MAKALAH CABANG FILSAFAT ( ONTOLOGI )

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk memahami masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.

Memahami sistem filsafat sesungguhnya menelusuri dan mengkaji suatu pemikiran mendasar dan tertua yang mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistim, filsafat berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir filsafat. Sistem filsafat amat ditentukan oleh potensi dan kondisi masyarakat atau bangsa itu, tegasnya oleh kerjasama faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini diantaranya yang utama ialah sikap dan pandangan hidup, citakarsa dan kondisi alam lingkungan. Apabila citakarsanya tinggi dan kuat tetapi kondisi alamnya tidak menunjang,maka bangsa itu tumbuhnya tidak subur (tidak jaya).

Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu; epistemologi, ontologi dan aksiologi. Pada kesempatan ini kami akan membahas tentang cabang ilmu filsafat yaitu ontologi.

Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realita.

Tujuan dari penulisan makalah ini sendiri, selain memenuhi kewajiban membuat tugas, adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu dan keterkaitan penulis terhadap salah satu cabang filsafat yaitu ontologi.

B.    Rumusan Masalah

1.      Apa itu ontologi filsafat ?

2.      Bagaimana struktur ontologi ?

3.      Bagaimana Pendapat Al-Ghazali tentang kausalitas hukum (ontologi) ?

C.     Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian dari ontologi

2.      Untuk menjelaskan struktur ontologi

3.      Untuk mengetahui Pendapat Al-Ghazali tentang kausalitas hukum (ontologi)

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.      pengertian ontologi

a.       pengertian

Ontologi (yunani:on = being, dan logos= logic, adalah teori tentang “yang ada(being) dari sudut hakikatnya. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.

Poedjawijatna mendefinisikan flisafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Sedangkan Hasbullah Bakry mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa fllsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir.  ciri khas fllsafat ialah ia diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran.[1]

Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori  tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.

2.      Struktur Filsafat

Hasil berfikir tentang yang ada dan  mungkin ada itu tadi telah terkumpul banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis, itulah yang disebut struktur filsafat.

Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu merupakan satu kesatuan:

·         Ontologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu); ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu;

·         Epistemology cara memperoleh pengetahuan itu;

·         Aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.

Ontologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain lain. Epistemologi hanya mencakup satu bidang saja yang yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Ini pun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial.

Filsafat Perennial

Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian diadopsi kedalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal.[2]Dengan demikian, Filsafat Perennial (Philosophia Perennis) adalah yang dipandang dapat menjelaskan segala sesuatu kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualis manusia.[3]

Hakikat itu menjadi inti pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The Sacred) atau yang satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam agma, filsafat, seni, dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial ialah pengetahuan filsafat tentang yang selalu ada.[4]

Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19 mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial ada tiga yaitu: metafisika, psikologi, dan etika.[5]

Metafisika untukmengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis, maupun intelektual. Psikologi adalah jalan utnuk mengatahui adanya sesuatu dalam diri manusia (soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan akhir kehidupan manusia. Dengan demikian, maka Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alamsemesta ini dengan Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya mealui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan.[6]

Pengetahuan metafisika lebih dahulu seblum lainnya mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu wujud Tuhan sebagai tujuan merupakan sesuatu yang tidak terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia.

Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas Absolut itu.

Metafisika,Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi tertata secara hirarlis. Realitas selalu terkait, jumlahnya meningkat ketika level-Nya naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia.

Melalui Filsafat Perennial disadari adanya YangInfinite dibalik kenyataan ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of self hood) yang terdiri dari body, mind, dan soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta dn manusia pada dasarnya hanyalahh tajalli atau penampakkan infinite atau spirit yang dalam islam disbut al-haq.[7]Karena adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.

Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi(dalam agama misalnya) adalah jaan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh “pendakian” dan tingkat eksistensi yang lebih rendah,yaitu kehidupan sehari-hari, ketingkat lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.

Wujud real ini dapat dismakan dalam klaim Realisme mengenai apa yang tampak nyata. Tetapi real disini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yng lebih real yang tampak?

Mengenai hal ini Huston Smith mengemukakan alegori Plato sebagi analognya.[8]Didalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan lebih real daripada bayangannya; memang bayngan manusia itu seuatu yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan dengan bayangannya.

Didalam alegori itu hendak digambaekan juga (oleh Plato) bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia lihat sekarang.

Inti alegori itu adalah utnuk menggambarkan kemungkinan adanya suatu kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak mampu ikut serta dalampenampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi. Manusia mampu meningkat ketingkat yang lebih tinggi itu dengan kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jeaslah bahwa ada hiriarki realitas.

Relitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui pencitraan itu relitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan.[9] Energi atu kekuatan misalnya, merupakan suatu pengaruh yang menyebabkn yang lain memberikan respon atas keberaadaanya. William James mengatakan bahwa dikatakan ral jika sesuatu menyebabkan kita berkewajiban untukberurusan dengannya.[10]

Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori diatas. Misalnya, jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa; jika durasi tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang lingkupnya tak terbatas, ia ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpasyarat, ia Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pntingnya diutamkan, ia menjadi Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan,ia Maha smepurna. Kesemuanya itu adalah Tuhan.

Etika. Suasana batin tertuju pada tataran psikologis ternyata sanggup menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu. Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh perjalanan mistik atau suluk. Tetapi Fisafat Perennial tidak mebahasnya secara rinci.

Etika adalah petunjuk untuk mengektifkan usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk mengalmi dunia dengan cara yang baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih sejati dari sekedar penampakannya apa adanya.

Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahhatian, kedrmawanan, dan ketulusan. Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang lain.

 

Filsafat Pos Modern (Post modern philosophy)

Didalam literatur filsafat, biasanya babakan filsafatb dibagi tiga. Pertama, Filsafat Yunani Kuno (Ancient philosophy) yang didominasi Rasionalisme, kedua, Filsafat Abad Tengah (Middles Ages Phylosophy) disbut juga The Dark Ages Philosophy (Filsafat Abad Kegelapan), yang didominasi oleh pemikiran tokoh Kristen, ketiga, Filsafat Modern (Modern Philosophy) yang didominasi lagi oleh Rasionalisme.

Akhir-akhir ini agaknya telah muncul babakan keempat, yaitu filsafat Pasca Modern (Post Modern Philosophy).

 

3.      Hukum Kusalitas

Karena tidak ada dalam wujud ini,selain Allah dan hasil perbuatan-Nya, Al-Ghazali menegaskan secara umum: “Setiap maqdur (perbuatan yang dihasilkan qudrah) dikehendaki, sedang setiap yang baru adalah maqdur, maka setiap yang baru adalah maqdur dikehendaki. Keburukan, kekufuran, dan kemaksiatan adalah baru, maka ia pasti dikehendaki. Apa yang dikehendaki Allah adalah ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya adalah tidak ada”.

Akan tetapi, masalahnya apakah segala sesuatu selain Allah itu terbit dari perbuatan-Nya dengan intervensi langsung sesuai tauhid afal, yakni Al-Ghazalimengenal occasionalisme,[11] ataukah tidak secara langsung selain penciptaan pertama, yakni melalui hukum kausalitas-Nya yang qadim-abadi dan tidak berubah-ubah, dan zat-Nya mustahil menjadi tempat berdirinya sesuatu yang baru sesuai tauhid Zat dan Sifat, yakni Al-Ghazali menganut kausalisme atau determinisme kausal.[12]Jika asumsi dasar pertama filsafat ilmu Al-Ghazali adalah bahwa segala sesuatu mempunyai esensi, seperti diatas, inheren didalam asumsi dasar pertama ini merupakan asumsi dasar ontoogis-Nya yang kedua, yaitu mengenai hukum kausalitas, baik natural maupun moral,yang merupakan manifestasi dan disatu pihak, maupun tauhid afal dipihak lain. Adanya esensi cukup rumit, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi diantara beberapa peneliti atau penulis, selain karena perbedaan asumsi, metode, dan referensi.[13]

Dalam Tahafut, ketika membahas fisika perihal hukum kausalitas dalam kaitannya dengan qudrah Allah dan kemungkinan terjainya mukjizat, yang ditolak dengan filosof, Al-Ghazali menolak konsep hukum kausalitas sebagai hukum alam dan keabsolutannya. Beriringannya perkara yang dipandang “sebab” dengan “akibat”, menurut kami tidaklah daruri, melainkan masing-masing berdiri sendiri,yang keberadaan dan ketiadaan yang satu tidak mengharuskan secara absolut keberadaan dan ketiadaan yang lain, dan terjadinya simultanitas, itu karena takdir (ketetapan) Allah yang terdahulu yang membuatnya simultan, bukan karena keadaan daruri pada dirinya yang tak dapat menerima penyimpangan apapun.

Untuk menunjang teori umum diatas, Al-Ghazali mengajukan empat teori:

1)      Teori takdir yaitu bahwa terjadinya fenomena alam, dalam hal ini simultanitas tersebut, adalah karena takdir Allah, yang terdahhulu yang membuat simultan.

2)      Teori Asy’ariah yang menolak adanya kepastian absolute yang inheren didalam benda-benda, yaitu pencipta fenomena alam seperti hangusnya kapas ketika bersentuhan dengan api adalah Allah, baik langsung maupun melalui perantara malaikat.

3)      Teori Mu’tzilah dan Maturidiah Samarkand, yaitu bahwa sesuatu memounyai potensi dan efektivitas yang ditetapkan Allah padanya,seperti sifat esesnsial api adalah membakar.

4)      Teori filosof berupa teori ketakterhitungan prinsip kesiapan materi menerima form oleh sebab-sebab yang belum diketahui atau tak terjangkau manusia

Tekanan pokok dari keempat teori tersebut adalah disatu pihak menolak prinsip bahwa alam dan fenomena-fenomenanya diatur oleh “hukum alam” yang dibuatnya sendiri, seperti dalam paham naturalism-atheisme, dan bahwa “hukum alam” itu, dalam hal ini “hukum kausalitas”, bersifat absolute yang imun dari penyimpangan apapun seperti dalam paham determinisme kausal/kausalisme absolut.[14]Dipihak lain adalah mempertahankan prinsip bahwa alam dan fenomena-fenomenanya diatur oleh Allah penciptanya, baik melalui hukum-Nya sebagai takdir (ketetapan)-Nya sejak azali maupun melalui malaikat atau dengan intervensi langsung-Nya, dan bahwa tradisi alam yang diatur dengan ketiga cara ini tidak bersifat absolut swhingga kebal dari penyimpangan dalam kaitannya dengan ketakterbatasan qudrah Allah kemungkinan terjadinya mukjizat.

Tekanan pokok ini ditegaskan Al-Ghazali sendiri dalam al-manqiz.Karena itu, kurang jelas apakah Al-Ghazali menganut occasionalisme Asy’ari ataukah kausalime Mu’tazilah-Maturidiyyah, atau kausalisme menurut versinya sendiri sehingga menimbulkan kesalahpahaman seperti dari Mamura dan lainnya.Tetapi,uraian diatas dan beberapa klausul lain meenunjukkan bahwa Al-Ghazali mengakui hukum kausalitas sebagai taqdir Allah sejak azali yang menetapkan simultanitaas sebab dengan akibat, seperti terlihat dalam fenomena alam empirik, sebagai hukumumum yang eksak, objektif dan konstan, kecuali jika terjadi kelainan dalam kasus tertentu sepanjang dalam kawasan “kemungkinan” sesuai irada dan qudrah-Nya pula,baika melalui hukum kausalitas lain yang belum diketahui manusia, maupun melalui malaikat atau dengan intervensi-Nya yang langsung.

Seperti akan terlihat dalam kitab-kitab lain, taqdir Allahitu adalah hukum-Nya yang eksak, objektif, dan konstan, kecuali jika terjadikelainan dengan ketiga cara diatas. Teori ini lebih sesuai dengan teori moderasinya antara tauhid Zat dan sifat dengan tauhid afail. Karena itu,ia lebih mendukung teori Mu’tazilah ketimbang Asy’ariyah, meskipun tidak penuh,dengan berpendapat bahwa ”Dengan teori ini, kita terbebas dari pengandaian-pengandaian kaum filosof yang menaifkan relativisme. Meskipun begitu, kami membolehkan dilemparkannya nabi kedalam api tanpa hangus”.

Hal diatas diperkuat pengakuannya terhadap validitas hasil-hasil eksperimen (mujarrabat) yang menuutnya termasuk yaqiniyah, yang menimbulkansimultanitas baik berupa konklusi keniscayaan (qada’an jazmiyyan), maupun konklusi probabiitas (qadi’an akuariyyan).  

Disini Al-Ghazali memang mengakui adanya tantangan serius dari kaum Asy’ari yang occasionalis, yang memandang bahwa Allah-lah yang menciptakan peristiwa-peristiwa itu (akibat) ketika atu bebarengan dengan  yang lain (sebab), bukan “dengannya”. Akan tetapi, ia tetap teguh pada pendiriannya bahwa esensi simultanitas itu sebagaimana dilaporkan empiri sensual merupakan fakta keniscayaan yang tak dapt ditolak. Apakah ia merupakan keniscayaan daruri yang tak memungkinkan pengubahan ataukah dengan hukum berjalannya sunnah Allah Karena efektivitas masyi’ah (kehendak)-Nya yang azali yang tidak mengandung kemungkinan penggantian dan perubahan, merupakan masalah lain menyangkut latar belakang simultanitas itu sendiri.[15]



[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hlm. 66-67

[2]  Komarruddin Hidayyat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Perspektif Filsafat Perennial, 1995, hlm.1

[3]Ibd, hlm.3

[4] Budi Munawwar Rahman, Agama Masa Depan, hlm .12-29

[5]The Perennial Philosophy, 1945, hlm. 7

[6]  Komarruddin Hidayat, Perspektif Filsafat Perennial, 1995, hlm.29

[7]Ibd, hlm.32

[8]  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1990, hlm. 49-50

[9]  Komaruddin Hidayyat, Perspektif Filsafat Perennial, 1995:, hlm.10

[10]  William James, Some Problem Of Philosophy, 1971, hlm.101

[11] Madjid Fkahry, Islamic Occasionalism, hlm. 9

[12]Mario Bunge, 1979, Causility and modern science, New York, Dover Publication, INC., cet. III, hlm. 3-4

[13] Madjid Fakhri, Islamic occasionalism, hlm. 9-213

[14] Jamal al-Din al-Afgani, opcit, hlm. 15-27, dan D.D. Runes, ed., opcit, hlm. 205-206

[15] Al-Ghazali, mi’yar al-ilm, hlm. 188-191, Malik al-Nazr, hlm. 59-61 

Lebih baru Lebih lama