itu, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca serta menandatangani taklik talak tersebut atau tidak. Dimaksudkan agar tidak terjadi kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.

 Perjanjian perkawinan juga dibuat oleh kedua belah pihak menyangkut harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan syariat islam. Kompilasi hukum islam mengatur peranjian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah polgami[10].Terdapat pada pasal 47 sampai 52.

Pada umumnya pemahaman calon suami istri dengan dibuatnya perjanjian perkawinan dalam memasuki kehidupan rumah tangga itu didasarkan pada hal-hal berikut:

1.      Terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lainnya.

2.      Kedua belah pihak membawa inbreng (pemasukan modal) yang cukup besar.

3.      Masing-masing mempunyai usaha sender, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut.

4.      Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin ditanggung  masing-masing 

5.      Masing-masing pihak yang pernah berkeluarga, punya anak dan mempunyai harta kekayaan, sehingga mereka bersepakat untuk membuat perjanjian perkawinan. [11]

 

E.     Alasan batalnya pernikahan

Sebab batalnya pernikahan :

1.      Karena gila

Suami dapat membatalkan pernikahan bila istri gila atau sebaliknya. Menurut pendapat imam syafi’I hak membatalkan pernikahan sebelum akad maupun sesudah akad atau juga sebelum dan sesudah berhubnungan badan. Kemudian, apabila suami membatalkan akad sebelum mencampuri istrinya, maka istri tidak berhak atas mahar tersebut. Bila setelahnya, maka dia berhak atas mahar musamma.

2.      Penyakit sopak

Menurut imam Maliki istri dapat membatalkan pernikahan bila suami terkena sopak sebelum atau sesudah akad. Sedangkan suami hanya bisa membatalkan pernikahan bila istrinya terkena sopak sebelum akad, maka keduanya berhak untuk membatalkan perikahan.

3.      Penyakit Kusta

Bila kusta menimpa sebelum akad maka mereka dapat membatalkan pernikahan. Menurut imam Maliki bila kusta muncul setelah akad, maka hak untuk membatalkan akad hanya untuk istri dan tidak mencakup suami.[12]

4.      Karena adanya penyakit menular, seperti sipilis, tbc, dan lain sebagainya.

Disamping itu, fasakh (pembatalan pernikahan) juga bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:

1.      Perkawinan dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya.  Missal, budak denagn merdeka, orang pezina dengan orang yang terpelihara, dan sebaginya.

2.      Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya tidak rela.

3.      Suami miskin, setelah jelas kemiskinannyab oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi member nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum dibayarkan.[13]

Adapun perjanjian perkawinan sebagai alasan pembatalan pernikahan atau  perceraian. Secara umum, pembatalan perjanjian tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian dalam perjanjian dapat dilakukan pembatalan apabila:

1.      Jangka waktu perjanjian telah berakhir

Suatu perjanjian selalu didasarkan pada jangka waktu tertentu (apabila mempunyai jangka waktu terbatas), maka apabila telah sampai kepada waktu yang telah diperjanjikan, secara otomatis perjanjian itu batal.

2.      Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian

Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain yang merasa dirugikan dapat membatalkan perajnjian tersebu



[1]Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2010), Hal.119-140

[2] Rofiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok, Raja Grafindo Persada, 2015), Hal.127-128

[3] Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2010), Hal.121-124

[4] Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2010), Hal.141-143

[5] Ramulyo Idris. Hukum Perkawinan Isla, (Jakarta, Sinar Grfika Offset, 1999). Hal.85-87.

[6] Istianah, 2019, Monogami Dalam Perjanjian Perkawinan (kajian Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia), Vol.17, Hal.16, Pekalongan, IAIN Pekalongan,pdf, http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/2387/1650 (diakses pada tanggal 16 Maret 2020)

[7]Ramulyo Idris. Hukum Perkawinan Isla, (Jakarta, Sinar Grfika Offset, 1999). Hal.88

[8] Rokhim,Abdul.”Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian”Arena hukum. Jilid 41 No 1, januari 2012, hal 59. http://e-journal.undip.ac.id (diakses pada tanggal 16 Maret 2020)

[9]  Nasution Khoirudhin.”Menjamin Hak perempuan dengan Talik Talak dan Perjanjian perkawinan”.UNISIA, vol. XXXI No.70 Desember 2008, hal 334. http://journal.uii.ac.id diakses pada tanggal 16 Maret 2020)

[10] Rofiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Depok, Raja Grafindo Persada, 2015), Hal.128

[11] Yulis Tiana,”perjanjian perkawinan dalam pandangan hukum islam”. Serat Acitya 2 (3), 128,2014. Hal 137-138. http://jurnal.untagsmg.ac.id(diakses 16 mare 2020)

[12] Ibrahim Muhammad,”fiqih perbandingan lima mazhab”(Jakarta, Cahaya,2007)hal386-387

[13] Ghazali Rahman Abdul, Fikih Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2010), Hal,148

Lebih baru Lebih lama