MAKALAH CABANG FILSAFAT: EPISTIMOLOGI BARAT DAN ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Manusia hidup di dunia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja. Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk menetahui keadaan dan lingkungan sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang digunakan. Slah satu informasi yang do dapat melalui komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan,

Tak jarang manusia harus mempelajari epistemologi. Epistimologi disebut juga teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gambling, merupakan dasar dan fondasi dari segala ilmu dan pengetahuan.

Sejak semula, epistemology merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu diketahui  apa saja yang menjadi dasar pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk mengembangkan diri dalam mengikuti perkembangan informasi yang pesat.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan epistemologi?

2.      Bagaimana ruang lingkup epistemologi?

3.      Bagaimana metode memeroleh ilmu pengetahuan?

4.      Bagaimana persoalan validitas pengetahuan?

5.      Apa saja aliran epistemologi Barat?

6.      Apa saja aliran epistemologi Islam?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui maksud dari epistemology.

2.      Untuk mengetahui ruang lingkup dari epistemologi.

3.      Untuk mengetahui metode ilmu pengetahuan.

4.      Untuk mengetahui persoalan validitas pengetahuan.

5.      Untuk mengetahui aliran epistemologi Barat.

6.      Untuk mengetahui aliran epistemologi Islam.



BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Epistemologi

Asal kata istilah epistemologi adalah dari bahasa Yunani, yakni episteme (pengetahuan) dan logos (teori). Dengan demikian, epistemologi adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai (esensi) pengetahuan.

Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemologi berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah pengetahuan” akan tetapi, secara spesifik epistemology berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks seperti: hubungan antara pengetahuan dengan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui pancaindera, status ontologism dari teori teori ilmiah, hubungan antara konsep-konsep atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang ditunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata tersebut, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri.[1]

Hubungan antara pengetahuan dengan kepercayaan pribadi

Pada umumnya orang awam percaya begitu saja bahwa pengetahuan atau persepsi kita mengenai suatu objek adalah gambaran yang sebenarnya dari objek. Misalnya, gambaran tentang sebuah pohon yang ada dalam pikiran kita sama dengan pohon sebenarnya yang dilihat kita. Orang awam tidak akan mempermasalahkan validitas dari hubungan antara pengetahuan yang mereka miliki dengan fakta yang sebenarnya dalam kenyataan.

Akan tetapi, para filsuf mempertanyakan validitad dari kepercayaan itu. Mereka akan menanyakan apakah kepercayaaqn itu dapat dipertanggungjawabkan? Kenyataan menunjukkan bahwa pengetahuan yang kita miliki sering berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Misalnya, kita seolah-olah melihat garis batas yang bengkok di dasar kolam renang, tetapi pada kenyataannya garis itu lurus. Contoh lainnya, seorang psikolog bernama Solomon Asch mengenai ilusi optik: kita melihat cahaya kecil yang bergerak-gerak pada ruang gelap, namun nyatanya cahaya itu diam tidak bergerak.

 Status pengetahuan yang melampaui pancaindera

Banyak orang percaya bahwa pengetahuan kita berasal dari pancaindera. Pengetahuan tentang sebuah gejala adalah cerminan dari gejala itu. Misalnya, pengetahuan kita tentang kuda adalah representasi dari seekor, beberapa, atau banyak kuda yang pernah kita amati.

 Jika memang demikian, jika pengetahuan diperoleh melalui pancaindera, lalu bagaimana dengan pengetahuan yang melampaui pancaindera, missal metafisika juga agama? Pertanyaan tersebut menuntut jawaban epistomologis. Salh satu jawaban yang mungkin dikemukakan oleh para filsuf adalah peran penting rasio dalam membentuk pengetahuan yang melampaui pancaindera tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh rasionalis.[2]

Status ontologis teori-teori ilmiah

Apa status ontologism dari teori-teori yang sangat umum seperti tentang alam, perambatan cahaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan teori-teori tersebut? Misalnya, gelombang cahaya tidak bias dilihat seperti kita melihat uang, orang, atau barang. Namun, dapat dikatakan bahwa cahaya itu ada, mempunyai realitas dan entitasnya sendiri. Cahaya itu ada meskipun tidak dapat divisualisasikan secara akurat. Suatu gelombang dalam arti kurva sinus konseptual atau gelombang di lautan dapat divisualisasikan, tetapi gelombang fisik sebenarnya yang tanpa medium, kecepatannya yang luar biasa dan kekuatannya yang tak terbayangkan, adalah diluar kemampuan imajinasi dan visualisasi kita. Konsep demikian tidak bias dipikirkan sebagai realitas fisik semata-mata tanpa interpretasi kita. Epistimologi harus dapat memberi fondasi dan justifikasi atas keberadaan realitas seperti itu.

Analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri

Apa yang terjadi dalam kognisi, pikiran, atau rasio kita pada saat mengetahui sesuatu? Apakah mengetahui sesuatu objek itu dikarenakan oleh proses fisiologis yang terjadi di ssistem saraf pusat atau seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant dan Endmund Hussel, yakni bahwa mengetahui dimungkinkan karena terjadinya proses pemberian makna yang diberikan terhadap objek. Husserl menyebutkan bahwa mengetahui pada dasarnya merupakan suatu proses tindakan kesadaran yang dimulai dari objektifikasi, identifikasi, korelasi, dan konstitusi.

Dari deskripsi tersebut menjadi jelas bahwa epistimologi merupakan studi yang cukup penting di lingkungan akademik karena ia menguji dasar-dasar dan proses-proses terbentuknya semua pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan ilmiah.

B.     Ruang Lingkup Epistemologi  

Menurut J.F.Ferrier epistimologi pada dasarnya berkenaan dengan pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.

Batas-batas pengetahuan

Para ahli filsafat seperti John Locke, Bavid Hume, dan Emmanuel Kant sering mengajukan pertanyaan “apakah pengetahuan terutama pengetahuan yang benar, mungkin tercapai oleh manusia?” ada sejumlah jawaban yang diajukan dalam filsafat diantaranya; skeptisisme, realisme naïf, skeptisisme Descartes, realism kritis, krisisme Emmanuel Kant, dan positivisme logis.[3]

Skeptisime, menurut paham ini tidak mungkin kita mencapai pengetahuan selain berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Realisme naïf, pandangan ini biasanya dianut oleh orang awam. Menurut paham ini, pengetahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian dengan objek yang dipersepsi. Pengetahuan kita adalah gambaran yang sesungguhnya dari realitas di luar kita. Realism kritis, meski pengetahuan hanya mungkin sebatas pengalaman indera, tetapi pengetahuan yang mengatasi pengalaman pun dimungkinkan, sejauh ada justifikasi rasional terhadapnya. Paham ini mengatasi realism naïf, karena ia mengakui adanya peran pikiran manusia. Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus mendistorsi data dari luar.

Sumber-sumber dan struktur pengetahuan

Yang dimaksud dengan sumber ilmu pengetahuan ialah hal-hal yang secara hakiki diyakini sebagai sumber darimana ilmu pengetahuan itu kita peroleh. Mengenai sumber pengetahuan, tradisi filsafat Barat mewarisi dua aliran epistemology yang terbesar, yaitu aliran rasionalisme dan empirisme.[4]

Menurut rasionalisme, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari dari pemikiran logis dan deduktif melalui rasio manusia. Sebaliknya, menurut empirisme, pengetahuan diperoleh dari pengamatan inderawi manusia. Jadi, empirisme menekankan karakter eksperimental dan perceptual dari pengetahuan, sedangkan rasionalisme pada karakter kekuatan logika dan matematika.

Untuk memahami perbedaan antara rasionalisme dan empirisme mari kita lihat persoalan mengenai pengetahuan a priori atau pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki pengalaman objek tersebut. Rasionalisme abad 17 berpandangan bahwa semua atau beberapa pengetahuan yang sangat penting tentang dunia secara logis tidak tergantung pada pengalaman. Dengan kata lain rasionalisme percaya bahwa ada beberapa proposisi tentang dunia yang dapat diwerivikasi dan justifikasi hanya oleh kerja rasio tanpa memerlukan bantuan pengalaman. Contoh pernyataan-pertanyaan “semua kejadian ada sebabnya”, “keseluruhan adalah jumlah dari bagian-bagian”, “semua manusia akan mati, Socrates adalah manusia, maka Socrates akan mati”, adalah contoh pernyataan a priori.[5]

Empirisme menolak kemungkinan a priori. Bagi penganut empirisme, pengalaman empiris adalah satu-satunya sumber penetahuan. Tidak ada pengetahuan yang berasal dari pengalaman. John Locke bahwa menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada dasarnya seperti kertas kosong, seperti tabula rasa; pengalamanlah yang mengisi jiwa atau pikiran itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori. David Hume menegaskan “semua gagasan kita atau persepsi kita yang lebih lemah adalah tiruan dari kesan-kesan kita.” Dengan demikian pengetahuan a priori di tolak yang ada mengakui pengetahuan a posteriori.

Dalam konteks ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan tentu saja mendasarkan diri pada fakta-fakta empiris. Namun, disadari atau tidak, ilmu pengetahuan juga mengakui adanya pengetahuan a priori. Misalnya, ilmu pengetahuan mengakui adanya hukum sebab akibat atau kausalitas.

Disamping itu ada pula pengetahuan yang bersumber dari Tuhan yang disebut pengetahuan wahyu. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat digolongkan kepada dua macam.[6]

1)      Ilmu yang diperoleh oleh manusia (acquired knowledge), yaitu melalui akal dan pengalaman inderawi. Ilmu yang bersumber pada akal atau yang diperoleh melalui akal disebut juga conceptual knowledge, dan ilmu yang bersumber pada indera manusia yang juga disebut perceptual knowledge. Kedua macam ilmu yang diperoleh itu disebut dengan ilmu aqli.

2)      Ilmu wahyu (releaved knowledge), atau ilmu naqli yaitu ilmu yang bersumber dari Allah swt., seperti ilmu ketauhidan, keimanan dan kewahyuan, ilmu fikih, dan sebagainya.

C.    Metode Ilmu Pengetahuan

Persoalan metodologi sangat berhubungan erat dengan persoalan sumber pengetahuan. Jika kita percaya bahwa empirisme yang paling benar, maka observasi empiris adalah metode terbaik untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, jika kita percaya rasionalisme yang paling benar, maka logika dan matematika adalah metode yang terbaik untuk mendapatkan pengetahuan. Metode ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya gabungan antara empirisme dan rasionalisme, antara observasi empiris dan analisis logis dan tematik.[7]

Adapun ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dan pengalaman manusia diperoleh dengan pendekatan ilmiah, yaitu melalui suatu rangkaian  langkah berpikir yang disebut berpikir ilmiah. Berikut langkah ilmiah:

1.      Perumusan masalah

2.      Perumusan hipotesa

3.      Pengumpulan data

4.      Analisis data

5.      Pengambilan kesimpulan.

Sesuai dengan pendekatan ilmiah itu, maka untuk ilmu-ilmu rasional dipakai metode apriori dan deduksi, sedangkan untuk ilmu-ilmu empiris dipakai metode aposteriori dan induksi.

Metode deduktif

Metode deduktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari hal-hal yang abstrak kepada yang konkrit, atau dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus dengan menggunakan kaidah logika tertentu. Cara berpikir deduktif sudah dimulai oleh Aristoteles dan para pengikutnya, yaitu melalui serangkaian pernyataan yang disebut silogisme. Silogisme terdiri dari 3 pernyataan yang disebut:

1.      Premis mayor (dasar pikiran utama)

2.      Premis minor (dasar pikiran kedua)

3.      Kesimpulan

                      Contoh

1.      Semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor)

2.      Manusia adalah makhluk hidup (premis minor), oleh karena itu,

3.      Manusia pasti mati (kesimpulan)

          Dalam cara perpikir deduktif, apabila dasar pemikiran benar, maka kesimpulan pasti benar. Dengan cara berpikir deduktif, memungkinkan kita menyusun premis-premis menjadi pola-pola yang dapat memberikan bukti kuat bagi kesimpulan  yang benar atau sahih (valid).

Metode induktif

Francis Bacon (1561-1626) menggunakan metode induktif dalam mengetahui sesuatu. Ia yakin bahwa seorang peneliti dapat membuat kesimpulan umum berdasarkan fakta yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung. Untuk memperoleh pengetahuan, menurutnya seseorang harus mengamati alam itu sendiri, mengumpulkan fakta, dan merumuskan generalisasi dari falta-fakta. Jadi, metode induktif dimulai dari bukti-bukti yang khusus, dan atas dasar bukti-bukti yang khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.[8]

D.    Kebenaran (Validitas) Ilmu Pengetahuan

Epistemologi tidak hanya berusaha menjawab pertanyaan mengenai apakah suatu pengetahuan itu benar atau tidak benar, tetapi juga mencari jawaban atas pertanyaan mengenai apa yang dimaksudkan oleh seseorang ketika ia mengatakan bahwa pengetahuan itu benar, apa ada kriteria kebenarannya.[9]

Mengenai kebenaran pengetahuan telah dipersoalkan sejak masa filsafat Yunani klasik. Plato mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan alat dria adalah pengetahuan yang semu, sedangkan pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh dengan akal atau disebut idea.

Dari perspektif Barat dikenal 3 macam teori kebenaran pengetahuan, yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatik.

 

Teori korespondensi (teori persesuaian)

Menurut teori korespondensi pengetahuan kita itu adalah benar apabila sesuai kenyataan. Suatu pernyataan dikatakan benar apabila pernyataan tersebut sesuai dengan fakta yang ada. Jika pernyataan tidak sesuai dengan fakta maka pernyataan tersebut tidak benar.pendukung teori ini yaitu, kaum empiris dan realis.

Teori konsistensi atau koherensi

Menurut teori konsistensi suatu proposisi dianggap benar apabila proposisi tersebut memiliki hubungan dengan gagasan dari proposisi sebelumnya yang dianggap benar, atau proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya. Menurut teori ini yang didukung oleh kaum rasionalis dan idealis, manusia tidak pasti dapat mencapai kesesuaian antara pengetahuannya dengan objek diluar dirinya, tetapi kita hanya sampai kepada kesan-kesan yang ada tentang sesuatu.

Teori Pragmatik

Teori pragmatik tentang kebenaran menghubungkan makna kebenaran dengan proses konfirmsi, pengujian, atau verifikasi.menurut teori ini, kebenaran buakan suatu keadaan, melainkan tindakan. Kebenaran bukan hubungan statis antara pikiran dan dunia luar, melainkan berkaitan dengan konsekuensinya terhadap tindakan. Teori pragmatik tentang kebenaran dapat dipandang sebagai posisi epistemologis yang praktis.[10]

Kebenaran empiris dan kebenaran logis

Ketiga macam kebenaran menurut pandangan sains barat itu dapat digolongkan ke dalam dua macam kebenaran, yaitu kebenaran empiris dan kebenaran logis

Kebenaran empiris      : mementingkan obyek, menghargai cara kerja induktif, lebih mengutamakan pengamatan indera.

Kebenaran logis        : mementingkan subyek, menghargai cara kerja deduktif dan aprioris, lebih mengutamakan penalaran akal budi

Contoh:

1.      Air lebih berat dari batu, maka batu tenggelam dalam air. Disini  terkandung kebenaran empiris bukan kebenaran logis.

2.      Air lebih ringan dari batu, maka mbatu tenggelam dalam air. Disini mengandung kebenaran logis dan empiris.

3.      Air lebih ringan dari batu, maka batu mengambang di atas air. Disini tidak ada kebenaran baik logis maupun empiris.

4.      Air lebih berat dari batu, maka batu mengambang di atas air. Disini terkandung kebenaran logis, tetapi tidak kebenaran empiris.

Kebenaran wahyu

Disamping diakui adanya kebenaran logis dan kebenaran empiris, terdapat pula kebenaran wahyu. Kebenaran wahyu adalah kebenaran yang datangnya dari Allah, dank arena itu bersifat mutlak. Wahyu di turunkan oleh Allah SWT kepada rasul-rasulNya untuk menjadi sumber ilmu pengetahuan dan menjadi penunjuk bagi semua manusia. Bagi seorang muslim bukan saja diharuskan mengambil pengetahuan yang bersumber dari wahyu, tetapi juga diperintahkan supaya mengikuti ajaran yang terkandung didalamnya. Kebenaran wahyu sejalan dengan kebenaran logis (berdasarkan rasio) dan kebenaran empiris (berdasarkan pengalaman). Kalau kebenaran logis dan kebenaran empiris relatif, maka kebenaran wahyu bersifat mutlak atau absolut.[11]

E.     Aliran-aliran dalam Epistemologi Barat

Kristalisasi dari perjalanan sejarah epistemologi Barat ini kemudian menghasilkan empat aliran epistemologi yang cukup dominan di dunia Barat Modern. Keempat aliran tersebut adalah rasionalisme, empirisme, kritisisme dan intuisionisme.[12]

a. Rasionalisme

Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran pengetahuan manusia. Aliran ini biasa dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat, diantaranya Rene Descartes, Spinoza, Leibniz dan Christian Wolf. Meski sebenarnya akar-akar pemikirannya sudah ditemukan dalam pemikiran para filosof klasik, yaitu Plato dan Aristoteles. Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam akal pikiran manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip ini.

Sekalipun rasionalisme sangat menekankan fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti rasionalisme mengingkari peranan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang kerja akal dan memberikan bahan-bahan agar akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia pada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Bagi rasionalisme data-data yang dibawa oleh indera masih belum jelas dan kacau bahkan terkadang menipu. Akallah yang kemudian mengatur laporan indera tersebut sehingga dapat terbentuk pengetahuan yang benar.

b. Empirisme

Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “empiria” yang berarti pengalaman. Aliran ini muncul di Inggris yang awalnya dipelopori oleh Fransis Bacon (1561–1626 M). Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi atau penginderaan. Berbeda dengan rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber dan penjamin kepastian suatu kebenaran pengetahuan manusia, empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia. Aliran empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume.

Metode verifikatif-induktif merupakan metode yang ditawarkan oleh empirisme dalam menguji keabsahan suatu pengetahuan manusia. Metode ini bekerja dengan melakukan pengujian terhadap pengetahuan manusia berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang empiris dan menggunakan metode induktif yaitu mengambil kesimpulan umum dari hal-hal atau fenomena-fenomena yang bersifat khusus.[13]

c. Kritisisme

Kritisisme adalah aliran episemologi yang dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724-1804 M). Ia adalah seorang filosof Jerman yang mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan tajam antara kedua aliran tersebut. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat mencapai kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian kebenaran akal. Filsafat Kant berusaha mengatasi kontradiksi dua aliran tersebut (rasionalisme dan empirisme) dengan menunjukkan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Ia menyebut perdebatan itu dengan antinomy. Seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang mungkin lebih menyejukkan dan konstruktif.

d. Intuisionisme

Dalam perkembangan selanjutnya epistemologi Barat kemudian dilengkapi dengan munculnya aliran intuisionisme yang dipelopori oleh Henry Bergson (1859 - 1941 M). Bagi Bergson indera dan akal manusia sama-sama terbatas dalam memahami realitas secara keseluruhan. Berdasarkan kelemahan akal dan indera tersebut Henry Bergson kemudian mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu intuisi. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh panca indera.

Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperolehnya melalui pengamatan langsung, tidak mengenai “keberadaan lahiriah” suatu objek melainkan “hakekat keberadaan” dari suatu objek tersebut. Bagi Bergson ada dua cara dalam proses pencapaian pengetahuan, yaitu analisis dan intuisi.[14] Analisis ialah aktifitas intelektual dalam mengenali objek dengan observasi atau dengan melakukan pemisahan terhadap bagian-bagian konstituen objek. Analisis bekerja menuju sebuah gerneralisasi abstrak yang kemudian melenyapkan keunikan suatu objek. Sedangkan intuisi menurut Bergson adalah semacam rasio yang mana peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik dalam objek tersebut.[15] Berpikir secara intuitif berarti berpikir dalam durasi. Durasi dalam hal ini dipahami sebagi waktu dalam gerak yang berkelanjutan dan bukan waktu yang kemudian terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis. Bagi Bergson hanya intuisilah yang mampu menangkap fenomena dalam durasi. Dan realitas sesungguhnya adalah durasi, yaitu realitas yang tidak statis melainkan senantiasa dalam proses evolusi yang terus menjadi.

F.     Aliran-aliran dalam Epistemologi Islam

Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.[16]

a.   Epistimologi Bayani.

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks  sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga  perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni alQur`an dan hadis. Karena itulah, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena –sebagai sumber pengetahuan-- benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil.

Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa.

b.      Epistemologi Irfani

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak.

 

c.       Epistemologi Burhani

Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.[17] Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.

Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alas an dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.



[1] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011: hlm. 34-35

[2] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Peesada, Jakarta, 2011, hlm. 36-39

[3] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Peesada, Jakarta, 2011, hlm. 40-44

[4] Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmi Pengetahuan,  Bandar Publishing, Aceh, 2019, hlm. 64

[5] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Peesada, Jakarta, 2011, hlm. 40-52

[6] Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmi Pengetahuan,  Bandar Publishing, Aceh, 2019, hlm. 64-65

[7] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Peesada, Jakarta, 2011, hlm. 52

[8] Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmi Pengetahuan,  Bandar Publishing, Aceh, 2019, hlm. 66-68

[9] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Peesada, Jakarta, 2011, hlm. 52-57

[10] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, PT RajaGrafindo Peesada, Jakarta, 2011, hlm. 52-57

[11] Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmi Pengetahuan,  Bandar Publishing, Aceh, 2019, hlm. 66-72

[12] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 25.

[13] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 68.

[14] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 25.

[15] I. R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1997),103-106.

[16] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali, Bandung, 2011, CV Pustaka Setia, hlm. 311

 

[17] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali, Bandung, 2011, CV Pustaka Setia, hlm. 311


Lebih baru Lebih lama